Aku tidak dipersilakan duduk. Tetap berdiri dengan kedua tangan saling menggenggam di bawah perut. Tatapanku juga menunduk. Bukan tidak berani beradu pandang dengan mereka bertiga, hanya berusaha bersikap sopan karena saat ini aku hanyalah abdi dalem yang sedang berada di hadapan junjungannya. Belum ada suara terdengar dari ketiganya. Namun tadi sekilas bisa kulihat kalau Nadia berwajah sedikit sembap. Dia pasti habis menangis semalaman karena harus kehilangan salah satu malam yang paling penting di hidupnya.
Suara berdehem membuat pandanganku terangkat. Pak Sebastian sedang memandangiku dengan tatapan kesal, mungkin juga benci, atau jijik? Entahlah. Yang pasti bukan tatapan itu yang diberikan padaku ketika dia mendatangi panti dan menawarkan pekerjaan. Mungkin karena perbuatannya waktu itu diliput media dan dia butuh publikasi untuk menarik simpati para pemegang suara agar memilihnya untuk duduk di kursi panas.
"Kamu pasti sudah bisa menduga mengapa kamu dipanggil kemari, Kienar?" Suara bariton Pak Sebastian memecah keheningan. Pertanyaan yang seharusnya bisa kuduga. Jawabannya pun bisa kuduga. Maka aku mengangguk.
Ada tiga kemungkinan aku dipanggil pagi ini. Pertama, ditanya soal menghilangnya Angga semalam. Bisa saja aku jujur dan mengatakan yang sebenarnya. Namun Angga melarangku untuk menceritakan peristiwa malam tadi. Dia bilang tidak ingin melibatkan diriku lebih dalam dan masalah semalam adalah tanggung jawabnya.
Kedua, aku akan disuruh menjauhi Angga. Jangan mengganggunya lagi apa lagi berusaha mengacaukan pernikahannya. Jujur saja, walau sangat ingin aku lakukan itu, tapi aku tidak akan melakukannya. Saat ini aku sakit hati karena ditinggalkan dan kehilangan. Namun aku percaya, rasa ini bisa segera tergantikan dan mungkin juga hilang. Hanya saja aku tidak tahu kapan. Mungkin cepat, bisa juga lama. Namun aku sudah terlatih menahan diri selama hidupku. Jadi apa susahnya untuk bersandiwara lagi kali ini? Memberi kesan kalau semua baik-baik saja, meyakinkan diri kalau semua akan segera teratasi. Aku terus-menerus mengatakan pada diri sendiri kalau aku bisa melalui semua hal ini. Sejujurnya aku tidak yakin. Aku butuh pegangan. Aku butuh tempat untuk bersandar.
Ketiga, aku akan dipecat. Ini buruk. Aku belum siap dan tidak punya tabungan banyak. Yang kupikirkan adalah anak-anak panti. Jika aku sampai dipecat, maka panti harus menghentikan rencananya menambah kamar atau memperbesar daya tampung. Setiap bulan, ada saja bayi atau anak kecil yang dititipkan di panti. Baik disengaja atau ditinggal begitu saja di depan pintu. Para orang tua mungkin berpikir, kehidupan di panti jauh lebih baik ketimbang hidup bersama orang tua kandungnya. Seandainya para orang tua itu bertanya kepada anak-anak atau bayi-bayi mereka, dan seandainya anak-anak dan bayi-bayi itu bisa menjawab, mereka pasti memilih untuk hidup susah dengan orang tuanya. Punya orang tua dan punya keluarga sendiri adalah mimpi setiap anak panti yang tinggal sebatang kara. Di panti, mereka mungkin punya teman bermain yang jauh lebih banyak dari anak lain. Namun mereka tidak punya orang tua sendiri, kakak atau adik sendiri, keluarga ... adalah alasan terbaik untuk seseorang berjuang dan bertahan hidup.
Di antara tiga kemungkinan itu ... belum satu pun terungkap dari mulut Pak Sebastian, Nyonya Angela, dan juga Nadia. Kakiku mulai kram dan perutku bunyi-bunyi. Aku belum sarapan.
Apa tidak bisa mereka mempercepat prosesnya, langsung ke bagian vonis saja agar aku bisa segera meluruskan kaki-kakiku? Sialnya, hari ini aku menggunakan heels 7cm. Sejak tadi aku sudah memindah-mindahkan tumpuan kaki diam-diam, tapi tetap saja melelahkan. Sialnya, kandung kemihku terasa sesak sekarang! Pasti gara-gara AC ruangan ini yang dinginnya seperti di kutub.
"Ke mana kamu semalam?" Nyonya Angela bertanya tajam dan tiba-tiba. Membuatku terperangah dan refleks memandangnya.
"Sa-saya?" tanyaku pura-pura bodoh. Tentu saja aku, siapa lagi? Namun aku harus bersandiwara dan jangan sampai terjebak pertanyaan Nyonya Angela. "Di kosan," jawabku singkat dan kembali menundukkan kepala.
"Ngapain kamu di kosan?" tanyanya mengejar. Aku mengernyit dan memandangnya pura-pura tidak paham.
"Jangan pura-pura lugu, Kienar. Kamu nggak sepolos penampilanmu. Saya yakin kamu pasti paham yang saya maksudkan. Jangan bersandiwara di depan saya. Tingkah kamu membuat respek saya semakin hilang saja. Jujur saja, kamu semalam sama Angga, kan?"
Aku membelalakkan mata mendengar tuduhan itu. "Ti-tidak. Saya semalam nonton drakor dan ketiduran sampai pagi. HP saya matikan. Kenapa saya harus bersama Angga? Seharusnya Anda bertanya pada istrinya, bukan saya." Aku ganti memandang Nadia. Perempuan yang selama ini kuanggap dekat membalas pandanganku dengan mata berkaca.
"Jangan munafik. Semalaman Angga pergi. Kalau bukan sama kamu sama siapa lagi?" tuduhnya kasar.
Aku sedikit meradang. Dia memang bersamaku, tapi Nadia juga tahu seperti apa pergaulan Angga. Kekasihku itu, ralat: mantan, memang tidak pernah memporak-porandakan tubuhku, tapi dia sering melakukannya dengan perempuan sewaan. Apa lagi setelah pesta yang menggilan dan taruhan-taruhan.
"Anda lebih tahu pergaulan malam Angga, Nyonya Nadia," kataku sarkas. "Jika dia butuh perempuan, bukan saya yang akan didatanginya. Anda sering menemani Angga minum, pasti Anda lebih tahu kehidupan malam suami Anda. Bukankah itu yang terjadi sebelum kalian menikah?" Sengaja aku ungkit peristiwa malam itu.
Perkataanku tepat sasaran. Nadia terperangah, demikian juga dengan Nyonya Angela. Dia tidak bisa menyembunyikan rasa marahnya mendengar sindiranku. Aku yakin semua ini adalah permainan. Sayangnya aku tidak mau repot-repot mengusut. Benar seperti kata Priska, masuk ke dalam lingkungan keluarga ini berbahaya.
"Kamu memang licik. Dasar rubah betina!" desis Nyonya Angela. Aku menyembunyikan senyuman sinisku pada perempuan satu itu. Dia jelas lebih licik dariku. Mungkin kali ini dia merasa menemukan lawan yang seimbang.
"Saya sudah pernah memperingatkan kamu. Sekarang saya peringatkan sekali lagi, jangan pernah masuk ke kehidupan Angga lagi. Dia sekarang suami sahnya Nadia!"
Aku mengangguk. Tidak akan kulakukan itu meskipun sangat ingin.
"Kamu tahu bagaimana reputasi saya berantakan gara-gara tingkah kalian kemarin?" tanya Pak Sebastian tajam. Aku memandangnya tanpa rasa takut. Bukan salahku, jadi mengapa harus takut?
"Seharusnya kamu tidak usah datang ke acara mereka. Apa, sih yang mau kamu buktikan? Saya harus mengeluarkan uang banyak, tahu tidak? Supaya video ciuman kalian itu tidaj tersebar ke media sosial! Kalian itu sudah mencoreng arang di muka saya! Gara-gara kamu saya jadi berpikir ulang soal donasi ke panti," ujarnya sembari membuang muka.
Dia tidak bersungguh-sungguh dengan ucapannya, kan? Kalau sampai donasinya dihentikan, bagaimana kelangsungan hidup anak-anak panti? Tiba-tiba aku melihat akibat dari perbuatan kami. Pertahananku runtuh total, rasa ingin melawan dan harga diri yang sejak tadi menguatkanku mendadak lebur. Aku tidak bisa apa-apa jika itu sudah berhubungan dengan panti.
"Maafkan saya, Pak. Saya tidak bermaksud mempermalukan, Bapak. Semua itu terjadi begitu saja. Saya tidak pernah bertemu Angga lagi sejak hari Sabtu kemarin. Saya juga tidak berniat menghubunginya. Saya tahu posisi saya. Jangan biarkan panti menanggung akibat kesalahan saya, Pak. Saya mohon." Tiba-tiba suaraku terdengar begitu menyedihkan. Benar-benar harga diriku berada di ujung sepatu mereka. Aku memohon untuk panti. Demi anak-anak yang berada di dalamnya.
Meski rasa sakit akibat hinaan Nyonya Angela dan pengkhianatan Nadia terus berdenyut-denyut dan minta dibalaskan, tapi aku tidak sanggup berbuat apa-apa kalau sudah menyangkut panti.
"Kamu tahu akibatnya kalau kamu melawan kami, kan?"
Aku mengangguk. Kali ini seratus persen aku harus mengalah. Tidak apa-apa aku dipecat, asal donasi ke panti jangan sampai terputus.
"Kamu tidak akan saya pecat. Seharusnya saya lakukan itu. Tapi saya masih punya rasa kasihan sama kehidupan kamu. Jadi kamu hanya akan saya pindahkan ke kantor cabang yang kecil. Tentu saja, semua fasilitas kantor pusat tidak akan kamu peroleh."
Hinaan lagi. Aku tekan kuat-kuat rasa sakit yang semakin membengkak. Nanti ada saatnya aku akan menghentikan semua ini.
"Papa! Papa janji bakalan mecat dia! Kenapa cuma dipindahkan?" Nadia berdiri dan berteriak kasar pada papanya. Telunjuknya mengarah padaku. Dasar manja.
Pak Sebastian berusaha menenangkan putri semata wayangnya. Dia mendudukkan Nadia dan membisikkan sesuatu di telinganya. Hhh, bisikan yang cukup keras karena aku juga bisa mendengarkan. Mungkin disengaja.
"Kamu tidak ingin membalas sakit hatimu? Biarkan Kienar melihat kemesraanmu sama Angga. Kalau dipecat, kamu nggak akan bisa menunjukkannya."
Picik. Aku nggak percaya hal semacam itu bisa terlintas di kepalanya yang mulai kehilangan rambut. Ayah macam apa dia?
"Kamu ingat kata Papa soal pengkhianatan?" tanyanya lagi. Kali ini tidak berbisik. Kulihat Nadia mengangguk paham. Ada binar di matanya dan senyum kecil dari bibirnya.
"Tidak ada ampun bagi pengkhianat."
Oke, kalau ini sedang membicarakan aku, maka aku harus merasa takut. Ini mengerikan. Jika 'aku' yang dimaksud pengkhianat bagi mereka berdua, maka aku benar-benar harus bersiap untuk membuat perlindungan. Aku tidak tahu apa yang sedang direncanakan oleh Nadia dan papanya. Sepertinya itu menakutkan. Bahkan aku bisa melihat sorot ngeri dari pandangan Nyonya Angela setelah Nadia mengucapkan kata-katanya.
Baiklah, sepertinya permainan baru dimulai. []
===============
©elopurs - 2020