EVA terbangun karena sinar mentari menerobos masuk melalui jendela kaca hingga membuatnya terpaksa harus mengambil bantal dan menutup wajah dengan bantal tersebut. Selama sesaat, rasanya tidak ada yang berbeda dari tidurnya. Ia bangun di jam-jam normal, yaitu setelah matahari naik. Itulah yang selalu ia lakukan setelah berpesta selama semalam suntuk. Sejauh ini, tidak ada yang keberatan dengan rutinitasnya itu. Dan memang, faktanya ia tinggal seorang diri di sebuah apartemen yang cukup nyaman hingga tidak ada yang bisa mengusik tidurnya. Namun, sebuah suara gemericik air memaksanya untuk membuka mata lebih lebar dan menyingkirkan bantal dari kepalanya. Ia terperanjat, selama sesaat merasa kebingungan.
Dengan perasaan campur aduk, ia menelan salivanya kasar. Eva mengamati sekitar dan menemukan fakta baru bahwa saat ini ia tengah berada di sebuah kamar hotel. Jendela kaca di satu sisi tembok yang tirainya sudah dibuka menampilkan pemandangan kota yang cukup sibuk di jam makan siang. Tengah hari, itulah hal kedua yang terbesit di benaknya setelah memindai kamar hotel secara singkat.
Eva kembali ambruk ke atas tempat tidur dan mengingat-ingat apa yang terjadi padanya semalam. Pertama, ia pulang bersama Alex. Kedua, ia tertidur entah sejak kapan, yang itu artinya ia tidur di kamar hotel Alex. Kira-kira itulah yang terlintas di benaknya. Eva meraba d**a, lengan dan pahanya. Seluruh pakaiannya masih utuh seperti sebelum ia tertidur. Itu artinya Alex tidak melakukan hal yang tidak-tidak padanya. Ia menghela napas lega, merasa sangat beruntung karena Alex ternyata bukan orang jahat.
“Kau sudah bangun?” suara bariton yang tidak asing menyadarkan Eva dari lamunanya. “Oh, maaf kalau aku mengagetkanmu.”
Eva berguling di atas tempat tidur dan duduk dengan nyaman seraya memandangi Alex yang hanya mengenakan celana pendek dan kaos. “Apa semalam aku tertidur?”
Alex mengangguk sembari menggosok rambutnya dengan handuk. “Begitulah. Aku tidak tahu di mana kau tinggal, jadi aku memutuskan untuk membawamu kemari. Kuharap kau tidak keberatan.”
Jika Eva manusia normal, ia bisa saja marah dan memaki Alex karena dengan lancangnya membawa dirinya kemari, tetapi saat ini ia tidak mau menghabiskan waktunya hanya untuk marah kepada laki-laki yang sudah menolongnya semalam. “Sama sekali tidak.” katanya dengan senyuman. “Ngomong-ngomong, terima kasih atas tumpangannya.”
“Sama-sama.” Sahut Alex sembari keluar menuju balkon.
Eva tidak mau berdiam diri di atas tempat tidurnya. Hari sudah siang dan ia harus segera kembali ke apartemennya sebelum ayah dan ibunya marah besar. Semalam, ia tidak sengaja meninggalkan tasnya di mobil Bruce. Ponsel dan dompetnya berada di tas tersebut. Jika ia tidak segera pulang dan menghubungi keluarganya, Eva takut ayahnya merenggut kebebasannya dan tidak lagi mengijinkan dirinya untuk bekerja di dunia modeling. “Kurasa kau juga baru saja bangun.”
Alex menoleh sambil tertawa. Rambut pirangnya bergoyang seiring dengan embusan angin. “Memang. Sedikit informasi, kau cukup berat dan aku kesulitan membawamu kemari.”
Eva mengeluh dalam. “Aku benar-benar minta maaf, Alex. Semalam aku kelelahan, kuharap kau tidak kapok membantiku.”
“Sama sekali tidak. Aku juga sangat lelah. Maka dari itu aku bangun cukup siang hari ini. Ngomong-ngomong, apa kau mau pulang sekarang?”
“Ya. Aku harus segera kembali ke apartementku dan menghubungi keluargaku. Mereka pasti sangat mengkhawatirkanku sekarang.” Katanya. Saat ini, bahkan Eva bisa membayangkan bagaimana wajah kedua orangtuanya. Ava pasti sangat memahami dirinya, seperti biasa. Tapi ayah dan ibunya? Jangan tanya apa yang bisa mereka lakukan jika ia tiba-tiba menghilang tanpa kabar.
Alex mengangguk setuju. “Baiklah, aku akan mengantarmu. Tapi sebelum itu, kurasa kita butuh asupan tenaga sebelum memulai aktifitas. Aku sudah memesan makanan untuk kita berdua. Sebaiknya kita makan sebelum kembali ke apartementmu.”
Karena Alex sudah berbaik hati padanya, Eva sama sekali tidak bisa menolak permintaan pria itu. Ia hanya bisa mengangguk setuju. “Baiklah. Kurasa, sembari menunggu makan siang kita, aku akan mandi dan menggosok gigi. Kuharap kau punya sikat gigi baru.”
“Aku sempat meminta sepupuku untuk membeli sepasang baju dan sepatu untukmu. Kau bisa memakainya. Semoga pas di badamu dan semoga kau suka.”
Eva yang semula sudah berjalan menuju kamar mandi kita berbalik untuk menatap Alex. “Apa kau serius?” tanyanya dengan kening mengkerut.
“Kau keberatan?” bukannya menjawab, Alex justru balik bertanya dengan hati-hati.
“Tidak, sama sekali tidak. Tapi aku merasa benar-benar merepotkanmu.”
Alex meringis. “Aku… hanya tidak tega melihatmu memakai pakaian kusut itu.” ucapnya sembari menunjuk baju Eva.
“Sekali lagi, terima kasih, Alex. Aku benar-benar berhutang banyak padamu.”
“Jangan pedulikan aku. Cepatlah mandi agar kita bisa segera kembali ke apartementmu.”
**
Usai makan siang, Alex segera mengantarnya kembali ke apartement. Perjalanan yang mereka lewati cukup mudah dan hanya membutuhkan waktu kurang dari satu jam saja. Sepanjang perjalanan mereka saling bertukar cerita. Tentang pekerjaan Alex yang mengharuskannya pergi ke luar negeri untuk bertemu dengan sepupunya dan kapan kira-kira ia akan kembali ke Negara asalnya. Juga tentang pekerjaan Eva yang akhir-akhir ini menjadi cukup padat. Eva menjelaskan kepada Alex tentang karirnya di dunia modeling dan betapa ia menyukai pekerjaannya saat ini. Singkat cerita, ia juga menceritakan tentang keluarganya yang cukup harmonis dan selalu mendukungnya. Topik pembicaraan yang cukup personal, yang seharusnya mereka hindari karena mereka baru saja mengenal satu sama lain.
Dan di sinilah mereka sekarang. Di depan gedung apartement Eva yang menjulang angkuh. Eva menoleh sekali lagi sebelum keluar dari mobil. “Terima kasih tumpangannya.”
Alex hanya mengangguk sambil tersenyum hanya. “Senang bertemu denganmu. Jangan lupa hubungi aku setelah kau mendapatkan ponselmu kembali.”
“Siap!” katanya seraya membuka pintu mobil dan bergegas keluar.
Setelah berhasil menutup pintu, Eva melambaikan tangan pada Alex. Sesaat kemudian, mobil yang ditumpangi pria itu melaju pergi, meninggalkannya seorang diri di sana. Eva tahu ia tengah tersenyum penuh arti pada pria yang baru saja dikenalnya. Namun tiba-tiba, segerombolan paparazzi datang menghampirinya dengan penuh semangat. Dan… tidak ada alasan untuk mundur. Eva harus menghadapi mereka semua. Pasti ada sesuatu yang membuat para paparazzi itu begitu antusias saat melihat kehadirannya. Ia sangat penasaran akan apa yang sedang mereka buru kali ini.
Eva berbalik saat melihat seorang wartawan mengejarnya, pura-pura tidak menyadari kehadiran wartawan tersebut. Namun, setelah sebuah pertanyaan muncul dari pria yang kini sudah berhasil tiba di sisinya, detik itu juga ia menghentikan langkah. “Ms. Eva, apakah Anda dan Mr. Bruce berniat menikah dalam waktu dekat? Kapan pernikahan kalian akan digelar dan bagaiamana hubungan kalian bisa sampai sejauh ini?”
Membeku. Itulah respon pertama tubuhnya ketika ia mendengar rentetan pertanyaan tersebut. Menikah? Dengan Bruce? Gosip macam apa ini?
Ia kembali mendapatakan kesadarannya saat sepasang lengan kekar merangkulnya dari samping dan membawanya menyingkir dari tempat tersebut. Seorang bodyguard. Pikirnya dalam hati,
Dengan pemikiran yang masih berkelana kesana-kemari, ia menyeret kedua kakinya untuk masuk lebih dalam ke apartemennya. Eva butuh sesuatu untuk menjernihkan pikiran. Segelas jus jeruk atau mungkin sedikit wine. Dan setibanya mereka di depan lift, bodyguard yang entah darimana datangnya itu, melepaskan dirinya dan berkata, “Anda sudah aman sekarang.”
Eva mengangguk penuh penghargaan. “Terima kasih.” Katanya tanpa menanyakan dari mana pria itu berasal.
Suasana apartemen sedikit lengang. Di dalam lift, hanya ada dirinya seorang. Ia kembali memikirkan bagaimana gossip tentang pernikahannya dengan Bruce bisa sampai ke media dengan secepat itu. Tidak, tidak aka nada pernikahan dengan Bruce Smith sampai kapan pun. Eva meyakini semua itu. Mereka sama sekali tidak memiliki hubungan apa pun hingga detik ini dan yah, mustahil kalau mereka akan menikah.
Ting!
Pintu lift terbuka lebar. Eva bergegas keluar dari sana dan berjalan cepat menuju unitnya. Ia harus memikirkan cara agar gossip yang beredar saat ini lenyap begitu saja. Ia tidak mau membuat harapan palsu kepada kedua orangtua Bruce. Mengingat orangtuanya adalah sahabat baik orangtua Bruce, gossip ini bisa sangat berbahaya untuk kelangsungan persahabatan kedua keluarga itu.
Sesampainya di depan unit apartementnya, Eva berniat membuka pintu dengan menggunakan kartu kuncinya. Namun, lagi-lagi ia lupa kalau semua barang-barangnya berada di tas yang ada di mobil Bruce. Seharusnya sebelum kembali ke unitnya, ia meminta kunci cadangan pada… pintu terbuka dari dalam dan Eva seketika tertegun saat mendapati Bruce Spencer Smith berada di dalam istananya.
“Masuk!” titah pria itu tanpa basa-basi.
Eva menggeleng. Ia tidak akan masuk jika ada Bruce di sana. Lihat saja, pria itu berlagak seperti seseorang terpenting dalam hidupnya.
“Masuk atau aku akan menghancurkan tempat ini.” Titah Bruce sekali lagi. Kali ini dengan nada satu oktaf lebih tinggi dan ekspresi sedater tembok.
Mau tidak mau, Eva menuruti permintaan Burce. Jika bukan kemari, memangnya kemana lagi ia harus pulang?
**
Bruce tidak punya pilihan lain selain menunggu Eva di apartementnya. Sekembalinya ia dari club dan berpisah dengan Delta, ia bergegas membawa mobilnya ke apartement Eva dan berharap menemukan gadis itu di sana. Namun sayang, saat ia sampai, Bruce tidak menemukan siapa-siapa di sana. Apartement Eva kosong melompong, tidak berpenghuni.
Hari ini, mungkin bukanlah hari keberuntungannya. Ia bertemu dengan gadis yang selama ini diincarnya sekaligus harus menelan pil pahit kalau gadis itu telah berbohong padanya dan memilih pergi bersama laki-laki lain. Bruce berusaha sekuat tenaga untuk mengabaikan kekecewaannya pada kenyataan yang kini menimpanya. Eva sama sekali tidak bersalah. Dalam hal ini, dirinyalah yang bersalah karena sejak awal tidak pernah menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi sepuluh tahun yang lalu.
Dengan gontai, Bruce memasuki apartement Eva. Ia memutuskan akan menginap di sini pagi ini. Instingnya mengatakan Eva akan kembali kemari karena ponsel dan dompet wanita itu ada di tangannya. Bruce mengeluarkan ponsel Eva dan membuka aplikasi chatting. Ada banyak nomor yang tidak dikenalinya di sana, tetapi satu hal yang jelas ia tahu adalah saat ini Eva belum memiliki pasangan. Terlihat dari tidak adanya panggilan yang berkepanjangan atas menghilangnya Eva yang tiba-tiba.
Bruce meletakkan tas Eva di atas nakas dan membuka baju serta sepatunya. Sebelumnya ia meminta para pengawalnya untuk berjaga di luar apartement Eva agar jika gadis itu tiba-tiba muncul, pengawalnya bisa langsung menghubunginya. Setelah itu, ia berbaring di atas tempat tidur, mencoba memejamkan mata meskipun benaknya melayang kemana-mana. Satu jam kemudian, ia sudah berpindah ke alam mimpi.
Pagi harinya, Bruce terbangun dengan perasaan sangat kacau. Ia tidur kurang dari lima jam. Dan hingga detik ini, ia juga belum mendapatkan kabar dari Eva. Bruce beranjak dari tempat tidur dan bergegas mandi lalu sarapan. Hari ini ia akan menunggu sampai Eva menunjukkan batang hidungnya. Mereka perlu bicara. Atau lebih tepatnya, Bruce harus tahu kemana Eva pergi, di mana gadis itu menginap dan siapa laki-laki yang tidur dengannya sisa malam itu.
Lama ia menunggu, akhirnya ia mendapat panggilan dari salah satu pengawalnya yang mengatakan Eva datang dengan seorang laki-laki yang mereka duga sebagai teman kencan Eva semalam. Bruce meminta agar mereka segera mengantar Eva kembali ke apartementnya setelah mobil pria itu menghilang dari pandangan. Butuh sekitar sepuluh menit hingga Eva sampai ke depan pintu. Dan ketika Bruce menyadari kehadiran wanita itu, ia segera membuka pintu dan meminta Eva untuk masuk.
“Masuk atau aku akan menghancurkan tempat ini.” Kalimat itulah yang akhirnya mampu meluluhkan Eva. Gadis itu melangkah gontai menuju unitnya. Bruce menutup pintu di belakang mereka dan menguncinya. Atmosfer di sekeliling mereka mendadak memanas. Ia melipat tangan di depan d**a, menunggu Eva berbicara.
“Apa yang kaulakukan di sini?” gadis itu berbalik dengan angkuh, ikut menyilangkah kedua tangan di depan d**a. “Kau tidak seharusnya ada di sini. Ini tempatku.”
“Aku hanya ingin tahu kenapa kau berbohong padaku.”
“Karena aku tidak mau berada satu mobil denganmu. Apa kau puas? Kalau hanya itu yang ingin kautanyakan. Tolong keluar dari sini karena aku berniat untuk tidur.”
“Aku tidak berniat pergi sampai kapan pun.” Ucap Bruce tegas.
Eva mengerutkan keningnya. “Kenapa? Aku tidak suka ada yang mengusik kehidupanku.”
“Di mana kau menginap semalam?”
“Bukan urusanmu!” sahut Eva sinis.
“Dan siapa laki-laki yang bersamamu.”
“Sekali lagi, Bruce, kehidupanku bukanlah urusanmu. Dan ngomong-ngomong, terima kasih sudah menyebar berita bohong tentang hubungan kita. Asal kau tahu, aku sama sekali tidak berniat menikah denganmu.” Katanya tanpa ragu.
Bruce menggeram, sama sekali tidak menyangka kalau Eva akan memperlakukannya seperti ini. Ia datang baik-baik untuk memperbaiki hubungan mereka tetapi sepertinya gadis itu sudah tidak memiliki pintu maaf untuknya. Mungkin- “Inikah yang selalu kau lakukan selama sepuluh tahun terakhir?” Bruce melihat Eva berbalik lagi kepadanya dan menatapnya sengit. “Tidur dengan laki-laki yang berbeda setiap malam dan tidak pernah kembali ke apartementmu sendiri?” tuduhnya.
Eva mengambil napas lalu mengembuskannya. “Kalau jawabanku adalah ‘iya’, apa semua itu masalah bagimu? Dengar, Bruce. Aku berhak tidur dengan laki-laki mana pun yang kumau. Termasuk dengan pria yang semalam kutemui. Hidupku bukan urusanmu dan tidak akan pernah menjadi urusanmu sampai kapan pun. Sekarang, tolong keluar dari sini karena aku sudah muak melihatmu.” Ia menunjuk pintu di belakang Bruce, meminta agar dirinya segera melangkah keluar dari pintu iry. “P-E-R-G-I.”
Bruce menggeleng. “Kita harus bicara.”
“Tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi.” Eva maju beberapa langkah dan mendorong Bruce hingga punggungnya menabrak pintu. Ketika Bruce tidak juga bergeming, ia menggunakan kesempatan itu untuk membuka pintu dan kembali berusaha mendorong pria itu. “Jangan pernah muncul di hadapanku lagi!” katanya sambil membanting pintu dengan keras.
Bruce tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan dirinya. Ia terlalu marah saat mendapati dirinya dipermainkan oleh Eva sejak semalam. Dan pagi ini, kehadiran laki-laki yang semalam tidur dengan wanita itu membuatnya semakin frustasi hingga mengucapkan kata-kata yang tidak seharusnya ia ucapkan. Pembicaraan mereka kali sama sekali tidak berakhir baik. Bruce membuat keadaan semakin kacau. Eva tidak akan pernah memaafkannya lagi setelah kejadian ini.
Astaga… bodohnya kau, Bruce! gerutunya pada diri sendiri. Bruce menatap pintu yang tertutup rapat di hadapannya. Pintu itu tidak akan terbuka lagi untuknya.
Namun… tiba-tiba… pintu terbuka. Bruce berpikir Eva berubah pikiran dan memaafkannya, tetapi yang terjadi selanjutnya adalah sebuah kantong plastic yang cukup besar mendarat tepat di kepalanya. Bruce mengaduh dan mengumpat di saat yang bersamaan.
“Bawa barang-barangmu pergi dari sini!” seru Eva sambil membanting pintu lagi.
Yah, barang-barangnya kini berceceran di lantai. Eva mengusirnya dengan cukup jelas dan Bruce mengakui semua itu.
“Bukankah semua ini sempurna untukmu, Bruce?” katanya pada diri sendiri.