SEPATU

1713 Words
***FLASHBACK*** Setibanya di rumah, Hana mandi terlebih dahulu lalu bergerak ke ruang makan. Ibunya sudah menyiapkan aneka jajanan pasar itu di meja makan. "Bagaimana bu? Apa ibu sudah coba?" tanya Hana. "Sudah. Enak sayang. Kalau sewaktu waktu ada acara dan butuh snack, bisa saja kita pesan ke Rahmi," ungkap Jingga. Hana mengambil satu kue talam ubi dan menggigitnya, "Enak bu. Harganya pun tidak terlalu mahal." "Lempernya juga enak," Hana membuka bungkus pisang dan memakan lemper yang tersaji. "Coba deh nagasarinya. Ibu sampai habis dua," Jingga ikut mencicipi lemper. "Ah ini sih enak," Hana tersenyum lebar. "Aku bawa beberapa ke kamar ya bu. Mumpung otakku masih fresh, mau review pelajaran hari ini," Hana membawa beberapa ke dalam piring dan melangkah ke kamarnya. Ia mulai membuka buka buku, namun ponselnya berbunyi. Wah Kak Daru! Hana tersenyum lebar. Ia pun mengangkatnya. Daru, "Halo." Hana, "Halo kak." Daru, "Kamu dimana? Apa masih di kampus?" Hana, "Aku sudah di rumah." Daru, "Oh, ok. Ternyata rapat selesai lebih cepat, Kak Daru pikir kamu masih di kampus, tadinya ingin mengantarkanmu pulang." Hana, "Ow.. Atau.. Mmm.. Kakak mau main ke sini?" Daru, "Tidak apa apa?" Hana, "Tidak. Bahkan, aku baru membeli kue kue basah. Kakak harus coba." Daru, "Mmm.. Kakak main ke rumahmu ya?" Hana. "Iya kak, aku tunggu." Daru, "Kakak ke situ sekarang." Setelahnya, Hana langsung bercermin dan mematut diri. Ia mengoleskan lipgloss warna natural di bibirnya dan merapikan rambutnya. Untung aku sudah mandi! Hihihi... "Ibu, ibu..." Hana berlari ke ruang makan. "Ada apa?" Jingga sedang duduk di kursi sambil membaca buku dan menikmati kudapan. "Kak Daru mau ke sini ibu. Aku siapkan kue nya ya," Hana dengan semangat menyimpan kue kue itu di atas piring. "Iya, iya, silahkan putriku," Jingga tersenyum lebar. Hana mempersiapkan kue kue itu di meja ruang tamu. Ia berdiri di teras menunggu Daru tiba. Tak lama, pintu gerbang terbuka dan mobil Daru pun memasuki parkiran. Ia melambaikan tangan bahkan sebelum mobil berhenti. Daru hanya tersenyum melihatnya. Hana, kamu menggemaskan sekali. Akhirnya, Daru pun turun dari mobil. Ia menghampiri Hana yang tersenyum dengan sumringah. "Kakak," Hana melambaikan tangannya. "Kamu senang kalau kak Daru datang ke sini?" Daru mengacak acak rambut Hana. Hana hanya mengatupkan bibirnya dan mengangguk. Kedua tangannya bergerak merapikan rambutnya. Daru pun tersenyum. Ia duduk sofa ruang tamu. "Wah ini kue basah yang baru kamu beli? Banyak begini," Daru keheranan sendiri. "Iya kak. Jadi tadi aku pergi ke rumah temanku, namanya Rahmi. Ternyata ibunya jualan kue kue basah kak," jelas Hana. "Akhirnya aku beli." "Mmm.. Aku merasa kagum dengan perjuangannya sehingga aku putuskan untuk membelinya. Tapi, selain karena rasa simpatiku, kuenya juga enak," ungkap Hana lagi. Daru tersenyum lebar. Hana, kamu baik sekali... Sifatmu lembut dan penyayang. Aku makin suka. "Kak Daru coba ya?" Daru mengambil nagasari dan mengunyahnya. "Iya ini enak. Boleh juga." "Kalau kakak ada acara, nanti bisa pesan snack ke ibunya Rahmi," jelas Hana. "Iya Hana, iya," Daru merasa gemas sendiri. "Kak, mmm.. Gara gara mengantarkan Rahmi pulang, aku jadi tahu kondisi keluarganya. Dia datang dari keluarga sederhana. Mmm.. Rahmi juga masuk Pelita Nusantara dengan beasiswa," ungkap Hana. "Lalu?" Daru menunggu kelanjutannya. "Aku jadi terpikirkan sesuatu," Hana menatap Daru. "Apa?" Daru menahan senyum memperhatikan ekspresi Hana yang serius. "Bagaimana kalau kampus kita bekerjasama dengan sebuah yayasan untuk memberikan beasiswa lebih banyak lagi? Atau kita buat kegiatan amal sosial seperti membuat program anak asuh," usul Hana. "Atau apapun itu yang penting membuka peluang untuk semakin banyak orang bisa belajar." "Usulmu bagus. Kebetulan memang BEM akan menyelenggarakan kegiatan amal sosial. Itu sebabnya kak Daru rapat tadi sore. Kamu ikut BEM ya? Besok kita rapat dan matangkan lagi idenya," ujar Daru. "Se-serius kak?" Hana tak menyangka usulnya diterima. "Iya serius. Cuma nanti kita buat lebih terukur dan realistis. Tapi intinya, idemu sejalan dengan niat BEM untuk memberikan kontribusi dibidang pendidikan," Daru tersenyum. "Namun ada hal lain juga yang ingin kita angkat, yaitu kontribusi di bidang kesehatan. Nah, besok rapat kedua, bisa kita bicarakan." Hana tersenyum lebar kala membayangkan akan ikut rapat bersama Daru. Oh, senangnya hatiku... *** Pagi itu, Hana membawa sekitar tiga pasang sepatu yang masih baru dan belum pernah ia kenakan. Ia menyimpannya di sebuah tas jinjing. Saat berjalan memasuki gerbang kampus. Hana melihat kalau Rahmi berjalan di depannya sendirian. Matanya memperhatikan kalau Rahmi masih mengenakan sepatu lusuh yang sudah terkelupas itu. Mulai besok, Rahmi bisa mengenakan sepatu pemberianku ini. Hana memanggilnya, "Rahmi!" Rahmi pun menoleh, "Oh hai." "Ini, sepatu yang aku janjikan. Besok kenakan ya.. Untuk kuliah," Hana menyerahkan jinjingan itu. "Terima kasih Hana. Kita baru saling kenal tapi kamu baik sekali," ucap Rahmi menerima jinjingan sepatu tersebut. "Jangan memujiku begitu, kita teman bukan? Jadi memang harus berbaik hati," Hana tersenyum. "Kamu juga baik padaku." Rahmi mengangguk, "Iya. Terima kasih ya." Mereka pun bergerak melangkah ke dalam kelas dan duduk di bangku masing masing. Tak lama dosen pun memasuki ruangan. Hana mulai memperhatikan apa yang diterangkan. *** Jam istirahat pun tiba. Hana melihat kalau Tria berjalan keluar begitu saja. Sepertinya janjian lagi dengan temannya. Sedangkan Rahmi terlihat sibuk membaca sesuatu. Hhh... Aku sendiri lagi. Tak lama, ponselnya berbunyi. Gema! Oh senangnya. Gema : Kamu dimana? Jam istirahat kita sama kan? Hana : Masih di kelas. Kenapa? Gema : Aku ingin makan siang bareng, janjian di kafetaria ya? Soalnya kalau aku harus ke situ, jauh juga. Jarak Fakultas Psikologi ke Kedokteran lumayan bakal buat aku kurus. Hana tersenyum : Ok, aku ke kafetaria. Saat hendak melangkah menuju kafetaria, Hana menyempatkan diri mengajak Rahmi, "Mau ikut ke kafetaria?" "Tidak, Terima kasih, aku bawa bekal," Rahmi menunjukkan kotak makan siangnya. Sekilas Hana melihat kalau ruangan kelas kosong. Hanya ada Rahmi seorang. Tapi, bagaimana lagi, Rahmi menolak ikut. "Ok. Bye," Hana pun melangkah menuju kafetaria. Aku tidak suka sendirian begini. Tapi bagaimana lagi? Tidak ada yang menemaniku. Hhh.. Bagaimana kalau aku tidak memiliki teman selama berkuliah? Hana berjalan sambil menendang nendang kerikil dan melamun. Sampai akhirnya, ia tiba di kafetaria yang lumayan besar. Matanya mencari cari Gema. Tapi tidak terlihat. Ia pun mengeluarkan ponselnya. Hana, "Kamu dimana?" Gema, "Sebentar lagi." Hana, "Ok, aku cari posisi ya.." Gema, "Siap." Hana berjalan ke sebuah meja yang ada di pojok agar sedikit terhindar dari keramaian. Ia belum memesan apapun karena hendak menunggu Gema. Tiba tiba dua orang lelaki menghampirinya, "Hai. Kamu mahasiswi baru?" Hana pun mengangguk, "Iya." "Arjuna," lelaki itu menyodorkan tangannya hendak menyalaminya. Hana sedikit bingung, tapi ia membalas uluran tangannya, "Ha-hana." "Panggil saja aku Juna," ujarnya. "Kamu fakultas apa?" "Ke-kedokteran," jawabnya. Duh, si Gema mana??? "Kalau aku Fakultas Psikologi tingkat tiga," jelasnya lagi tanpa ditanya dan duduk di hadapannya. "Temanku juga sama." "Oh iya, iya," Hana jadi sedikit tidak enak lagi karena ini kakak kelas Gema. Tiba tiba ada seseorang berdehem, "Ehm." Hana menoleh ke belakang, ternyata kak Daru! Ia pun tersenyum. "Kak," Hana tersenyum. Daru langsung duduk di samping Hana. "Bang," ujar Arjuna. "Saya pikir Hana sendirian." "Hana bersamaku," Daru berkata tegas. "Ba-baik," Arjuna dan temannya pun bangkit dari kursi dan melangkah pergi. "Mereka mengganggumu?" tanya Daru. "Tidak. Hanya mengajak berkenalan," jawab Hana sambil menggeleng. Daru tersenyum, "Tidak apa apa Kak Daru memotong perkenalan kalian?" Hana mengangguk, "Tidak apa apa. Kak, justru aku canggung kalau ada yang mengajak kenalan begitu. Aku tidak tahu harus berbuat apa." Daru tertawa, "Kalau sama kak Daru tidak canggung?" "A-awalnya.. Tapi sekarang tidak lagi," Hana tersenyum. "Bagus..." Daru menahan tawa. "Dengan kak Daru duduk di sini bersamamu, bisa saja lelaki lain yang hendak mengajakmu berkenalan jadi membatalkan niatnya. Apa itu masalah?" Hana menggeleng, "Tidak. Tidak apa apa." Daru diam diam menunduk sambil mengatupkan bibirnya. Ada rasa senang membuncah di dirinya. "Kenapa kamu sendirian? Teman temanmu mana?" Daru mengalihkan pembicaraan. Hana tidak ingin cerita kalau dia tidak memiliki banyak teman, "A-aku janjian dengan Gema." "Nah itu dia anaknya," Hana melambaikan tangan saat melihat Gema memasuki kafetaria. "Sori lama, aku tadi nyasar," Gema terengah engah. "Oh jauhnya kafetaria ini. Daru hanya tertawa melihatnya. "Kak, jangan tertawa kak.." Gema meminum air mineral di tangannya. Daru kembali tertawa, "Rasanya dari Psikologi ke sini malah lebih dekat." "Iya ya? Mungkin gara gara aku nyasar tadi. Ah, ada ada saja," Gemma terkekeh. "Kakak tidak ganggu kalian lagi. Silahkan makan siang dulu. Kakak ada janji juga," ucapnya. "Jangan lupa pulang kuliah kita rapat," Daru menoleh ke arah Hana. "Iya kak," Hana mengangguk dan memperhatikan kalau Daru berjalan ke sebuah meja di tengah kafetaria. Lelaki pujaan hatinya itu makan siang bersama dua orang teman lelaki dan dua orang teman perempuannya. Salah seorang teman perempuannya yang terang terangan menunjukkan rasa tidak suka padanya waktu campus tour. "Kenapa?" tanya Gema. "Lihat perempuan yang duduk di samping Kak Daru," jelas Hana. "Dia yang terang terangan menunjukkan rasa tidak suka padaku saat tur kampus." "Apa itu yang bernama Widari. Ingat cerita Jani?" Gema mengingatnya. "Bisa jadi. Aku tidak kenal," Hana menghela nafas. "Ah sudah, kita makan dulu sebelum waktu istirahat habis." Mereka pun akhirnya memesan makanan dan menikmati makan siang sambil berkeluh kesah soal perkuliahan. *** Hana kembali ke ruangan kelas dengan langkah ringan. Setelah mengeluarkan unek uneknya pada Gema, berhasil membuatnya lebih bersemangat menghadapi semuanya ini. Namun saat melangkah masuk ke dalam kelas, ia melihat kalau Cynthia dan Listya sedang bicara sedikit keras pada Rahmi. Ia menunda masuk ke dalam kelas dan mencoba mendengarkan apa yang terjadi. "Kamu mencurinya kan?" tanya Cynthia. "Mengaku saja! Tidak mungkin kamu sanggup membeli sepatu seperti ini." "Ti-tidak, ungkap Rahmi dengan nada suara hampir menangis. Sepatu? Apa maksudnya sepatu yang aku berikan? Hana akhirnya melangkah masuk ke dalam kelas. Ia menghampiri mereka bertiga dan mengumpulkan keberaniannya, "Ada apa ini?" "Anak beasiswa ini mencuri! Lihat bagaimana dia bisa membeli sepatu sepatu itu?" ujar Listya. "Ja-jangan menuduh sembarangan!" Hana merasa marah. Mereka sudah menilai Rahmi serendah itu hanya gara gara penampilan dan latar belakangnya. Hal itu hanya membuatnya kesal. Apalagi saat teringat perjuangan Rahmi dan ibunya berjualan kue untuk hidup. "Kita tidak menuduh sembarangan. Bagaimana lagi dia bisa membeli sepatu itu?" jelas Cynthia. "Ka-kalian sudah menuduh sembarangan. Sepatu itu milikku! Hadiah untuk Rahmi," Hana ahirnya menjelaskan. Cynthia dan Listya membelalakkan matanya dengan kaget. "Ta-tapi itu sepatu mahal. Jangan membelanya!" ujar Listya. "Aku tidak sekedar membelanya, tapi itu kenyataan! Jangan ganggu Rahmi lagi," Hana berkata tegas. Ia lalu membereskan sepatu sepatu yang terjatuh di lantai kelas dan menyerahkannya pada Rahmi. Temannya itu hanya menunduk dengan tubuhnya gemetar. "Kamu membela anak beasiswa ini? Lihat saja akibatnya!" Cynthia menatapnya tidak suka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD