"Nana pulang!!"
Suara Aina menggema di seluruh ruang tamu hingga tak lama keluar wanita berusia 40 tahun yang berjalan dengan wajah cemas mendekati Aina. Wanita itu memperhatikan Aina dari atas sampai bawah, membolak-balik badannya mencari kejanggalan di badan gadis itu.
"Mami apa-apaan sih Mi?"
"Guru sekolah bilang kalau kamu nggak datang hari ini. Ini hari pertama kamu sekolah Na! Ke mana kamu ha?"
Aina memutar kedua bola matanya jengah. "Nana nyasar, terus dirampok, mau pulang juga susah mesti cari jalan raya dulu, jadinya nggak bisa ke sekolah deh."
Kedua bola mata wanita itu lantas membulat kaget. "Nyasar? Kok bisa?"
"Bisalah! Ini semua tuh salah Mami! Udah tahu anak nggak hafal daerah sini pakai acara suruh berangkat sekolah sendiri."
"Astaga Na, maafin Mami. Mami pikir kamu bisa sendiri," ujar wanita itu sedih. "Tapi kamu nggak pa-pa kan? Kamu nggak diapa-apain kan sama perampoknya?"
Aina menggeleng sembari tersenyum. "Soal itu mah aman. Nana nggak pa-pa kok, nggak ada yang lecet."
"Syukurlah. Terus siapa yang tolongin kamu? Kamu usir rampoknya sendiri?"
"Nah ini yang mau Nana ceritain sama Mami!"
"Apa itu?"
Sebelum mulai cerita, Aina mengajak Fifi-Maminya untuk duduk di sofa, Aina nampak antusias sementara Fifi bingung.
"Jadi Mi, tadi Nana tuh ditolongin sama cowok. Ganteeeeng banget Mi. Terus dia itu cool, keren gitu pokoknya kayak yang di n****+-n****+. Dia hebat banget Mi berantemnya. Sampai-sampai nih ya? Nana berhasil jatuh cinta pandangan pertama sama cowok itu. Duuuh andai bisa ketemu lagi."
"Cowok?"
Aina mengangguk cepat. "Iya Mi cowok!"
"Emang namanya siapa?"
"Itu masalahnyai! Nana kan bilang sama dia kayak gini 'aku mau tahu siapa nama kamu. Kan nanti kita nggak akan bisa ketemu lagi' terus masa dia jawabnya gini 'ucapan lo salah!' gitu, kan Nana bingung Mi." Aina berucap lengkap sambil menirukan logat cowok yang menolongnya tadi.
"Emm ... apa jangan-jangan dia udah kenal sama kamu?" tebak Fifi.
Aina lantas tertawa. "Mami ada-ada aja. Kenal dari mana? Orang Nana ketemu aja baru sekarang ini."
"Yaa siapa tahu dia pernah lihat kamu di mana gitu, jadi dia pikir bisa ketemu kamu lagi setelah ini, mangkannya dia bilang kalau ucapan kamu itu salah."
"Ucapan Nana yang bilang kalau kita nggak bisa ketemu lagi?" tanya Aina.
"That's right baby girl!"
Aina pun mulai berpikir. Apa benar yang diucapkan Maminya barusan?
"Tapi Mi, kalau dipikir-pikir iya juga sih."
"Nah! Gini aja deh. Mami doain semoga kamu ketemu lagi sama cowok itu," ujar Fifi lembut Kepada Aina sambil menatap wajah gadis itu.
Mata Aina berbinar saat mendengarnya. "Uwaaa Mami, makasih doanya. Nana jadi nggak sabar, kira-kira kapan ya bisa ketemu dia lagi."
"Kalau kamu dirampok lagi maybe," ceplos Fifi ngasal.
"Astagfirullah Mami. Ucapan itu doa loh! Ati-ati kalau ngomong Mi. Sama anak sendiri juga."
"Bercanda Na. Udah sana masuk kamar, mandi, keramas. Rambut kamu bau matahari."
Aina mencebikkan bibirnya kesal. "Enak aja."
