“Nggak mau? Kualat nanti kamu. Sudah banyak contoh yang nggak ikut kata Pak Kiyai, bakal merana hidupnya.”
“Bukan Kiyai yang nentuin sengsara nggaknya hidup kita. Cuma Tuhan,”
Sarah menggelengkan kepalanya. Gema memang keras. Meskipun usia Gema lebih muda dari Sarah, tapi cara bicaranya lebih tegas, hanya saja dia masih menyukai hal-hal yang anak-anak kecil lakukan, seperti bermain dengan boneka-boneka atau bermain game for kids di komputernya. Sarah, cara bicaranya memang berisi hal-hal yang memang sudah usianya, 18 tahun, tapi ya gaya bicaranya terkesan manja. Kadang Gema suka menyelanya. Tapi Sarah tidak pernah tersinggung atau marah. Karena Sarah sangat memahami sikap Gema.
“Jadi kamu nggak mau dijodohin, Gema?” tanya Sarah hati-hati. Dipandangnya punggung Gema yang masih menghadap komputer besarnya.
“Nggak. Bukan sekarang. Masih beberapa tahun lagi baru aku mau. Aku mau kuliah, kerja, bebas, setelah itu kalau aku udah mau menikah, silakan jodohin aku,”
Sarah terkesiap. Tidak menyangka Gema setegas itu menjawab pertanyaannya.
“Gem. Bukannya mama kamu senang kamu dijodohin sama Hanif?” tanya Sarah.
“Mama memang senang, aku nggak. Kalo kamu mau, buat kamu aja,” jawab Gema dengan cueknya.
Sarah mencibir. Dilemparnya boneka Bloosoms ke arah Gema. Gema tergelak dibuatnya.
“Aku sih mau aja. Tapi Hanifnya yang nggak mau, Gem. Gimana coba?” ujar Sarah.
Gema meraih bonekanya dan melempar kembali ke arah Sarah. Ditatapnya Sarah sambil mendorong kursi belajar mendekat ke tempat tidurnya.
“Kamu cari tahu tentang Hanif. Apa yang dia suka. Kamu ikuti aja. Lihat aja aku. Apa yang dia suka dari aku. Aku sih nggak tau,”
Gema mengerdipkan matanya sambil memegang kerudungnya.
Sarah tertawa kecil, sepertinya dia tahu maksud dari Gema.
“Berubah penampilan?” tanyanya.
Gema mengangkat bahunya.
“Kamu mau jadi Ibu Nyai nggak? Pake jilbab dong. Kalo aku nggak tertarik,” decaknya.
Sarah ternganga. Dia seperti tersadar dari mimpi indahnya. Sesaat matanya mengerjap.
“Ibu Nyai? Aduh. Siap nggak ya?” Mata Sarah mengerling ke atas membayangkan dirinya sebagai Ibu Nyai.
***
Sore hari Sarah yang masih berada di rumah pamannya, sedang mencoba-coba berbagai jilbab dan kerudung dari Gema. Dia cantik sekali. Gema begitu semangat memakaikannya.
“Haha, Gema. Aku kok pede banget bakal jadi sama Hanif,” ujar Sarah.
Gema terkikik.
“Hihi, nggak papa. Halu sedikit. Kan emang akunya nggak mau,”
Sarah menatap Gema serius.
“Seandainya kamu dipaksa?” tanya Sarah. Gema tersenyum penuh misteri. Lalu dia mendekatkan wajahnya ke telinga Sarah.
“Aku kabur,” bisiknya.
Mata Sarah melotot.
“Serius?”
Gema mengerdipkan matanya.
“Iiiih, kamu nakal deh,”
Gema tertawa sambil menggigit bibirnya.
“Buat kamu aja Sarah. I mean it. Aku belum minat. Meski Hanif mau menunggu, aku tetap tidak minat. Soalnya dia, hm … bukan tipe pria yang aku idamkan,” aku Gema.
Sarah tertawa kecil.
“Idih sok kamu. Emang laki-laki apa yang kamu suka? Seandainya ada sekarang?”
“Aku suka tipe yang biasa-biasa aja dan nggak wah kayak Hanif,”
“Kayak siapa?”
“Belum ada … makanya aku bilang aku belum minat,”
“Trus yang biasa-biasa kata kamu maksudnya apaan?”
“Yah, biasa aja. Nggak se waaah Hanif yang kaya, pintar, dan sangat alim. Aku mau yang biasa aja,”
Sarah menggeleng mendengar penjelasan Gema.
“Yah, maksudku yang nggak banyak dibicarakan orang-oranglah,” ujar Gema kemudian.
Sarah melirik jam tangannya.
“Eh, aku pulang dulu ya. Pasti Baba dan mamaku khawatir nih,” Sarah juga meraih ponselnya dari tasnya. “Tuh kan setengah jam lalu ada panggilan dari Mama,”
Gema lalu meletakkan semua jilbab dan kerudung yang dicoba Sarah tadi ke dalam tas kain.
“Nih. Buat kamu semua,” ujarnya.
“Ah? Gema? Serius? Kamu?”
“Iya. Aku punya banyak kok.”
Gema lalu memakaikan salah satu kerudung berwarna hijau muda ke kepala Sarah sekaligus memperbaikinya. Sarah tersenyum melihat wajah cantik Gema.
“Nggih, Bu Nyai, hihihi,” canda Gema. Sarah tertawa sambil mencubit pipi Gema gemas.
***
Penampilan Sarah yang memakai jilbab sesampai di rumahnya di Ciputat mengundang reaksi beragam dari para penghuni yayasan pendidikan yang dimiliki keluarganya. Rumah Sarah memang berada di lingkungan yayasan pendidikan tersebut.
Akan tetapi Sarah yang terus menduduk tidak mengacuhkan pandangan beragam dari mereka yang hampir semuanya memandangnya kagum karena aura cantiknya malah semakin terlihat.
Apalagi babanya tampak sangat sumringah melihatnya. Begitu pula istrinya. Tapi sepertinya mereka tidak ingin mempertanyakan penampilan baru putri satu-satunya mereka itu. Khawatir Sarah akan malu atau sungkan, atau malah bahkan tidak mau lagi memakainya.
Hanya satu kata yang keluar dari mulut keduaorangtua Sarah, Cantik.
***
Seorang Pria duapuluh tahunan tampak serius mengetik di hadapan laptop di pekarangan belakang rumah megah. Di samping laptopnya ada makanan kecil dan segelas air minum. Sesekali dia melemparkan pandangannya ke kolam renang yang terhampar cantik di hadapannya. Dia Fathan Ahmad Hanif, anak dari pasangan Subhan Abbas dan Flora Nash. Papanya keturunan Arab, mamanya campuran Amerika Serikat dan Betawi. Hanif, begitu panggilan yang dia sukai ketimbang Fathan atau Ahmad, adalah anak kedua dari dua bersaudara. Kakaknya perempuan bernama Nasrah Tahani Abbas, dua puluh lima tahun, alumni Universitas Sahid, Jakarta Selatan.
Sekolah Hanif sejak kecil kerap berpindah-pindah. Maklum, papanya adalah seorang diplomat. Dia saja lahir di Karthoum, Sudan. Saat itu papanya bertugas sebagai salah satu atase perdagangan perwakilan Indonesia untuk Sudan. Kemudian, sekolah dasar dia habiskan di Abuja, Nigeria, SMP di Cairo, Mesir, SMA di Rabat, Maroko. Namun, dia yang tertarik dengan studi hukum keislaman, kembali ke Indonesia dan mendaftarkan dirinya ke UIN Ciputat. Lalu dia yang ingin meneruskan S2 dan S3, kembali ke tanah kelahirannya di Karthoum, tepatnya di International University of Africa, Sudan. Mamanya Hanif adalah pengusaha pakaian yang terbilang sukses, sudah ada tiga butik ternama di daerah Jakarta Selatan. Cakep, cerdas, dan kaya serta religius, sekilas mengenai Hanif.
Namun, tampaknya wajah pemuda sempurna itu tidak begitu semangat pagi ini. Apalagi saat melihat ponselnya. Murung.
“Udah kakak bilang. Gema itu dingin orangnya.” Tiba-tiba Nasrah muncul dan duduk di samping adiknya. Dia sekilas melihat Hanif yang murung melihat isi pesannya yang tidak dibalas oleh pujaan hati. Selalu centang dua abu-abu.
“Paling diskip doang ama dia,” celetuk Nasrah lagi.
“Dia memang paling muda dan paling cantik. Tapi yah, cuek dan dinginnya itu yang nggak bisa diprediksi. Irit lagi omongannya.”
Hanif sejenak menghentikan memainkan ponselnya dan berusaha kosentrasi ke laptopnya.
“Yah. Seenggaknya balas dikit aja,”
“Itu harapan kamu. Kalo menurut aku, mending sama Sarah. Orangnya baik. Ramah lagi. Usia juga matang. Gema kemudaan.”
Nasrah masih terus memanas-manasi adiknya.
Semalam dia sempat berdebat dengan mamanya mengenai sosok Gema. Bu Flora, mama mereka sangat menyetujui pilihan Hanif. Gema. Karena Gema terlihat sosok yang teguh pendirian dan susah mempengaruhinya. Cocok buat Hanif. Usia terpaut delapan tahun tidak masalah. Karena di mata Flo, Gema cukup dewasa. Terlihat dari sorot matanya. Sebaliknya, Nasrah, memang mengakui bahwa Gema sangatlah cantik. Untuk ukuran gadis seumurannya, tubuh Gema sangat tinggi dan sempurna. Namun, dia yang mengetahui sedikit tentang Gema lewat sepupu-sepupunya termasuk Sarah, menyimpulkan bahwa Gema yang jarang bergaul dengan sepupu-sepupunya, kecuali Sarah, serta tidak banyak memiliki teman ini, dingin dan sangat irit bicara. Seperlunya saja, basa basi pun tidak.
“Kalo mama sih suka dengan Gema. Cocok banget sama Hanif. Anaknya cantik, tinggi, cerdas. Tidak banyak tingkah … kebayang kalo mereka berdua bersanding di pelaminan, serasi banget,” begitu pendapat Bu Flora. Nasrah mencibir mendengarnya.
“La, emang serasi, Ma. Cuma diamnya itu nggak tahan. Hanif kan calon Kiyai dan akan memimpin pondoknya Kiyai Luthfi, masa didampingi sama Gema yang pendiam dan nggak pedulian gitu. Bisa hancur pesantrennya Pak Yai,”
“Hush! Ngawur kamu,” sanggah Bu Flora. Pendapat Nasrah sedikit keterlaluan menurutnya.
“Kalo Sarah itu pas banget, Ma. Usianya udah matang. Kuliah. Jurusan pendidikan. Keluarganya punya yayasan pendidikan asrama. Menjelang jadi Kiyai Pondok Pesantren, Hanif bisa dilibatkan di yayasan milik keluarga Sarah.”
Bu Flora menggeleng sambil menarik-narik ujung jilbabnya.
“Oh, maksudnya Sarah nggak pake jilbab kayak Gema? Itu mah bisa diatur. Tinggal pake, ya beres. Sarah juga nggak kalah cantik,”
Begitulah perdebatan Nasrah dan mamanya semalam setelah acara keluarga selesai.
Bersambung