Setelah kurang lebih empat hari merenung dan meliburkan diri, pada akhirnya Deasy memantapkan hati dengan memutuskan untuk kembali beraktivitas.
Membuang jauh-jauh perasaan galau yang sempat hinggap, dirinya berusaha bersikap se-normal mungkin agar tidak ada satu pun yang curiga dengan apa yang tengah dirinya alami saat ini.
Pokoknya, Dessy sudah bertekad dengan amat sangat. Tidak ada satu pun orang lain yang boleh tahu kalau saat ini dirinya tengah berbadan dua.
Sampai di gedung Fourtynine, Deasy langsung disambut dengan hangat oleh beberapa staff yang selama ini menjadi tim inti di bawah divisinya. Sebagian, bahkan dengan senang hati mengantar, menemani Deasy menuju ruang kerjanya untuk kemudian memulai kembali kesibukan seperti biasa.
Rasanya, Deasy ingin berterima kasih sekaligus mengucap syukur beribu-ribu kali kepada Tuhan karena diberikan bawahan yang bertanggung jawab serta memiliki loyalitas tinggi pada atasan dan juga perusahaan. Bagaimana tidak, ketika kembali beraktivitas di kantor, seluruh deadline yang dirinya tinggalkan, sudah habis dikerjakan dengan rapi tanpa sisa. Hanya perlu sekali reading untuk kemudian di bubuhi tanda tangan.
"Kalau Bu Deasy butuh apa-apa, panggil saya aja. Nggak usah sungkan. Kebetulan hari ini kerjaan saya juga nggak banyak."
Della yang kemarin sempat membantu Deasy saat dirinya hilang kesadaran, kini nampak kembali menawarkan diri dengan tulus untuk membatu. Wanita itu khawatir saja kalau sang atasan kondisinya memang 100% belum membaik atau normal seperti sedia kala. Pikir Della, bahaya juga kalau sampai Deasy kembali tidak sadarkan diri seperti kemarin.
"Terima kasih banyak atas tawarannya. Tapi, kondisi saya udah sangat baik, kok. Kamu lanjut kerja aja. Nggak usah khawatirkan kondisi saya."
"Pokoknya kalau Bu Deasy butuh sesuatu, panggil aja kami seperti biasa, Bu." Starla yang berdiri di sebelah Deasy ikut menawarkan diri.
Deasy meyunggingkan senyum. Melirik, sembari memicingkan mata penuh tanya.
"Ini kalian sok baik, nggak lagi ada maunya, kan? Atau jangan-jangan ada tugas yang nggak beres kalian kerjakan. Awas aja kalau sampai saya temukan ada yang nggak beres. Kalian satu ruangan bakal saya mutasikan."
Della dan Starla buru-buru menggeleng. Karena tahu Deasy memang atasan yang paling perfectionist dan galak, mereka tentu tidak berani melakukan kesalahan sedikit pun, ketimbang malah dapat ceramah tujuh har tujuh malam.
"Nggak, Bu. Ya ampun. Ini serius tulus kita tolonginnya. Bukan mau cari muka atau tutupin sesuatu."
Deasy tertawa melihat ekspresi Starla yang sedikit ketakutan. Mungkin khawatir, takutnya Deasy mengomel seperti biasa.
"Santai aja. Nggak usah tegang gitu. Lagian, saya juga bercanda. Tapi, sekali lagi terima kasih bantuan dan perhatiannya. Kalian lanjut kerja lagi aja. Nanti, kalau saya butuh sesuatu, saya bakal panggil salah satu dari kalian."
Della dan Starla mengangguk patuh. Meninggalkan Deasy, kemudian lanjut bekerja.
Sementara Deasy, mengumpulkan seluruh konsentrasinya, berusaha untuk kembali fokus dengan sisa pekerjaan yang memang harus ia selesaikan segera.
Namun, baru saja menekan tombol 'ON' pada laptop yang ada di atas meja kerjanya, indra pendengaran Deasy menangkap suara ketukan pintu berulang kali. Di detik yang sama, terlihat sosok pria yang sedari awal ingin dirinya hindari tampak masuk kemudian melangkah dengan santai menuju meja kerjanya.
"Selamat Pagi, Bu."
Lucas menyapa dengan teramat sopan. Menyunggingkan senyum paling manis yang ia miliki, pria itu lantas menaruh satu box makanan yang sedari masuk ruangan ia bawa, untuk kemudian menaruhnya di atas meja kerja milik Deasy.
"Bu Deasy udah sarapan? Ini saya bawakan bubur ayam khas Banten. Siapa tau aja, tadi pagi ibu berangkat kerja tapi belum sempat makan sesuatu. Jadi, itung-itung buat ganjal perut."
Deasy mengangkat wajahnya. Menatap lekat ke arah Lucas, kemudian menanggapi apa yang baru saja staff nya itu tawarkan kepadanya. Perhatian memang. Mirip sekali seorang pacar yang sedang memerhatikan pasangannya.
"Terima kasih. Tapi, saya nggak suka sarapan."
Lucas lantas terkesiap. Tanpa dipersilahkan malah menarik kursi, lalu duduk tepat di seberang Deasy.
"Kenapa, Bu? Sarapan itu perlu loh biar kita maksimal beraktivitasnya."
Padahal, dari semua orang yang dirinya kenal, hampir kesemuanya selalu menyempatkan diri untuk menyantap sarapan sebelum memulai aktivitas apa pun. Tapi, anehnya Deasy malah tidak suka. Apakah ini bagian dari program diet yang sedang wanita itu lakukan? Eh, tapi Deasy kan lagi hamil. Mana boleh pake diet segala macam.
"Saya emang nggak suka sarapan."
"Tapi, sarapan itu penting banget, Bu."
"Itu kan pendapat kamu. Kalau saya nggak suka, kamu mau apa?"
"Ya saya mau mengingatkan aja. Lebih baik mengawali hari dengan sarapan. Karena kemarin-kemarin saat saya mengawali hari dengan senyuman, siangnya malah kelaparan."
"Dasar Jayus."
"Saya Lucas, Bu. Bukan Jayus."
Deasy rasanya ingin berteriak. Kenapa sih pagi-pagi begini, di saat dirinya ingin menenangkan diri, malah diberikan cobaan dengan munculnya makhluk halus macam Lucas?
"Lagi pula ..." sambung Lucas setengah berbisik. Demi apa pun, pria itu sampai memajukan wajahnya. Mirip sekali seperti orang yang siap-siap hendak menggibah. "Kan sekarang Ibu lagi hamil. Penting banget sarapan. Biar calon bayi di perut ibu nggak kelaparan."
Deasy mendelik. Bisa-bisanya Lucas di tempat kerja malah membahas soal apa yang sengaja ia tutupi. Ini mulut Lucas lamis banget, sih!
"Lucas! Mulutmu."
"Tenang, nggak bakal ada yang dengar, Bu. Anak-anak tim lagi on duty semua. Lagi pula, saya nggak punya waktu lain buat bahas hal ini selain di kantor. Urusan soal hamil dan anak belum selesai kita bahas, ya!"
Deasy mendesah. Bisa nggak sih sehari saja hidupnya tenang tanpa perlu di ingatkan terus-terusan kalau saat ini dirinya tengah berbadan dua.
"Mau bahas apa lagi, sih? Kan udah saya bilang, kamu nggak perlu ikut campur. Mau saya hamil atau nggak, itu bukan urusanmu."
Lucas menggeleng. Sebelum menjawab, pria itu bangkit dari duduknya. Melangkah ke arah pintu utama, kemudian memastikan tidak ada satu pun orang di luar ruangan.
Setelah meyakini tidak ada orang atau bahkan semut sekali pun yang bakal menguping di luar sana, ia menutup rapat pintu. Kembali duduk berhadapan dengan Deasy layaknya orang yang hendak membahas sesuatu yang serius.
"Gimana nggak ikut campur kalau saat ini ada nyawa baru di dalam kandungan Bu Deasy dan itu darah daging saya."
Deasy berdecih. Wajah wanita itu bahkan nampak memasang tampang remeh.
"Nggak usah terlalu percaya diri kalau bayi di perut saya anak kamu."
"Ini bukan masalah percaya diri." Lucas mendebat. Segala bentuk argumen sudah ia persiapkan. Pokoknya pagi ini ia tidak boleh kalah berdebat dari Deasy. "Tapi, emang gitu keadaannya, Bu. Kalau Bu Deasy lupa, kita nggak cuma sekali berhubungan. Bahkan sampai dua kali. Dan saya ingat benar di tiap permainan, kakak tua saya selalu tampil polosan tanpa helm."
Ya Tuhan, Deasy ingin menangis. Tolong culik Lucas biar pria ini tidak ngoceh terus.
"Tetap aja, belum tentu bayi di perut saya anak kamu!"
