Maura mengerjapkan kedua matanya, karena merasa terganggu oleh pergerakan Vernon. Maura terduduk sembari memegang selimut sebatas dadanya, ia takut jika Vernon marah kepadanya.
Vernon menatap lekat wajah Maura yang terlihat menunduk sembari menggigit bibir bawahnya.
"Kau bisa ceritakan apa yang terjadi tadi malam?," Tanya Vernon berusaha menetralkan emosinya, karena ia merasa gadis ini hanya menjadi korban.
"Ta...tadi malam, kau pingsan dan aku membawamu kesini tapi...." Maura menjeda ucapan nya dan mulai terdengar isakan kecil dari bilah bibir gadis itu. "Tapi...kau memaksaku untuk melakukan itu," lanjut Maura di sertai tangisan pilu yang ia buat sesedih mungkin. Vernon memejamkan kedua matanya dan menyenderkan kepalanya di kepala ranjang sembari mengusak rambut nya kasar. "Astaga....apa yang sudah aku lakukan," lirihnya terdengar begitu frustasi.
Maura diam-diam melirik pemuda di sampingnya dengan sudut matanya dan sedikit tersenyum penuh kemenangan. "Maura...tolong maafkan aku, aku sungguh tak sengaja melakukan itu semua," Vernon memegang kedua bahu gadis itu berusaha meyakinkan. "Bagaimana dengan ku, kehormatan ku sudah hilang," tangis Maura semakin pilu. Vernon merogoh saku jasnya yang tergeletak di lantai dan memberikan kartu nama serta setumpuk uang kepada Maura.
"Ini uang untuk memenuhi keperluanmu sementara, dan juga ini kartu namaku, hubungi aku jika terjadi sesuatu pada mu...aku akan bertanggung jawab," ucap Vernon begitu yakin. Maura menatap lekat wajah pemuda di sampingnya ini, ia tak menyangka bahwa pemuda ini begitu bertanggung jawab dan sangat baik hati. Padahal ia tidak menyentuh tubuhnya walau hanya seinci. Vernon memakai pakaiannya kembali, dan sedikit membersihkan diri di kamar mandi. Setelahnya pamit pada Maura untuk pergi bekerja. "Maafkan aku, aku harus kembali bekerja...dan jika kau butuh sesuatu hubungi aku, aku akan memenuhi semua kebutuhanmu," tutur Vernon dan di balas anggukan oleh gadis sok polos itu. Sepergian Vernon, Maura segera berpakaian dan menemui Sera di ruang pribadinya.
"Kak...Sera, aku berhasil," ucapnya dengan senyuman lebar yang tertera di bibir manisnya. "Bagus... sekarang pulanglah dan beritahu Paman gila mu itu," decih Sera, merasa malas jika harus menyebut nama pria tidak waras itu. Maura menghela nafas panjang dan merosot lesu."kau benar Kak...aku harus segera kembali sebelum pak tua itu mengamuk pada Bibi ku," sahut Maura dan pergi meninggalkan tempat itu dengan langkah gontai.
Sesampainya di rumah, Maura sudah di hadang oleh Rehan dengan tatapan tajam menusuk. "Bagaimana kerjamu? Apa kau berhasil?," Tanya Rehan penuh intimidasi, Maura hanya mengangguk malas tanpa berkata sepatah kata pun. Rehan tersenyum pongah, ia tertawa terbahak-bahak seraya menepuk bahu sempit gadis di hadapannya. "Bagus...kerja bagus sayang, aku yakin kau selalu bisa ku andalkan," serunya, entah mengapa Maura begitu benci dengan kata-kata yang terkesan pujian namun bagi Maura terdengar seperti merendahkan.
Sudah dua bulan lamanya, Maura memoroti harta pemuda kaya yang tak lain adalah Vernon. Dan selama itu juga Vernon merasa begitu nyaman dengan Maura namun tidak dengan gadis itu, Maura tetap saja menganggap Vernon sebagai gudang harta berjalannya. Hingga kini tiba saatnya Maura menjalankan misi selanjutnya untuk mencapai tingkat tertinggi dalam rencananya. Yaitu berpura-pura hamil, agar Vernon menikahinya dan menjadikan dirinya sebagai ratu terkaya di dunia.
Maura menemui Vernon seperti biasa, meminta ini-itu yang jelas barang-barang mahal yang mungkin harganya bisa mencapai puluhan juta. Namun Vernon tak ambil pusing, selama Maura bahagia ia juga ikut merasa tenang, hitung-hitung sebagai tanda pertanggung jawaban nya pada gadis tersebut, tapi jujur Vernon juga terpesona dengan kecantikan gadis itu dan juga kebaikan hatinya, ia tak merasa Maura memoroti harta nya, toh! Itu wajar-wajar saja baginya, untuk seorang wanita meminta barang-barang kecantikan. Karena semua itu tak sebanding dengan kehormatan gadis itu yang telah ia renggut, batinya.
Maura mengajak bertemu Vernon di siang hari ini ketika Vernon masih sibuk dengan pekerjaan nya, namun entah mengapa Vernon merasa ada yang tidak beres dengan gadis itu, pasalnya tak biasanya Maura mengajaknya bertemu secara mendadak begini.
Sesampainya di sebuah kafe tempat Maura mengajak bertemu Vernon.
"Maaf membuatmu menunggu lama, tadi aku sedang ada rapat penting," tutur Vernon sembari mendudukkan tubuhnya di hadapan Maura dengan meja sebagai penghalang nya. Maura hanya menggeleng lesu dengan wajah tertekuk. "Apa ada sesuatu yang penting? Kenapa kau terlihat bersedih?," Tanya Vernon khawatir. Maura menyerahkan sebuah amplop kecil berisikan benda berwarna putih pipih dengan dua garis biru tergambar di benda tersebut. Vernon memelototkan kedua bola matanya, terkejut. Apa ini artinya ia akan segera menjadi seorang Ayah? Seru batinya, merasa ada gelanyar kebahagiaan di dalamnya. Ia senang jika itu semua benar adanya, karena ia sudah lama menyukai Maura dan artinya ia akan segera menikah dan hidup bahagia bersama keluarga kecilnya kelak. Maura memandang bingung wajah berbinar pemuda di hadapannya ini, ada apa dengan pemuda ini? Mengapa ia justru terlihat bahagia?, Batin Maura bertanya-tanya.
"Maura.... Apa kau sedang mengandung anak kita?," Tanya Vernon tak sabaran, berharap gadis di hadapannya ini mengatakan jawaban 'iya'.
Maura mematung tak percaya, di luar ekspektasi nya. Ia mengira bahwa Vernon akan marah dan pergi meninggalkan nya, namun yang terjadi justru sebaliknya. Pemuda itu sangat antusias mendengar berita palsu ini. Maura sedikit bahagia, akhirnya rencana terakhirnya berjalan begitu lancar. "Iya...aku hamil, apa kau akan pergi mencampkanku?," Tanya Maura sok khawatir padahal ia tau sendiri apa jawaban dari pemuda itu.
"Hei...apa maksudmu hm? Mana mungkin aku mencampakkan gadis yang sudah mengandung darah dagingku sendiri," jelas Vernon, sembari menangkup kedua pipi gadis di hadapannya. Maura sedikit tersipu, andai ini bukan pura-pura ia akan sangat bersyukur bertemu dengan pemuda sebaik Vernon. Namun nyatanya semua ini tak lebih hanya sebuah penipuan demi meraup habis harta pemuda itu.
"Apa kau akan menikahi ku?," Tanya Maura lagi. Vernon tersenyum manis, meraih kedua tangan Maura dan mengecupnya penuh ketulusan. "Iya..pasti, aku akan menikahi mu secepatnya," ujar Vernon dengan raut wajah berbinar. Maura menangis sejadinya bukan karena terharu dengan ucapan pemuda ini, namun karena rasa bersalah yang selalu menggerogoti jiwanya di setiap waktu. Melihat tangisan gadis di hadapanya, Vernon segera berdiri dari tempat duduknya, memeluk sayang tubuh gadis yang tengah menangis tersedu-sedu itu.
"Kenapa kau menangis hm? Apa kau tidak suka? Maafkan aku Maura.. gara-gara aku masa remajamu hancur," lirih Vernon merasa sangat bersalah. Maura mendongakkan wajahnya dengan kedua mata sembab. "Bukan begitu, aku hanya merasa sangat beruntung bertemu dengan pemuda sebaik dirimu," titah Maura. Vernon tersenyum simpul dan mengecup pucuk kepala gadis di dekapan nya. "Terima kasih....terima kasih sayang," tanpa sadar Vernon berucap kata sayang untuk Maura. Maura semakin terisak dan bergumam dalam hati.
Kenapa? Kenapa berterima kasih padaku? Sedang aku hanya bisa memberimu harapan palsu. Maafkan aku Vernon.... maafkan aku.
"Bagaimana dengan keluarga mu Ver? Apa mereka akan menerima ku?," Tanya Maura, kini jujur ia benar-benar takut jika harus berhubungan langsung dengan keluarga seorang konglomerat sedang dirinya hanyalah gadis miskin yang bahkan bekerja di club malam.
"Tenang saja... Kedua orang tuaku pasti menyuakimu apa lagi kau sedang mengandung penerusku," ucap Vernon meyakinkan Maura. "Bagaimana kalau sekarang kita ke rumahku, agar kau bisa mengenal Mama dan Papaku, kebetulan mereka sedang ada di rumah sekarang," ucap Vernon lagi. Maura menatap lucu wajah Vernon. "Apa harus sekarang? Aku belum siap.. dan lihat lah wajah ku sangat berantakan," rengek Maura . Vernon terkekeh ia sangat suka melihat wajah imut gadis di hadapannya ini. "Tenanglah... Mamaku orang nya sangat baik, dan juga kau tetap terlihat cantik walau dalam keadaan begini," bisik Vernon yang mana semakin membuat kedua pipi Maura bersemu merah. Dan akhirnya Vernon mengajak Maura pergi kekediamnya.
Sesampainya di kediaman keluarga Vernon, Maura memelototkan kedua bola matanya masih berasa mimpi, ia baru pertama kali ini melihat bangunan megah bak istana negri dongeng terpampang nyata di depan matanya. "I...ini rumahmu Ver?," Tanya Maura terbata, namun tatapannya masih terfokus pada bangunan menjulang tinggi di hadapannya ini. "Em... begitu lah, kau suka? Aku bisa memberimu lebih besar dua kali lipat dari Mansion ini setelah menikah nanti," ucap Vernon begitu santai, seakan ucapnya itu hanya sesuatu yang biasa. Maura menatap kagum kearah Vernon, ia tak bisa membayangkan seberapa kayanya pemuda itu hingga mungkin harta nya tidak akan habis untuk tujuh turunan. "Ayo masuk..mau sampai kapan kau akan tetap berdiri di sini?," Kekeh Vernon sambil menarik lembut tangan Maura. Maura malu ketahuan begitu kampungan karena mengagumi keindahan Mansion di depannya, walau memang kenyataannya begitu.
Kedua mata Maura kembali terbelalak karena di sambut beberapa pengawal dan juga puluhan maid yang sudah berjajar rapi di depan pintu menyambut kedatangan mereka, tidak! Lebih tepatnya menyambut kedatangan Vernon. Maura merasa seperti seorang ratu di tempat ini, sangat menyenangkan. Batinya bersorak girang. Hingga tiba-tiba sosok maid paruh baya mendatangi mereka sembari membungkuk hormat dan berkata begitu sopan. "Selamat datang Tuan muda,," ucap maid paruh baya itu, yang di yakini sebagai kepala maid di Mansion ini. "Dimana Papa dan Mama Bi?," Tanya Vernon tak kalah sopan, ia sudah menganggap Maid itu sebagai orang tua kedua untuk nya. "Nyonya dan Tuan ada di ruang tengah Tuan muda," sahutnya, Vernon hanya mengangguk paham dan menuju ruangan tersebut bersama Maura.
Maura meremas kedua tangannya, ia sangat gugub. Bagaimana jika kedua orang tua Vernon itu kejam seperti di sinetron yang sering ia tonton?, Batin Maura konyol. Tak berapa lama mereka pun sampai di ruangan itu. Terlihat dua sosok pria dan wanita tengah terduduk di sofa merah bludru nya. Terlihat begitu berkarisma memancarkan orang terpandang hanya di rasa dari auranya yang terpancar. Nyonya Jungnara sebagai Mama biologis Vernon terlihat tengah menyesap secangkir teh dari cangkir mewahnya begitu terlihat anggun hanya sedang menyesap secangkir teh saja. Sedang Tuan Jordan Fernando sebagai Papa biologis Vernon terlihat tengah menikmati membaca selembar koran paginya.
"Pa...Ma....aku pulang," seru Vernon mengalihkan atensi perhatian keduanya. Mereka berdua menghentikan aktivitas nya masing-masing dan menatap ke arah Vernon dan juga gadis asing yang berada di samping putra mereka. "Sayang...kau sudah pulang? Dan tunggu siapa gadis manis ini hm?," Ucap Nyonya Jungnara sembari berlari kecil menuju ke arah Maura, mencubit pipi gadis itu gemas. Maura hanya nyengir bodoh melihat sikap orang tua Vernon yang ternyata jauh sekali dari perkiraan nya. Wanita paruh baya itu begitu baik dan juga sedikit konyol tidak seperti wanita kaya pada umumnya yang terkesan sombong. "Ayo duduk dan jelaskan pada Mama, Vernon," cerca Nyonya Jungnara pada putranya dengan delikan tajam yang jatuhnya malah terkesan lucu.
"Iya...Ma, " malas Vernon dan merengkuh tubuh Maura, menuntunya untuk duduk. Sedang Tuan Jordan hanya tersenyum ramah melihat Maura. "Siapa namamu nak?," Tanya Tuan Jordan kemudian. "Saya Maura Tuan," ucap Maura gugup. Tuan Jordan terkekeh merasa lucu dengan sikap gadis di hadapannya ini." Jangan canggung begitu, panggil aku Om saja hm," pinta Tuan Jordan. Dan di balas anggukan canggung oleh Maura. "Jelaskan pada Mama,.. sejak kapan kau mempunyai kekasih ha? Apa kau berencana akan membuat Mama terkejut begitu?," Delik Nyonya Jungnara, bersikap seolah-olah menjadi galak namun gagal. "Dia calon istri ku Ma...," Ucap Vernon yang mana membuat kedua orang tua nya tekejut.
Bagaimana bisa pemuda yang notabene nya anti dengan yang namanya pacaran dan sekarang tiba-tiba berbicara tentang istri. "Kau tidak sedang bercanda kan Vernon?," Tanya sang Papa memastikan. "Untuk apa aku bercanda Pa...aku sungguh-sungguh ingin menikahi Maura, karena dia sedang mengandung anakku," ucap Vernon santai, namun mampu membuat jantung kedua orang tua nya berhenti berdetak.
"Apa..." Sahut kedua orang tua Vernon bersamaan. "Dasar anak nakal... Sejak kapan kau berotak m***m ha?," Nyonya Jungnara memukul kepala putranya dengan kemoceng. "Astaga...Ma.. kenapa kau memukuli ku? Nanti kalau aku mendadak bodoh bagaimana?," Rengek Vernon bak anak kecil. "Kau memang sudah bodoh dasar.... Seenaknya sendiri membuat anak orang hamil," cerca Nyonya Jungnara tiada henti. "Ma...sudah hentikan, biarkan Vernon melanjutkan ucapannya," sergah Tuan Jordan pada akhirnya.
Terpaksa Nyonya Jungnara berhenti sambil menggerutu sebal dan beralih kesamping Maura namun tiba-tiba sikapnya berubah konyol lagi. "Ah ..sayang...apa anak nakal ini menyakitimu?," Tanya Nyonya Jungnara sambil menguyel pipi tembam gadis itu. "Ti...tidak Tante, Vernon sangat baik padaku," canggungnya. Nyonya Jungnara hanya merengut. "Jangan panggil dengan sebutan Tante, panggil aku Mama... karena sebentar lagi kau akan menjadi bagian dari keluarga ini," seru wanita paruh baya itu bahagia. "I...iya Ma...," Sahut Maura malu. "Kalian harus menikah secepatnya, Mama tidak mau tau.... akhirnya sebentar lagi aku akan menjadi Grandma," seru Nyonya Jungnara, sembari mengelus perut datar Maura.
Maura terdiam, ia seribu kali lipat semakin merasa berdosa telah menipu keluarga sebaik keluarga Vernon ini. Setelah beberapa jam kemudian Vernon mengantarkan Maura kembali kerumahnya sekaligus untuk meminta restu pada Paman Maura untuk menikahi keponakannya, mendengar pernyataan itu tentunya membuat Rehan girang tidak kepalang, karena sebentar lagi keinginannya untuk menjadi orang kaya akan segera tercapai.
Maura sedikit melamun di kamarnya, meratapi nasibnya yang rumit. Andai kedua orang tua nya masih hidup ia tidak akan terjebak dalam permainan takdir seperti ini. Maura mencoba menghubungi Sera, menceritakan semua kegundahan hatinya. Karena hanya gadis itu yang selalu menjadi tempat nya mencurahkan isi hatinya.
Satu bulan berlalu dan pernikahan Maura dengan Vernon tergelar begitu mewah, tak ada yang berani mempermasalahkan tentang setatus latar belakang kehidupan Maura. Nyonya Rosa selaku Bibi Maura datang bersama putri nya. Dan memberikan ucapan selamat kepada gadis tersebut, ia memeluk erat tubuh Maura sembari membisikkan kata-kata maaf untuk nya. "Maura....tolong maafkan Bibi sayang... Bibi tidak bisa berbuat apa-apa," tangisnya di bahu mempelai wanita itu. ,"Bi....tolong jangan seperti ini, aku tidak apa-apa melakukan semuanya ini asal Paman tidak menyiksa Bibi lagi," bisik Maura, ia mencoba menahan air matanya agar tidak mengalir keluar.
Vernon yang melihat itu segera menghampiri nya. "Ada apa sayang...ah! Bibi...kapan Bibi datang?," Serunya memecah kesedihan mereka berdua. Nyonya Rosa segera mengusap air matanya kasar dan tersenyum ke arah Vernon. "Baru saja Bibi datang...nak, Bibi titipkan Maura padamu! Tolong jaga dia baik-baik," ucap Nyonya Rosa tulus. Vernon tersenyum manis dan menjawab, "baik Bi...aku janji aku menjaga Maura dan membahagiakannya," sahut Vernon mantap.
Hingga tiba-tiba suara seorang pria yang begitu Maura kenal datang dan membuat mereka semua terdiam kecuali Vernon. Orang itu tak lain adalah Rehan, pria b***t yang tidak tau diri itu datang sembari merentangkan kedua tangannya lebar-lebar, siap memeluk Vernon. "Selamat untuk mu nak,..semoga kau bahagia bersama keponakan ku yang cantik ini," Rehan menyunggingkan senyumnya dan mengelus pipi Maura menggunakan punggung jamarinya.
Namun segera di tepis kasar oleh gadis itu. Vernon sedikit tak enak hati dengan perlakuan Maura terhadap Paman nya, ia segera menengahi. "Maaf Paman atas perlakuan istriku, emosinya sedikit berubah-ubah akhir-akhir ini," kekehnya. Rehan berdehem kecil, terdengar seperti deheman mengejek. "Iya...tidak apa-apa, mungkin karena efek kehamilannya, dulu Bibimu juga mengalami hal seperti itu, iya kan sayang?," Toleh Rehan ke arah sang istri. Yang merasa di sudutkan hanya menghela nafas berusaha menetralkan amarah nya, agar Vernon tak curiga padanya. "Iya...kau benar," sahutnya singkat. Acara pernikahan pun berjalan lancar tanpa ada penghalang apapun .
Hingga sore menjelang dan keluarga Rehan pergi meninggalkan tempat tersebut. Tak lupa Rehan berbisik di samping Maura. "Karena kau sudah menjadi orang kaya, jangan lupa transfer uang untukku," mendengar ucapan laknat tersebut, Maura hanya bisa meremas gaun pengantinnya, merasa emosi dengan sikap keterlaluan Pamanya itu.