+#- 5 taman komplek

1382 Words
Elina. Gue menggeliat tak nyaman saat suara ponsel tak berhenti berdering, tidur nyaman gue harus terganggu karena benda sialan yang lupa gue matikan semalam, dan sekarang, Minggu pagi indah gua yang harusnya bisa tidur dengan nyenyak harus terlewat hanya karena suara bising itu. "Apaan!" Maki gue kesal saat mengangkat panggilan telepon dari seseorang yang sangat gue hapal siapa, dengan nada dering uang memang berbeda dari yang lain tentu saja memudahkan gue membedakan siapa yang menelepon. "Bangun, turun. Kita udah di bawah!" Gue terlonjak duduk, menatap tak percaya pada ponsel yang sudah gue jauhkan dari telinga gue. "Ngapain elah. Masi pagi juga!" "Gowes, libur nih jangan molor aja, melar nanti badan Lo!" Gue berdecak malas, beranjak turun dari tempat tidur dan langsung keluar kamar melangkah ke lantai satu. Di sana Anjar, Adit dan juga Rangga tengah duduk santai di ruang tamu di temani papa yang menanggapi beberapa obrolan dari Rangga. "Nah itu El udah bangun?" Mereka serempak menoleh kearah gue, menatap dengan tatapan aneh sebelum Anjar dan Adit tertawa terbahak, sedangkan Rangga meringis lalu mengalihkan tatapannya. Gue mengerutkan kening tak mengerti maksud mereka, terlebih Anjar dan Adit yang hampir berguling karena tawanya yang keras, lalu papa pun menatap gue sambil geleng kepala pelan. Gue yang merasa di tertawakan pun menunduk untuk melihat penampilan gue sendiri. Dan astaga! Mata gue membola sempurna saat gue melihat bagaimana penampilan gue pagi ini. Gue lupa dengan apa yang gue kenakan malam tadi sebelum gue tidur dan sekarang dengan PeDenya gue keluar kamar dengan pakaian yang hampir menyerupai orang gila. Astaga kenapa bodoh banget sih gue. Baju rombeng yang hampir banyak bolong di bagian punggung kebangsaan gue, celana pants pink kesayangan gue. semua masih melekat di badan gue dan sekarang gue berdiri di depan sahabat laknat yang ngetawain gue karena penampilan konyol gue, sialan! Malu amat gue pagi ini, udah ganggu rencana ngebo gue, sekarang pun ngetawain gue, memang sahabat minta di kutuk mereka ini. Gue beranjak meninggalkan mereka dengan perasaan kesal, menggerutu sepanjang jalan dan masuk kedalam kamar dengan membanting pintu cukup kuat, gue yakin mereka bakal terkejut dengan kemarahan gue, salah sendiri ketawain gue di depan papa. Lihat aja nanti, bakal gue bales mereka. Gue berdiam diri di kamar cukup lama, merutuki kebodohan gue karena secara tidak langsung mempermalukan diri gue sendiri di depan sahabat laknat yang bisa saja penampakan ini bakal menjadi bahan olok-olok mereka nanti, Apalagi karena baju rombeng sialan ini, yang hampir banyak bolongnya ketimbang benernya. Pengen buang tapi sayang, gue masih nyaman pakai kaos ini, kaos buluk yang tak layak pakai tapi memiliki banyak kenangan di dalamnya. Gue menekuk lutut gue menyembunyikan wajah gue di antara lipatan tangan yang gue tumpu di atas lutut. Gue masih malu membayangkan kejadian tadi. Astaga! Dering ponsel membuat gue mendengus, gue mengabaikan panggilan pertama dan kedua, hingga panggilan ketiga dan ke empat membuat gue sedikit goyah, lalu di panggilan ke lima gue dengan berat hati menerima, menggeser tombol hijau dan menempelkan di telinga gue. "Buru elah, di tunggu juga!" Gue mendengus malas, ini si Rangga emang dodol atau d***u sih, udah tau gue malu masih aja di buru-buru. "Gue skip deh, nggak ikut. Malu gue!" "Malu kenapa lagi, timbang gitu doang. Udah buru gue tunggu!" Gue menatap nanar ponsel yang ada di tangan gue, mendengus malah gue membanting ponsel di atas ranjang sebelum beranjak untuk bersiap, rangga dengan segala titah yang tak terbantahkan. Dia itu sahabat gue yang paling laknat di antara dua sahabat gue lainnya, tukang ngatur, tukang perintah, dan tukang lainnya, gue kadang pingin ngutuk itu orang supaya jadi pot tanaman bonsai kelapa gue, biar unik dan nggak ada yang nyamain. Kesel gue dengan semua tingkahnya, gue tahu dia yang paling nggak peduli sama tampilan gue tapi tetep saja gue malu. Setelah memilih pakaian yang gue rasa pas gue beranjak turun, menemui sahabat gue yang masih asik menikmati roti buatan mama. "Udah nih, jadi jalan nggak?" Rangga beranjak, menatap gue dari ujung kepala hingga kaki sekilas mata sebelum mengangguk pelan "Ya jadi lah, keburu siang." "Elah, bentaran dulu Napa, gue masih enak makan roti juga." jawab Adit yang masih sibuk dengan rotinya, begitupun dengan Anjar yang dengan lahan menyantap roti buatan mama, dan Anjar termasuk orak yang paling suka dengan roti mama. Selain memang enak, kata dia roti buaya mama itu spesial. "Keburu siang lah, panas nanti." "Halah timbang panas doang, nggak papa lah." Anjar mengangguk setuju dengan ucapan Adit. "Nggak usah takut item, ada banyak pemutih jaman sekarang, nggak cuma buat baju doang, buat kulit juga banyak!" Lanjutnya lagi mencomot roti di atas meja lalu memakannya dengan terburu-buru. "Bener tuh, kurang putih gampang, di cet aja sama pilox biar makin kinclong." "Tambah pernis biar makin super kualitasnya." Lanjut Anjar lagi dengan tatapan cuek. "Lo kira mabel, pake acara pernis segala Lo bawa. udah buru jalan atau gue tinggal nih!" Ancam Rangga yang membuat mereka langsung beranjak dari tempatnya dengan grutuan kecil. Gue terkekeh melihat tingkah konyol kedua sahabat gue ini, dan hanya Rangga yang mungkin bisa melerai dan memerintah mereka. Tentu saja karena sebuah barayan makanan membuat mereka luluh dengan Rangga. "Iye, elah ambekan amat jadi laki!" "Tau, udah kayak cewek aja ambekan!" Jawab Anjar beranjak keluar rumah mengikuti Adit setelah menyalami papa gue yang sedari tadi hanya diam menggeleng kepala heran dengan tingkah kami, walau papa sering melihat kelakuan konyol sahabat gue tapi tetap saja bagi beliau mereka ini sahabat yang kompak, dan gue akui itu. Rangga berdecak pelan saat melihat kedua sahabatnya sudah pergi begitu saja setelah menyalami papa. Rangga ikut menyalami papa sebelum menyusul yang lainnya keluar. "Pa, El izin keluar bareng mereka ya?" Ucap gue mendekat, meraih tangan papa lalu mencium punggung tangan beliau. "Iya udah sana, jangan siang-siang, terus soal sarapan katanya Rangga yang bakal tanggung kamu, jadi nggak usah mikirin pulang." Gue mendengkus pelan tak urung tersenyum saat mendengar celoteh papa, beliau ini memang selalu membebaskan gue bersama ketiga sahabat gue, selain karena memang sudah tau betapa bobroknya mereka, papa selalu percaya jika mereka bisa di andalkan, begitupun dengan gue yang selalu percaya dengan ketiga sahabat gue ini. "Yaudah, El pamit, pah." Ucap gue beranjak menyusul sahabat gue yang udah mulai ribut berdebat entah masalah apa di depan rumah. "Yuk jalan." Kata gue menuntut sepeda yang memang sudah ada di samping teras rumah, gue yang nggak memiliki garasi biasa menyimpan sepeda di teras atau di dapur rumah. "Kemana?" Gue mengerut kening mendengar jawaban Adi. "Lah katanya gowes, emang mau kemana?" Tanya gue bingung. "Ya kali aja kan Lo mau ajak gue ke KUA, ngesahin buih-buih cinta di dalam hati gitu." "Sa AE bambank, pinter bet lu ya kalo urusan cari celah gini!" Ucap Anjar mewakili kata gue bahkan di imbuhi dengan toyoran pelan di kepala Adit yang membuat bocah sableng itu menjerit. "Sakit, b**o!" Gue meninggalkan mereka, menyusul Rangga yang sudah keluar dari halaman rumah. "Kemana kita?" Kata gue menjalankan sepeda berjejer dengannya. "Taman komplek aja yang Deket." Gue mengangguk lalu menoleh menatap Rangga yang juga tengah menatap kearah gue. "Mampir beli crapes sama Boba ya?" Gue meringis menunjukan deretan gigi putih gue kearah Rangga yang di balas usapan di puncak kepala gue. Ah jadi nyaman kan gue. Dia ini seolah tau kelemahan gue di mana dan selalu tau di saat yang tepat untuk menunjukan sikapnya. "Iya nanti mampir, sekalian deh mau beli apa yang kamu suka juga nggak masalah." Tuh kan, jadi enak. Dia tuh selalu tau kapan bisa nyenengin hati gue, wajar sih untuk orang setajir dia jelas nggak akan miskin hanya jajanin gue crapes doang mah. Bukan maksud matre atau pengen morotin, tapi emang dia ini selalu tau apa yang gue dan sahabat gue mau. Dan kalau dia mampu tanpa di minta dua kali pun dia akan menuruti, kalau sudah melewati batas kemampuan ya jelas dia akan megelak dan memilih berkata tidak. Pedoman banget lah Rangga ini, sayang dia sahabat gue. Kalo aja dia orang lain gue udah jatuh cinta kayaknya sama sahabat gue ini. Udah ganteng, kalem, pinter pengertian lagi, uwu banget emang kok. "Makan, ayam geprek boleh?" Tanya gue setelahnya, gue laper dan gue pengen sarapan ayam yang pedes. Ayam geprek yang terlintas di kepala gue. "Yaudah nanti mampir di tempat langganan aja." "Yey!" Gue berteiak lantang saat mendengar jawaban Rangga. Udahlah nggak ada kata lain selain kagum pokonya mah, dia terbaik di antara yang terbaik. Super!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD