Seruan itu terdengar sangat jelas. Suara seorang pria. Diva menengok ke kanan dan ke kiri untuk mencari siapa yang menyerukan –memanggil– namanya. Iya, itu memang namanya. Dia sangat yakin.
"Be!"
Sekali Diva mendengarnya. Kali ini terdengar lebih dekat, seolah orang itu berada di sebelahnya. Namun, tidak ada siapa-siapa yang berhenti selain dirinya. Jalan ini sangat ramai, selain dilewati kendaraan, trotoar jalan juga dipadati para pejalan kaki yang berlalu-lalang. Diva yakin tak ada seorang pun dari para pejalan kaki yang mengenalnya. Buktinya tidak ada seorang pun yang berhenti atau menyapanya. Mereka terus berjalan tanpa menoleh ke arahnya.
"Be!"
Diva menggeleng. Sekarang dia ragu pada pendengarannya. Beberapa hari terakhir ini dia sangat sering mendengar suara-suara yang memanggilnya dengan sebutan itu. Bukan suara-suara, hanya satu suara, dan sekarang dia kembali mendengarnya, bahkan di tengah keramaian.
"Be!"
Seorang pria melewatinya. Pria berambut hitam pekat mengenakan kacamata minus membingkai wajah bulatnya. Matanya yang sipit dan kulit putih kekuningan menjelaskan jika pria itu keturunan Tionghoa ataupun ras berkulit kuning lainnya.
"Be, tunggu, dong!"
Pria itu yang berseru sejak tadi? Namun, tunggu dulu, kenapa suaranya terdengar berbeda? Suara yang didengarnya tadi tidak seperti suara pria ini. Suaranya lebih dalam dan terkesan manly, khas suara seorang pria dewasa. Bukan berarti suara pria oriental seperti suara perempuan, bukan. Suaranya juga besar khas suara laki-laki, tapi bukan suara seperti ini.
"Bea, tunggu Papa!"
Pria oriental meraih pundak seorang gadis kecil berusia sekitar lima tahun. Tinggi gadis kecil itu sebatas paha bagian atasnya. Memiliki rambut dan warna kulit yang sama dengan pria oriental yang menyebut dirinya sebagai Papa. Gadis kecil bernama itu memutar tubuhnya seratus delapan puluh derajat. Sekarang Diva dapat melihat wajahnya dengan jelas. Mata sipit, hidung kecil dan agak pesek, bibir mungil yang mengerucut, dan pipi chubby. Tanpa sadar Diva membingkai pipinya sendiri. Menurut Arkan, pipinya masih saja chubby sampai sekarang. Diva mengembuskan napas melalui mulut. Tentu saja seperti itu, 'kan? Tidak ada yang berubah dalam dirinya, sedikitpun.
Diva tersenyum melihat interaksi Ayah dan anak gadisnya yang cemberut. Gadis kecil itu sedang merajuk, dan ayahnya sekarang berusaha membujuk. Pantas saja sejak tadi terdengar seruan 'Be', ternyata seruan itu untuk memanggil si kecil Bea. Entah siapa nama lengkap gadis kecil itu, tapi nama panggilannya sangat cantik, serasi dengan paras mungilnya yang seperti boneka porselen.
Diva memutuskan untuk meneruskan langkah. Kafe yang dituju tinggal beberapa meter lagi di depannya. Dia harus bergegas jika tidak ingin kepanasan. Trotoar di jalan ini memang tidak terkena sinar matahari secara langsung. Pohon besar yang tunggu di sepanjang jalan menaunginya dari paparan cahaya matahari. Namun, tetap saja suhu udara tidak bersahabat baginya. Dia tetap berkeringat.
Bagian depan kafe terlihat asri. Ada beberapa pohon berukuran kecil menghiasi, letaknya dekat pintu masuk. Meskipun demikian tidak menghalangi pandangan orang-orang yang berada di dalam kafe. Pohon-pohon itu lebih tinggi dari kaca jendela berukuran besar yang dipasang di sekeliling kafe. Diva membuka pintu, melangkahkan kaki memasuki kafe, kemudian menutup pintunya kembali, bersamaan dengan dua orang pria lewat di depan kafe. Salah seorang pria, yang memakai setelan berwarna cokelat terang, serasi dengan warna matanya, menoleh ke arah kafe. Langkahnya berhenti, ia memegangi d**a bagian kirinya, jantungnya berdegup dua kali lipat lebih cepat.
"Lu kenapa, Jun?"
Pria yang satunya bertanya, ia juga menghentikan langkahnya. Pria itu mengenakan setelah berwarna abu-abu dengan kemeja biru muda, dan dasi berwarna senada dengan setelannya. Tatapannya khawatir tertuju pada pria berparas kebarat-baratan di sebelahnya.
"Nggak apa-apa." Pria yang ditanya menggeleng, menjawab tanpa menatap. Matanya terfokus pada kafe di depannya. "Cuman ... kok, d**a gue berdebar kencang kayak gini, ya?"
"Masa, sih?" Temannya kembali bertanya. Nada suaranya menunjukkan kecemasannya. "Kita ke dokter sekarang. Lu mau?"
Pria itu kembali menggeleng. "Nggak usah," jawabnya, masih tanpa menatap. Fokusnya tak berubah, tetap ke arah kafe. Ia seolah merasakan penyebab debaran jantungnya yang menggila ada di dalam sana. Namun, ia menolak untuk masuk ke dalam sana.
***
Kafe di depannya memang tak asing. Bukan karena ia sering makan atau menghabiskan waktu di sana, melainkan karena terlalu sering melewatinya. Kafe ini tidak terlalu cocok untuknya yang lebih menyukai sesuatu yang bersifat minimalis. Selain dekorasinya yang sedikit 'heboh' kafe ini juga sering dipenuhi oleh anak-anak sekolah, itu yang membuatnya paling tidak suka. Kenangan masa sekolahnya sangat buruk. Kehilangan gadis yang dicintainya untuk selamanya hingga nyaris membuatnya depresi bukanlah sesuatu yang ingin diulanginya.
Namun, Juna justru menghentikan langkahnya di depan kafe ini. Beberapa saat ia masih berdiri di depan kafe dengan mata terfokus ke arah pintu masuk kafe, dan tangan kanan yang memegangi d**a kirinya. Pertanyaan Kevin hanya dijawabnya sambil lalu. Ia memandangi kafe dengan konsentrasi penuh, mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi, kenapa jantungnya jadi berdebar seperti sekarang ini.
"Lu mau kita makan siang di sini?"
Juna tidak menjawab. Tidak juga memberi reaksi, ia tetap diam seperti patung. Kevin mengembuskan napas panjang melalui mulut. Entah sudah berapa kali Juna mengabaikan pertanyaannya. Setelah mengatakan dia baik-baik saja, Juna tak bereaksi apa-apa lagi. Tubuhnya seolah kaku.
"Juna!" Kali ini Kevin berseru di dekat telinganya, sambil menggoyangkan lengan Juna. Mengabaikan tatapan heran dari orang-orang yang lewat di sekeliling mereka. Ia yakin telah terjadi sesuatu pada sahabatnya.
Juna melirik Kevin sekilas, kemudian kembali menatap ke dalam kafe melalui kaca yang tidak tertutup batang pohon. Ia memanjangkan lehernya, mencoba melihat ke dalam lebih jelas.
"Astaga! Gue berasa ngomong sama tembok." Kevin mengusap wajah. "Tembok yang bisa jalan," sambungnya tanpa suara. Terkadang Juna memang seperti ini, mengabaikan orang-orang di dekatnya dan fokus pada dunianya sendiri. Sangat menyebalkan. "Juna?"
Sepuluh detik menunggu tetap tak ada jawaban. Gemas, Kevin menarik lengan Juna, membawanya ke depan pintu kafe. Tangan kanannya terulur meraih pegangan pintu. Namun, sedetik sebelum tangan Kevin menyentuh pegangan itu, Juna sudah menghentikannya, tatapannya menajam.
"Kenapa?" tanya Kevin heran. Sepasang alisnya berkerut menatap Juna.
"Ngapain lu ngajakin gue ke sini?" Juna balas bertanya. Kemudian, tanpa berbicara apa-apa lagi ia langsung memutar tubuh, meninggalkan kafe dengan langkah lebar.
"Juna!" Kevin berseru memanggilnya. Ia tidak mengerti dengan apa yang ada dalam pikiran Juna. Bosnya itu sedang dalam masa labil, mungkin.
Setengah berlari Kevin mengejar Juna yang sudah beberapa meter berada di depannya. Berjalan menjajarinya setelah berhasil mengejar.
Sementara di dalam kafe, Diva menoleh ke arah pintu. Dinding bagian depan kafe yang terbuat dari kaca membuat semua yang terjadi di depan kafe dapat terlihat dari dalam, dan karena dinding kaca itu menggunakan kaca satu arah, hanya orang-orang yang berada di dalam kafe saja yang bisa melihat apa yang terjadi di luar. Sementara yang di luar tidak bisa melihat keadaan di dalam kafe kecuali orang itu menempelkan wajah di kaca dinding kafe.
Dua orang pria yang berdiri di depan pintu kafe tak luput dari perhatiannya. Dilihat dari interaksi mereka yang tidak biasa,.sepertinya kedua pria itu tengah bertengkar. Salah seorang dari pria itu, yang mengenakan setelan berwarna abu-abu, terlihat beberapa kali memutar bola matanya. Pria itu tampan, alisnya tebal, kulit putih khas orang pribumi. Sepertinya dia orang yang ramah. Beberapa kali Diva tersenyum melihatnya memutar bola mata. Kelakuannya seolah mengingatkannya pada seseorang, tapi dia lupa siapa orang itu. Yang pasti mereka dekat, kedekatan sebagai sahabat.
Satu orang lagi adalah pria mengenakan setelah berwarna cokelat terang. Posisi pria itu memunggunginya sehingga wajahnya tak terlihat. Tak berapa lama kedua pria itu meninggalkan pintu kafe, didahului oleh pria yang mengenakan setelan cokelat terang. Diva melanjutkan menyeruput milkshake strawberry pesanannya. Sebenarnya dia tidak terlalu menyukai yang berperasa strawberry, dia lebih menyukai rasa vanilla, tetapi kata pelayan rasa vanilla habis, terpaksa dia memilih yang rasa strawberry. Lagipula, strawberry sangat cocok dikonsumsi dalam cuaca sepanas ini.
"Juna!"
Diva tersedak minumannya. Dia sedang meminum milkshakenya menggunakan sedotan saat mendengar nama itu disebut. Ada satu potong kecil strawberry yang langsung meluncur masuk ke lambungnya. Sejenak Diva berpikir, benarkah ada yang menyebut nama itu? Siapa? Dirinyakah? Namun, rasanya tak mungkin dia yang menyebutnya, di dalam hati sekalipun. Suara itu bukan suaranya, suara itu adalah suara laki-laki.
Diva kembali menatap ke arah pintu. Tak ada lagi dua pria yang bertengkar tadi. Yang tertinggal adalah debaran jantungnya yang berusaha diabaikannya sejak tadi. Tak hanya jantung yang berdetak dua kali lebih cepat, dia juga merasakan perasaan yang lain. Perutnya terasa melilit. Tidak sakit, tetapi seolah ada ribuan ekor kupu-kupu yang beterbangan di perutnya. Tak sadar Diva menyentuhnya. Tangan kanannya bergerak mengusap perut ratanya, dan tanpa tahu alasannya jantungnya berdetak semakin menggila.
***
"Heh, lu, Oncom! Ngapain tadi berdiri di depan pintu kafe kalo nggak mau masuk? Malu-maluin doang!" Kevin melempar gumpalan kertas ke arah Juna yang tengah meminum s**u vanilla langsung dari kotaknya. Mereka tiba di apartemen Juna sekitar setengah jam yang lalu, dan sekarang sedang menunggu makan siang mereka yang masih dalam perjalanan. Gara-gara Juna yang kesal mereka tidak jadi menghabiskan waktu di kafe langganan, dan memilih makan siang di apartemen saja. Berhubung tak ada seorang pun dari mereka yang mau dengan sukarela memasak makan siang, Juna memutuskan untuk memesan saja.
Juna duduk di sofa di depan Kevin dengan santai, tak peduli dengan Kevin yang sesekali masih melemparinya dengan bola-bola dari kertas. Bola-bola itu tidak menyebabkan rasa apa-apa di kulitnya. "Nggak tau gue, Vin." Ia meletakkan kotak s**u yang sudah kosong ke atas senja, kemudian melemparkan punggung ke.arah belakang, bersandar pada sandaran sofa. "Jantung gue aja yang rasanya nggak enak banget. Kencang banget debarannya sampai d**a gue rasanya sakit."
Kevin mendengarkan dengan seksama, ia tak ingin menyela sampai Juna menyelesaikan. ceritanya.
"d**a gue sakit, tapi bukan sakit yang biasa. Rasanya sesak, gue mau nangis."
Untuk yang ini rasanya Kevin ingin tertawa. Tak dapat dibayangkan seandainya Juna menangis di depan umum, entah apa yang akan terjadi. Memalukan? Mungkin, tapi ia ragu karena tak pernah ada kata memalukan bagi seorang Arjuna Dirgantara.
"Makanya tadi gue nolak pas lu ngajak ke dokter." Juna mengakhiri ceritanya. Ia menegakkan tubuh, berjalan ke arah pintu setelah mendengar suara bel berbunyi. Pesanan makanan mereka sudah tiba. Juna segera membawa dua buah kotak berisi makan siang itu ke ruang tengah di mana Kevin menunggu, dan meletakkannya di atas meja. "Makan lu, pasti lapar, 'kan?"
"Iya lah lapar!" Kevin memajukan duduknya, mengambil satu kotak dan membukanya. Tak ada cacing yang bersorak di dalam perutnya melihat menu kesukaannya di dalam kotak itu. Ia tidak selebay itu dalam membuat perumpamaan. Lagipula, ia tidak memiliki riwayat cacingan, selau menjaga kebersihan dan rajin mengonsumsi vitamin. "Orang lu juga nggak mau gue ajak makan di kafe itu. Padahal udah depan pintu, tapi nggak jadi masuk. Asli lu bikin malu, tau nggak, Jun?"
Juna mengedikkan bahu acuh. "Ngapain juga lu harus malu, 'kan, nggak maling kita."
Kevin mendelik. "Emang nggak maling, tapi, 'kan, gengsi, Juna!" Ia membelalak. "Masa, sih, lu nggak malu? Bukannya lu raja gengsi, ya?"
"Nggak tuh!" Juna menggeleng. "Kafe itu kebanyakan pengunjungnya kebanyakan anak ABG, Vin. Malas gue ketemu anak-anak kayak gitu." Ia kembali mengedikkan bahu sebelum mengambil sebuah kotak, membuka tutupnya, dan mulai menyantap isi kotak.
Kevin meringis. Ia tahu alasannya kenapa Juna tak ingin bertemu dengan anak-anak ABG itu. Mereka pernah mengajaknya berkencan. Sungguh, saat itu ia tergelak. Memang sudah bukan rahasia lagi, banyak anak SMA sekarang yang menjual tubuh mereka pada p****************g berduit, hanya untuk memenuhi keinginan hidup glamor mereka. Sayangnya, para remaja perempuan itu salah sasaran. Juna memang seorang playboy dan penyuka seks bebas, tapi itu dulu. Sekarang, setahunya, setelah kepergian Diva, Juna tak pernah lagi berurusan dengan dunia seperti itu. Entah bagaimana dia menyalurkan hasratnya. Dirinya saja tidak tahan bila tidak menyentuh Nora dalam waktu yang lama.
"Mikir jorok pasti lu. Iya, 'kan?" tebak Juna asal.
"Mana ada!" Kevin membantah keras. Wajahnya memerah. "Kalo ada apa-apa, biasanya, 'kan, lu yang pertama gue kasih tahu."
Iya, mereka memang sering berbagi. Dari rahasia kecil sampai rahasia besar, nyaris tak ada satu pun yang terlewat.
Juna mengedikkan bahu sekali lagi. Berlagak tak peduli, ia meneruskan makan dengan pikiran yang tertuju pada kafe yang tadi mereka lalui. Seandainya ia menginginkan, mereka bisa makan siang di sana, tak peduli dengan para remaja itu yang kemungkinan besar akan mengerubutinya seperti yang sudah-sudah. Hanya saja, ia tidak mau. Dadanya terasa sesak, panas seakan ingin meledak. Entah kenapa ia merasakan kehadiran Diva di dekatnya. Sangat dekat sampai-sampai ia bisa mencium aroma khasnya. s**u vanilla.
Juna mengembuskan napas melalui mulut dengan pelan, tak ingin Kevin mengetahuinya. Kekepoan Kevin sangat merajalela. Dia sudah seperti biang gosip saja. Aroma khas Diva bahan tercium sampai ia tiba di apartemennya. Oleh sebab itu, ia langsung meminum s**u begitu tiba. Sebagai pengobat rasa rindu terhadap gadisnya.