Motor Kavi terus melaju meninggalkan Melody yang berdiri dengan kebingungan di tepi jalan. Kavi tahu Melody terburu-buru, Kavi juga tahu gadis itu tampak tak tahu arah karena baru pertama kali tinggal di rumah orang tuanya. Namun, ia memilih untuk tak peduli. Kedua matanya semula terus menatap Melody dari spion motornya hingga tak lama ia membelok di tikungan dan mempercepat laju motornya.
Kavi tak ingin memikirkan Melody. Melody bukan anak kecil dan Melody bukan urusannya. Ia punya hal yang lebih penting untuk dilakukan. Ia harus berbaikan dengan Tasya hari ini. Ia bisa gila jika Tasya tidak memaafkannya. Dan semua akan menjadi lebih buruk jika Tasya sampai tahu ia telah menikah dengan Melody.
Begitu tiba di kampus, Kavi langsung mengedarkan matanya. Ia tersenyum, melambaikan tangan dan membalas sapaan siapa saja yang tak sengaja berpapasan dengannya. Yah, Kavi adalah mahasiswa yang populer di kampus. Kehadirannya sudah menjadi pusat perhatian di sana karena parasnya yang tampan. Tak hanya itu, ia juga adalah vokalis band yang sering tampil dalam acara-acara kampus.
"Sya! Sya! Tunggu!" Kavi berseru ketika akhirnya ia menemukan sosok yang telah ia cari-cari.
Tasya dengan ekspresi jengkel berdiri dari duduknya. Ia berjalan meninggalkan temannya di kursi taman karena ia masih ngambek dengan Kavi. Ia menjauh dari Kavi—sengaja agar ia dikejar—lalu mendengkus ketika Kavi menyamai langkahnya.
"Sya, tunggu dong. Aku mau bicara sama kamu," kata Kavi.
"Mau bicara apa lagi?" Tasya mengulurkan telapak tangannya yang terbuka di depan Kavi. "Mana hadiah buat aku?"
"Iya ... nanti aku beliin. Aku masih nabung," jawab Kavi.
Tasya mencebik. "Kamu 'kan tajir. Kamu bisa minta uang sama papa kamu."
"Kamu tahu aku nggak dekat sama papa aku. Dan aku ... aku udah kerja, jadi kamu tenang aja. Aku pasti beliin kamu ponsel yang kamu mau. Oke? Sekarang, plis, jangan marah lagi. Aku kangen sama kamu. Aku capek kamu cuekin," kata Kavi seraya merangkul bahu Tasya.
Gadis itu menghindar. "Nggak usah sok deket kalau kamu nggak bisa beliin apa yang aku mau."
Kavi mengusap wajahnya dengan kesal. "Sya, kamu tahu nggak, kamu tuh berubah banyak. Aku udah berusaha. Setidaknya, tolong kamu lihat itu."
"Aku nggak lihat usaha kamu. Tiap malam kamu nongkrong di kafe, nyanyi-nyanyi, tapi nyatanya kamu nggak bisa beliin apa yang aku mau. Udah deh, Kav. Aku capek!" Tasya mendorong d**a Kavi dengan keras lalu segera melanjutkan cepat meninggalkan Kavi yang bernapas naik-turun. Tasya tersenyum miring, sedikit dorongan akan membuat Kavi mau memberikan apa yang ia inginkan.
"Sial! Kenapa lama-lama Tasya makin matre," desis Kavi. Dengan gusar, ia mengecek saldo rekeningnya. "Sial!"
Kavi tahu, ini semua salah. Ia tak seharusnya menghambur-hamburkan tabungannya demi Tasya. Namun, ia sangat mencintai Tasya. Bagi Kavi, Tasya adalah segalanya. Tasya akan bersikap baik dan manis, Tasya juga akan memanjakannya jika ia bisa membelikan barang-barang mahal. Ia membutuhkan itu, ia membutuhkan perhatian Tasya.
"Kenapa kamu galau gini?" Anjar merangkul tiba-tiba bahu Kavi.
Kavi membuang napas panjang. "Tasya masih marah sama aku."
Anjar melepaskan bahu Kavi. Ia mengintip Kavi yang sedang menatap ponselnya, melihat acara live jualan ponsel baru di sebuah aplikasi. "Dia minta kamu beliin ponsel baru? Bukannya tiga bulan lalu kamu udah beliin dia tablet mahal? Terus ... laptop baru juga?"
"Ehm ... laptop buat dia ngerjain tugas. Tabletnya diminta sama adeknya. Mau gimana lagi," ujar Kavi tanpa menatap wajah Anjar.
"Gila! Kamu tahu nggak, adeknya Tasya itu masih 8 tahun! 8 tahun, Man! Nggak mungkin mainan tablet," kata Anjar dengan nada tak percaya.
Kavi keluar dari aplikasi lalu mengantongi ponselnya. "Maksud kamu apa? Tasya cuma main-main sama aku?"
"Udah jelas, Kav! Dia baik kalau kamu beliin dia barang-barang mahal aja. Daripada kamu makin kurus gini, lebih baik kamu urus diri kamu sendiri deh," kata Anjar seraya menepuk bahu sahabatnya.
Kavi menyipitkan matanya. "Makin kurus?"
"Kamu nggak nyadar? Kamu mungkin happy, enjoy jalan sama Tasya, tapi aku tahu kamu mikir banyak. Dia udah ngabisin uang kamu banyak banget," kata Anjar dengan nada berapi-api. Ia lalu menepuk bahu Kavi lagi. "Ayo dong, Man. Masih ada cewek lain yang jauh lebih baik daripada Tasya."
"Tapi dia yang terbaik. Dia pendengar yang baik setiap kali aku punya masalah di rumah, dia sayang banget sama aku, Njar. Aku nggak bisa kehilangan Tasya begitu aja," timpal Kavi. Ia menepis tangan Anjar lalu berjalan memasuki gedung kampusnya.
Kavi tidak salah. Tasya memang ada di saat-saat yang terburuk dalam hidupnya. Ketika orang tuanya bertengkar, ketika ia merasa malu dengan perselingkuhan ayahnya dan ketika ibunya hampir bunuh diri karena ulah ayahnya. Tasya mendengar semua keluh kesahnya. Dan Tasya selalu menghibur Kavi dengan cara terbaik. Bercinta!
Kavi tak ingin kehilangan hal itu. Ia tahu Tasya berubah belakangan ini, tetapi ia maklum karena Tasya juga memiliki masalah dengan orang tuanya. Ibunya menikah lagi dan Tasya memiliki saudari tiri yang suka memamerkan barang-barang mewah. Ia yakin jika ia bekerja sedikit lebih keras, ia akan tetap bisa mempertahankan Tasya di sisinya.
Kavi tak ingin kehilangan Tasya. Ia mencintai Tasya.
***
Sementara itu di tempat lain, Melody baru saja turun dari ojek motornya. Ia berlari masuk ke gedung kampus dengan napas hampir putus. Sungguh sial, ia kelaparan dan ia harus berlarian. Beruntung, ia hanya terlambat 10 menit dan ia dipersilakan masuk oleh dosennya.
Melody mencoba untuk berkonsentrasi selama pelajaran. Ia harus tetap belajar dan melupakan masalah hidupnya yang tak kunjung selesai. Bahkan, Melody tak melihat adanya penyelesaian dalam hal itu.
"Tumben kamu telat," protes Sania begitu mereka keluar dari kelas.
"Iya, San. Aku kesiangan." Melody beralasan. "Masih ada waktu sampai kelas selanjutnya, 'kan? Aku mau jajan di kantin."
"Kamu sendiri nggak apa-apa? Aku mau ke perpus dulu soalnya. Aku belum laper," kata Sania.
Melody mengangguk. "Tenang aja, banyak yang jajan kok! Aku cabut!"
Melody turun dengan lift menuju lantai terbawah untuk mencari makanan di kantin. Begitu keluar dari lift, ia berpapasan dengan beberapa mahasiswi yang hendak masuk. Ia mencoba untuk menepi, tetapi ia merasakan bahunya terdorong oleh seseorang dengan keras. Ia pun hampir jatuh sementara totebagnya terlempar ke lantai. Entah sengaja atau tidak, tetapi hal seperti itu sudah sering terjadi dalam hidup Melody.
"Hati-hati kalau jalan, dong!" seorang cewek berseru pada Melody.
"Iya, Kak. Maaf," tukas Melody. Ia meyakinkan dirinya bahwa ia tidak salah. Namun, ia mengalah untuk mengucapkan kata maaf. Melody memungut tas serta pulpennya yang berserak di lantai. Ia mendongak ketika sebuah kaki menginjak pulpennya—dengan sengaja.
"Minta maaf tuh yang ikhlas!" hardik Tasya.
Melody mengangguk. "Ya. Aku minta maaf, Kak. Aku nggak hati-hati. Maaf."
Melody mengerjap, ia tak hanya menjadi bahan rundungan Kavi, tetapi juga dari pacarnya yang entah bagaimana ikut-ikutan membuatnya dalam masalah setiap kali ada kesempatan. Dan Melody kini makin gemetar, andai saja Tasya tahu ia menikah dengan Kavi. Kiamat pasti akan datang padanya!
"Dasar cewek udik!" Tasya meninggalkan Melody lalu masuk ke ruang lift bersama teman-temannya.
Melody mendengkus pelan. Ia menyambar pulpennya yang tadi diinjak oleh Tasya. Ia menoleh sekilas ketika mendengar suara cekikikan Tasya dan teman-temannya. Sungguh menyebalkan! Andai Melody punya keberanian untuk mengumpat di depan mereka. Ia pasti sudah menyerukan semua itu.
Melody mempercepat langkah menuju kantin. Ia tak ingin mempedulikan aksi Tasya tadi. Lebih baik ia mengisi perutnya yang kosong. Begitu tiba di kantin, Melody membuka dompetnya. Masih ada cukup uang untuk ia jajan beberapa hari ke depan. Selama ini ia bekerja sambilan, ia mendapatkan beasiswa untuk kuliah jadi ia hanya tinggal mencari uang saku.
Segera, Melody membeli siomay dan es teh lalu membawanya ke salah satu kursi. Rasa lega menyambangi Melody ketika ia mulai makan. Makan di saat lapar memang hal paling memuaskan.
"Melo!" panggil Bima.
Melody menoleh pada Bima lalu tersenyum. Ia senang Bima datang karena ia tak ingin terlihat aneh jika makan sendirian di kantin. Bima langsung duduk di sebelah Melody, ia mengeluarkan jajanan dari kantong keresek dan membuka minuman kopi botolan.
"Kamu nggak sarapan tadi?" tanya Bima.
"Nggak sempat. Tadi aku kesiangan." Melody mengeluarkan kebohongan lagi.
"Oh, pantes udah makan jam segini." Bima memiringkan wajahnya untuk melihat wajah Melody lebih dekat. Ia tersenyum melihat sambal kacang di ujung bibir Melody. Itu terlihat menggemaskan sekaligus lucu.
"Kenapa kamu tertawa?" tanya Melody.
"Nggak kok, cuma ... itu, bibir kamu," kata Bima dengan canggung. Ia hendak mengulurkan tangannya ke pipi Melody. Ia agak ragu, tetapi kemudian kedua matanya menyipit. Segera, ia mengusap-usap pipi kiri Melody. "Pipi kamu kenapa?"
"Hah?" Melody terkesiap. Ia ditampar oleh Anggun tadi pagi. Ia memastikan wajahnya tak memerah atau memar tadi. Apakah sekarang kelihatan? Melody mulai panik.
"Ada yang pukul kamu, Melo?" tanya Bima dengan suara berbisik. "Apa ini bibi kamu?"
"Nggak. Nggak kok, Bim." Melody menarik tisu dari tasnya. Ia lalu mengusap bibirnya, juga pipinya. "Aku nggak apa-apa." Melody menepis tangan Bima ketika dari pintu kantin ia melihat sosok yang mengerikan.
Kavi memberinya tatapan menusuk. Melody tak tahu bahwa sejak tadi Kavi berdiri di sana. Dan dalam hati Kavi, ia mulai penasaran akan hubungan Melody dengan Bima. Kavi tahu mereka dekat, tetapi baru kali ini ia melihat Bima membelai pipi Melody—istrinya.
Kavi mencoba untuk tak peduli. Namun, sebagian dari hatinya merasa tidak suka. Apalagi ketika ia melihat ekspresi bersalah di wajah Melody. Sungguh menyebalkan!