Rayden berdecak saat Ruby mereject panggilannya.
“Sialan, apa yang dia lakukan,” geram Rayden. Jika bukan karena ayahnya, ia tak akan menghubungi Ruby. Tiba-tiba ayahnya datang berkunjung dan ia berkata apa adanya saat ayahnya itu menanyakan keberadaan Ruby. Bukannya memarahi Ruby, ayahnya justru memarahinya, menyalahkannya bahwa Ruby sengaja pergi karena sikapnya. Dan ayahnya itu tak mau tahu, ia harus tahu keadaan Ruby bahkan jika perlu membawanya pulang dengan segera.
“Bagaimana, di mana Ruby sekarang?” tanya Dewangga yang duduk di sofa ruang tamu dengan tangan bersedekap.
Rayden membalikkan badan menghadap ayahnya dan menjawab, “Dia mereject panggilanku.”
“Sudah jelas, dia marah padamu.”
“Lalu apa hubungannya denganku? Ayah tahu aku tidak mencintainya. Jika ayah sangat ingin tahu keberadaannya, kenapa tidak menghubunginya sendiri saja?”
“Mau cinta atau tidak, dia tetap istrimu. Apapun yang terjadi padanya adalah tanggung jawabmu.”
“Tapi ayah yang memaksaku menikah dengannya!” ucap Rayden lantang yang mulai habis kesabaran menghadapi sang ayah.
“Lalu kau mau menikahi wanita jalang itu?! Apa kenyataan yang kutunjukkan masih belum cukup? Hanya orang tak waras yang tetap memilih wanita panggilan itu daripada Ruby!” sentak Dewangga yang tak mau kalah. Bukan ia keras kepala, ia hanya ingin yang terbaik untuk sang putra.
Rayden hanya diam dan menundukkan kepala sambil meremas ponsel dalam genggam tangan kanannya. Sementara tangan kirinya terkepal kuat di sisi tubuhnya, giginya terdengar bergemeretak.
Di tempat Ruby sendiri, dirinya berkali-kali menghela napas berat. Ia memikirkan Rayden.
“Apa aku harus mengantarmu kembali?” tanya Azka, melihat Ruby tampak tak tenang.
“Apa? Tidak, bukankah kita hampir sampai?”
“Ya. Tapi, sepertinya kau memikirkan suamimu.”
Ruby hanya diam, ia memang memikirkan Rayden. Ia penasaran kenapa Rayden menghubunginya. Ia berpikir mungkin saja Ryden penasaran, tapi ia berusaha menentang pikiran itu karena tak mau kecewa.
“Ruby, boleh aku tanya padamu?”
Ruby menoleh, mengenyahkan sejenak pikirannya tentang Rayden. “Ya. Apa?”
Azka menghela napas seraya meremas setir dan bertanya, “Bagaimana hubunganmu dengan suamimu? Maaf, bukan bermaksud ikut campur, hanya saja … hubungan kalian kelihatan cukup rumit.”
Ruby kembali menghadap depan dan terdiam sejenak sampai akhirnya suaranya terdengar. “Ya, kau benar, hubungan kami memang sedikit rumit. Kurasa hanya itu yang bisa aku katakan,” ujar Ruby yang memang tak ingin memberitahu Azka mengenai pernikahannya dengan Rayden. Namun, apa yang dilakukannya itu justru membuat Azka semakin penasaran.
“Tapi, kau sangat mencintainya, bukan?”
Ruby tersenyum tipis. “Tentu saja. Aku sangat mencintainya.”
Rasanya Azka menyesal sudah mengatakan kalimat itu. Sepertinya, memang tak ada kesempatan baginya.
Tak lama kemudian, Ruby dan Azka telah sampai di tempat acara yang mana acara reuni kali ini diadakan di sebuah gedung di pusat kota. Seluruh pasang mata pun tertuju pada Ruby dan Azka saat keduanya memasuki ruangan.
“Kau gugup?” tanya Azka dengan berbisik saat Ruby tiba-tiba menghentikan langkahnya.
Ruby mengangguk. “Ya. Sejujurnya, aku sedikit gugup berada di antara banyak orang,” jawabnya.
“Tenang saja, semua akan baik-baik saja,” ujar Azka kemudian mengajak Ruby menyusul beberapa teman lama yang sudah datang lebih dulu, memperkenalkan Ruby sebagai teman wanitanya.
Beberapa waktu setelahnya, saat telah berada di tengah acara, Ruby pergi ke toilet untuk buang air kecil. Seperti yang ia katakan pada Azka, ia sedikit gugup jika berhadapan dengan banyak orang membuatnya ingin buang air kecil.
“Hah … leganya ….” Bahu Ruby tampak turun saat menghela napas kala hajatnya buang air kecil terlaksana. Ia sudah menahannya sejak memasuki ruangan.
Tok! Tok!
Ruby terkejut hingga terjingkat, bahunya terangkat mendengar pintu bilik diketuk dari luar. Ia pun bergegas..
“Apa semua bilik penuh?” gumam Ruby. Ia sedikit kesal karena merasa harus terburu-buru. Setelah selesai merapikan dressnya, ia membuka pintu bilik toilet dan seketika melebarkan mata melihat siapa yang berdiri di hadapan. “ka- kau … apa yang kau lakukan di sini?”
“Ayo pulang.” Hanya dua kata itu yang Rayden katakan kemudian menarik tangan Ruby menyeretnya keluar dari toilet.
Tak lama kemudian, Rayden dan Ruby telah berada dalam mobil setelah Rayden dengan cukup kasar mendorong Ruby memasuki mobilnya.
“Bagaimana bisa kau ada di sini?” Untuk kesekian kalinya Ruby kembali bertanya. Ia tak akan berhenti bertanya sebelum Rayden menjawab.
“Tak penting bagaimana aku bisa menemukanmu,” jawab Rayden bernada dingin kemudian mulai menyalakan start mobil.
Ruby tak mengalihkan pandangan, ia yang duduk di kursi sebelah Rayden, menatap suaminya itu dengan pandangan tak terbaca. Ada rasa senang, berpikir Rayden mungkin mengkhawatirkannya atau cemburu dirinya pergi dengan Azka.
“Ah, aku tahu, kau pasti membuntutiku, kan? Kau pasti cemburu karena aku pergi dengan teman–”
“Aku tak peduli,” sela Rayden seraya memberi tatapan begitu dingin. “aku tak peduli kau pergi dengan siapapun, laki-laki atau perempuan, aku sama sekali tak peduli.”
“Tapi, bagaimana kau–”
“Ini semua karena ayah. Ayah datang ke rumah dan menanyakan keberadaanmu. Jadi jangan terlalu percaya diri berpikir aku cemburu,” potong Rayden kembali, tak memberi kesempatan pada Ruby menyelesaikan ucapannya.
Ruby terdiam, sekali lagi harapannya terpatahkan.
“Aku tak tahu apa yang sudah kau lakukan pada ayahku sampai-sampai dia begitu mendukungmu. Apa yang sudah kau berikan padanya? Kebajikan seperti apa yang sudah kau lakukan sampai-sampai orang tua itu lebih mendukungmu daripada aku, anak kandungnya sendiri.”
Rayden selalu bertanya-tanya, bagaimana bisa ayahnya begitu mendukung Ruby. Ia yakin bukan sekedar karena Ruby lebih baik dari Airin. Ia yakin ada alasan yang lain, sayangnya, ia belum bisa menemukannya.
Pandangan Ruby mengarah lurus pada dua jelaga kelam Rayden yang juga menatapnya. Meski sorot matanya tampak datar, tapi seakan menyembunyikan kemarahan yang sudah berapi-api di baliknya.
Ruby mengalihkan pandangan dengan sedikit menundukkan kepala sampai tiba-tiba kekahannya tercipta membuat Rayden mengerutkan alis. Apa Ruby menganggapnya bercanda? batin Rayden.
Ruby menutup mulutnya dengan tangan, berusaha menghentikan tawa. Dan setelah tawanya mereda, sambil menoleh Rayden ia mengatakan, “Kau benar-benar ingin tahu?” Dengan sengaja Ruby menjeda ucapannya. “yah … baiklah, itu karena … karena aku yang memberitahu ayah siapa sebenarnya wanita yang kau cintai itu.”
Mata Rayden melebar, jantungnya seakan berhenti sesaat tepat saat Ruby mengatakan kalimat terakhirnya.
“Aku memberitahu ayah, bahwa wanita itu bukan wanita baik-baik.” Pada akhirnya Ruby membukanya, meski sebenarnya ada alasan lain. “aku hanya kasihan padamu. Jikapun aku memberitahumu, kau tak akan percaya, kan? Jadi aku memberitahu ayah agar pernikahanmu dan wanita itu gagal.”
Rayden meremas setir kuat-kuat, gemeretak giginya terdengar. “Atas dasar apa kau berani melakukannya, sialan! Aku bahkan tak mengenalmu! Bagaimana kau begitu lancang mencampuri urusanku? Hidupku?!”
Ruby kembali menatap lurus jelaga Rayden yang telah berapi-api seakan ingin melenyapkannya saat itu juga. “Satu-satunya alasan, karena aku mencintaimu. Sudah lama, sudah sangat lama.”
Sementara itu di sisi lain, Azka meninggalkan ruang acara untuk mencari Ruby karena wanita itu tak juga kembali. Namun, tentu saja ia tak dapat menemukannya. Dan saat mencoba menghubunginya, sama sekali tak ada jawaban.
“Ruby, di mana kau?” gumam Azka.