Setelah itu Fifi berdiri dari duduknya, mengacak rambut Aina sebentar lalu masuk ke dalam kamarnya meninggalkan Aina sendirian yang masih membayangkan wajah tampan cowok tadi.
"Demi apa pun tatapannya tadi tajam banget kayak mata burung elang."
*****
Setelah insiden kemarin yang berhasil membuatnya gagal masuk di hari pertama sekolah. Kini Aina berangkat bersama Fifi. Mobil Fifi berhenti tepat di depan gerbang yang bertuliskan SMA GARUDA di papan besar yang melintang di atas pagar.
"Belajar yang bener ya Na," pesan Fifi saat Aina turun dari mobil.
Aina mencium punggung tangan Fifi lalu tersenyum. "Siap Mi! Kapan sih Aina pernah nggak bener?"
"Dih! Dasar nggak pernah ngaca!"
Aina lalu tertawa ringan. "Oke deh Mi, Nana masuk dulu ya? Bye Mii," ujar Aina sambil melambaikan tangan kanannya.
"Bye baby girl."
Aina Agista, gadis blasteran yang tinggal dan besar di Indonesia. Kematian sang Papi membuat Aina dan Fifi harus memilih pindah keluar kota untuk memulai hidup baru. Sejak kecil Aina hidup dengan serba kecukupan di Bandung. Papinya menjadi orang paling terpandang di sana, hingga suatu kecelakaan tabrak lari berhasil membuat Papi Aina meninggal, meninggalkan Aina yang saat itu masih berusia 10 tahun bersama Maminya. Sejak kematian sang Papi, hidup Aina dan Maminya menjadi berantakan, semua tagihan membengkak, barang-barang berharga terjual untuk menutupi hutang. Selama enam tahun mereka menderita, hingga sekarang, Aina dan Maminya berhasil bangkit di Jakarta. Fifi keterima kerja di sebuah perusahan besar dengan gaji yang lumayan. Hidup Aina mulai kembali tercukupi saat ini.
Gadis dengan rambut kecoklatan yang tertiup angin itu berjalan dengan bangganya. Memamerkan kecantikannya hingga membuat para cowok yang ada di sana sampai terbengong menatapnya.
"Aduh gimana le, kok dede cantik e."
"Busyet, bidadari surga jatuh satu kayaknya."
"Murid baru ya? Cantik bener."
"Aigo!! Mundur dikit napa, cantiknya kelewatan!"
"Jadi pacar Abang yuk, nanti Abang bahagiain."
"Produk lokal rasa internasional kalau ini mah."
Yah! Masih banyak lagi ungkapan-ungkapan kagum yang masuk ke dalam telinga Aina. Semua itu hanya Aina tanggapi dengan senyuman manisnya.
"Emm ... permisi. Mau tanya dong, ruang guru di mana ya?"
Tiga cewek yang Aina hampiri itu menatap Aina sinis. Aina menyadari itu, dalam hati Aina mengumpat sepertinya dia salah bertanya kepada seseorang.
"Lo anak baru?" tanya salah satu dari mereka dengan tak santai. Meski begitu Aina tetap mengangguk sopan. "Iya," jawabnya.
"Kenalin, gue Ratu! Cewek paling hits di sini, dan lo anak baru. Jangan sok kecentilan dengan tebar kecantikan ke semua orang! Karena apa gengs?"
"Karena Ratu adalah cewek paling cantik di SMA Garuda, valid! No debat!" jawab kedua teman Ratu bersamaan.
Aina menatap ketiganya dengan sedikit, entahlah. Sepertinya kalau lama di sini Aina bisa salah pergaulan.
"Okey ... menurut gue masih cantikan gue jauh ke mana-mana sih cuman--"
"Apa lo bilang?!" sentak Ratu tiba-tiba membuat Aina refleks menutup matanya.
"Nggak, nggak ada. Sorry kelepasan!" ujar Aina.
Ratu menggeram kesal. "Lo tadi mau tahu ruang guru kan? Tuh di sana! Tapi lo harus inget omongan gue tadi. Awas aja kalau lo masih sok centil!"
"Cabut gengs!"
Ratu dan kawan-kawannya pun pergi dengan gaya yang norak di mata Aina. Dari tampilannya saja lebih mirip tante-tante dari pada anak sekolahan. Jelas masih cantikan Aina yang natural ke mana-manalah!
"Dasar geng aneh. Ih, gue yang cewek aja jijik, gimana cowok? Duh pasti langsung sawan pandangan pertama."
Aina bergidik ngeri dan langsung berjalan ke tempat tujuan awalnya.
*****
Kelas 11 Ips-4 yang awalnya ramai seketika langsung sepi saat seorang guru baru saja masuk. Lebih hening lagi saat di belakang guru itu berjalan seorang gadis cantik.
"Aina, silahkan perkenalkan diri kamu."
Yah, gadis itu adalah Aina. Si Penyandang murid baru yang berhasil memikat hati para cowok SMA Garuda.
"Hai semuanya, nama aku Aina Agista kalian bisa panggil aku Aina atau Nana, pindahan dari Bandung. Salam kenal." Aina mengakhiri perkenalannya dengan senyum yang berhasil membuat para cowok salting sendiri di tempatnya.
"Halo Aina!!" balas semua murid bersamaan.
"Nah Aina, sekarang kamu boleh duduk di tempat yang kosong. Untuk yang mau kenalan lagi, silahkan dilanjut nanti ya? Sekarang kita pelajaran dulu. Keluarkan buku sejarah kalian."
"Yhaa!!" Sorakan kecewa menggema keras membuat guru pengajar hanya bisa geleng-geleng kepala.
Aina berjalan bingung ingin duduk di mana, hingga tatapannya jatuh kepada seorang gadis yang duduk sendiri sambil melambaikan tangan ke arahnya. Gadis itu menepuk tempat duduk di sebelahnya. Dengan cepat Aina menghampiri.
"Hai, gue Salsa," ujar gadis itu dengan ramah kepada Aina sambil mengulurkan tangannya.
Aina membalas uluran tangan itu dengan sopan. "Aku Aina, thanks ya udah kasih duduk di sini."
"Santai. Kebetulan juga gue duduk sendiri."
"Aina! Woi, susstt ...."
Aina celingak-celinguk sendiri mencari orang yang memanggilnya. Awalnya Aina melihat tiga cewek aneh yang tadi dia tanyai, lalu menatap sedikit ke belakang barulah Aina tahu siapa yang memanggilnya.
"Devan?" guman Aina.
"Lo kenal sama Devan?" sahut Salsa yang juga ikut melihat ke arah pandangan Aina.
Setelah membalas lambaian tangan Devan, kini Aina kembali menatap Salsa. "Iya kenal. Dia temen gue dulu di Bandung."
"Oh ya?" kaget Salsa.
Aina mengangguk. "Iya. Kenapa kok kaget gitu mukanya?"
"Dia cowok gue. Ternyata kalian udah kenal."
Lantas Aina pun tertawa tak menyangka. "Astaga kalian pacaran? Gila sih, kenapa mau sama dia? Sal, Devan itu pas kecil suka boker di celana. Ih aku inget banget pas SD satu duduk sama dia. Geli Sal!"
Salsa juga ikut tertawa mendengar pernyataan Aina. "Yaelah Na, itukan dulu. Sekarang udah nggak kali. Eh nanti boleh dong gue tanya-tanya soal Devan sama lo."
"Siap! Semua tentang Devan yang aku tahu bakal aku ceritakan sama kamu."
"Oke deh."
*****
Bel istirahat baru saja berbunyi. Aina dan Salsa mengemasi alat tulisnya namun saat baru saja akan keluar kelas, keduanya sudah di hadang oleh kerumunan cowok yang sudah berdiri di ambang pintu.
"Halo Aina cantik!!"
Baik Aina maupun Salsa jelas kaget dengan kejadian itu. Murid lain yang masih ada di dalam kelas juga ikut tertahan tak bisa keluar.
"Sorry ini ada apa ya ramai-ramai ke sini?" tanya Salsa.
Devan yang melihat itu langsung berdiri di sebelah Salsa. "Sal? Ada apa?"
"Dev? Gue juga nggak tahu."
"Emm maaf sebelumnya udah ganggu kelas kalian. Kenalin, gue Rio sebagai ketua fans club Ainacans. Di sini gue mau minta izin kepada Aina untuk meresmikan fans club yang gue buat."
Rio kini berganti menatap Aina membuat Aina sedikit berdiri menjauh ketakutan. "Aina, gimana? Bolehkan?"
Aina sendiri bingung. Gadis itu menatap teman-temannya meminta saran jawaban hingga seseorang berbisik kepadanya. "Iyain aja biar cepet!" Itu suara sinis Ratu.
"Gimana Na?" tanya Rio lagi.
"I--iya terserah kalian mau buat apa asal kalian bisa segera pergi dari sini."
"Serius Na? Makasih banget Na."
"Iya sama-sama!"
"Wooo!! Semuanya gue traktir kalian anggota fans club buat ngerayain official Ainacans kita! Gas kantin!"
Gerombolan itu seketika langsung berjalan pergi mengikuti langkah Rio membuat depan kelas kembali sepi. Devan dan murid lainnya menatap semua gerombolan itu dengan bingung.
"Pada sakit mereka!" ujar Devan.
*****
"Ini emang epic sih! Nggak pernah SMA Garuda bikin fans club kayak gini. Emang pesona anak baru itu nggak ada tandingannya. Bukan kaleng-kaleng lagi Man!"
"Yoi!"
Seorang cowok yang baru saja datang menatap heran kedua temannya yang heboh sendiri sambil memainkan ponsel. "Ngomongin apaan sih?" tanyanya.
"Eh lo Lang! Nih ada fans club baru. Lo mau join nggak?" tawar cowok bernama Bayu.
"Fans club?"
"Iya, semua orang yang ngefans sama Aina masuk di sini," balas Naufal.
"Termasuk kalian?"
"Yoi pasti dong! Kita berdua udah jadi fans Nana garis keras! Lihat, membernya udah 200 lebih cowok SMA Garuda! Keren nggak tuh?" heboh Bayu.
"Aina siapa sih?" tanya Elang yang masih bingung.
"Ini loh Lang. Aina Agista, cewek baru, anak 11 Ips-4 yang cakepnya nggak ngotak! Yakin lo nggak mau join fans club?"
"Kalau gue udah nggak waras ntar gue kabarin," kata Elang lalu beranjak dari tempatnya berjalan pergi meninggalkan kedua temannya.
*****
Elang Baskara Mahendra, cowok berperawakan tinggi, dengan tubuh besar bermata tajam. Elang terkenal sebagai cowok dingin dengan mulut pedas dan ceplas-ceplos, dikaruniai otak jenius membuat Elang sempat diidolakan oleh para kaum hawa SMA Garuda, hingga tak ada lagi yang berani mendekatinya karena sikapnya yang tertutup kepada siapapun.
Saat ini Elang sedang berada di taman belakang sekolah. Duduk di kursi yang berada tepat di bawah pohon rindang. Jemari Elang tak mau berhenti menggulir layar ponselnya. Semua foto gadis itu terpampang di setiap feednya.
"Aina Agista fansbase. Menarik, emang sespesial apa sih cewek ini?" guman Elang.
Bagaimana Elang tak kepo sekaligus tercengang. Baru saja akun media sosial itu dibuat, followersnya sudah mau menginjak angka 10 ribu pengikut dan semuanya didominasi oleh para cowok. Selama tiga tahun Elang bersekolah di SMA Garuda, baru kali ini sekolah heboh karena seorang gadis.
Satu sudut bibir Elang terangkat. Telunjuknya menekan tombol power ponsel hingga benda pipih itu hanya menampilkan layar hitam. Setelahnya Elang berdiri beranjak meninggalkan tempat itu.