Bab 9. Insiden di Kamar Mandi

1536 Words
Ketika Kavi tiba depan gerbang rumah, ia mematikan mesin motornya. Ia menuntun motor itu ke garasi lalu menyimpannya dengan baik. Ia tak ingin mengusik ayahnya yang pasti marah jika ia pulang larut malam terus. Namun, ia tak betah di rumah itu. Ia tak ingin kena omel selagi ia butuh sesuatu dari ayahnya. Ia harus minta uang untuk membelikan Tasya ponsel baru. Kavi menyimpan kedua tangannya di dalam saku celana jins sembari berjalan memasuki rumah. Tentu saja, ia berhati-hati ketika membuka serta mengunci pintu rumah. Kavi menaiki anak tangga dengan langkah super pelan, tetapi ia tidak beruntung malam itu. Andi berdiri menjulang di puncak anak tangga ketika ia hampir sampai lantai dua. "Kenapa kamu baru pulang?" tanya Andi. "Bukan urusan Papa!" jawab Kavi ketus. Ia berjalan lebih cepat, berusaha melewati tubuh ayahnya. "Kamu masih main band nggak jelas itu?" ledek Andi pada Kavi yang kini memasang tampang masam padanya. "Kamu mau jadi nanti, Kav? Penyanyi? Kamu lupa kamu udah bolak-balik gagal audisi. Jadi, apa lagi yang kamu harapkan? Seharusnya kamu fokus kuliah dan kamu bisa mempersiapkan diri nanti untuk kerja di perusahaan Papa! Sekarang bukan saatnya kamu bermain-main lagi!" Kavi mengepalkan tangannya. Ia ingin bersikap manis pada ayahnya, tetapi ini keterlaluan. Ia membenci Andi yang mengatur hidupnya dan melarangnya melakukan apa yang ia sukai. "Aku mau ngapain, itu urusan aku. Papa nggak perlu berharap aku mau nerusin perusahaan Papa. Aku udah kecewa sama Papa sejak Papa suka selingkuh. Jadi, Papa nggak perlu bertingkah seperti papa-papa yang lain!" Kavi kini benar-benar melewati tubuh Andi. Ia tak peduli. Andi bisa bersikap seenaknya dan ia pun demikian. Kavi masuk ke kamar dengan penuh amarah. Ada banyak hal yang membuat ia hendak meledak. Pertama, ia sudah berusaha keras untuk berbaikan dengan Tasya, tetapi gadis itu belum mau menerimanya jika ia tak memberikan ponsel baru. Sumpah, Kavi sudah tak tahan lagi. Ia butuh Tasya untuk meluapkan semuanya saat ini. Kedua, ia sangat kesal karena Andi menghadangnya lalu memberikan omelan dan ledekan yang tak ingin ia dengar. Dan yang terakhir, ia marah dengan dirinya sendiri yang tak bisa menurunkan egonya di depan sang ayah. Seharusnya ia bersikap baik, seharusnya ia meminta maaf dan berkata akan belajar lebih baik. Dan kini, harapannya untuk meminta uang akhirnya kandas. Ia semakin marah karena ia tak akan bisa berbaikan dengan Tasya secepatnya. "Sial! Kenapa semua ini terjadi sama aku?" Kavi membuka lemarinya keras. Lampu kamarnya sudah gelap dan ia bahkan melupakan Melody yang telah tidur di sebelah ranjangnya—di lantai yang dingin. Kavi mengambil baju tidurnya lalu menutup keras pintu itu. Aksi Kavi sontak membuat Melody membuka mata lantaran kaget. Kedua mata Melody menatap punggung keras Kavi yang tak lama ditelan oleh pintu kamar mandi. Namun, pintu itu masih terbuka sedikit hingga secercah cahaya masuk ke kamar. "Kak Kavi kenapa marah-marah?" Melody tak ingin memikirkan Kavi. Toh, Kavi juga tak peduli padanya. Melody memiringkan badannya ke arah lain. Kali ini, ia memakai selimut. Ia menemukan selimut di lemari kecilnya. Melody mencoba tidur lagi, tetapi ia tak bisa. Ia menoleh ke pintu kamar mandi ketika mendengar suara Kavi. Ia terduduk, penasaran dengan apa yang terjadi pada Kavi. Suara itu perlahan mengeras dan tampaknya Kavi sedang mengerang di sana. "Apa kak Kavi sakit?" Melody menggigit bibirnya. Ia tak mau tahu, tetapi ia juga agak cemas. Kavi tampaknya tak dekat dengan orang tuanya. Ia khawatir jika Kavi sakit, tetapi tak memberitahu orang tuanya. Jadi, ia pun memutuskan untuk bangun dan mendekati pintu kamar mandi yang tak terkunci itu. Ketika mendengar suara Kavi lagi ia perlahan, Melody mendorong daun pintu. Ia terkesiap ketika melihat Kavi yang tak memakai apa pun di tubuhnya. Keduanya bertatapan selama sedetik sebelum akhirnya Melody menurunkan matanya ke bawah. Ia langsung menutup bibirnya dengan telapak tangan ketika tahu Kavi sedang memanjakan bagian tubuhnya sendiri. Jadi, ini yang membuat Kavi mengerang? "Ngapain kamu ke sini?" Kavi melemparkan botol sabun ke arah Melody dengan cepat. Ia lalu menarik handuk untuk menutupi tubuh bawahnya. "Sial!" Kavi mendesis marah karena tak menyangka Melody akan melihatnya seperti ini. Semuanya sungguh kacau malam ini. Kavi mendekati pintu kamar mandi, menutup lalu menguncinya dari dalam. "Bodoh! Kenapa aku lupa ada Melody di kamar?" Kavi memukul daun pintu dengan penuh amarah. Ia sungguh membutuhkan pelepasan, tetapi kini ia tak berhasrat lagi. Dan itu gara-gara Melody yang muncul tiba-tiba. Sungguh sebuah gangguan! Kavi pun memutuskan untuk masuk ke bilik mandi dan mulai mendinginkan tubuhnya. Sementara itu, Melody yang masih terkejut dengan apa yang ia lihat hanya bisa duduk di lantai tempatnya tidur. Ia melihatnya, milik Kavi di genggaman tangan si empunya. Ia menunduk, mencoba melupakan apa yang ia lihat tadi. "Kak Kavi pasti marah sama aku," gumam Melody takut. Air matanya mengalir tanpa permisi karena ia terlalu takut. Ia sudah dipukul oleh Anggun, ia juga tak mau dipukul oleh Kavi. Menit demi menit berlalu dengan cepat bagi Melody. Tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka dan Kavi masuk dengan pakaian lengkap di tubuhnya. Melody mencoba memalingkan wajahnya, ia terlalu gemetar untuk menghadapi Kavi. "Kamu nggak lihat apa-apa di dalam sana. Ingat itu!" Kavi berjongkok di depan Melody dan bicara dengan nada mengancam. Melody mengangguk pelan. Ia tak tahu ia menikah dengan pria semacam apa. Namun, ia bisa menebak Kavi telah berkali-kali melakukan hubungan seks dengan Tasya. Yah, ia bahkan dianggap sebagai Tasya ketika insiden nahas itu terjadi. "Aku nggak akan bilang siapa-siapa," kata Melody gamang. "Bagus." Kavi berdiri. Sebenarnya ia agak malu pada Melody karena ketahuan sedang melakukan itu di kamar mandi. Ia benar-benar ceroboh hingga lupa ada makhluk lain di kamar ini. "Seharusnya ... Kakak nggak ngelakuin itu," kata Melody tiba-tiba. Kavi yang hampir duduk di tepi ranjang menoleh pada Melody. "Kenapa?" "Itu dosa." Melody menjawab lirih. Kavi membuang napas panjang. Ia menatap Melody dengan ekspresi tak percaya. "Kamu pikir kamu ini suci? Ah, nggak usah bikin aku tambah marah hari ini! Kalau mau nggak dosa ... apa aku harus nyalurin hasrat aku sama kamu? Sama istri aku?" Melody menunduk lagi. Ia merasa lebih malu lagi sekarang. Bukan itu maksudnya. Ia hanya ingin mengingatkan Kavi untuk menahan dirinya. Ia juga tak mau dijadikan objek untuk menyalurkan nafsu semata. "Kamu harus tahu, aku nggak nafsu sama kamu. Aku bahkan lupa kalau aku udah nikah sama kamu!" Kavi membanting dirinya ke tempat tidur. Ia tak ingin peduli dengan Melody, Tasya, atau ayahnya atau siapa pun. Ia hanya ingin tidur dan berharap besok pagi akan menjadi sedikit lebih baik. *** Melody bangun dengan cepat pagi itu. Ia langsung menoleh pada Kavi yang masih tidur nyenyak dengan telinga disumpal oleh headset. Ia tak ingin mengusik Kavi dan membuatnya lebih marah. Jadi, ia sengaja tak membangunkan suaminya itu. Melody langsung mencari baju ganti lalu bersiap mandi. "Ya, Allah, pipi aku." Melody mengusap pipinya yang kini terlihat agak membiru akibat tamparan Anggun. Ia membasuh wajahnya berharap agar air bisa melunturkan memar itu. Sayangnya tidak. "Harusnya aku belajar dandan biar bekas ini bisa samar." Melody segera mandi lalu menunaikan ibadah sholat subuh. Ia duduk di depan meja rias selama beberapa saat. Ia hanya menyalakan lampu meja karena tak ingin mengganggu Kavi. Ia membuka pouch make up-nya yang hanya ada pelembab, bedak, lip gloss dan maskara. Ia jarang menggunakan semua itu, tetapi pagi ini ia harus menutupi memar di pipinya. Melody juga membawa pouch itu ke tasnya karena ia mungkin akan membutuhkannya di kampus. Dan seperti kemarin, Melody mulai menyiapkan sarapan. Ia mulai was-was, takut jika Andi akan datang meminta kopi lagi dengan cara yang ektrem. "Kenapa kamu dandan?" tanya Anggun yang baru saja tiba di ruang makan. "Ehm ... cuma pakai bedak dikit, Tante," jawab Melody. Ia menyajikan roti bakar di tiga piring. Yah, ia tak mau bergabung dengan mereka karena ia memang tak dianggap di sini. Ia menyisakan sepotong roti untuk ia makan di dapur. "Kamu mau goda suami aku?" tanya Anggun dengan nada mencela. Melody menggeleng cepat. "Nggak, Tante. Itu nggak mungkin." Anggun mendecih dengan nada kesal. Ia lalu duduk di salah satu kursi dan tak lama Andi bergabung di sana. Kedua mata Andi mengikuti arah gerak Melody. Tubuh indah Melody membuatnya langsung mengulum bibir. Ia harus segera mencari kesempatan untuk menikmatinya. Ia tak ingin Melody terlalu lama 'dipakai' oleh Kavi. "Pa, aku butuh uang." Kavi meletakkan tasnya di atas meja dengan suara keras. Ia membuat Andi langsung memberinya atensi. Kavi tahu ayahnya sedang melirik ke dapur di mana ada Melody di sana. Dan hati Kavi sangat marah akan hal itu. Ia tak suka dengan ayahnya yang tak bisa berhenti melirik wanita selain ibunya. Itu membuat Kavi merasa jijik pada Andi—juga pada Melody. "Uang buat apa? Bukannya kamu udah Papa kirimin uang buat bayar kuliah dan uang jajan bulanan kamu juga udah," kata Andi sengit. "Aku mau beli laptop baru," kata Kavi bohong. Ia sudah bertekad untuk bersikap manis pagi ini. Ia harus mendapatkan uang untuk Tasya. "Berhenti dari band itu dan Papa bakal kirim kamu uang." Andi menatap lurus Kavi yang membalas tatapannya tajam. Kavi kemudian meletakkan roti bakarnya yang masih tersisa setengah. "Aku punya kontrak kerja, Pa. Aku harus manggung di kafe minimal sampai akhir bulan ini. Aku nggak bisa!" Andi tersenyum miring. Itu artinya Kavi akan pulang larut lagi nanti malam. Dan jika ia bisa menyingkirkan Anggun selama beberapa jam, ia pasti bisa menikmati Melody. Ia melirik Melody di dapur. Berharap rencananya berhasil malam nanti.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD