Tiffany Kerren

1012 Words
Gema sedikit kaget saat ada yang menegurnya dari belakangnya saat dia kesusahan meraih botol coca cola dari kotak mesin minuman. “Kenapa, Gema?” “Eh, Om Igor. Iya ini cokenya nggak mau ke luar,” Igor yang baru selesai main tenis itu lalu membantu mengeluarkan kaleng coke dari kotak mesin dengan memukul-mukulnya dengan tangan kokohnya. “Nih,” “Makasih, Om,” “Udah mau pulang ya?” “Belum. Tuh, Papa masih ngobrol sama Om Radhit,” “Om Radhit? Udah aki-aki. Panggilnya Opa Radhit,” Gema tertawa kecil. Bisa saja Igor. Padahal itu papanya. Lalu dia pergi dari hadapan Igor. Igor sesaat memandang punggung gadis berkerudung itu kagum. Senyum tipis tersungging dari bibirnya. *** “Gor. Kapan Papa lu berangkat ke Kolombo?” tanya Fani sambil menghisap rokok di atas tempat tidur. Sepertinya dia dan Igor habis selesai bercinta. Wajah mereka berdua terlihat sangat kusut dan tubuh yang tak berbaju sama sekali. Igor yang di sampingnya hanya mendengus. Matanya masih sedikit tertutup. Lalu dipeluknya teman tapi mesranya itu dari samping. Dia masih ngantuk sekali. “Udah ah, jangan tanya-tanya papa lagi. Bosen. Ntar mau jalan ke mana? Cari makan. Laper nih,” tangan Igor yang mulai nakal meremas buah dadanya sontak ditepis Fani. “Gue nanya biar tenang. Soalnya pusing gue dengan papa lu yang saban hari nelpon lu mulu. Belum pergi tu aki-aki, berarti belum kerja dia. Kalo dah berangkat ke Kolombo kan udah kerja, pasti dah mingkem nggak nelpon-nelpon lu, gedek juga gue.” Tiffany Kerren. Sahabat Igor sedari Sekolah Dasar. Wanita 38 tahun ini juga janda tanpa anak. Menikah satu kali. Dia diceraikan suaminya karena kedapatan saling kontak dengan Igor selama perkawinan yang berusia cukup lama, sebelas tahun. Fani, begitu nama akrabnya, sempat berpacaran dengan Igor saat SMA, Igor adalah cinta pertamanya, demikian juga dengan Igor, Fani adalah cinta pertamanya. Mereka putus kontak sejak Igor kuliah di Leeds, Inggris. Sementara Fani meneruskan kuliahnya di Jakarta. Bertemu kembali dua tahun lalu secara tidak sengaja di sebuah konferensi bisnis yang diadakan di hotel tempat Fani bekerja. Dan ketika itu mereka sama-sama sudah tidak ada lagi ikatan pernikahan, alias duda dan janda. Kemudian mereka memutuskan untuk kembali merajut tali kasih yang sempat putus, namun tidak dengan pernikahan, karena Igor tidak lagi menginginkannya. Tiffany sebenarnya mau bahkan sempat memaksa, tapi dia tidak lagi memaksa keinginannya itu karena menyadari bahwa Igor betul-betul tidak mau lagi. Akhirnya, mereka hanya sepakat tinggal bersama dalam sebuah apartemen mewah di kawasan elit Sudirman, milik papa Igor. Baru enam bulan mereka tinggal bersama di apartemen tersebut. Sebenarnya mereka sudah saling kontak selama lebih kurang dua tahun. Igor yang masih bekerja di perusahaan papanya di Singapore kerap berkunjung ke Jakarta menemui Fani. Mereka dulunya sering menginap di hotel tempat Fani bekerja. Hingga akhirnya, Igor kebetulan mendapat amanah dari papanya untuk mengurus perusahaannya di daerah BSD, mereka pun dengan senang hati tinggal di sebuah apartemen di Jakarta. Pak Radhit mengenal Tiffany serta statusnya dengan Igor. Sebenarnya Pak Radhit tidak menyukai sosok Fani dan Tiffany sadar akan hal itu. Karena Pak Radhit tidak mau berbagi ‘aset’ dengan sosok Tiffany. Tapi Pak Radhit juga tidak mampu memisahkan mereka. Jadi, Pak Radhit yang pasrah akhirnya membiarkan Igor hidup dengan Tiffany tanpa ikatan. Yah, daripada Igor bermain dengan beberapa perempuan seperti yang sudah-sudah, mending dia biarkan saja hubungan Tiffany dengan Igor. Bagi Pak Radhit ketidakpedulian Igor dengan pernikahan membuat posisinya sedikit beruntung tanpa harus memikirkan aset yang harus dibagi-bagi dengan orang yang tidak dia sukai, khususnya melalui pernikahan. Igor beranjak dari tempat tidurnya dan melangkah menuju kamar mandi. “Mandi bareng yuk?” tawarnya dengan wajah usil. “Lu mandi sendiri ah. capek gue layanin lu,” tolak Fani sambil menendang b****g Igo. Sedikit agak keras hingga hampir saja Igor tertolak jauh. “Capek apa doyan?” goda Igor. Fani meliriknya sekilas sambil terus menghisap rokoknya. “Katanya lu laper, udah cepetan sana. Gue tunggu. Gantian ntar.” Sambil mencibir kecewa, Igor menuju kamar mandi. *** Siang Minggu, Igor dan Fani sedang menghabiskan waktu di sebuah Café. “Papa ke Kolombo masih beberapa bulan lagi. Untuk sementara di sana masih diurus Dora, sepupu gue. Katanya banyak birokasi yang memakan waktu lama. Kalo semua urusan dah kelar, baru tuh aki-aki pergi, lu tau kan bokap gue tuh orangnya maunya terima beres,” ujar Igor sambil menjentikkan rokoknya ke asbak rokok. “Mulai besok gue masuk kantor. Lu mau ikut nggak?” tawar Igor. Fani menatap tajam wajah Igor. Sejenak menghempaskan napasnya. Bibirnya sedikit maju saat terbayang di benaknya akan wajah Papa Igor. “Gimana nanti. Kalo gue nggak sibuk, gue datang. Tapi bokap lu masih ngantor kan?” “Ya, masih lah, namanya baru memulai, dia pasti ngenalin gue ke staff-staffnya dulu. Sama kerjaan pastinya. Yah, mungkin untuk beberapa hari,” jelas Igor. Raut wajah Fani seperti mengingat sesuatu. “Eh, dua malam lalu emangnya bokap lu ajak lu ke mana?” tanya Fani dengan dahi mengernyit. “Ke rumah sahabatnya, Gamal. Salah satu ketua komisaris keuangan di perusahaan. Tangan kanan Papa. Jadi seluruh rahasia perusahaan ada di orang ini. Papa ngenalin, biar gue juga dekat, kata Papa gitu,” jawab Igor sambil meraih gelas kopi dan menyeruputnya. “Oh,” desah Fani. “Ntar dia gue kenalin ke elu besok di kantor,” Fani tergelak. “Buat apa?” tanyanya sinis. “Dia bakal jadi partner terdekat gue. Dan gue bakal menghabiskan waktu kerja gue sama nih orang. Biar lu ngerti.” Fani terdiam. “Orangnya gimana sih?” tanya Fani lagi. “Overall berpengalaman. Jujur. Papa suka. Dia orang Mesir, bininya Arab Jepang. Keluarga Kiyai gitu. Tapi dia nggak begitu ngurusin hidup orang-orang. Enak orangnya. Baik,” jelas Igor sambil mengingat pertemuan pertamanya dengan Gamal di rumah Gamal. “Usianya?” tanya Fani. Igor mengernyitkan dahinya, heran dengan pertanyaan Fani. “Penting? Udah berkeluarga. Anak satu udah gede,” decaknya. Fani tertawa kecil. Dia menggelengkan kepalanya, ada sirat cemburu di wajah Igor. “Kayaknya empat puluh tahun ke ataslah,” jawab Igor akhirnya. Sejenak pikirannya tersita ke Gema, anak Gamal. Lalu ditepisnya bayang-bayang wajah Gema sambil menatap tajam Fani. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD