Gadis berusia enam belas tahun itu mengerjap. Mungkinkah dia kembali lagi ke dunia itu? Dunia mimpi yang bernama Ameris?
Dua Minggu yang lalu, Freysia Marina dan keempat temannya yang bernama Lucia Aurelle, Anne Sophia, Titania Galance dan sepupunya Galathea Audrey tersesat ke dalam sebuah dunia yang sangat asing bagi mereka. Dunia asing itu mereka kenal sebagai planet Ameris. Mereka bertemu seorang pria yang meskipun sudah berumur ratusan tahun masih tetap terlihat muda dan tampan. Mereka ditugaskan mencari dan melindungi putri Amery yang bertugas sebagai penyangga Ameris. Sang putri diculik oleh penjaganya sendiri.
Mereka diberi kekuatan sihir oleh pria tampan yang meminta mereka untuk memanggilnya Tuan Callisto. Tuan Callisto adalah guru sihir di Ameris. Dengan kekuatan itu mereka akhirnya bisa membebaskan putri Amery. Namun sang putri yang ternyata jatuh cinta kepada penjaga yang menculiknya sangat marah ketika mengetahui penjaganya telah tewas. Mereka kemudian bertarung melawan sang putri dan berhasil mengalahkannya. Putri Amery tewas setelah mengatakan semuanya, termasuk alasan kenapa sang penjaga yang bernama Ades Hyperion itu menculiknya. Juga tentang mereka yang ternyata adalah sepasang kekasih.
Rasa sesal menghinggapi kelima gadis itu, terutama Fre. Kekuatan sihirnya lah yang sudah menewaskan kedua orang itu. Apalagi setelah tewasnya putri Amery, mereka langsung kembali ke dunia mereka tanpa bisa mengucapkan salam perpisahan ataupun lainnya. Mereka terbangun dan mendapati diri mereka masih berada di perpustakaan negara. Waktu pun hanya berjalan beberapa menit saja. Kata teman mereka, mereka tertidur sebelum lomba cerdas cermat antar sekolah di kota mereka dilangsungkan.
Kelima gadis itu memang sedang mengikuti lomba cerdas cermat antar sekolah tingkat atas di kota mereka. Lomba yang diadakan di perpustakaan negara itu dihadiri siswa-siswa dari berbagai sekolah di negara mereka. Begitu juga dengan mereka yang menjadi penyemangat peserta dari sekolah mereka masing-masing. Kelima gadis itu memang berasal dari sekolah yang berbeda, hanya Fre dan sepupunya, Thea, yang satu sekolah.
Dan sekarang sepertinya Fre kembali ke dunia yang disebutnya dan keempat temannya sebagai dunia mimpi. Namun kenapa semuanya terlihat berbeda? Benarkah ini Ameris?
"Fre!"
Seruan itu membuat Fre menoleh. Ia melihat Lucia yang berlari kecil ke arahnya. Lucia tidak sendiri, ada Anne di belakangnya. Fre bersyukur, setidaknya ia tidak sendirian di dunia ini.
"Kalian juga di sini?" tanya Fre begitu kedua temannya itu sudah berada di depannya.
Lucia dan Anne mengangguk.
"Bukan hanya mereka yang berada di sini, Sepupu. Kami juga!"
Fre menoleh ke belakangnya. Thea, sepupunya, dan Titania, temannya yang lain juga berada di sini. Fre mengembuskan napas lega, senyum manis terkembang di bibirnya.
"Syukurlah kalau kalian juga berada di sini," ucap Fre dengan wajah yang benar-benar terlihat lega. "Tadi aku berpikir kalau aku hanya sendiri."
Thea memutar bola mata. Di antara mereka berlima, Thea yang paling keras sifatnya. Thea pemarah dan jarang tersenyum, juga tidak mudah percaya kepada seseorang yang baru dikenalnya. Sangat berbeda dari Fre yang lembut dan ketiga temannya yang lain.
"Di mana kita sekarang?" tanya Tita. "Apakah ini Ameris? Tapi tidak mungkin! Ameris tidak gelap dan mengerikan seperti sekarang ini." Tita bergidik takut.
