Bab 5

2052 Words
Kedatangan kelima gadis itu sudah ditunggu Tuan Callisto dan yang lainnya. Mereka melihat pertempuran kelimanya melawan Orion, komandan pasukan planet Ganmate. Melihat bagaimana jalannya pertempuran itu, mereka yakin kalau lima orang gadis itu tidak dalam keadaan baik-baik saja. Fre yang mendarat pertama. Andromeda langsung menurunkannya di aula, tempat pertama dia memanggil jin tempur itu. Disusul gadis yang lainnya. Mereka juga diturunkan di aula di depan Tuan Callisto dan yang lainnya. "Fre, apa kalian semua baik-baik saja?" tanya Tuan Callisto khawatir. Ia melangkah lebih dekat pada kelima gadis itu. Fre tidak menjawab. Dia yakin semua yang berada di sini sudah mengetahui keadaan mereka walaupun dia tidak mengatakannya. Dari raut wajah mereka yang tidak menampakkan kegembiraan juga sudah jelas terlihat kalau mereka tidak baik-baik saja. "Aku sudah baik-baik saja, Tuan Callisto. Hanya Lucia, Thea, dan Tita saja yang masih terluka." Anne yang menjawab. Sementara Freysia tetap diam, mulutnya tertutup rapat. Dia masih kesal pada Orion. Seharusnya mereka tidak dapat dikalahkan semudah itu, seharusnya mereka dapat melawan sedikit lebih lama. Memang gerakan pria itu sangat cepat sekali, nyaris tidak bisa ditangkap oleh mata. Namun, seharusnya mereka dapat bertahan. Bukan mereka, terapi dirinya! Seharusnya dia dapat membuat mereka bertahan. Freysia menggeram kesal, menyesali dirinya yang tidak ikut bertempur tadi. Dia hanya menyaksikan teman-temannya melawan Orion saja. Namun, Orion juga tidak menyerangnya, pria itu menyerang teman-temannya saja. Orion seolah sedang menunggu sesuatu. "Bagaimana denganmu, Fre? Apa kau juga baik-baik saja?" tanya Emilia tanpa menyembunyikan kekhawatiran dalam suaranya. Freysia terus saja berdiam diri sejak beberapa menit yang lalu. Wajah cantiknya mengeras, dia terlihat marah. Kalau dilihat-lihat, dia yakin gadis itu marah pada dirinya sendiri. Freysia pasti menyalahkan dirinya lagi. Emilia mengembuskan napas melalui mulut pelan. Freysia terap tidak menjawab, dia hanya menatap Emilia dan mengangguk sekali. Setelahnya tidak melakukan apa-apa lagi. "Kalian semua istirahat saja dulu. Kalian harus memulihkan tenaga kalian setelah bertempur tadi," ucap Tuan Callisto. Tatapannya tertuju pada Freysia yang mengepal. "Dan, untukmu Fre, kurasa kita perlu jalan-jalan dulu sebelum kau ke kamarmu. Jangan khawatir, Emilia akan mengantarkanmu nanti." Tetap tidak ada jawaban. Mulut itu terkunci rapat. Freysia mengikuti langkah teman-temannya yang meninggalkan aula. Tadi Tuan Callisto sudah mengobati mereka, tinggal beristirahat saja untuk memulihkan tenaga maka mereka akan merasa sehat seperti sediakala. "Bisakah kau mengikutiku, Fre?" tanya Tuan Callisto meminta. "Kita jalan-jalan sekarang sambil melihat keadaan Ameris." Mulut Freysia masih saja tertutup rapat, Tak ada suara meski dia melangkah mengikuti Tuan Callisto. Bahkan sampai mereka berada di luar kastil, dia tetap tak bicara. Hanya matanya saja yang mengawasi keadaan sekitar yang segelap malam. Tidak ada yang dapat membedakan antara siang dan malam, kecuali tubuh mereka yang merasa lelah meminta untuk diistirahatkan. Freysia mendongak, menatap langit kelam yang tampak mengancam. Di langit itu dia menghabisi orang yang memiliki tanggung jawab dalam kesejahteraan planet ini. Betapa jahat dirinya sudah menghancurkan keindahan planet yang sudah memujanya.sebagai seorang pahlawan. Freysia memejamkan mata, napas panjang terembus dari mulutnya yang terbuka. Meskipun sudah mencoba melupakan, tapi rasa bersalah itu tetap saja hadir. Semakin dia mencoba berusaha menghindar, semakin besar rasa itu mengejarnya. Semakin membuktikan kalau dia lah yang bersalah. "Lepaskan rasa bersalahmu, Fre, karena semuanya memang bukan salahmu. Berhenti menyalahkan dirimu sendiri. Sejak awal Putri Emery sudah tahu kalau semuanya akan berakhir seperti waktu itu, tapi dia tetap memanggil kalian. Kau ingin tahu apa alasannya?" Tuan Callisto menatap Freysia yang masih saja mendongak. Perlahan kepala bersurai pirang itu menoleh, menatap Tuan Callisto dengan tatapan penuh tanya. Tuan Callisto tersenyum. Pria berambut abu-abu itu menatap lurus ke arah depannya yang kosong. "Aku sudah mengatakan kalau Putri Emery tahu semuanya, bukan?" tanya Tuan Callisto tanpa menatap Freysia. "Dia ingin mati di tangan kalian, dia merasa terhormat dengan itu. Baginya lebih baik mati daripada harus lebih menderita lagi." Tuan Callisto mengembuskan napas melalui mulutnya pelan, menundukkan kepala sedetik sebelum mendongak menatap langit Ameris yang sekarang selalu gelap. "Putri Emery merasa sudah tidak sanggup menahan semuanya karena itu dia membiarkan saja saat Ades membawa dan menawannya. Kalau saja dia ingin melawan, Ades pasti kalah." Freysia mengerutkan alisnya. Masalah cinta dan perasaan ini, dia masih belum mengerti. Mengapa seseorang rela mengorbankan nyawa hanya untuk orang lain yang katanya begitu berarti? Apa mungkin karena dia belum merasakannya? Entahlah. Namun, sepertinya apa yang dirasakan Putri Emery berbeda dengan perasaan Thea pada Gama, atau mungkin sama? Freysia memejamkan mata sekilas sebum menatap ke depannya yang kosong. Hanya kegelapan yang terlihat di sana-sini. Semua keindahan di planet Ameris sudah terenggut, oleh dirinya. "Putri Emery merasa itu adalah satu-satunya yang terbaik yang bisa dilakukannya agar bisa menghindari cinta Ades. Namun, ternyata semuanya tetap salah. Cinta terlarang mereka justru semakin membara sampai-sampai Putri Emery harus memanggil kalian untuk menyelamatkannya." "Bukan menyelamatkan, tapi membunuhnya," sahut Freysia lamat-lamat. Tatapannya tak teralih saat mengatakan hal itu, tetap menatap lurus ke depan. "Bagaimana aku bisa berhenti menyalahkan diriku sendiri kalau sekarang keadaan Ameris hancur karena perbuatanku?" tanyanya keras. Freysia mengepal kuat seiring dadanya yang bergemuruh. "Hanya manusia yang tidak memiliki hati yang masih bisa bergembira setelah semuanya. Wajar Antares membenciku, kurasa Ameris pun seperti itu." "Sudah kubilang semua bukan salahmu!" Suara Tuan Callisto meninggi. Gadis berambut pirang di sampingnya ini memang sangat keras kepala, sama seperti Antares. "Kebencian Ares pada kalian itu salah dan sangat konyol. Dia hanya mencari orang untuk meluapkan rasa kesalnya karena tidak berada di Ameris saat semua itu terjadi." Freysia cepat menatap Tuan Callisto mendengar nama yang tak asing baginya disebut pria itu. Dia merasa nama itu sangat familiar dengannya, tapi lupa di mana dia pernah mendengarnya. "Ares?" ulang Freysia. Tuan Callisto menatap Freysia dan tersenyum. "Maksudku Antares," jawabnya. "Ares adalah nama panggilannya ketika ia kecil." Freysia mengangguk. Dia mengira tadi ada satu orang lagi yang masih belum bertemu mereka, satu orang lagi yang membenci mereka. Ah, bukan membenci mereka, tetapi membencinya. Teman-temannya tidak bersalah, mereka hanya menyumbang sedikit kekuatan dalam pembunuhan itu, kekuatannya yang paling besar. Oleh sebab itu, dia yang bersalah. Sama halnya terjadi pada pertempuran yang baru saja terjadi. Semua juga salahnya teman-temannya sampai terluka. Dia tidak melawan Orion, hanya melihat saja. Dia yakin seandainya dia membutakan mata Orion sejak awal, teman-temannya tidak akan terluka. "Semua yang terjadi, baik itu dulu maupun yang baru saja terjadi bukanlah salahmu." Freysia mengangkat kepalanya yang tertunduk. Menatap Tuan Callisto dengan tatapan tak mengerti yang kentara. Dalam hati dia bertanya, apakah Tuan Callisto bisa membaca pikiran atau melihat kejadian yang tidak dilihatnya? "Bukan hanya aku, tapi kami semua bisa melihat pertempuran kalian melawan Orion tadi." Perkataan Tuan Callisto menjawab pertanyaan di dalam hati Freysia. Mata birunya melebar, menatap Tuan Callisto tidak percaya. "Di aula, ada sebuah bola yang digunakan untuk memantau keadaan sekitar. Dulu bola itu digunakan untuk mengamati keadaan seluruh planet, sekarang pun fungsinya masih sama. Hanya saja, kekuatannya sedikit berkurang, bola besar itu milik Putri Emery." Freysia memalingkan wajah. Bagaimana mungkin dia bisa lupa kalau Ameris adalah planet sihir. Tidak aneh kalau ada bola dengan fungsi seperti yang disebutkan Tuan Callisto. "Aku hanya diam saja saat melihat Orion menyerang teman-temanku satu persatu." Freysia menundukkan kepala. Perlahan terlihat gerakan ke kanan dan ke kiri dari kepala yang tertunduk itu. "Seandainya saja aku juga melawan, mereka tidak akan terluka, Tuan Callisto!" Suara Freysia tiba-tiba meninggi. Gelengan kepalanya semakin kuat. Dadanya yang sesak membuat air menggenangi matanya tanpa disadari. Dia menangis. Tuan Callisto merengkuh tubuh mungil itu ke dalam pelukannya. Mengusap punggung yang bergetar memberi semangat. "Tumpahkan saja semuanya agar sesak itu pergi dari dirimu, Fre!" ucap Tuan Callisto lirih. "Kembalilah menjadi Freysia yang dulu ceria dan penuh semangat. Jangan biarkan semua yang terjadi mengubah dirimu." Pelukan itu masih bertahan beberapa saat lamanya. Tuan Callisto tidak berniat melepaskan sebelum Freysia benar-benar merasa lega. Meski ia tahu sepasang mata onyx mengawasi mereka dari balkon di lantai tiga. Si pemilik mata mengepalkan tangannya kuat melihat semua itu. Rahangnya mengeras dengan wajah yang memerah. Sangat kentara kalau ia sedang marah. Pemilik mata itu, Antares Hyperion. *** Gemuruh kembali terdengar di kejauhan, disertai getaran yang terkadang mencapai kastil lavender. Antares masih berdiri di tempatnya semula, bahkan setelah Freysia dan Tuan Callisto sudah tak terlihat lagi di bawah sana. Kedua orang itu kembali ke dalam kastil sejak beberapa saat yang lalu, setelah puas berpelukan. Antares kembali mengepal kuat. Seandainya saja ia tidak menghormati si tua Callisto yang adalah gurunya, pasti sudah dibakarnya pria itu yang telah dengan lancang berani menyentuh sesuatu yang tidak seharusnya dia sentuh. Sesuatu yang menjadi miliknya tidak akan dibiarkan disentuh olah orang lain, meskipun itu saudaranya sendiri, atau guru sihirnya. Aaarrggg! Antares menghantam pilar dengan kepalannya. Hanya sedikit tenaga yang digunakan, itu pun dapat membuat lubang lumayan besar di pilar besar itu. Antares mendengkus. Meninggalkan tempat itu dengan kesal. Tidak seharusnya ia melihat pemandangan yang mengganggu kesehatan indra penglihatannya. Seharusnya ia berada di kamarnya, beristirahat dari semua penat yang dirasakan seharian ini. Sungguh, bertemu dengan gadis-gadis yang sudah menghabisi nyawa kakaknya sedikit menguras tenaganya. Ia harus menahan diri agar tidak menyerang mereka di depan Tuan Callisto dan yang lainnya, dan itu bukanlah hal mudah. Percayalah. Ia lebih baik bertarung melawan para monster daripada harus melawan dirinya sendiri. Tidak ada yang didapatnya selain rasa sakit. Berbaring bukanlah pilihan Antares saat ia tiba di kamar. Berdiri pun rasanya tak nyaman. Pria berambut gelap itu mengerang kesal, ia merasa serba salah. Semua yang dilakukannya seolah tak ada yang benar. Pertama kali ia merasakan seperti ini. Bahkan saat mendapatkan kabar kematian Ades pun ia tidak merasakan hal ini. Saat ini, rasanya ia ingin membakar seseorang. Sialan gadis-gadis itu! Sialan Freysia! Mereka semua pembunuh! Mereka membunuh kakaknya, dan Freysia membunuh perasaannya! Antares mengepal. Sungguh, ia benar-benar perlu membakar apa saja atau akan menghancurkan kastil ini. Kilatan cahaya memancar dari kejauhan. Ke sanalah Antares melarikan Pan, kuda miliknya yang bisa terbang meski tidak memiliki sayap. Kuda berwarna hitam itu terbang dengan cepat, melesat ke tempat yang dituju tuannya. Hanya dalam waktu kurang dari satu menit, mereka telah tiba di sebuah tempat yang dipenuhi lumpur. Rawa Amber dulunya sebuah rawa yang sangat indah, lumpurnya berwarna kuning keemasan sesuai dengan namanya. Sekarang keindahan itu sirna, lumpurnya yang berwarna keemasan tidak lagi menarik perhatian. Lumpur itu sekarang mematikan, lumpur hisap dan menjadi sarang para monster. Tidak perlu membuat sesuatu yang heboh untuk menarik perhatian para monster yang tinggal di rawa ini. Cukup kau lemparkan saja sesuatu ke dalam rawa maka para monster akan muncul dengan sendirinya. Antares menyeringai, seekor monster muncul dari tengah rawa. Disusul yang lainnya begitu monster pertama sudah muncul sempurna. Monster cacing besar dengan air liurnya yang mengandung asam siap menghancurkan apa saja yang terkena percikan ludahnya. Antares tidak menggunakan senjata apa-apa, ia hanya mengangkat tangan kanan lurus ke depan. Tanpa ada suara, beberapa.ekor monster langsung hangus terkena semburan api yang keluar dari tangan kanannya. Bunyi meraung terdengar keras memekakkan telinga. Bersahutan dengan bunyi petir dan halilintar. Antares masih berada di atas Pan, dikeroyok oleh beberapa monster dengan bentuk beragam. Pan bergerak lincah ke sana kemari. Kuda jantan itu sudah terbiasa melayani tuannya, mereka sudah bersama sejak seratus tahun yang lalu, dan selama itu tak pernah mereka mengalami kekalahan barang sekali pun. Pan memang ditakdirkan untuk Antares sejak pertama mereka ditemukan. "Apa kalian tahu, aku merasa kasihan pada kalian yang menjadi korban kekesalanku." Dingin dan tanpa nada. Antares mengibaskan tangan kanannya cukup kuat. Angin kencang berembus dari kibasan tangan itu, lama-kelamaan berubah menjadi tornado. Dua ekor monster terseret ke dalam arus tornado yang semakin besar. Raungan semakin terdengar keras. Kali ini bukan hanya dari monster yang sekarat atau kesakitan saja, tetapi juga dari beberapa monster yang baru keluar dari kubangan rawa Amber. Senyum miring tercetak di wajah tampan Antares. Sepertinya ia akan berpesta malam ini. *** "Kau sudah kembali?" tanya Thea melihat Freysia menghampiri kamarnya. Kelima gadis itu masing-masing menempati kamar yang berbeda. Tuan Callisto tidak ingin mengambil resiko kastil berantakan nyaris hancur hanya karena gaya bercanda mereka yang sudah seperti orang berkelahi saja. Dulu, saat masih baru di Ameris mereka ditempatkan di satu kamar yang sama. Kamar yang jauh lebih besar dari yang mereka tempati sekarang. Hanya saja kamar itu beserta rumahnya rata dengan tanah hanya dalam satu malam saat Thea dan Tita beradu kekuatan. Thea yang emosian selalu cek-cok dengan Tita yang celamitan. Mereka menggunakan kekuatan sihir mereka dalam bercanda yang sangat tidak lucu itu. Tak ingin hal itu terjadi lagi, Tuan Callisto memberikan mereka kamar sendiri-sendiri. Freysia hanya mengangguk. Dia merasa tidak perlu menjawab pertanyaan yang tidak penting itu. Thea pasti mengerti kalau dia sedang tidak ingin diganggu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD