Melody semakin gemetar meskipun Kavi tak lagi bersamanya di dapur. Ia tak bisa membayangkan bagaimana rasanya tinggal di rumah Kavi. Tidak, itu rumah orang tua Kavi. Melody menggeleng pelan.
Setelah merasa jauh lebih tenang, Melody pun kembali ke depan. Ia menghindari tatapan Andi yang buas, ia juga lebih banyak menunduk karena Anggun tampak tak suka dengannya. Sedangkan Kavi, ia tak mau berharap banyak dari pria itu. Kavi memang sudah membencinya sejak dulu. Pernikahan ini hanyalah neraka baru bagi Melody.
"Melo, kamu nggak siap-siap?" tanya paman Melody. "Bentar lagi maghrib. Kamu siapin baju dan buku kamu yang mau dibawa ke rumah mertua kamu."
"Iya, Om." Melody berdiri. Ia dengan gugup berjalan menuju kamarnya. Ia bisa mendengar pamannya bicara pelan pada Kavi untuk membantunya. Ia memejamkan mata selama sedetik. Ia tak ingin Kavi masuk ke kamarnya.
Namun, ketika Melody membuka pintu kamar, ia langsung mendengar suara langkah menyusulnya. Ia menoleh dan bertemu tatap dengan Kavi.
"Buruan! Mana yang mau dibawa?" tanya Kavi dengan nada ketus.
Melody kembali melangkah memasuki kamarnya. Ia menyambar kebaya yang tadi ia kenakan lalu ia lipat asal di atas kasur. Ia sangat malu berada di dalam kamar berdua saja dengan Kavi.
"Aku bisa berbenah sendiri," kata Melody.
"Ya, udah. Terserah!" Kavi menghempaskan tubuhnya di atas kasur Melody yang kecil. Ia mengabaikan Melody yang menatapnya dengan ekspresi terkejut. Ia tak ingin mempedulikan Melody dan memilih untuk memainkan ponselnya.
Melody hanya membuang napas panjang. Ia langsung membuka lemari untuk mengambil beberapa pakaian miliknya. Tak perlu membawa banyak, ia mungkin bisa sering mampir ke sini, tetapi rumah Kavi sangat jauh. Jadi, Melody memutuskan untuk membawa lebih banyak pakaian.
Kavi mengangkat dagunya kali ini. Ia mendecih pelan menatap baju-baju jelek Melody. Ia tak percaya bisa memiliki istri seperti Melody. Baru dua jam saja, ia sangat tidak tahan melihat Melody.
"Kamu nggak lupa kalau kamu harus merahasiakan pernikahan kita?" tanya Kavi.
"Ehm, Kakak tenang aja. Aku juga nggak mau ada orang yang tahu," jawab Melody.
"Aku punya pacar. Jadi, kamu nggak usah sok kecentilan sama aku. Aku nggak akan nganggep kamu sebagai istri aku dan aku nggak akan tergoda sama kamu," ujar Kavi tanpa mengalihkan tatapannya dari ponsel.
Melody memasukkan pakaiannya lebih cepat ke dalam tas. Ia juga tak menyukai pernikahan ini, tetapi ia agak marah karena ucapan Kavi yang terus menganggapnya sebagai gadis penggoda. Kavi memiliki pacar? Ia tak peduli!
Melody kini berkutat pada buku-buku kuliahnya. Ia belum lama masuk kuliah, masih akhir semester dua sementara Kavi tampaknya sudah semester enam. Melody tidak tahu pasti.
Karena Melody memunggunginya, Kavi kini mengangkat dagu. Ia mengintip apa yang dilakukan oleh Melody. Gadis itu sedang memasukkan buku-buku ke dalam kardus dan ransel. Ia juga melihat satu tas besar yang pastinya berisi pakaian. Ketika Melody bergerak, ia kembali menatap ke layar ponselnya.
"Udah adzan, Kak. Kakak mau sholat jamaah?" tanya Melody.
"Kamu aja yang sholat. Aku lagi M," jawab Kavi datar.
Melody mendesahkan napas panjang. Ditatapnya Kavi yang semakin asyik bermain dengan game di ponselnya. Ia mengusap tengkuknya dengan canggung lalu segera berjalan menuju kamar mandi. Melody menggeleng, entah pernikahan seperti apa yang ia jalani saat ini.
Sementara itu, Kavi melirik Melody yang muncul dari kamar mandi dengan wajah dan rambut setengah basah. Darahnya berdesir dan ia memutuskan untuk kembali menekuni ponselnya. Namun, Kavi tidak berkonsentrasi.
"Sudah berapa lama aku nggak sembahyang?" Kavi berpikir dalam hatinya. Karena kedua orang tuanya juga tidak pernah sholat lagi, ia pun demikian. Mereka lebih banyak bertengkar di rumah dan ia lebih senang keluyuran di luar. Jadi, melihat Melody sedang menunaikan ibadah sholat membuatnya merasa agak aneh. Secuil dari hatinya merasa agak malu, tetapi kemudian ia memutuskan untuk tak menggubris Melody lagi.
"Ini udah semua?" tanya Kavi.
"Udah. Aku bisa bawa sendiri." Melody mencoba mengangkat kardus berisi buku-bukunya, tetapi itu terlalu berat.
Kavi berdecak jengkel. Ia menyampirkan tali ransel Melody ke bahunya, lalu mengambil kardus dari tangan Melody. "Bawa tas baju kamu! Awas kalau kamu cuma bisa merepotkan nanti pas tinggal di rumah mama."
Melody menunduk ketika Kavi memberi tatapan menusuk. Ia berdebar terlalu keras untuk membalas ucapan Kavi. Lagipula, itu tidak penting. Kavi dengan cepat meninggalkan kamar Melody.
Melody tak pantas keluar. Ia mengatakan pigura foto di atas meja belajar. Itu adalah fotonya dengan Anis dan Rianto—orang tuanya. "Mama, Papa, aku harus pergi dari rumah ini. Aku ... sebenarnya aku nggak mau pergi. Aku takut."
***
Melody menoleh ke rumah orang tuanya ketika mobil Andi meluncur cepat meninggalkan gang tersebut. Melody hendak menangis, tetapi ia tak ingin dikatai cengeng oleh Kavi. Ia lebih banyak menunduk selama berasa di mobil. Ia bisa merasakan lirikan Andi dari kaca spion tengah mobil. Itu mengerikan bagi Melody.
Sementara itu di sebelahnya, Kavi hanya memainkan ponsel sejak tadi. Bahkan, ia juga memakai headset. Sungguh, Melody tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi dengan pernikahannya. Ini memang bukan pernikahan yang sempurna, ia tahu.
Setibanya di rumah besar itu, Kavi langsung keluar dari mobil tanpa menoleh lagi pada Melody. Melody hanya bisa membuang napas panjang. Ia melangkah ke belakang mobil untuk mengambil tas dan kardusnya.
"Bawa barang-barang kamu ke atas!" teriak Anggun.
"Ya, Tante," ujar Melody takut-takut.
Anggun mendengkus. Sejak tadi ia merasa was-was karena tahu suaminya terus melirik Melody. Melody tidak terlalu cantik baginya, tetapi Melody sangat muda, bahkan lebih muda dibanding Kavi. Ia harus berhati-hati dengan keberadaan Melody.
Melody mencangklong ranselnya. Ia lalu mengangkat kardus berisi buku yang lumayan berat dengan tangan kanan menjinjing tas besar berisi pakaian. Oh, Melody ingin menyerah karena beban beratnya, tetapi ia terus berjalan karena merasakan tatapan lapar Andi.
Bagitu masuk di rumah, Melody tak lagi melihat sosok Kavi. Yah, Kavi telah menjadi Kavi yang sesungguhnya. Kavi bahkan tak peduli ia harus mengangkat barang yang cukup banyak untuk ia bawa sendiri. Ia yakin, tadi di rumahnya, Kavi mau membantu hanya karena ada paman dan bibinya.
Karena lelah, Melody pun meletakkan kardus buku-buku dan tasnya di dekat pintu. Ia menatap was-was Andi lalu mengepalkan tangannya.
"Kamu butuh bantuan?" tanya pria itu.
"Nggak, Om. Sa-saya harus tidur di mana?" Melody mengedarkan matanya.
"Mbok Leni! Mbook!" terdengar teriakan Anggun, dan tak lama muncul seorang wanita setengah baya di ruang tamu. "Bawa barang-barang Melody ke atas!"
"Oh, njih. Ini istri Den Kavi?" tanya Leni pada Melody yang hanya bisa mengangguk pelan. "Ayo, Non, saya antar ke kamar."
Melody bersyukur Leni tak bertanya banyak. Ia tak tahu apakah Leni tahu ia menikah dengan Kavi karena sebuah insiden memalukan atau tidak? Namun, tetap saja ia merasa agak malu.
"Den! Aden!" teriak Leni ketika ia mengetuk pintu. "Aduh, ini Aden gimana sih! Masa istrinya ditinggal di luar gitu aja."
Melody menunduk semakin dalam. Ia tahu Kavi membencinya. "Saya bisa membawa semua ini ke dalam sendiri, Bi."
"Iya, Non. Nah, ini udah dibuka." Leni berdecak ketika Kavi membuka pintu dan keluar dengan setelan kaos serta celana pendek. "Aden ini kenapa istrinya nggak dibantu? Kasian ini baru datang."
Kavi hanya meringis. Ia lalu mengibaskan tangannya pada Leni. "Biar aku yang ngurus istri aku sekarang. Bibi pergi aja."
Leni tersenyum tipis. "Semoga betah, Non. Den Kavi emang suka cuek, tapi sebenarnya Aden ini baik."
Melody mengangguk saja walaupun ia tak tahu sisi baik apa yang dimiliki oleh Kavi. Ia menatap wanita setengah baya itu menuruni anak tangga, lalu ia menoleh pada Kavi yang baru saja melipat kedua tangannya di depan d**a.
"Angkat sendiri barang-barang kamu! Kamu punya tangan, 'kan?" Kavi melebarkan daun pintu dan dengan tak acuh ia langsung membanting dirinya di ranjang.
Melody menelan keras. Oke, ia bisa melewati semua ini, pikirnya. Satu per satu, Melody memasukkan barangnya. "Aku boleh pakai mejanya?"
"Pakai aja." Kavi sengaja mengosongkan mejanya sejak kemarin. Ia yakin Melody akan membutuhkan meja belajar. "Kamu boleh pakai lemari kecil itu."
Melody melirik sekilas Kavi yang terlihat asyik dengan ponselnya. Kavi bahkan tak sudi menatapnya. Oke, Melody lebih senang seperti ini. Ia tak butuh perhatian Kavi.
Usai merapikan semua barangnya, Melody tak lagi melihat Kavi di atas tempat tidur. Ia yakin Kavi turun untuk makan malam, tetapi ia tidak diajak dan ia juga tak berani turun. Lagipula, ia tak berselera makan. Melody justru lelah, ia sangat ingin tidur, tetapi ia juga tak yakin bisa tidur di ranjang Kavi.
Jadi, Melody memutuskan untuk sholat isya lalu duduk menunggu Kavi di tepi ranjang. Namun, kantuk dan rasa lelah mendera Melody. Ia pun berniat untuk memejamkan mata barang sejenak. Tempat tidur Kavi sangat nyaman hingga ia terlena dalam mimpi yang cepat.
"Ngapain kamu tidur di sini?"
Melody membuka kayanya ketika ia mendengar teriakan Kavi. Buru-buru, ia mendudukkan dirinya. "Aku cuma ... aku ketiduran, Kak."
"Tempat kamu bukan di situ!" hardik Kavi seraya menarik baju Melody. "Walaupun kamu adalah istri aku, tapi aku tidak menginginkan kamu. Inget itu! Kamu tidur di lantai!"
Melody menelan keras ketika Kavi melemparkan bantal dan sebuah guling ke lantai. Ia menatap Kavi yang kini berbaring manis di atas ranjang tanpa mempedulikan dirinya.
"Udah aku bilang, jangan bertingkah di rumah ini. Cepet matiin lampu dan tidur!"
Melody membuang napas panjang. Ia berjalan menuju pintu lalu menekan saklar. Ia menatap Kavi dalam kegelapan dan ia tahu, pernikahan ini adalah neraka baginya.