9. Jadi Dilamar

1020 Words
"Ma, aku sudah ganteng belum?" Pertanyaan Gery membuat Gwen terkekeh geli. Pasalnya anak sulungnya ini terkenal punya tingkat percaya dirinya yang tinggi. Tapi bisa-bisanya sekarang malah sibuk dengan penampilan. "Bukankah kamu itu selalu ganteng setiap waktu setiap saat?" Dengan senyum jumawa Gery kembali berucap, "Ah, iya. Mama benar. Baru bangun tidur saja aku sudah ganteng kan, ya?" Gama yang baru saja menuruni anak tangga dan mendengar pembicaraan kakak bersama mamanya, memberikan ekspresi seperti orang mau muntah. "Dasar lebay banget." "Apa sih kamu. Jangan iri saja sama aku. Mentang-mentang aku mau nikah duluan kamu jangan resek begitu." "Semoga saja Gea betah ngadepin tingkah laku Kak Gery," ucap Gama dengan ekspresi menyebalkan. Gwen lekas menengahi. "Sudah ... sudah. Kalian ini malah ribut. Papa mana? sudah hampir jam tujuh kok belum keluar kamar. Coba Gam. kamu panggil papa." Baru juga Gama akan melangkah, Gandhi Ganesha sudah terlihat mendekat. "Sudah siap semua?" "Siap, Pa!" Dengan semangat Gery menjawab. Gandhi hanya tertawa melihat tingkah laku putra sulungnya. "Ayo kita berangkat. Sepertinya sudah ada yang kelewat semangat," goda Gandhi. Gery membatin, iya juga. Kenapa dia jadi semangat begini. Bukankah lamarannya untuk Gea atas dasar paksaan dan dengan alasan karena dia tidak mau dilangkahi oleh Gama. Dia juga tidak mencintai Gea. Tapi entah kenapa malah lamaran yang akan dilakukan ini terasa spesial. Bahkan sudah melintas di dalam pemikiran Gery, untuk melangsungkan pernikahan satu bulan dari sekarang. ••• Sementara itu di rumah keluarga Gea. Gustaf Sampurna. Ayah dari Gea, sedang cemas lantaran anak perempuannya akan dilamar. Belum lagi acara lamaran yang baru beliau ketahui sekitar satu jam yang lalu. Sehingga tidak ada banyak waktu untuk melakukan persiapan apapun. Langsung mandi dan memakai pakaian terbaiknya untuk menyambut tamu kehormatan yang akan datang ke rumahnya. "Ini anak kita tidak sedang bercanda kan, Ma?" Untuk ketiga kalinya Gustaf menanyai istrinya yang sedang memoles make-up di wajah, setelah sebelumnya sibuk menata makanan yang suaminya bawa untuk menjamu Gery dan keluarga. "Mama harap juga kita sedang tidak dikerjai Gea. Lha, datang-datang ke rumah bilang sama mama jika malam ini akan ada yang datang melamar dia." "Memangnya beneran Ma yang mau lamar Gea itu bosnya di kantor?" "Kata Gea begitu. Mama juga tidak tahu. Papa tahu sendiri jika anak kita tidak punya kekasih selama ini. Tidak pernah juga bawa teman cowok ke rumah. Jadi sebenarnya mama itu sangsi jika apa yang Gea ucapkan hanya untuk mengelabuhi kita agar tidak terus memaksa dia menikah." Gustaf mengusap kasar wajahnya. "Gio gimana? Jadi datang nggak?" "Katanya jadi. Tapi nggak bisa bawa anak istrinya. Dari kantor mau langsung ke sini." "Papa keluar dulu lah. Nungguin Gio," putus Gustaf pada akhirnya yang meninggalkan istrinya. Pria paruh baya itu keluar dari dalam kamar. Sesekali melongok ke depan berharap ada seseorang yang datang. Benar saja. Mobil putra pertamanya terlihat parkir di depan. Gustaf sudah menunggu di dalam untuk menyambutnya. "Papa!" sapa Gio ketika memasuki ruang tamu. Tidak ada perubahan yang berarti dengan kondisi rumah karena memang Gina tidak ada waktu melakukan semua itu. Tadi saja Mama Gina sudah mengerahkan dua orang pembantu untuk menyiapkan makanan hasil dari Gustaf membelinya di restoran. "Gi, akhirnya kamu datang juga." "Acaranya jam berapa sih, Pa. Sumpah kaget banget aku pas mama telepon katanya akan ada tamu yang datang melamar Gea." "Papa juga nggak tahu. Kata mama kamu jam tujuh." "Sekarang mama dan Gea di mana?" "Masih di kamar. Biasa wanita kalau siap-siap suka lama." "Ya sudah. Aku mandi dulu kalau begitu. Masih nutut kan waktunya? Ini juga masih setengah tujuh." "Ya udah buruan sana. Kalau kamu nggak ada baju, pinjam baju papa saja. Minta ke mama sana." "Siap, Pa." ••• Di dalam kamarnya, sudah berkali-kali Gea membuang napas kasar. Bahkan untuk ketiga kalinya dia menghapus make-up yang berhasil diaplikasikan pada wajahnya. "Ngapain juga sih aku dandan begini? Bisa-bisa Gery Chocolatos itu akan menertawakanku. Dipikirnya aku kedemenan karena mau dia lamar," gerutu Gea pada dirinya sendiri. Membersihkan wajahnya sampai kinclong kembali. Dan di akhir keputusannya karena saat kepalanya mendongak, waktu sudah menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Yang artinya setengah jam lagi keluarga Gery akan datang. Gea hanya mengusap bedak tipis-tipis di wajahnya. Memberikan sentuhan eye shadow, eye liner dengan warna natural. Untuk alis hanya perlu dirapikan saja tanpa ditambah pewarna apa-apa karena bentuk alisnya pun sudah bagus dan tebal alami. Terakhir, Gea memoles bibirnya dengan lipstik. Selesai. Dirasa penampilannya sudah cantik, Gea pun keluar dari dalam kamar. Bertepatan dengan kehadiran kakak lelakinya. "Dek! Astaga, kamu ini ada-ada saja. Bisa nggak sih kalau kasih kejutannya jangan dadakan begini." Gea merotasi bola matanya jengah dengan protes yang dilayangkan oleh kakak lelakinya. Pasalnya ini sudah yang kesekian Gio mengomel setelah sebelumnya meneror melalui pesan w******p. Padahal Gio hanya perlu memastikan bahwa adiknya serius dan tidak bercanda. Sudah paham betul dengan karakter Gea yang suka bersikap sesuka hati. Jadi wajar jika Gio susah mempercayai akan adanya acara lamaran malam ini. "Apa sih, Kak! Buruan sana mandi. Keburu tamunya datang masih bau asem." "Iya ... iya kakak mandi." Gio melangkahkan kaki meninggalkan Gea yang kini berdiri dalam kebimbangan. Kalau semisal Gery berbohong dan hanya membual saja tentang lamaran ini bagaimana? Bisa-bisa keluarganya murka. Namun, seolah-olah mendapat angin segar dan kecemasannya hilang kala ponsel yang berada dalam genggaman tangan bergetar. Pesan masuk dari Gendis yang Gea dapatkan. [Selamat ya, Ge. Akhirnya malam ini kamu dilamar Pak Gery. Aku ikut berbahagia dan maaf aku nggak bisa ikutan datang. Tadi sebenarnya Gama ngajakin aku. Tapi kaki aku sudah nggak dapat diajak kompromi. Capek banget rasanya. Aku doakan semoga acara lamaran kamu dan Pak Gery berjalan lancar tanpa hambatan apapun. Amin.] Gea sungguh lega setelah membaca pesan yang Gendis kirimkan. Jika Gendis berkata demikian, berati Gery betulan akan melamar. Ya, Tuhan. Kenapa dia jadi deg deg an begini. Balasan pesan pun segera Gea ketikkan. [Thank you ya, Dis, untuk doa-doanya. Aku deg deg an ini. Sayang sekali nggak ada kamu di sini.] Sebelum Gea kirim, dibubuhi dengan emoticon menangis. Gea menyentuh dadanya. Terasa debaran jantungnya yang menggila. "Assalamualaikum!" Suara salam dari pintu depan, sempat membuat Gea kaget lalu panik. Dipikirnya, Gery dan keluarga Ganesha yang datang. Ternyata bukan. Karena kini justru Gibran dan papa mamanya yang melangkah masuk ke dalam rumah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD