Di dalam ruangan departemen arsitek itu, semua terhening sejenak. Anton dan Wisnu dengan wajah penasaran. Nicko masih menundukkan kepalanya. Candra heran dengan situasinya. Sedangkan Rhea masih terlihat panik.
"Apa maksudnya dengan yang kedua?" tanya Wisnu.
"Memangnya, Pak Nicko dan Rhea pernah menjadi pasangan kerja sebelumnya?" Anton gantian bertanya. Mendengar hal itu, Candra pun semakin merasa aneh.
"Apa kalian tidak tahu? Nicko dan Rhea ini ...."
"Benar!" potong Rhea dengan nada seru. "Kami sudah pernah bekerja bersama di Thailand! Iya kan, Pak Nicko?!" tanya Rhea melihat ke arah Nicko.
Nicko pun mengangkat kepalanya. Ia melihat Rhea tanpa ekspresi. Sedangkan Candra, semakin menautkan kedua alisnya, nampak terkejut. Ia kembali menengok ke arah Nicko.
"Jadi, saat di Thailand kemarin, kau sudah bertemu Rhea sebelumnya?!" Candra semakin terkejut. Anton dan Wisnu semakin tidak paham dengan kalimat Candra.
"Oh iya! Ada yang ingin aku tanyakan pada kalian!" Rhea segera menarik tangan Anton dan Wisnu. Menyeretnya menjauh dari Nicko dan Candra.
"Benar juga! Kita harus makan siang kan?!" Sedangkan Nicko, menarik Candra untuk keluar.
Rhea membawa Anton dan Wisnu ke mejanya. Sedangkan Nicko membawa keluar Candra dengan paksa. Anton dan Wisnu hanya kebingungan dan mendekat ke arah Rhea.
"Ini ada email mendadak dari pak Krisna. Soal tata letak yang akan kita kerjakan besok!" ujar Rhea mencoba mengalihkan perhatian Anton dan Nicko dari pembicaraan mereka awalnya.
Sedangkan Nicko, terus menyeret Candra keluar ruangan. Secara sedikit memaksa. Mereka berjalan, masuk ke dalam lift, untuk turun ke lantai satu.
"Apa ini? Jadi, kau sudah bertemu dengan Rhea saat di Thailand kemarin? Kenapa kau tidak cerita padaku?" tanya Candra. Nicko menautkan alis heran melihat Candra.
"Kenapa aku harus cerita padamu?" tanya Nicko. "Lagi pula, itu tidak penting dibahas. Sekarang yang penting adalah, rahasiakan dulu hubunganku dan Rhea untuk sementara," ujar Nicko.
"Memangnya kenapa?"
"Itu permintaan Rhea. Aku pikir ada benarnya, karena bisa menimbulkan keributan baru."
"Oooh ...." Candra mengangguk-anggukkan kepalanya. "Jadi, Rhea memintamu merahasiakan hubungannya denganmu?" lanjut Candra.
Sementara itu, pintu lift terbuka. Mereka sudah sampai, dan keluar lift. Mereka terus berjalan menuju kantin.
"Tolong kau juga ikut diam. Jangan beritahu siapapun di sini," kata Nicko.
"Tergantung mood-ku," ujar Candra dengan menaikkan kedua bahunya. Nicko menautkan alisnya.
"Kenapa kau harus seperti ini? Lakukan saja!" pinta Nicko berjalan cepat meninggalkan Candra. Candra segera menyusulnya.
"Kita lihat nanti, apakah kau bisa bersikap baik padaku atau tidak nantinya?" Candra semakin menggoda.
"Kau mau memerasku?!" tanya Nicko bingung.
"Bukan aku yang bilang?" Candra menaikkan kedua tangannya ke atas menghadapkan telapak tangan pada Nicko.
"Terserah saja! Aku malas berbicara denganmu!" tukas Nicko yang lalu kembali berjalan menjauhi Candra. Candra kembali menyusul.
"Eh, Nick! Baiklah ... Baiklah." Candra merangkul bahu Nicko. "Aku bisa merahasiakan hubungan kalian, karena memang permintaan Rhea. Toh, aku pikir-pikir juga, memang ada baiknya orang-orang tidak tahu kalau kalian adalah mantan suami istri kan?" Candra menaikkan kedua alisnya dengan menyengirkan senyum anehnya.
"Kenapa memangnya?" tanya Nicko. Candra masih tersenyum aneh.
"Kau tahu kan, sejak awal aku menyukai Rhea. Sayangnya, dia malah suka padamu, lalu menikah denganmu. Dan sekarang, kalian sudah bercerai. Jadi aku pikir ...." Candra menghentikan sendiri kalimatnya. Kemudian, ia tertawa aneh untuk menggoda Nicko. Nicko mengernyitkan dahi.
"Apa yang ingin kau katakan?!" tanya Nicko.
"Maksudku, melihat Rhea bisa diperkerjakan di sini, bukankah ini yang namanya takdir? Mungkin, jodoh Rhea dari dulu adalah aku?" Candra menaikkan salah satu alisnya dengan tersenyum lebih lebar dan tertawa lebih kencang dari sebelumnya.
Nicko hanya melihat Candra dengan tatapan sebalnya. Ia kemudian menghela nafas panjangnya.
"Jangan berpikir macam-macam! Kau pikir kau pantas melakukannya di hadapanku?!" ujar Nicko.
"Memangnya kenapa? Kau sudah melepaskan dia kan dulu? Setelah bercerai, kau juga bahkan tidak menghubungi atau mencarinya kan?"
"Diana!" ucap Nicko. "Menurutku, Diana akan lebih cocok untukmu," lanjutnya.
"Diana? Siapa dia?" tanya Candra.
"Dia juga salah satu arsitek perempuan yang datang bersama Rhea."
"Ooh, namanya Diana? Tapi, kata Anton dan Wisnu, dia agak judes," balas Candra lagi.
"Tidak juga. Diana selalu ramah dan baik padaku. Lagi pula, mana kau tahu kalau kau tidak bertemu dengannya langsung?" ujar Nicko.
"Aaaaa ... Kau hanya berusaha menjauhkanku dari Rhea saja, kan?" goda Candra lagi.
"Dengar! Aku ...."
Kalimat Nicko terhenti. Mendadak, ponselnya bergetar. Ia mengambilnya dari saku dan melihat di layar, ada panggilan dari pak Krisna. Membuat obrolan mereka terhenti.
"Sebentar, pak Krisna menelpon." Nicko segera mengangkat panggilan dari pak Krisna. "Halo, Pak?" sapa Nicko melalui ponsel yang sudah menempel di telinganya.
"Iya, Pak. Saya akan ke ruangan anda sekarang."
Nicko menjauhkan ponsel dari telinga. Ia menggeser kursor berwarna merah dan menutup panggilannya. Candra masih berdiri di sampingnya.
"Kau makan sendirian saja. Aku disuruh pak Krisna ke ruangan beliau sekarang juga." Tanpa menunggu balasan dari Candra, Nicko segera berjalan menjauhi Candra.
"Hei! Aku tidak main-main! Aku akan mendekati Rhea!" teriak Candra pada Nicko.
Nicko yang mendengar, hanya diam dan tidak ingin menanggapi. Ia tahu, Candra hanya asal bicara saja, dan memang suka menggodanya. Ia harus memenuhi panggilan pak Krisna sekarang juga.
Sedangkan Candra yang melihatnya, hanya kembali menggeleng-gelengkan kepala. Ia memperhatikan temannya yang sudah hilang kembali masuk ke dalam lift. Kemudian, Candra menyedekapkan kedua tangan.
"Kapan dia akan berubah?" gumam Candra pelan, sedang berbicara sendiri.
Candra kemudian membalikkan badannya. Kembali meneruskan jalannya ke arah kantin. Beberapa detik, ia sudah masuk ke dalam kantin.
Candra yang sudah berada di kantin, segera menuju ke arah galon air minum. Ia mengambil air mineral di dalam botol untuk minum. Saat tangannya sudah memegang botol, bersamaan dengan itu, tangan lain juga memegang botol yang sama.
Candra terkejut. Ia menoleh ke arah siapa yang sudah sama-sama memegang botol. Seorang tangan perempuan. Diana-lah orangnya.
"Maaf, sepertinya aku dulu yang mau mengambil air minum ini," kata Diana pada Candra.
"Oh! Iya. Maaf, sepertinya juga begitu," kata Candra nampak setuju.
Diana lalu tersenyum canggung. Ia kemudian melihat tangan Candra yang masih memegang botol mineral itu. Masih tidak mau melepaskannya. Membuat Diana heran.
"Kalau begitu, apa kamu bisa melepaskannya untukku? Aku baru selesai makan dan harus minum. Dan juga, di sini hanya tinggal satu botol mineral ini. Jadi ...," Diana menghentikan sendiri kalimatnya.
"Aku tahu. Aku adalah laki-laki gentleman. Akan kubukakan botol ini untukmu. Tanganmu yang satu, juga masih membawa wadah makanan yang kotor kan? Biar lebih mudah," kata Candra sembari tersenyum.
"Oh! Terima kasih," balas Diana dengan tersenyum.
Diana lalu melepaskan tangannya dari botol tersebut. Setelah itu, Candra mengambil botol itu, dan membukakan tutupnya. Ketika sudah terbuka, Candra langsung meminumnya. Membuat Diana membelalakkan kedua matanya.
"Heh! Kenapa malah kamu minum?!" seru Diana. Candra yang selesai minum baru setengah itu, kembali menutup botol mineralnya.
"Bukankah kamu juga tahu? Tadi kita memegang botol itu bersamaan," ujar Candra nampak santai. "Dan bukan hanya kamu saja yang haus. Aku juga haus. Sekarang, kamu bisa minum ini," ujar Candra memberikan botol mineral sisa yang ia minum pada Diana.
Kemudian Candra pergi begitu saja meninggalkan Diana. Diana yang masih di sana, benar-benar merasa kesal. Ia semakin melebarkan kedua matanya, dan merapatkan gerahamnya dengan sebal.
"Apa seperti itu yang disebut sebagai lelaki gentle?!" teriak Diana pada Candra yang sudah menjauh. Candra terus berjalan tanpa mempedulikan Diana. Diana kemudian mendesah kasar.
"Dasar! Memangnya dia bisa disebut sebagai laki-laki?" gerutu Diana dengan masih menahan kekesalan.