7. Hanya Sandiwara

1049 Words
Rayden hanya diam menatap Dominic yang melempar seringai tipis padanya. Ia lalu melirik Ruby dan berpikir, kenapa Ruby membiarkan pria seperti itu masuk rumah? Tapi, ia sadar, Ruby tidak tahu apapun tentangnya. “Tadi aku lewat jadi memutuskan mampir. Kukira anda sudah di rumah,” ujar Dominic kemudian menyesap teh hangatnya yang Ruby suguhkan. “wah, ini enak sekali. Apakah anda membuatnya sendiri, Nyonya?” tanya Dominic setelah menelan lelehan teh hangatnya. Ruby yang sebelumnya menatap Rayden seperti mengisyaratkan sesuatu, menoleh menatap Dominic yang duduk di sofa. “Terima kasih,” ucap Ruby seraya menyunggingkan senyum tipis. Ia kemudian kembali menghadap Rayden meminta jas yang suaminya itu pakai. Rayden membuka jasnya, memberikannya pada Ruby lalu mengatakan, “Aku ingin ayam bakar untuk makan malam.” Ia sengaja, ingin membuat Ruby sibuk di belakang guna mencegah istrinya bertatap muka dengan Dominic lebih lama. Ia yakin kedatangan Dominic ke rumahnya untuk menarik perhatian istrinya. Ruby mengangguk mengerti kemudian berbalik dan melangkah ke belakang. Melihat Ruby telah pergi, Rayden duduk di sofa, berhadapan dengan Dominic dibatasi meja ruang tamu. “Ternyata istri anda lebih cantik dibanding di gambar waktu itu,” ujar Dominic setelah Rayden duduk. Sama sekali tak ada rasa malu atau sungkan, memuji istri orang lain di depan wajah suaminya sendiri. “Aku sama sekali tak keberatan jika proposal kerjasama dibatalkan, jadi kuharap ini terakhir kali aku berurusan denganmu,” ucap Rayden yang sengaja tak menggunakan bahasa formal. Dominic kembali menyesap teh hangatnya dan mengeembuskan napas panjang lewat mulut setelah lelehan liquid itu mengaliri tenggorokan. “Hah … ini benar-benar enak. Andai saja aku bisa menikmati ini setiap hari … rasanya pasti seperti di surga,” ucap Dominic sambil memejamkan mata seakan begitu menikmati minumannya. Ia lalu kembali menyesap minumannya itu sementara Rayden telah mengepalkan tangannya. Dominic meletakkan cangkir tehnya ke atas lepek di atas meja kemudian menatap lurus jelaga Rayden yang menatapnya dengan tatapan menusuk. Namun, Dominic seakan tak terpengaruh, sama sekali tak merasa takut dengan tatapan itu. “Anda sangat beruntung. Selain cantik dan seksi, istrimu juga pandai membuat minuman. Begini saja. sepertinya aku benar-benar tertarik dengan istrimu. Mumpung aku sudah di sini, kenapa tidak membiarkan aku mencicipinya? Dua milyar, aku bisa memberimu saat ini juga.” Rahang Rayden mengeras, kepalan tangannya di atas paha pun semakin menguat. Bangkit dari duduknya, dicondongkannya tubuhnya ke depan meraih kerah kemeja Dominic dan menariknya. Tubuh Dominic pun terangkat, lututnya membentur cangkirnya di atas meja hingga jatuh ke lantai dan pecah. “Berapapun, aku tak akan pernah setuju. Aku tak peduli siapa dirimu, sebanyak apapun kau membayar, aku tak akan pernah membiarkanmu menyentuhnya.” Rayden melepas cengkramannya dengan kasar membuat Dominic kembali terduduk di tempat. Pria itu sedikit terkejut saat Rayden menunjukkan reaksinya. Dominic merapikan kerah kemejanya juga dasi yang dipakainya seraya bangkit berdiri. “Anda benar-benar orang yang gigih,” ucap Dominic kemudian melangkah pergi, keluar dari rumah Rayden. Rayden menatap pintu utama rumahnya yang tertutup setelah Dominic pergi dengan tatapan tajam di mana tangannya masih terkepal kuat di sisi tubuhnya, seakan-akan masih belum puas memberi Dominic peringatan. Sementara itu di luar, Dominic memasuki mobilnya yang terparkir di seberang jalan depan rumah Rayden. Ia sengaja tak memarkirkan mobilnya di halaman rumah Rayden untuk memberinya kejutan saat Rayden membuka pintu. “Hah … ya ampun, dia mengerikan sekali,” gumam Dominic disertai gelengan kepala ringan dan senyum masam. Ia kemudian mengambil ponsel dari saku celananya dan menghubungi seseorang. “Misi kita berhasil. Apakah tugasku sudah selesai?” tanya Dominic pada seseorang yang ia hubungi. Rupanya, ia hanya melakukan tugas dari seseorang, berpura-pura tertarik pada Ruby guna memancing reaksi Rayden. “Apa yang dia lakukan padamu?” “Dia hampir saja membunuhku. Jika sampai dia benar-benar membunuhku, kau yang harus bertanggung jawab.” “Hahaha ….” Dominic menjauhkan ponselnya yang menempel di telinga mendengar kelakar tawa dari seberang sana. Apa kematiannya sangat lucu? kesalnya. Ia lalu kembali menempelkan ponselnya ke telinga dan mengatakan, “Setelah kupikir, sepertinya aku cukup tertarik. Bagaimana jika kujadikan sandiwara ini nyata?” Tawa lebar yang sebelumnya terdengar seketika menghilang. “Jangan coba-coba.” “Ya, ya, ya … baik lah … aku hanya bercanda.” Kembali ke rumah Rayden, ia menyusul Ruby yang tengah sibuk di dapur mempersiapkan makan malam untuknya sesuai keinginan. “Jangan pernah membawa pria itu lagi ke rumah.” Ruby ketika menoleh, meninggalkan sejenak kegiatannya mencuci daging ayam. “Apa maksudmu? Membawa? Dia tamu. Dia bilang investor di perusahaanmu jadi aku mempersilakannya masuk. Kukira dia tamu yang penting.” Rayden yang sebelumnya berdiri di ambang pintu, mengambil langkah hingga akhirnya berdiri dua langkah di depan Ruby. Ia ingin memarahi Ruby, memberitahunya jika gara-gara wallpaper fotonya pada layar laptopnya hari itu membuat pria itu menginginkannya. Namun, ia mengurungkan niat, berpikir Ruby pasti akan besar kepala jika mengetahui Dominic tertarik padanya. Tiba-tiba Rayden terpikir sesuatu saat melihat apron yang Ruby pakai. Ruby selalu menyambutnya dengan tubuh hanya tertutupi apron, apakah Ruby juga hanya memakai apron saat membuka pintu untuk Dominic? Meski sekarang istrinya itu memakai baju panjang, bisa saja Ruby mengganti apron dengan baju itu setelah Dominic masuk rumah. “Oh, ya, kenapa sepertinya kau tidak menyukainya? Apa sebenarnya dia musuh?” tanya Ruby tiba-tiba. “Bukan urusanmu. Jika kubilang jangan, maka jangan,” jawab Rayden kemudian membalikkan badan dan melangkah meninggalkan dapur. Namun, sebelum mencapai pintu dapur, tiba-tiba langkahnya terhenti. Ia masih penasaran mengenai penampilan Ruby saat membuka pintu untuk Dominic. “Untung saja sebelum membuka pintu aku melihat dari jendela. Jika tidak, mungkin orang tadi sudah melihatku telanjang. Hah … padahal, aku telanjang kan hanya untuk suamiku.” Ucapan Ruby membuat Rayden menoleh dan mendapati istrinya itu telah berdiri membelakanginya, telah melanjutkan kegiatannya membersihkan daging ayam. Apa Ruby tahu isi pikirannya? batinnya. Entah Rayden sadari atau tidak, tapi muncul kelegaan yang tak dapat dijelaskan dengan kata setelah Ruby mengatakan itu. “Tidak ada yang menyuruhmu seperti orang sinting dengan tidak memakai baju,” sahut Rayden kemudian melanjutkan langkahnya meninggalkan dapur. Ruby menoleh dan telah kehilangan jejak suaminya. “Ck, dasar,” gumamnya diikuti gerutuan memaki Ryden. “padahal aku telanjang juga untuknya. Salahnya sendiri yang tak tergoda.” Tiba-tiba Ruby tersentak saat tanpa sengaja sebuah pikiran terbesit dalam kepala. Harga diri Rayden begitu besar, mungkin ia bisa memanfaatkannya. “Ide yang bagus. Kau benar-benar cerdas, Ruby,” gumamnya disertai seringai tipis yang merekah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD