SURAT KALENG

1341 Words
***FLASHBACK*** "Saya mendukung ide yang kedua. Ide Hana menurut saya lebih terukur. Mohon maaf sebelumnya, tapi apa boleh saya juga menyampaikan usulan saya?" Guna bertanya. "Nama saya Indraguna, Fakultas Kedokteran." "Silahkan," Daru membuka peluang Guna untuk bicara. "Saya sependapat dengan Hana. Isu lingkungan memang sedang hangat dan menjadi perbincangan saat ini, tapi saya lebih memilih untuk fokus pada hal lain yaitu pendidikan. Kita sebagai mahasiswa dan mahasiswi baiknya berperan serta aktif dalam mengedukasi masyarakat," jelasnya. "Bagaimana mungkin kita menjaga lingkungan kalau orang di sekitarnya saja tidak tahu pentingnya menjaga lingkungan? Jadi menurut saya, kita mulai dari hal mendasar dengan meningkatkan literasi di masyarakat mengenai berbagai hal sesuai dengan jurusan kita masing masing," papar Guna. "Mohon maaf kepada Satria dan Cynthia, tanpa bermaksud menjelekkan ide mereka, tapi saya hanya merasa kalau bicara daur ulang, itu adalah program jangka panjang, selain itu juga high cost. Tidak cocok untuk kita yang harus dengan segera menjalankan kegiatan ini. Tapi, ide itu bisa saja dikolaborasikan dengan ide Hana. Misalnya kita membuat literasi tentang pemanfaatan limbah sampah rumah tangga, datang ke RT RW dan melakukan edukasi lebih lanjut," Guna bicara panjang lebar. "Sedangkan untuk bersih bersih lingkungan, itu hanya program jangka pendek yang mungkin tidak terasa dampaknya secara menyeluruh," ungkapnya lagi. "Setelah bersih bersih? Lalu apa? Kotor lagi? Kita bersih bersih lagi? Mau sampai kapan? Yang paling penting adalah menumbuhkan kesadaran itu di lingkungan mereka." "Jadi, saya setuju dengan ide Hana untuk melakukan edukasi ke masyarakat. Bisa dari sekolah ke sekolah, atau mengunjungi panti asuhan, atau ke RT RW atau bisa juga ke komunitas. Adapun tema literasi bisa menyesuaikan lingkungan dan waktu," Guna mengangguk, "Itu saja." Hana menoleh ke arah Guna, "Thank you." Guna menahan senyumnya dan bersikap acuh tak acuh pada Hana. Daru menarik nafas panjang. Apa yang Indraguna ungkapkan adalah apa yang menjadi pemikirannya. Itu sebabnya ia menganggap ide Hana bagus, terukur dan realistis. Hanya saja, Hana memaparkan dengan sederhana sedangkan Indraguna lebih dalam dan terinci. Sekilas ia melirik ke arah Indraguna dan Hana. Ia melihat kalau Hana tersenyum ke lelaki itu. Daru diam diam menggigit bibirnya, ada debar aneh di dadanya. "Ok, thank you Indraguna!" ucap Jagat. "Pemikirannya akan menjadi bahan diskusi. Jadi, sekarang, siapa yang setuju ide Hana? Saya ulang voting karena tadi belum tuntas." Hana membelalakkan matanya saat melihat lebih dari dua orang mengacungkan tangan. Ia memperhatikan kalau Jagat menghitung acungan tangan tersebut. "Ok, dua puluh tujuh orang setuju usul Hana," ujar Jagat. Hana tersenyum lebar sambil menatap Guna. Ia berbisik perlahan, "Wooow.. Jadi banyak yang setuju." Guna mengatupkan bibirnya. Matanya menghindar dari tatapan Hana. Ia pun menggumam pelan, "Gara gara kamu, aku jadi banyak bicara. Aku tidak suka itu." Tapi, Hana seperti tidak mendengarnya. Ia pun menahan senyum. "Berikutnya, ide ketiga. Silahkan yang setuju bisa mengacungkan tangan," Jagat menatap para peserta rapat. Hana memperhatikan kalau ada sekitar lima orang mengacungkan tangannya. Salah satunya Tria. Hmm.. Sepertinya saat Tria mengajaknya berkenalan kala PKKMB hanya basa basi saja. Fix, temanku hanya Rahmi. Namun, Rahmi sepertinya tidak terlalu suka bersosialisasi. Aku sendiri... Ia teringat Gema. Hana pun mengirimkan pesan pada Gema. Hana : Kamu tidak ikut kegiatan BEM? Tadi katanya mau? Gema : Aku tadi mau ke ruangan BEM, dan lagi lagi nyasar. Hana, aku lelah kuliah. Kampus kok besar amat. Hana menahan senyumnya : Terus, kamu kemana? Aku dari tadi fokus memperhatikan rapat, sampai lupa kamu si bawel. Gema : Aku pulang. Karena bingung cari lokasi, aku putuskan pulang saja. Hana : Yah.. Gema : Akhir pekan ini kita ketemuan bukan? Jadi kan kumpul di rumah Jani? Hana : Oh iya betul. Ok! Ia pun menyimpan ponselnya. Meskipun belum ada teman dekat, tapi setidaknya teman teman lamaku tidak lupa aku. "Ok. Rapat hari ini kita akhiri. Pengurus BEM akan membahas lebih lanjut mengenai ide yang sudah mengerucut pada persoalan daur ulang dan literasi. Soal beasiswa juga nanti kita matangkan," jelas Jagat. "Biarkan kami membicarakan dalam tim kecil terlebih dahulu, nanti kan ada pertemuan berikutnya untuk membahas lebih detail lagi," ungkap Daru. "Terima kasih atas kehadiran rekan rekan semuanya." Satu persatu mahasiswa dan mahasiswi keluar dari ruangan BEM. Hana pun beranjak keluar dan Guna mengikutinya di belakang. Ia bingung melangkah karena kak Daru janji mengantarkannya pulang hari ini. Apa yang harus aku lakukan? Tiba tiba ponselnya berbunyi. Ada pesan masuk. Daru : Hana, apa kamu mau menungguk kak Daru di kafetaria. Mungkin sekitar setengah jam. Hana tersenyum : Ok kak.. Santai. Aku tunggu di kafetaria. Ia pun melangkah menuju kafetaria. Namun, Hana baru tersadar kalau sosok Guna mengikutinya di belakang. "Kamu mau kemana?" Hana bertanya dengan curiga. "Kafetaria," jawabnya. "Oh.." Hana tersenyum. "Aku juga." Guna tidak menjawabnya dan berjalan lebih dulu. Hana hanya menghela nafas. Kenapa ya kehidupan perkuliahan tidak seperti yang kubayangkan? Tidak seperti SMA. Hana teringat quote yang pernah ia baca yang merupakan ucapan Art Williams : Saya tidak mengatakan bahwa ini akan mudah, saya katakan bahwa ini akan sangat berharga. Ya, mungkin itu arti bangku kuliah bagiku. Tidak mudah, tapi berharga. Aku akan menjalaninya dengan segenap hati dan tetap semangat. Toh ini semua pilihanku. Ia pun tiba di kafetaria. Hana duduk di pojokan sambil mengulas dan membaca buku mata kuliah yang tadi dipelajari. Sedangkan Guna entah kemana. Ah, sudah, aku sendiri juga tidak apa apa. Sambil membaca bukunya, Hana memesan satu teh manis hangat dan roti bakar. Sore sore begini paling enak memang menikmati camilan sambil bersantai. Waktu pun terus berjalan, tak terasa satu bab sudah habis ia baca. Lama lama begini, aku bisa jadi murid teladan. Hana tersenyum sendiri mendengar pemikirannya. "Kenapa kamu senyum senyum sendiri?" Daru tiba tiba muncul di hadapannya. "Eh kak," Hana kembali mengumbar senyum. "Aku baru saja selesai membaca pelajaran tadi siang. Pikiranku melayang kalau begini terus, mungkin aku bisa jadi murid teladan mengikuti jejak kakak." Daru tertawa, "Baguslah.. Aku bisa menjadi contoh yang baik untukmu." "Kakak memang contoh yang baik. Aku.. Kagum..." Hana memujinya. "Aww.. Hana, aku langsung dag dig dug," Daru menggodanya. "Kakak, jangan menggodaku," Hana tersenyum. Daru hanya tertawa. Reaksi Hana menggemaskan sekali. "Mau pulang sekarang?" Daru bertanya. Ia tak sabar ingin menghabiskan waktu berdua saja, tanpa banyak orang di sekelilingnya. "Aku habiskan dulu rotinya. Tunggu," Hana menghabiskan roti bakar di hadapannya. Daru hanya tersenyum, "Tenang Hana, rumahmu tidak pergi kemana mana. Aku menunggumu." "Ah, iya juga, hampir aku keselek," Hana tertawa. "Nah jangan sampai keselek," Daru lalu mengeluarkan botol air mineral yang ia bawa, "Minum. Kak Daru lihat kalau teh kamu sudah habis." "Terima kasih kak," Hana membuka botol tersebut dan meminumnya. "Idemu tadi bagus. Kak Daru juga setuju. Bahkan, itu bisa kita jalankan kapan saja tanpa biaya besar," Daru mengacungkan jempolnya. "Namun, saat kamu berpendapat, dan ternyata ada yang tidak menerima, jangan bersedih hati ok?" Daru menatapnya. "Itu hal biasa. Namanya juga kamu masuk dalam dunia orang dewasa. Saat kamu beranjak dewasa, akan banyak ujian yang menguji kematangan cara berpikir dan bersikap. Apa kamu layak disebut dewasa atau tidak?" "Iya kak," Hana mengangguk. "Aku memang perasa. Tapi aku mencoba untuk menerima segala perbedaan dan pertentangan." "Kita pergi kak, rotiku habis," Hana mengambil tisu dan mengelap mulutnya. "Let's go," Daru pun berdiri. Mereka berjalan keluar dari kafetaria. Sepasang mata kembali memperhatikan keduanya. Lagi lagi menatap tidak suka. *** Pagi itu, Hana melangkah memasuki halaman kampus dengan semangat baru. Aku harus tetap berusaha yang terbaik. Dengan atau tanpa teman! Ia memasuki ruangan kelas yang masih kosong. Pagi itu Hana memang pergi lebih awal karena kak Danis ada pertandingan basket di kampusnya, jadi berangkat lebih cepat. Tidak masalah, makin pagi udara makin segar. Aku juga lebih fresh untuk belajar. Saat hendak duduk di kursinya, Hana merasakan matanya berkaca kaca. Ada tulisan menggunakan kapur di atas mejanya. DASAR CENTIL! ANAK BARU SUDAH BELAGU! Si-siapa yang menulisnya? Hana ingin menangis. Ia mengeluarkan tisu dari dalam tasnya dan menghapus tulisan itu. Setelah terhapus, ia berlari ke kamar kecil dan mengunci salah satu pintunya. Ia duduk di atas toilet dengan mata berurai air mata. Jahat sekali kata katanya! Aku centil? Apa aku belagu? Hana menghapus air matanya dan terus menangis tanpa mengeluarkan suara. Toilet perempuan itu jadi saksi kesedihan Hana yang mulai mendapatkan perlakukan tidak menyenangkan di kampusnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD