KIENAR: Bukan Pernikahan Impian

1756 Words
Aku menundukkan wajah saat ijab kabul diucapkan dan berusaha tidak kentara saat menghapus titik air mata yang diam-diam muncul. Sayangnya, aku tak bisa menahan isak ketika saksi mengatakan 'sah'! Semua orang mengucap syukur karena akhirnya pernikahan ini berjalan lancar. Malangnya ini bukan pernikahanku, dan jauh di lubuk hati aku berharap pernikahan ini batal karena gempa bumi atau p****g beliung. Yang menyedihkan, aku datang di acara ijab kabul ini dan juga bersiap untuk hadir di resepsi yang digelar setelahnya. Bukan untuk merestui hubungan mereka berdua, tapi untuk menunjukkan pada dunia bahwa aku tidak akan terpuruk oleh pernikahan yang penuh pura-pura ini. Orang-orang yang mengetahui kisah kami pasti menganggap aku menyiksa diri dan mengatai aku tak punya harga diri. Perempuan yang masih mengharap cinta lelaki yang sudah menjadi suami orang lain. Suami dari perempuan yang bisa dibilang teman baikku. Aku tidak ingin menyebutnya sahabat. Karena kami tidak pernah bersahabat. Perempuan itu datang dalam kehidupan percintaan kami ketika aku dan kekasihku sudah memasuki tahap serius dan kekasihku akan melamarku. Lalu badai itu datang. Dalam sebuah pesta yang menjadi liar, kekasihku dan perempuan itu (yang kini menjadi istrinya) mabuk berat. Aku sudah mengingatkan dia waktu itu melalui pesan WA. "Beb, don't go to crazy!" "I won't," jawabnya. Aku pun percaya. Dan pergi tidur dengan perasaan yang baik-baik saja. Namun paginya, kekasihku menelepon dan dia terisak. Seorang lelaki pimpinan perusahaan ekspor impor yang disegani karyawan dan relasinya karena ketegasan dan sikapnya yang cenderung arogan, dia menangis. Mohon maaf dan mohon ampun padaku. Aku bingung dan memintanya menjelaskan apa yang terjadi. Dia membisu. Setelah jeda yang cukup panjang, dia bilang agar aku jangan menemuinya lagi. What the hell?! Kalau dia pikir aku akan menuruti perkataannya, dia salah. Hubungan kami tidak dibangun dalam semalam dan dia juga tidak bisa seenaknya memutuskan dalam waktu sekian menit apa lagi melalui ponsel. Oh, no! Jangan harap aku akan menerima begitu saja. Minimal, aku harus tahu permasalahan yang terjadi sebelum akhirnya kami sepakat untuk putus. Ya, aku tidak mau diputuskan secara sepihak dan tanpa penjelasan apa-apa. Pagi itu, aku izin dari kantor dan melenggang dengan langkah tegak menuju ruangan kekasihku, seperti jenderal yang mau maju perang. Orang-orang di kantornya berbisik-bisik ketika aku lewat. Dari air muka mereka, aku bisa menangkap pandangan bersimpati dan juga kasihan. Ada apa, sih ini? Masa mereka semua tahu kalau aku baru saja diputuskan atasannya? Di depan ruangannya, Vita, sekretaris pribadinya menghalangiku masuk. Alasan klise, Ibu belum punya janji. Padahal sebelumnya dia selalu mengizinkan aku masuk sesibuk apa pun kekasihku. Tapi dalam waktu semalam, semua keistimewaan yang kumiliki seolah dicabut dan kini aku seperti sales proyek yang akan menawarkan omong kosong dan janji-janji keuntungan. "Ada apa ini, Vit? Biasanya aku boleh masuk. Kemarin juga aku masih bisa masuk. Kenapa dalam semalam semuanya berubah?" tanyaku heran. "Saya hanya menjalankan prosedur, Bu. Kalau mau ketemu Bapak, sebaiknya Ibu bikin janji dulu." "Ya sudah. Saya bikin janji sekarang." "Bapak tidak punya jam kosong hari ini." "Besok saja kalau gitu." "Jadwalnya penuh meeting." "Lusa?" "Keluar kota. Meninjau proyek." "Minggu depan?" "Full, Bu. Pimpinan pusat mau datang." "Minggu depannya lagi?" "Keluar negeri." "Bulan depan?" "Keluar kota terus keluar negeri." "Tahun depan?" "Saya tidak tahu kalau tahun depan karena saya sudah resign, Bu! Please, Bu ..., Bapak benar-benar nggak bisa ketemu Ibu." Wajah Vita sungguh memelas. Dia hanyalah pekerja yang mendapat perintah dari atasan. "Ada apa sebenarnya, Vit? Saya yakin, kamu pasti tahu sesuatu." Aku menahan kesabaranku dan menatapnya tajam. "Saya tidak tahu, Bu. Saya juga tidak punya wewenang untuk menjelaskan." Dia tertunduk layu. "Saya masuk kalau begitu," ujarku sambil menyenggol bahunya dan memaksanya minggir. "Bu, Bu, jangan, Bu! Bapak tidak mau ketemu Ibu!" Terlambat! Pintu kantor kekasihku sudah terbuka lebar dan aku melihat wajah kuyunya sedang menatapku. Di hadapannya, duduk seorang perempuan muda yang selama ini kukenal baik. "Nadia?" sapaku heran. Dia mau menemui perempuan ini, tapi denganku? Kenapa dia menolak? Aku menatap mereka bergantian. Di belakangku, Vita merangsek masuk. "Ma--maaf, Pak. Ibu memaksa masuk. Saya sudah mencegahnya, tapi Ibu ..., dia--" Kekasihku mengangguk pada Vita. Memberi isyarat kalau semuanya terkendali. "Tidak apa-apa, Vit. O, ya, tolong sekalian antar Bu Nadia keluar. Urusan kami sudah selesai, Vit." Kekasihku memberi perintah. Mata kami masih saling bertatapan. "Apa? Kamu mengusirku? Karena kedatangan perempuan ini? Aku tidak mau pergi!" Nadia melipat tangan di depan d**a dan memajukan bibirnya lima senti. Dia seharusnya tahu kalau aku dan lelaki di hadapanku ini dulunya sepasang kekasih. Dan apa maksud kata-katanya barusan? Dia seolah lebih punya hak pada kekasihku dibanding aku. "Nadia, please ..., pembicaraan kita sudah berakhir. Kamu sudah mendapatkan apa yang kamu mau. Sekarang izinkan aku menyelesaikan urusanku dengan Kienar. Oke?" Nadia masih memajukan bibirnya. Tapi dia setuju untuk meninggalkan kami berdua. "Inget, Angga. Perempuan ini bukan apa-apamu lagi. Sekarang, akulah calon istri sahmu!" ujarnya seraya keluar dari ruangan. Meninggalkan aku yang memandangi kepergiannya dengan mulut menganga. "Calon istri--, sahmu?" tanyaku pada Angga, lelaki yang beberapa jam lalu masih kekasihku. "Ini tidak seperti yang kamu pikirkan. Kalau saja kamu punya pikiran aku mengkhianatimu. Itu nggak benar!" "So? Apa namanya kalau bukan selingkuh? Jadi selama ini diam-diam kalian berhubungan? What the f**k, Angga? Cewek kayak dia? Nggak bisa kamu pilih yang lebih baik buat ngeduain aku?" "Jaga suaramu, Kienar! Sudah kubilang aku nggak ngekhianatin kamu! Aku nggak selingkuh sama dia. Seleraku jauh lebih bagus daripada cewek kayak dia. Please, Kin-- jangan bikin situasi tambah ruwet." "Ruwet gimana maksudmu? Ga, bukan aku, ya, yang minta putus jam enam pagi lewat telepon," ujarku dingin. "I know and i am really sorry for that. Aku nggak ngerti harus bilang apa sama kamu, Kin." "Bilang sejujurnya dan ceritakan dari awal," kataku sambil duduk di kursi, "waktuku sangat banyak hari ini." "Kin ...." "Kalau kita harus putus, Ga. Aku nggak mau kita putus dengan menyisakan pertanyaan, apa lagi kemarahan. Aku mau kita tetap baik-baik saja." "Kin ...." Angga menarik napas panjang dan menarik sebuah kursi mendekat padaku. "Semua berawal dari pesta semalam. Kamu tahu, pesta yang nggak mau kamu datangi karena ini malam week day dan kamu harus kerja paginya." Angga menatapku lembut, tangannya mencoba meraih kedua tanganku untuk digenggam. Aku mengangguk tanda paham ke mana arah pembicaraannya. "And?" "Pesta itu seharusnya berjalan baik-baik saja sampai Reno ngajakin adu minum vodka dan yang menang boleh menyuruh apa aja ke yang kalah. Dan aku ..., karena aku ...." "Kamu punya dendam pribadi sama Reno jadi kamu merasa tertantang buat ngalahin dia." "Right. Dan pestanya jadi menggila. Kami semua mabuk. Termasuk Nadia dan beberapa temannya." "Dan karena mabuk kamu terus melamar Nadia, mau mengawini dia dan mutusin aku? Begitu?" "Tidak sesimple itu, Kin. It's more complicated! Aku ..., pagi tadi aku bangun ..., aku ...." "Pagi tadi Angga bangun di kamar dengan Nadia dan mereka berdua dalam keadaan telanjang bulat." Sebuah suara muncul begitu saja dari arah pintu yang tiba-tiba terbuka. "Mama? Kenapa Mama ada di sini?" tanya Angga sambil bangkit dari duduk. Aku juga ikut berdiri. Tante Angela yang angkuh dengan muka aristokratnya berdiri di ambang pintu dengan sangat anggun dan dagu sedikit terangkat. "Tante tidak mau rumah Tante terkena kutukan gara-gara kelakuan Angga dan Nadia yang tidak bermoral." Aku memandang Angga tak percaya. Masa dia sanggup melakukan hal ini padaku? "Maafkan aku, Kin. Aku nggak tahu kenapa itu bisa terjadi." "Tentu saja kamu nggak akan ingat apa-apa karena kamu mabuk. Nadia juga mabuk!" "Dan Tante juga nggak sadar kalau mereka masuk ke rumah Tante?" "Tante bukan security yang harus mengawasi apa yang terjadi di dalam rumah selama 24 jam, Kienar. Kamu pikir kejadian ini rekayasa?" "Bukan saya yang mengatakan, Tante." "Kalau rekayasa, Tante bakalan milih perempuan lain yang lebih baik dari Nadia." "Apa maksud Mama lebih baik dari saya?" tanya Nadia yang tiba-tiba muncul dari belakang punggung Tante Angela. Aku mulai paham sekarang kenapa Tante Angela bisa muncul tiba-tiba di saat yang tidak tepat. "Diam kamu, Nadia! Jangan ikut campur! Dan kamu, Kienar ..., Angga mau saya nikahkan dengan Nadia secepatnya. Saya tidak mau nama baik dua keluarga tercoreng karena kelakuan mereka berdua. Jadi saya mohon ..., jauhi Angga sekarang juga." Baiklah, sudah cukup semua ini buatku. Aku datang untuk minta penjelasan dan sudah kudapatkan. Kupandangi mantan kekasihku. "Jangan lupa kirimi aku undangan pernikahan kalian." "Kamu nggak harus datang," ujarnya sedih. "Tentu saja aku akan datang. Aku nggak mau dicap sebagai mantan yang gagal move on. Kamu percaya padaku, kan? Aku nggak akan merusak hari bahagia kalian. Aku cuma nggak mau, ketika aku pergi ke lingkaran kita, aku bakal dapet pandangan mengasihani. I hate that! You know what I mean, Ga?" "Aku tahu. Aku pasti kirimi kamu undangan. Percaya atau tidak, aku ingin kamu datang." Pandangan kami bertemu. Angga seolah ingin bilang kalau dia ingin diselamatkan dari keharusan menikahi Nadia. Aku tahu dia tidak mencintainya. Mimpi pun mungkin tidak. Tapi mungkin kisah ini akan berakhir seperti n****+ best seller di mana tokohnya yang dipaksa nikah akan saling jatuh cinta. Dan aku jadi tokoh antagonisnya. Jika benar begitu, aku harus mulai siap-siap dibenci orang. Karena tokoh antagonis biasanya jahat dan menyebalkan. Mungkin setelah ini aku harus tutup akun medsos, karena aku nggak mau dibully. Antagonis rawan dibully, kan? *** Para undangan yang hadir berebut menyalami pasangan yang baru saja resmi menjadi suami istri. Aku juga ingin salaman. Tapi malas berdesakan. Dan lucunya, banyak undangan yang menyalamiku seolah aku ini istri yang baru saja ditinggal mati suami. Seolah mereka sedang mengatakan ucapan duka cita padaku dan ucapan suka cita pada Angga. Ironis! Aku berjalan mendekati pasangan yang beberapa menit lalu baru saja berfoto memamerkan cincin kawin berlian dan surat nikah. Beberapa orang yang mengenalku memberi jalan, beberapa yang lain memandang dengan rasa ingin tahu yang besar. Taruhan! Pasti ada yang diam-diam mengambil video saat aku menyalami mempelai. "Selamat, ya, Nad," ucapku tulus pada Nadia. Dan aku tersenyum. Meski sedikit dipaksakan. Nadia mengucapkan terima kasih. Lalu pandanganku beralih kepada suaminya, yang adalah mantan kekasihku. "Selamat, ya, Ga." Aku mengulurkan tangan. Angga diam saja, dia tidak menyambut uluranku. Dia mematung memandangiku dengan tatapan yang datar. "Selamat, ya, Ga," ucapku lagi. Jika dia masih juga diam aku akan pergi saja. Kulirik Nadia, dia sudah mulai gelisah. Dan aku juga merasa suasana sekitarku menjadi sepi. Apa orang-orang pada lupa bernapas? Angga mengulurkan tangan lambat-lambat. Dan ketika telapak kami saling bertemu, sesuatu terjadi dengan cepat. Angga menarik tubuhku mendekat ke tubuhnya dan dengan cepat, bibirnya menyapu bibirku. Dia menciumku. Aku membalasnya. Dan tubuh kami pun saling menempel seperti lintah. Inilah salah satu alasan adanya aturan tak tertulis dilarang hadir ke nikahan mantan. Perasaan lama bisa membuat suasana sakral menjadi chaos. ©elopurs - 2019
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD