Waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam. Alih-alih menjemput alam mimpi, Hoon justru masih terjaga dengan sebuah kacamata bertengger di hidung mancungnya. Fokus si Pria Kang tertuju pada berlembar-lembar kertas di atas meja dan tangannya sibuk menuliskan tanda merah yang sesekali dibubuhi catatan pendek di sana. Ya, dia sedang meneliti tugas mahasiswanya agar bisa dikembalikan esok hari untuk bahan kuis.
"Akhirnya selesai juga," Hoon mendesah lega sambil melesakkan punggung ke sandaran kursi. Dia melepaskan kacamata dan memijat pangkal hidung. Tak lama setelah itu, raganya pun bangkit dari kursi demi menjangkau dapur dan mengambil minuman.
Usai melepas dahaga, Hoon pun kembali ke kamar dan membereskan tugas para mahasiswanya. Mengurutkannya dari yang mendapatkan nilai sempurna sampai yang paling rendah. Namun, gerakannya sedikit terdistraksi saat melihat lembaran kertas dengan nilai A. Hoon takjub. Bukan karena nilai yang tertulis di sana, melainkan nama sang empunya. Kim Nara.
"Ternyata dia pintar juga," Hoon menggumam tak menyangka. Sungguh, dia baru sadar kalau ternyata milik Nara-lah yang mendapat nilai sempurna. Sejak tadi dia mengoreksi berdasarkan apa yang tertulis pada lembar tugas, sengaja tidak terlalu memperhatikan nama yang menjadi pemiliknya agar bisa objektif dalam memberi penilaian.
Selama ini Hoon sudah salah menilai Kim Nara. Dia mengira Nara sama saja seperti gadis populer pada umumnya yang hanya mementingkan penampilan, tapi isi otaknya kosong. Apalagi, dia lihat Nara sering tidak serius di kelas. Gadis itu lebih suka menatapnya karena ingin menggoda daripada fokus mendengarkan materi. Rupanya, justru Nara-lah yang paling menguasai materi darinya.
Sadar kalau pikirannya sudah terlalu jauh melanglang buana, Hoon pun buru-buru memasukkan tumpukan kertas yang telah disusun olehnya ke tas kerja. Memastikan sekali lagi kalau tidak ada yang tertinggal. Lantas, setelah semuanya dirasa beres, raganya pun bergerak ke ranjang, bersiap tidur.
Hoon termasuk orang yang mudah tertidur begitu kepalanya menyapa keempukan bantal. Apalagi, jika tubuhnya memang sedang dilanda letih usai beraktivitas seharian. Itu sebabnya belum ada sepuluh menit berbaring, pria itu sudah berlayar ke alam mimpi.
Hoon berada di sebuah ruangan yang interiornya tampak sangat kuno. Bangunan itu mirip seperti salah satu ruangan istana kerajaan Korea era Joseon. Hoon memang tidak besar di Korea, tapi dia tahu sedikit-sedikit mengenai sejarah negara tempat tinggalnya kini. Hoon tahu kalau tempat yang dia pijak ini bagian dari istana.
"Permaisuri! Bangun, Permaisuri!"
Tiba-tiba Hoon mendengar suara seorang laki-laki agak jauh dari tempatnya berada. Suara itu terdengar familiar di telinganya. Penasaran, si Pria Kang pun menghampiri asal suara. Dia sampai di sebuah ruangan yang pintunya terbuka sedikit. Hoon pun mengintip.
Seorang pria sedang menangis keras sambil mendekap tubuh seorang wanita yang berbaring tak sadarkan diri di lantai. Dari pakaiannya, Hoon yakin kalau si pria itu adalah seorang raja dan wanita yang didekapnya adalah sang ratu. Sekilas, Hoon merasa pernah melihat Baginda yang menangis sambil menunduk itu. Dia terus berpikir sampai pada akhirnya sang raja pun mendongak dan membuat Hoon terlonjak kaget.
Wajah Baginda sangat mirip dengan Hoon, tapi matanya semerah darah dan giginya bertaring.
Hoon terkesiap bangun dari tidurnya dengan d**a yang naik-turun. Tidak hanya itu, tubuh Hoon juga basah dengan peluh. Sungguh, dia tidak menyangka akan memimpikan hal semacam ini. Mimpinya barusan memang tidak mengerikan, tapi Hoon begitu terkejut dibuatnya. Mata itu, mata sang raja, mengingatkannya pada kejadian tadi di kelab saat dia melihat mata Nara yang berubah menjadi semerah darah.
Tadinya Hoon mengira kalau dia hanya berhalusinasi atau mata Nara tampak merah karena terkena cahaya lampu dansa. Namun, apa yang baru saja dilihatnya dalam mimpi seolah menandakan sesuatu yang Hoon sendiri tidak tahu apa maksudnya.
Srek!
"Siapa di sana?!" Hoon terlonjak kaget saat mendengar suara di balik pintu balkon kamarnya. Tidak hanya itu, dia juga melihat bayangan seseorang. Curiga, Hoon pun dengan sigap menjangkau pintu balkon dan membuka gorden demi memastikan apakah itu pencuri atau bukan.
Nihil. Tidak ada siapapun di balik pintu balkonnya. Masih merasa janggal, Hoon pun memberanikan diri untuk membuka pintu dan memeriksa balkon. Menoleh ke kanan dan ke kiri untuk mencari petunjuk akan keberadaan seseorang atau apa pun itu. Namun, tidak ada tanda-tanda apa pun.
"Sepertinya aku benar-benar berhalusinasi," desah Hoon sembari masuk kembali ke kamarnya. Mengunci pintu balkon rapat-rapat, kemudian berjalan ke dapur. Hoon membuka lemari pendingin dan mengambil sebuah botol berisikan cairan bening di dalamnya. Air suci.
Hoon selalu percaya bahwa air suci adalah obat yang paling mujarab untuk segalanya. Dulu, saat masih tinggal di panti asuhan, para suster selalu mengingatkan anak-anak untuk meminum air yang sudah diberi doa itu. Bahkan, kebiasaan itu masih dilakukan oleh Hoon sampai saat ini. Apalagi, setelah adanya kejadian buruk yang menimpa Jasmine, kekasihnya.
"Sial! Kenapa aku malah memikirkannya?" Hoon menutup pintu kulkas sedikit kasar. Ya, dia tidak seharusnya masih memikirkan gadis yang telah mengkhianati dirinya itu. Bagaimanapun, Jasmine telah berkhianat dan akibat dari pengkhianatan itu membuat sang kekasih menderita. Hoon akui dia sempat merasa iba pada Jasmine, tapi rasa kecewa dan marahnya akibat perbuatan gadis itu masih terus membekas di benaknya.
Hoon memutuskan untuk langsung kembali tidur. Berharap efek air suci membawanya ke dalam mimpi indah. Sayangnya, harapan Hoon tidak terpenuhi. Hoon memimpikan Jasmine, kenangan indah mereka, dan peristiwa menyakitkan yang membuat sang kekasih menderita.
*****
Sudah pernah dibahas sebelumnya bahwa vampir bisa mengidentifikasi manusia hanya lewat aroma darah. Tidak hanya itu, vampir dan setiap makhluk dunia bawah lainnya juga bisa tahu yang mana manusia dan yang mana makhluk seperti dirinya. Makhluk dunia bawah bahkan bisa tahu mengenai eksistensi iblis dan malaikat hanya dari auranya. Namun, ada dua makhluk yang gagal Nara identifikasi; sosok penguntitnya dan Kang Hoon.
Ya. Nara kebingungan mengenai jati diri sosok penguntitnya itu. Oleh karenanya sampai detik ini dia masih penasaran sebab tidak ada info sama sekali soal itu. Di sisi lain, Nara juga masih belum bisa mengenali aroma darah Hoon. Nara tidak pernah tahu di mana keberadaan pria itu saat dia sedang mencarinya. Dia sering berpikir kalau ada yang tidak beres dengan pria itu. Bahkan, dia mengira kalau Hoon sesungguhnya bukan manusia. Namun, asumsi itu terpatahkan ketika Nara ingat soal air suci. Ya, pasti air suci yang membuat aroma darah Hoon tidak tercium olehnya.
Sama seperti saat ini, Nara terkejut ketika bertemu dengan Hoon di depan pintu ruang tata usaha. Senyum miring Nara berikan sebelum menyapa, "Anda juga dipanggil ke ruang tata usaha, Prof?"
Hoon menjawab, "Ya. Kau juga?"
Nara mengangguk. "Saya mendaftar untuk jadi grader dan katanya pengumuman siapa saja yang diterima sudah keluar." Grader adalah sebutan lain untuk asisten dosen. Tugasnya adalah memeriksa tugas atau ujian mahasiswa. Tentu saja yang ditunjuk menjadi grader adalah mahasiswa yang mendapatkan nilai memuaskan untuk mata kuliah yang membutuhkan grader.
Nara bisa melihat kerutan tajam di dahi Hoon. Sepertinya pria itu sedikit heran mendengar jawaban yang terlontar dari mulutnya.
Tiba-tiba sebuah pemikiran terlintas di otak Nara. "Apakah Anda ke sini untuk mengecek siapa yang menjadi grader Anda, Prof?"
Hoon menghela napas sembari menjawab, "Ya."
"Wah, akan sangat bagus kalau kita berpasangan, bukan? Maksud saya, sebagai grader dan dosen."
"Kita lihat saja nanti." Begitu kata Hoon sebelum mendahului Nara masuk ke ruang tata usaha. Nara tahu Hoon sengaja menghindar, tapi dia tidak ingin ambil pusing dengan hal itu. Nara tetap mengambil langkah memasuki ruangan.
Tujuan Nara dan Hoon sama, yaitu ke papan pengumuman yang ada di dekat konter petugas tata usaha. Wajah keduanya sama-sama serius saat memeriksa nama masing-masing. Namun, reaksi berbeda ditunjukkan oleh keduanya. Satunya tersenyum senang, sedangkan satunya lagi langsung menghela napas lesu.
"Ini benar-benar seperti takdir!" ujar Nara dengan nada ceria. "Padahal tadinya saya tidak berharap untuk mendapatkan matkul Anda, tapi rupanya takdir berkata lain."
Hoon berlalu begitu saja, tidak mengacuhkan perkataan Nara sama sekali. Nara mengekorinya.
"Saya tahu Anda merasa tidak nyaman, tapi saya berjanji akan bersikap profesional, Prof."
"Kenapa kau ingin menjadi seorang grader?" tanya Hoon tiba-tiba sambil menghentikan langkahnya dan menghadap Nara. Tatapan pria itu tampak serius. Koridor saat ini sedang sepi, hanya ada mereka berdua di sana.
Nara mengangkat bahunya. "Well, Anda sudah tahu, kan kalau saya cukup pintar? Saya rasa tidak ada salahnya menjadi tangan kanan dosen dengan mengandalkan prestasi saya ini. Lagi pula, bayarannya juga lumayan."
"Kau yakin hanya karena itu?" Hoon sangsi.
Nara mengangguk cepat. "Saya bahkan tidak tahu kalau mata kuliah yang Anda ampu membutuhkan grader. Kalau Anda mengira saya mengandalkan koneksi Ayah untuk mendapatkan posisi ini, Anda salah besar, Prof."
"Aku tidak pernah menuduhmu mengandalkan status sebagai putri Prof. Kim untuk menjadi grader-ku."
"Ya, tapi Anda meragukan saya."
Hoon tampak ingin menjawab, tapi urung. Pria itu justru menghela napas lelah dan memilih untuk undur diri. "Aku harus mengajar."
Nara buru-buru mencegah. "Bagaimana dengan kontaknya? Bagaimana kita akan saling berkomunikasi nanti?"
"Masalah itu kita bahas nanti saja—"
"Oh, atau perlukah saya ke apartemen Anda seperti malam itu, Prof?"
Hoon langsung mendekati Nara dan mencoba memperingatkannya, "Jangan bahas soal itu di sini, Kim Nara! Aku tidak mau ada yang tahu kalau kau pernah ke apartemenku."
Senyum setengah mengejek terukir di wajah Sang Gadis Kim. "Memang apa salahnya kalau seorang mahasiswi mengunjungi apartemen dosennya? Apalagi ini kan untuk urusan grading."
"Dan melakukan apa yang pernah kau lakukan tempo hari? Tidak, terima kasih. Aku tidak mau mengundang kecurigaan orang-orang dengan mengundangmu ke apartemenku."
"Ya ampun, Prof!" Nara terbahak, membuat Hoon menatapnya kebingungan. "Tidak perlu ke apartemen kalau saya ingin menggoda Anda. Saya bisa saja melakukannya di sini atau di manapun yang sama mau, tapi saya menahan diri. Kenapa? Karena saya masih menghormati profesi Anda dan status ayah saya sebagai salah satu petinggi kampus."
Hoon memilih untuk tidak menanggapi. "Nanti akan kuberi alamat surel agar kau bisa menghubungiku."
"Kenapa tidak nomor ponsel saja? Berkomunikasi lewat surel sudah kuno," Nara mencibir.
Sambil menghela napas berusaha sabar Hoon katakan, "Kau bilang akan bersikap profesional, bukan? Nomer ponsel adalah privasi bagiku, jadi lewat surel saja."
Nara tidak lagi mencecar dan hanya menjawab lewat anggukan kepala. "Baiklah, Prof. Saya tunggu Anda selesai mengajar untuk mendapatkan alamat surelnya."
Hoon hanya mengangguk singkat sebelum pada akhirnya melangkahkan kaki menjauhi tempatnya berpijak. Meninggalkan Nara yang sibuk mendumal dalam hati karena gemas akan sikap dingin dan tak tersentuhnya.
"Masih belum menyerah juga?" Sebuah bariton menyapa telinga Nara. Tanpa menoleh, gadis itu sudah tahu siapa pemiliknya.
"Tidak ada kata menyerah dalam kamus hidupku, Jay. Kau tahu betul akan hal itu." Nara melangkahkan kaki menuju kelas selanjutnya di mana Jay juga mengikuti kelas yang sama.
Tawa geli keluar dari mulut Jay. Tangannya menjangkau bahu sempit sang sahabat, merangkulnya. "Dia membuatmu frustrasi, ya?
"Sangat. Sangat frustrasi. Sebesar apa sih cintanya pada si Ilana itu sampai membuatnya kebal dengan pesonaku?" Akhirnya Nara tidak menahan rasa muaknya lagi. Kekesalan yang coba dia tahan selama bersama Hoon tadi meluap begitu saja.
"Antara terlalu cinta pada Ilana atau efek air suci seperti katamu."
Tiba-tiba Nara menghentikan langkahnya. Dia menatap Jay seolah sahabatnya itu habis melakukan sesuatu yang benar-benar luar biasa hingga membuatnya takjub.
"Apa? Kenapa kau menatapku seperti itu?" Jay kebingungan.
"Jay, haruskah aku buang saja air suci yang sering dia konsumsi? Bisa saja kan setelah itu dia mudah takluk padaku."
Alih-alih pendapat, Jay justru merespons Nara dengan tawa yang lebih menggelegar daripada sebelumnya. Nara merengut.
"Sahabatku, belum tentu juga kalau kita buang air sucinya dia akan takluk. Kau tidak pernah membayangkan sebesar apa efek cinta itu, bukan?"
Nara berdecih. "Memang apa hebatnya cinta? Cinta hanya membawa kesengsaraan dan membuat orang bodoh."
"Itu hanya terjadi kalau kau belum menemukan orang yang tepat, Nara. Kalau sudah menemukan orang yang tepat, cinta membuat semuanya terasa indah."
Kata-kata tidak biasa yang keluar dari mulut Jay membuat Nara mengernyit heran. Gadis itu memperhatikan raut sang sahabat yang mendadak berubah serius. Tatapan Jay pun tampak berbeda.
Jay sepertinya tahu apa yang Nara pikirkan karena pemuda itu langsung tersenyum dan berujar, "Ya. Aku pernah jatuh cinta dan menemukan orang yang tepat, tapi semuanya harus berakhir karena kami berbeda."
Sungguh, ini fakta baru bagi Nara. Selama ini yang dia tahu Jay tidak pernah serius dalam menjalin hubungan. Jay hanya bermain-main untuk sekedar mendapatkan kepuasaan ragawi.
"Sebelum aku menjadi vampir, aku juga manusia, Nara," Jay tersenyum sendu menjelaskan. "Aku pernah menjalin hubungan dengan seorang gadis. Namun, dia meninggal karena penyakit. Kemudian tidak lama setelah itu aku bertemu dengan Junho, ayahku. Dia menjadikan aku vampir setelah sebelumnya aku ingin bunuh diri menyusul kekasihku. Dia bilang, aku hanya perlu menunggu kekasihku itu bereinkarnasi sehingga aku bisa mendekatinya lagi. Dan aku melakukannya."
"Lalu, apa kau sudah bertemu dengan reinkarnasi kekasihmu itu?"
"Sudah, tapi aku tidak bisa bersamanya."
Nara terkejut. "Kenapa?"
Lagi, Jay tersenyum sendu sebagai respons. "Sudah kukatakan kalau kami berbeda, bukan? Dia bereinkarnasi menjadi seorang manusia serigala. Itu sebabnya akhirnya aku menjadi seperti ini. Seorang pemuda yang hobi main perempuan."
Nara tertegun. Entah kenapa dia merasa sesak setelah mendengar fakta baru mengenai sahabatnya itu. Berbeda dengan Ato yang sudah dia kenal seumur hidupnya, Jay termasuk orang baru dalam kehidupan Nara. Pemuda itu baru tiga puluh tahun ini menjadi sahabatnya. Mereka berkenalan saat pertemuan keluarga Kim dan Jung di Vienna. Sejak saat itu, mereka sering bersama-sama. Bahkan kepindahan keluarga mereka dari satu tempat ke tempat lain juga dilakukan bersama-sama. Keduanya menjadi semakin dekat sejak Ato tiada. Namun, baru kali ini Nara tahu soal Jay dan kekasihnya.
"Nara."
"Hm?"
"Jangan buang waktumu demi sesuatu yang tidak pasti, atau kau akan berakhir seperti diriku."