Seandainya Juna tahu Tasya sudah menunggu di lobi kantornya, ia pasti tidak akan masuk kantor hari ini. Sebagai bos, ia bisa beralasan apa saja. Namun, yang terjadi adalah sebaliknya. Kevin yang tadi malam menginap di unitnya, dan pagi ini mereka pergi bersama. Tidak ada juga yang memberitahunya sehingga pagi ini ia langsung bertemu dengan wanita penyihir itu, begitu ia menginjakkan kaki di lobi kantor. Lengannya terasa berat karena di ganduli lengan Tasya yang memegang tas tangannya. Udara di lobi tiba-tiba pengap, panas. Padahal penyejuk udara sudah dinyalakan. Ia berdehem satu kali mencoba untuk mengusir Tasya, tapi wanita ini justru semakin mengeratkan pelukan di lengannya. Astaga! Mimpi apa dia tadi malam sehingga pagi ini bisa bertemu penyihir.
Juna melirik Kevin yang berdiri di samping kanannya, meminta bantuannya untuk mengusir Tasya. Kevin yang memang juga tidak suka dengan kedatangan Tasya, mengubah posisinya. Ia berpindah ke sebelah kiri Tasya, berdehem untuk mengingatkannya. Ia menyadari jika Juna merasa sangat tidak nyaman dengan kehadiran Tasya. Ia yang sudah mengusir Tasya berulangkali atas suruhan Juna. Terakhir adalah seminggu yang lalu. Sebab Tasya tak bergeming, ia harus meminta bantuan petugas keamanan gedung.
Namun, dasar Tasya bandel, dia malah memelototi Kevin. Persetan dengan Kevin, dia juga tidak peduli dengan penolakan Juna. Selama masih ada jalan terbuka, selama Juna masih sendiri, itu berarti kesempatannya untuk mendapatkan Juna masih terbuka. Dia yakin pasti akan dapat meluluhkan hati Juna seperti saat mereka masih sekolah dulu. Selama apa pun waktu yang dia perlukan, dia akan tetap berusaha.
Sekali lagi Kevin berdehem. Ia harus menyingkirkan Tasya segera, atau Juna akan mengamuk di sini. Wajah pria itu sudah memerah, rahangnya mengetat. Mood Juna tidak terlalu bagus sejak beberapa hari ini, tadi malam juga dia kurang tidur. Bukan karena lembur menyelesaikan pekerjaan, melainkan terbangun karena bermimpi buruk saat kepergian Diva. Biasanya Juna tidak akan bisa tidur lagi setelah itu kecuali mengonsumsi obat tidur. Masalahnya, dia trauma pada obat-obatan terutama obat tidur. Obat sialan itu yang sudah merenggut nyawa dua orang yang dicintainya. Alhasil, Juna terjaga nyaris di sepertiga malam terakhir. Padahal dia sudah tidur larut malam untuk menghindari mimpi buruk itu.
"Sya, gue sama Juna pagi ini mau keluar, kita ada pertemuan penting di salah satu perusahaan kolega. Kita berdua mau siap-siap, lu mending pulang sekarang, deh." Kevin masih berusaha mengusir Tasya secara halus.
"Kalian siap-siap aja, Tasya nggak bakalan ganggu, kok." Tasya tersenyum. Memutar kepala menatap Juna yang jauh lebih tinggi darinya. Meskipun mengenakan sepatu berhak tinggi, dia masih tetap harus mendongak agar bisa memandang wajah tampan itu, dari dekat. "Tasya bakalan nunggu sambil duduk manis di sofa. Ya, Juna, boleh, ya?"
Semanis apa pun senyum yang diberikannya pada Juna tak akan pernah mempan, Juna tak pernah lagi menganggapnya ada. Tasya sudah tahu hal itu. Namun, dia keras kepala, tetap menginginkan Juna. Sekeras apa Juna menolaknya, sekeras itu juga dia akan berusaha.
Sekali lagi Kevin berdehem. Sepertinya Juna sudah di ambang batas, gerakan kedua tangannya yang mengepal erat sampai buku-buku jarinya memutih adalah bukti jika dia tengah berusaha menahan amarah. Jangan sampai Juna meledak karena semua pegawai, termasuk dirinya akan kena damprat sepanjang hari. Meskipun mereka tidak memiliki kesalahan. Pernah Juna langsung memecat seorang pegawai saat dia meledak hanya karena pria itu melakukan sebuah kesalahan kecil. Tak ada yang ingn insiden yang sama kembali terulang, oleh karena itu ia berusaha mengusir Tasya secepat yang ia bisa.
"Mana bisa kayak gitu, Sya!" Suara Kevin meninggi. Ia tak sadar sehingga membuat mereka menjadi pusat perhatian lebih dari sebelumnya. Namun, Kevin tak peduli, ia sudah terlanjur kesal, dan tak berniat lagi untuk menurunkan nada suaranya. "Lu tau nggak, sih, kalo lu itu ganggu? Heran gue sama lu, udah diusir ribuan kali dari sini tetap aja datang. Nggak tau malu banget jadi cewek!"
Tasya merasakan pipinya memanas. Jujur saja, dia malu, tapi ditahannya mati-matian. Katakan saja dia sudah tidak memiliki harga diri lagi, dia tidak marah. Kenyataannya memang seperti itu, harga diri dan semua kesombongannya tak berlaku di depan Juna. Dia rela merendahkan dirinya di depannya, asalkan Juna mau bersamanya. Dia tergila-gila padanya. Hanya seorang William Arjuna Dirgantara yang mampu membuatnya bertekuk lutut, dan menjatuhkannya sampai ke dasar yang terdalam.
"Kevin ngomong apa, sih? Nggak sopan banget jadi cowok!" balas Tasya tanpa menatap pria itu.
"Astaga!" Kevin mengusap wajah kasar. Tak hanya Juna yang kehabisan kesabaran menghadapi Tasya, ia juga. Padahal stok kesabarannya masih tersisa banyak, sekarang menipis karena Tasya. "Eh, lu denger, ya, Sya!" Kevin memencet pangkal hidungnya, mendekatkan mulutnya ke telinga Tasya. Ia harus sedikit membungkukkan tubuh agar dapat mencapainya. "Kesabaran Juna udah habis, lu mau dia ngamuk?" tanyanya mendesis. "Nggak cuman kita-kita yang kerja sama dia yang kena getahnya, lu yang utama." Ia menegakkan tubuh. "Mau lu?"
"Tasya nggak takut!" Tasya mengangkat dagu. "Tasya yakin, Juna nggak bakalan mukul Tasya."
"Berani taruhan?" Kevin menantang. Sebelah alisnya terangkat menatap Tasya.
Tasya menatap Kevin sekilas lantas mendengkus. Perhatian para pegawai masih tertuju pada mereka. Setiap dari mereka yang lewat, pasti menyempatkan diri untuk menatap setidaknya menoleh ke arah mereka. Sedikit memalukan memang, tapi dia tak peduli, malah sebaliknya. Dengan ini, semua pegawai di perusahaan ini akan mengetahui posisinya di hati Juna. Mereka yang melihat pasti akan menduga jika Kevin lah yang menjadi orang ketiga dalam hubungan mereka sehingga membuat Juna marah. Tasya tersenyum penuh kemenangan di dalam hati.
"Nggak berani, 'kan, lu?" Kevin kembali meninggikan nada suaranya. "Sebab lu tau Juna nggak pernah suka sama lu...!"
"Kata siapa Juna nggak pernah suka sama Tasya?" Tasya memotong perkataan Kevin cepat. Pipinya kembali terasa panas, rasanya sudah sampai ke telinga. "Juna sama Tasya, 'kan, dulu pacaran...."
"Dulu!" Gantian sekarang Kevin yang memotong perkataan Tasya. Ia tertawa geli. "Itu juga sebelum Juna kenal apa yang namanya cinta. Lu pasti paham artinya, 'kan? Kalo nggak paham biar gue kasih tau lu." Jari tangan Kevin bergerak memanggil. "Itu artinya Juna nggak cinta sama lu." Tawanya kembali pecah. Lebih keras dari tadi.
Kali ini Tasya tak dapat menyembunyikan kegusarannya lagi. Kevin dibiarkan semakin kurang ajar menurutnya. Bisa-bisa seluruh keburukannya semasa remaja dulu terungkap. Saat ini dia sudah tidak seperti dulu lagi. Terapi yang dijalaninya selama beberapa tahun terakhir membuahkan hasil yang lumayan signifikan, dia dapat menekan libidonya yang selalu tinggi. Sudah lebih dari satu tahun dia tidak bersentuhan secara intim dengan lawan jenis. Dia hanya fokus dalam usahanya mengejar Juna. Sulit memang, tapi dia berusaha semampunya demi seorang Juna.
"Kevin kalo dibiarin makin jadi, ya!" Tasya mendelik tajam.
"Kalo nggak mau gue makin jadi, makanya lu pulang sana!" Kasar? Iya, tapi Kevin tak peduli. Wanita piala bergilir seperti Tasya sudah biasa dikasari. "Nggak ada yang mau lu di sini!"
"Kevin!" bentak Tasya serak. Dia kesal, marah, sampai-sampai ingin menangis. Dari semua penghinaan yang di dapatnya di gedung perusahaan Juna, ini adalah yang terburuk. "Tasya benci sama Kevin!"
"Gue juga nggak suka sama lu!" balas Kevin santai. Dengan paksa ia melepaskan rangkulan tangan Tasya di lengan Juna, menarik Juna meninggalkan Tasya yang mengentalkan kaki, menuju lift.
"Lama amat, sih, lu?" Juna memprotes saat mereka sudah berada di dalam lift khusus direksi. "Pegel lengan gue dipeluk sama dia."
Kevin tertawa. "Gue kira lu suka dipeluk kayak gitu, Bos, makanya gue biarin."
"Bangke!" Juna tahu Kevin bercanda, tapi ia tetap kesal. Tidak ada yang mau menjadi tontonan hampir seluruh pegawai di perusahaannya sendiri. Apalagi yang mereka tonton adalah sebuah pertunjukan yang memalukan. Entah kapan Tasya tidak akan mengganggunya lagi. Ia bosan menghadapi wanita itu.
"Tenang aja, Bos!" Kevin menepuk pundak Juna. "Gue yakin, beberapa waktu ke depan dia nggak berani ke sini lagi. Pasti malu lah dia!"
"Emangnya dia punya malu?" Tasya Juna kesal. "Coba aja lu pikir, seandainya Tasya punya malu nggak bakalan lah dia ke sini tiap minggu. Udah diusir juga dia tetap datang, 'kan?"
Kevin meringis, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Apa yang dikatakan Juna benar, seandainya saja Tasya mempunyai rasa malu, tak mungkin dia datang lagi setelah mendapatkan pengusiran pertama. Bukannya terus datang seperti tadi.
"Hari ini kayaknya gue pulang cepat lagi, Vin. Nggak ada jadwal gue yang penting, 'kan?" Juna menoleh sekilas. Ia segera keluar dari lift begitu pintunya terbuka. "Kalo emang ada, lu cancel aja, atau lu yang handle. Pusing gue, mau istirahat aja di unit. Gue nggak mau mecat karyawan gue lagi."
Juna memasuki ruangannya setelah berkata seperti itu, tanpa diikuti oleh Kevin. Ada pekerjaan yang harus diselesaikan pria itu. Yang paling penting adalah ia harus mengatur ulang jadwal Juna yang sudah disusunnya untuk seminggu ke depan.
***
Tubuh yang bergelung dalam selimut tebalnya itu menggeliat. Mata indahnya perlahan terbuka, mengerjap beberapa kali sebelum terbuka sempurna. Diva menutup mulutnya yang menguap kemudian menyingkap selimut sampai sebatas pinggang. Dengan malas Diva duduk, dia masih mengantuk. Meskipun demikian dia tetap menggeliat, meregangkan otot-ototnya yang kaku setelah tidur semalaman. Dua bulan terakhir ini –sejak kepulangannya ke tanah air– tidurnya selalu nyenyak. Meskipun mimpi tentang pria itu tetap hadir, tapi setelah terbangun dia akan kembali tidur dan bangun pagi harinya. Sepertinya pilihannya untuk pulang sangat tepat, dia dapat melalui malamnya dengan berkelana ke alam mimpi seperti dulu.
Dia benar, 'kan? Dia selalu tidur nyenyak, 'kan, sebelum-sebelumnya? Maksudnya, sebelum dia kehilangan ingatan. Entah apa yang terjadi sebelum itu, sepertinya sangat buruk sehingga kedua orang tuanya seolah enggan dia mengingat lagi. Sepertinya mereka lebih suka dia sekarang ini. Namun, dia tidak menyukainya. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang tidak ingin memiliki masa lalu, begitu juga dengan dirinya. Tidak ingat apa-apa kejadian yang sudah terjadi di masa lalu, sama saja dengan dirinya yang tidak memiliki masa lalu.
Diva menurunkan kaki, sekali lagi menguap sebelum berdiri, dan melangkah ke kamar mandi. Dia harus membersihkan tubuhnya agar lebih segar. Hari ini dia akan menjalani sesi wawancara di perusahaan Arkan. Mengingat itu, Diva jadi bersemangat, kantuknya langsung hilang. Dengan ceria dia berdiri di bawah guyuran air hangat yang mengalir dari shower. Terdengar senandung lirih dari mulutnya.
Diva menyelesaikan mandinya dengan cepat. Setelah berpakaian rapi, dia langsung turun menuju dapur. Tak ada orang tuanya, dia sudah tahu itu, Mama sudah memberitahu jika akan berangkat pagi-pagi ke luar kota bersama Papa. Mama selalu mendampingi Papa ke mana pun pergi mengurus bisnisnya. Seingatnya, sejak dulu Mama juga sudah seperti ini, selalu meninggalkannya seorang diri di rumah. Ada pembantu dan tukang kebun memang, tapi mereka tidak dapat menggantikan peran Mama sebagai ibunya.
"Mama sama Papa udah pergi, ya, Bik?" tanya Diva pada Bik Asih, pembantunya, yang sedang menyiapkan sarapan.
Sebenarnya ada dua buah meja makan di rumahnya. Satu yang terletak di ruang makan, letaknya di sudut kanan dapur, hanya dibatasi dinding penyekat tanpa pintu. Yang kedua dan selalu menjadi pilihan adalah meja yang sekarang dia duduki. Letaknya di dapur, bentuknya jauh lebih kecil, tapi dia justru lebih suka makan di meja makan dapur daripada di ruang makan. Dia suka melihat kegiatan memasak, apalagi jika Mama yang melakukannya. Masakan Mama selalu enak.
"Udah, Non, tadi subuh. Pesawatnya perginya subuh katanya." Bik Asih memberi tahu dengan gaya medoknya.
Diva mengangguk, mengabaikan perkataan Bik Asih yang mengatakan pesawat pergi. Dia lebih tertarik pada roti bakar dan segelas s**u vanila yang sudah tersedia dengan manis di atas meja. "Diva juga mau pergi sebentar lagi, Bik," ucapnya. "Mau interview pekerjaan di perusahaan Arkan."
Bik Asih meletakkan sepiring sosis goreng di atas meja di depan Diva. Majikan mudanya, selain menyukai s**u vanilla, juga sangat menyukai sosis goreng, dan itu tidak berubah walaupun dia amnesia. Bik Asih mengangguk, kemudian duduk di depan Diva, memperhatikannya makan, dalam diam.
Tak sampai lima menit, sepiring sosis goreng dan segelas s**u sudah berpindah ke perut Diva. Dia berdiri, bersiap untuk pergi. "Diva langsung pergi aja, deh, Bi!" pamitnya mencium punggung tangan Bik Asih. "Diva dianter sama Pak Dudung."
"Hati-hati, ya, Non!" Bik Asih mengantarkan Diva sampai ke depan. Kembali masuk ketika mobil sudah menghilang dari halaman.
Kemacetan tetap menjadi potret wajah Ibu kota di setiap negara. Pagi ini pun sama, mobil yang membawa Diva terjebak macet. Padahal ini masih pagi, tapi mobilnya merayap. Berhenti beberapa menit di depan sebuah gedung tinggi berlantai lebih dari sepuluh lantai. Diva mendongak, mencoba menatap atap gedung, sebelum seruan itu kembali didengarnya.
"Be!"
Diva berdebar. Jantungnya berdegup kencang di dalam rongga d**a seolah ingin keluar. Kepalanya tiba-tiba berdenyut, pandangannya berputar.
"Be!"
Seorang remaja laki-laki mengenakan seragam sekolah menghampirinya, memeluknya erat setelah mencium bibirnya. Mereka berada di sebuah ruangan yang diyakininya berada di gedung ini.
"Aku sayang kamu, Be. My future wife."
Diva menekan kepalanya yang berdenyut kencang. Keringat membasahi pelipisnya. Dia memejamkan mata, sekelebat wajah muncul di sana. Wajah seorang anak laki-laki dengan senyum yang khas. Tanpa sadar Diva menyebutkan namanya.
"Juna."