Lucas menggeleng.
"Nggak bisa. Pokoknya itu anak saya." Lucas kembali mendebat. Mengeluarkan semua kemanpuan yang ia punya. Memastikan agar Deasy tidak mampu membalasnya.
"Jangan lupakan juga, mau gimana pun, Ibu yang udah pertama kali ambil keperjakaan saya. Jadi, tolong tanggung jawabnya."
"Nggak usah diperjelas, Luc. Kamu ngomong seolah-olah di sini saya yang m***m dan cabul."
Lucas hampir tertawa melihat Deasy yang tidak terima dituduh sebagai perenggut keperjakaannya.
"Tapi kenyantaannya emang gitu. Bahkan dua make out, yang beringas dan Agresif malah Ibu. Saya sih kebagian tugas mengimbangi permainan aja. Tapi, omong-omong sebagai pemula, saya akuin Ibu mainnya memang bagus malam itu."
"Hah? Masa, sih?"
Lucas mengangguk. Pria itu membenarkan apa yang baru saja dirinya katakan.
"Serius. Buktinya tiap saya ganti gaya, Ibu kayak yang paham dan langsung klik aja. Dan setelah saya cermati, kayaknya Bu Deasy lebih suka gaya woman on top, alias di atas. Iya, nggak?"
"Hmm ... Iya, sih." Deasy malah mengangguk. Wanita itu mengaminkan apa yang Lucas bahas soal macam-macam gaya yang mereka lakukan saat make out beberapa waktu silam. "Soalnya, kalau di atas, bisa bebas aja bergerak dan berekspresi. Mau cari posisi paling pas biar bisa klimaks juga jadinya gampang terus leluasa."
"Itu dia!" Lucas menjentikkan jarinya. Pria itu setuju dengan apa yang Deasy ucapkan. "Setelah dua kali make out bareng, saya juga udah curiga karena Ibu selalu ambil posisi di atas. Saya sih sebagai penikmat yang berada di bawah kuasa ibu, suka-suka aja. Yaa ... walaupun terkadang sering terasa terburu-buru dan nggak sabaran juga."
"Oh, gitu? Jadi menurut kamu saya mainnya terlalu buru-buru?"
"Lebih ke nggak sabaran sih. Kayak yang kita make out sambil dikejar-kejar satpol PP. Padahal, kalau lebih pelan dan dinikmati, pasti Bu Deasy bisa merasakan puas sampai berkali-kali."
"Sebenarnya, kalau teori sih saya banyak. Udah sering banget belajar berbagai macam gaya dan cara bertahan lama di atas ranjang. Tapi, sejauh ini eksekusinya emang nggak pernah," aku Deasy tanpa canggung. "Lagian, yang saya ajak make out selama ini juga nggak ada. Bener-bener baru kamu. Jadi, kalau saya terasa kaku atau suka terburu-buru, harap di maklumin aja."
"Sama aja, Bu. Tapi, untuk pemula, permainan Ibu udah jauh dari kata bagus. Tinggal di asah lagi aja kemampuannya biar lebih berkembang."
Deasy mengangguk. Tampak setuju dengan saran serta kritik membangun yang sudah Lucas sampaikan kepadanya. Ia bertekad di kemudian hsri tidak akan mengulang kesalahan yang sama.
"Ya udah. Nanti, dipermainan berikutnya, saya bakal lebih pelan dan lembut. Biar kita berdua bisa sama-sama saling ... eh, bentar?" Deasy kemudian terperanjat. Matanya melotot, sedang mulutnya sudah siap mengumpat. "Ini kita kok malah sharing soal gaya di atas tempat tidur, sih. Kamu yang nggak-nggak, ya!"
Lucas tertawa kemudian menutup mulutnya buru-buru. Kenapa malah dirinya lagi yang kini disalahkan.
"Kok saya sih, Bu? Saya itu seakan-akan nggak pernah benar di mata Bu Deasy."
"Ya emang kamu yang dari awal udah salah."
Lucas berdecak. Dalam hati terus menahan diri agar sabar menghadapi Deasy yang aslinya menyebalkan
"Saat itu, saya udah berkali-kali tolak ibu secara baik-baik. Tapi Ibu maksa terus, kan? Ya dari pada mubazir, saya iyain aja."
Deasy melotot gemas. Dicubitnya lengan Lucas dengan sengaja.
"Kamu ngeselin, ya! Udah deh, nggak usah bahas beginian. Pokoknya mau saya hamil atau nggak, itu bukan urusan kamu."
"Nggak bisa. Pokoknya saya mau tanggung jawab. Saya bukan tipe cowok yang habis manis sepah di buang. Saya juga sadar diri bukan tipe suami idaman. Itu sebabnya, terserah Bu Deasy mau saya nikahin atau nggak." Lucas menjeda kalimatnya sejenak. Menatap Deasy lamat-lamat, kemudian lanjut berbicara kembali seolah belum habis lagi ia tumpahkan isi hatinya. "Yang pasti, selama Ibu mengandung darah daging saya, saya pastikan untuk memenuhi semua kebutuhannya sampai lahir nanti. Kalau pun nanti begitu lahir ibu nggak pengen membesarkannya, tolong berikan aja ke saya. Dengan senang hati bakal saya rawat bayi itu."
Deasy mendesah panjang. Kehabisan kata-kata untuk menanggapi apa yang Lucas sampaikan kepadanya.
"Terserahmu aja, Luc. Saya pusing. Mending cepat pergi dari hadapan saya. Sebelum saya mual terus muntah."
***
"Perlu banget ini aku ke dokter kandungan?"
Deasy memasuki mobil Velove dengan memasang tampang cemberut. Baru saja pulang kerja, dan belum lagi sempat merebahkan tubuh, sahabatnya itu sudah datang dan terus memaksanya untuk ikut bersama memeriksakan kondisi calon bayinya ke dokter spesialis kandungan.
Deasy akui, Velove ini sahabat yang baik dan juga sangat perhatian. Tapi, sumpah demi apa pun, Deasy malas sekali harus pergi ke dokter kandungan segala macamnya.
"Perlu. Biar kamu tau dengan jelas kondisi kehamilan kamu saat ini gimana."
Velove dengan cueknya bantu memasangkan seatbelt pada tubuh Deasy. Kemudian melanjukan mobilnya agar bisa segera sampai ke rumah sakit.
Sesampainya di tempat tujuan, tanpa banyak bicara Velove langsung memboyong Deasy menuju poli kandungan. Menunggu sekitar sepuluh menit, keduanya terdengar dipanggil dan langsung dipersilakan untuk masuk ke ruang praktik.
"Silakan berbaring di sini, biar saya bantu periksa," pinta dokter kandungan yang saat itu sudah bersiap melakukan tindakan.
Perawat jaga pun bantu menuntun Deasy menuju ranjang pasien. Mempersilakan wanita itu berbaring dengan nyaman, sejurus kemudian mulai menerima tindakan yang dokter beri.
"Saat ini, usia kandungannya sudah mencapai delapan minggu. Biasanya, di trimester awal kehamilan, mood ibu hamil bakal sering naik turun. Sering merasa pusing, cepat lelah, mual, dan bahkan sampai muntah-muntah. Sekali lagi, itu normal terjadi."
"Saya sih sejauh ini cuma ngerasa lemes dan cepat lelah aja, dok," kata Deasy membenarkan.
"Mual, nggak?"
Deasy menggeleng.
"Untungnya nggak sama sekali. Sejauh ini saya belum ada merasakan mual atau muntah sekali pun."
"Bagus. Nanti, tetap saya resepkan aja obat mual dan muntah buat jaga-jaga. Saya sarankan di trimester awal ini jangan terlalu lelah dan stress. Olah raga boleh, tapi nggak boleh diporsir."
"Selain ke semua itu, apalagi yang biasanya terjadi pada ibu hamil, dok?"
Velove di tempat dudukny ikut bertanya. Walaupun sudah dua kali mengandung, ia tertarik saja ingin bertanya agar Deasy tahu apa-apa saja yang harus wanita itu lakukan selama masa kehamilan.
"Biasanya ibu hamil lebih sering mengantuk. Mood makan juga nggak bisa ditebak. Kadang nggak nafsu. Terkadang malah pengennya makan terus. Sama halnya dengan keinginan untuk berhubungan suami istri. Biasanya di trimester ini sebagian ibu hamil kehilangan gairah untuk berhubungan badan. Tapi, ada sebagian ibu hamil yang di trimester awal malah keinginannya jadi lebih tinggi dari pada biasanya. Untuk itu, saya ingatkan dari awal. Berhubungan suami istri diperbolehkan. Tapi, intesitasnya harus dikurangi dan lebih hati-hati."
Untuk saran serta penjelasan terakhir yang dokter ucapkan barusan berhasil menarik perhatian Deasy. Apa? Nafsu berhubungan jadi bertambah? Lalu, kalau memang hal ini terjadi padanya, lantas ia harus melampiaskannya kepada siapa? Lucas Fernando? Astaga! Yang benar saja.
Panjang lebar dokter memberi penjelasan. Sebelum pergi bahkan Deasy diresepkan berbagai macam obat serta vitamin yang harus rutin ia minum setiap hari selama masa kehamilan. Sungguh, hal ini ternyata merepotkan. Belum lagi Deasy tipikal orang yang suka lupa dan tidak telaten kalau harus meminum obat di jam-jam yang sama.
"Setelah masuk, aku ingatkan kamu buat langsung ganti baju. Terus lanjut makan malam, minum vitamin, terus segera tidur. Jangan kebanyakan pikirkan apalagi sampai begadang. Nggak baik buat ibu hamil.
Sesampainya di rumah, di depan pintu unit apartemen Deasy, Velove kembali memberi peringatan. Memastikan kalau Deasy melakukan apa-apa saja yang sudah dokter sarankan kepadanya.
"Iya, beres. Cerewet banget sih."
"Biar kata cerewet, ini buat kebaikan kamu juga."
"Tapi, nggak perlu di ulang-ulang, Ve."
"Biar kamu nggak lupa. Ya sudah, aku pulang dulu. Kalau butuh apa-apa, langsung telpon aja."
Deasy membiarkan Velove pamit pergi meninggalkannya. Baru saja pintu ia tutup rapat, bell terdengar berdering. Sedikit malas Deasy membuka pintu dan mendapati sosok Lucas sudah berdiri dengan menyunggingkan senyum khas pria itu.
"Astaga, Lucas. Mau ngapain lagi. Kamu bisa nggak sehari aja nggak ganggu hidup saya?"
Lucas terus mempertahankan senyumnya. Memilih untuk berdiri saja di depan pintu unit apartemen, pria itu menyerahkan apa yang dirinya bawa secara khusus.
"Tenang, Bu. Saya nggak lama. Ini sengaja singgah karena mau anterin ibu makan malam. Ada makanan berat dan snack di dalam papper bag yang baru aja saya serahkan. Setau saya, Ibu hamil suka kelaparan malam-malam. Jadi, saya sengaja belikan ini biar nanti ibu nggak repot."
Niat Lucas ini sebenarnya baik. Perhatian pula. Tapi, entah kenapa selalu saja salah di mata Deasy.
"Saya nggak lapar. Dan lagi, nggak usah sok perhatian, Luc. Mau gimana pun, usaha kamu itu nggak bakal mempan untuk meluluhkan hati saya."
"Saya suka roti, ibu suka donat. Saya nya perhatian setengah mati. Eh, ibu malah bodo amat."
"Ada tomat di makan kumbang. Ya saya emang bodo amat, Bambang."
"Saya Lucas, Bu. Bukan Danu, Jayus, Bambang. Hobi banget ganti-ganti nama orang."
"Ya intinya nggak usah buang-buang waktu kamu buat sok perhatian, deh."
Lucas kembali tersenyum. Dirinya sama sekali tidak tersinggung dengan apa yang baru saja Deasy katakan.
"Nggak usah kepedean, Bu. Saya melakukan ini bukan untuk Ibu."
"Lah, terus?"
"Untuk anak saya dong. Kan ibu lagi mengandung darah daging saya. Jadi, tolong kerja samanya sampai sembilan bulan ke depan."
Deasy berdecak malu. Sialan sekali Lucas sudah berhasil membuatnya malu.
"Udah, kan? Nggak ada lagi yang mau kamu omongkan?"
Lucas mengangguk.
"Udah kok, Bu."
"Ya udah, sana buru-buru pulang."
Deasy nampak mengusir. Ia bahkan sudah bersiap menarik pintu, bemaksud untuk menutup unit apartemennya.
"Ada kulkas di sebelahnya sumpit. Babang Lucas izin pamit, tolong hatinya nggak usah sedih sampai nangis jerit-jerit."
"Lucas!"
"Hehehe ..." Lucas cengengesan. Sebelum Deasy ngamuk, dirinya sekali lagi berpamitan dengan benar. Walaupun sebenarnya Deasy sama sekali tidak perduli.
"Saya pulang dulu, Bu. Tidur yang nyenyak. Semoga nanti malam mimpiin saya."
"Amit-amit!"