Siapa yang tidak takut berada di tempat asing dengan keadaan yang sangat mengerikan. Tempat ini gelap seperti malam saja. Petir dan kilat bersahut-sahutan, kadang tanah yang mereka pijak bergerak-gerak seperti terjadi gempa.
"Kalau bukan di Ameris lalu kita berada di mana?" Meskipun mereka semua sama berusia enam belas tahun, tetapi Anne yang paling tua di antara mereka, sehingga gadis itu bisa bersikap lebih dewasa dan selalu terlihat tenang dalam keadaan apa pun. "Tidak mungkin kita tiba-tiba bersama, karena tadi aku sedang tidur di kamarku."
Keempat gadis lain mengangguk mengiakan. Karena kenyataannya memang begitu. Mereka baru saja terlelap setelah tadi berhubungan melalui panggilan video berlima. Mereka memang menjadi dekat dan bersahabat setelah mengalami serangkaian kejadian di Ameris. Setiap akan tidur mereka selalu melakukan panggilan video dan akan langsung tidur setelah itu. Namun sekarang kenyataannya mereka tidak berada di dalam kamar mereka masing-masing, melainkan berada di sebuah tempat asing yang sangat luas dan tampak sangat berbahaya.
Sekali lagi tanah yang dipijak kelima gadis itu bergerak. Mereka memekik kaget bersamaan kemudian saling berpelukan sampai goncangan itu berhenti.
"Aku ingin pulang!" ucap Tita serak. Mata birunya sudah berkaca-kaca. "Kalau tempat ini bukan Ameris, aku tidak mau berada di sini."
Kelima gadis itu mengurai pelukan. Hanya sedetik kemudian mereka memeluk Tita yang terisak.
"Aku juga tidak ingin berada di tempat ini, Tita. Karena selain asing, tempat ini juga sangat berbahaya untuk kita." Anne mengusap punggung Tita, menghibur gadis itu. "Tetapi sepertinya kita tidak bisa pergi kemana-mana dulu. Untuk sementara kita di sini saja, sepertinya tempat ini lebih aman dari tempat yang lain."
Lucia yang bertubuh paling kecil mengangguk. "Iya!" serunya susah payah. Ia terhimpit di antara teman-temannya yang bertubuh lebih tinggi. Namun Lucia tidak kehilangan semangat, ia masih bisa menebar senyum pada saat genting sekalipun. "Kita di sini saja dulu. Siapa tahu nanti ada yang menemukan kita."
Baru saja Lucia selesai berbicara, di depan mereka muncul seekor anjing raksasa dengan sepasang sayap di kedua sisi tubuhnya. Kelima gadis itu memekik gembira, mereka berlarian ke arah makhluk itu.
"Triton!" seru kelima gadis itu bersamaan.
Mahkluk bernama Triton itu merendahkan tubuhnya saat kelima gadis itu sudah berada di sisinya. Triton menggangguk seolah mengiakan keinginan kelima gadis itu untuk menaiki punggungnya seperti dulu. Mereka kembali berseru gembira dan berlomba menaiki punggung Triton.
"Kau memang Triton kan?" tanya Lucia memeluk leher Triton yang tidak muat di pelukannya meskipun gadis itu sudah membentangkan tangan lebar-lebar. "Aku sangat senang bertemu denganmu." Lucia mendusalkan wajahnya pada bulu-bulu di leher Triton.
Makhluk itu mengangguk. Triton tersenyum lebar menunjukkan gigi-giginya yang tajam.
Sekali lagi Lucia memeluknya. "Aku sangat bahagia!" serunya.
"Saking bahagianya kau sampai melupakan keadaan alam yang aneh ini!" sindir Thea. Gadis itu membuang muka, mengawasi keadaan sekitar.
"Eh?" Lucia menegakkan tubuh. Gadis itu berdiri di sisi Thea yang tampak siaga. "Kau benar! Kenapa aku bisa lupa!"
"Kalau ada Triton, berarti kita sekarang memang berada di Ameris. Benar begitu bukan, Triton?" tanya Fre. Gadis itu baru saja mengeluarkan suaranya kembali setelah tadi diam mengamati keadaan yang sangat aneh.
Ameris yang mereka kenal tidak seperti ini. Ameris sangat indah, hijau dan biru mendominasi. Gunung-gunung yang menggantung di udara juga semua taman dan padang rumput yang luas. Semua sangat memanjakan mata. Sangat berbeda dengan yang mereka lihat sekatang. Tidak ada lagi gunung yang menggantung, tidak ada lagi langit biru dengan sinar mataharinya yang hangat, tidak ada lagi padang rumput dan hutan-hutan lebat yang hijau. Semuamya berganti menjadi gelap dan suram.
"Lalu kenapa keadaannya sangat berbeda? Kenapa Ameris yang sangat indah jadi seperti ini?" tanya Fre serak. Gadis itu hampir menangis.
Triton menundukkan kepala.
"Triton, apakah ada yang terjadi setelah kami kembali ke dunia kami?" tanya Thea. Di antara semua yang bersedih, hanya Thea yang masih tampak tegar.
Triton tetap tidak menjawab. Makhluk itu terus menunduk, wajahnya yang tadi terlihat senang dan bahagia merubah sedih. Membuat kelima gadis itu sadar kakau apa yang ditanyakan Thea adalah benar.
Triton menyalak gembira, setelah tadi murung beberapa saat lamanya. Kelima gadis itu yang tadi hanya duduk diam berdiri. Mata mereka melebar melihat sebuah kastil berdiri megah di depan mereka. Sepertinya kastil itu yang menjadi tujuan Triton.
Dugaan kelima gadis itu benar, Triton memang menurunkan mereka di kastil. Alis mereka mengernyit melihat kastil yang tampak tak asing. Di mana mereka pernah melihat kastil ini sebelumnya?
"Apakah kau memikirkan apa yang kupikirkan, Fre?" tanya Thea berbisik di telinga sepupunya.
Fre menatap Thea sekilas kemudian mengangguk. "Rasanya aku pernah melihat kastil ini, tapi entah di mana itu aku tidak ingat," ucapnya.
Thea yang ingin menganggukkan kepala membenarkan perkataan Fre terhenti. Lucia memekik nyaring di belakangnya.
"Tuan Callisto!" seru Lucia sambil berlari mendahului teman-temannya mendapatkan pria itu.
Langkah kaki Fre terhenti melihat pria tampan itu. Berarti mereka benar-benar berada di Ameris. Pria tampan yang berdiri dengan tongkat sihir di depannya itu memang Tuan Callisto, pria yang memberikan kekuatan sihir kepada mereka dulu.
"Tuan Callisto," panggil Fre lirih. "Anda benar Tuan Callisto, bukan?" tanyanya dengan suara yang lebih keras.
Pria itu tersenyum lantas mengangguk. "Freysia Marina," ucapnya.
Fre langsung berlari ke arah pria itu dan memeluknya. Tidak peduli kalau dia akan membasahi jubah yang dikenakan Tuan Callisto, Fre menumpahkan air matanya di d**a pria itu. Air mata bahagia dan kesedihan yang bercampur menjadi satu.
"Aku juga senang bertemu denganmu lagi, Fre," ucap Tuan Callisto mengusap rambut pirang Fre.
Fre tidak menjawab, dia masih menangis. Gadis itu hanya menganggukkan kepalanya.
"Juga bertemu dengan kalian semua!" Tuan Callisto tersenyum. "Selamat datang di..."
"Ameris!"
Keempat gadis itu, termasuk Fre yang sudah melepaskan pelukan Tuan Callisto langsung menatap ke asal suara. Seorang pemuda berdiri tegak di samping seorang perempuan sexy yang mereka kenal bernama Carora.
"Astro?" Thea menatap pemuda yang bersuara itu lekat. "Benarkah kau Astro?" tanyanya dengan kening berkerut.
Bukan hanya Thea yang bingung, tetapi juga keempat temannya yang lain. Seingat mereka dulu Astro hanyalah seorang bocah kecil yang sangat suka bermain dengan para monster. Astro menganggap monster-monster itu teman-temannya. Astro juga menyuruh monster teman-temannya itu untuk menyerang mereka. Kemudian Astro menyalahkan mereka setiap kali mereka berhasil mengalahkan monster-monster itu. Astro baru berhenti setelah bertatap muka secara langsung dengan Thea. Thea yang memang pada dasarnya seorang pemarah, memarahi Astro habis-habisan. Astro yang saat itu masih sangat pendek tentu saja ketakutan, apalagi Thea mengancam dengan pedangnya.
"Kenapa kau sekarang tinggi sekali?" tanya Thea lagi. Gadis itu memang heran, tetapi tidak sampai terbengong seperti keempat temannya yang lain.
"Tentu saja aku bertambah tinggi," sahut Astro tersenyum tipis. "Usiaku juga bertambah."
"Dua Minggu!" seru Thea. "Hanya dalam dua Minggu kau bisa bertambah tinggi seperti sekarang ini?" tanyanya tak yakin.
"Wah benar kah?" Lucia menghampiri Astro, menatap pemuda itu dari atas ke bawah kemudian kembali ke atas lagi. "Benarkah hanya dalam dua Minggu bisa setinggi ini?" tanyanya dengan mata berbinar. "Kalau begitu aku juga mau, mungkin saja tinggiku akan sama dengan kalian kalau aku berada dua Minggu di sini."
Thea berdecak kesal dengan kekakuan Lucia. Bisakah gadis itu bertingkah biasa saja seperti yang lainnya? Sungguh, dia malu dengan tingkah Lucia yang seperti anak kecil.
"Dua Minggu di dunia kalian, dua puluh tahun di dunia kami."
"Hah?"
Kelima gadis itu menatap tuan Callisto yang bersuara dengan mata melebar. Tidak percaya dengan apa yang keluar dari mulut pria itu tentang perbedaan waktu di antara dua dunia mereka yang sangat banyak.
"Dua puluh tahun?" ulang Thea. Alis gadis itu semakin berkerut. "Berarti sekarang Astro lebih tua dariku?" tanyanya.
Senyum manis kembali menghiasi wajah Astro yang sekarang terlihat tampan, tidak menggemaskan lagi seperti dua Minggu yang lalu. Setidaknya itu yang dirasakan Thea. Senyum itu membuat pipinya terasa memanas. Gadis itu berdecak kesal, dia membuang muka.
"Aku bukan anak kecil lagi, Thea," ucap Astro. "Aku sudah dewasa."
"Wah!" Lucia masih menatap Astro dengan tayapan kagumnya. "Astro sangat tampan. Aku jadi berdebar."
"Astaga!" Thea menepuk dahinya pelan. Gadis itu mendekati Lucia yang berdiri di depan Astro, menarik temannya bertubuh mungil itu menjauh dari Astro dan Carora. "Bisakah kau tidak terlalu jujur dengan perasaanmu?" tanyanya kesal.
Lucia mengerjap beberapa kali. "Apa maksudmu?" tanyanya bingung. Di antara kelima gadis itu, selain paling pendek Lucia juga paling polos. Sifat Lucia juga kekanakkan dan selalu jujur. "Kenapa aku tidak boleh jujur dengan perasaanku?"
Thea mendengus kesal. "Adakah yang bisa membantuku menjelaskan kepada gadis kecil ini kenapa sesekali kita perlu berbohong?" tanyanya menatap seluruh orang yang berada di ruangan itu bergantian.
Semuanya tidak ada yang menjawab. Mereka hanya menggelengkan kepala tanda tidak mengerti dengan kedua gadis itu.
"Kenapa hal itu harus dipersoalkan?" Seorang pemuda yang baru memaduki ruangan yang bertanya. Pemuda tampan berambut cokelat dan bermata hijau itu tersenyum lebar. "Kau memang tidak pernah berubah dari dulu ya, Thea?" tanyanya.
Pemuda itu adalah Dione Clarke, pemuda tampan yang mereka kenal dekat dengan Anne sebelum mereka kembali ke dunia mereka. Dione adalah adik putri Amery yang artinya Dione adalah seorang pangeran.
"Dione?" Anne menatap pemuda itu tak percaya. Gadis itu segera menghambur ke dalam pelukan Dione begitu pemuda itu membuka lengannya. "Dione, maafkan aku." Anne terisak di d**a pemuda itu. "Aku sudah membunuh putri Amery, kakakmu."
"Jangan berkata seperti itu." Dione tersenyum. "Kau ataupun yang lainnya tidak bersalah. Semua itu keinginan kakakku agar kalian membunuhnya."
Keempat gadis yang lain menundukkan kepala mereka. Rasa sedih dan bersalah itu terasa menghimpit d**a mereka. Peristiwa dua Minggu yang lalu itu seolah baru saja terjadi kemarin.
"Tapi tetap saja kami yang bersalah, Dione." Anne masih terisak. Bahkan isakannya semakin menjadi saat merasakan usapan Dione pada rambut cokelatnya.
"Apakah kalian sengaja, menyambutku dengan wajah sedih kalian itu?"
Kelima gadis itu menoleh. Mereka dikejutkan dengan kemunculan Emilia bersama Zidane Cyberg, komandan pasukan Ameris. Kelima gadis itu langsung memeluk Amelia sambil menangis. Terakhir yang mereka ketahui, Emelia tewas di tangan salah satu monster Astro. Kini Emilia ada di depan mereka, tentu saja Fre dan keempat gadis lainnya sangat bahagia.
"Emilia, aku tak percaya kalau ini kau," isak Fre. Bagaimanapun, ia melihat sendiri di dalam mimpinya kalau Emilia terbunuh. "Aku sangat senang kau masih hidup."
"Aku juga sangat senang bisa bertemu denganmu, Fre," jawab Emilia membalas pelukan gadis-gadis itu. "Juga kalian semua."
"Tidak ada yang senang bertemu denganku."
Astro memutar bola mata mendengar perkataan Zidane. Kata-kata itu terlalu konyol menurutnya diucapkan oleh pria bertubuh sebesar tubuh Zidane.
"Aku sangat senang bertemu denganmu, Zidane!" seru Lucia. Gadis itu menghambur memeluk Zidane.
"Kukira para pahlawan Ameris yang dibicarakan oleh orang-orang memang sangat hebat. Ternyata mereka hanya lima orang gadis kecil."
Lucia langsung melepaskan pelukannya dari Zidane. Gadis itu memutar tubuh mendengar suara yang terdengar familiar di telinganya.
"Ades?" Lucia mendekati pria yang berpakaian serba hitam itu. "Apakah kau Ades?" tanyanya dengan mata cokelatnya yang mengawasi pria bertubuh tinggi di depannya.
Lucia mengerjap. Pria ini bukan Ades. Rambut Ades itu sepanjang punggung dan diikat di belakang, tetapi rambut pria ini pendek seperti rambut para pria pada umumnya. Warnanya memang sama hitam, wajah mereka juga agak mirip. Hanya saja pria ini terlihat lebih muda dan lebih tampan. Meskipun mereka terlihat sama-sama dingin, tetapi Ades terlihat lebih berwibawa.
Tak ada jawaban. Pria bersuara mirip Ades itu tidak bereaksi. Hanya tatapannya saja menyapu semua orang yang berada di aula itu. Dan tatapannya berhenti pada gadis berambut pirang yang berdiri di sebelah Emilia. Hanya beberapa detik, setelahnya pria itu meluruskan tatapan kepada tuan Callisto.
Yang lain pun demikian. Suasana yang awalnya hangat dan penuh kerinduan seketika berubah suram setelah kedatangan pria itu.
"Kau tidak ingin berkenalan dengan mereka?" tanya tuan Callisto.
"Untuk apa berkenalan dengan pembunuh kakakku?" Pria itu balas bertanya dingin.
Deg!
Jantung Fre seakan lepas dari tempatnya. Kakak? Apakah pria dingin ini adik Ades? Kalau memang benar, kenapa mereka tidak pernah melihatnya saat itu? Mereka tidak tahu kalau Ades memiliki saudara laki-laki. Dan apa katanya tadi, pembunuh? Fre meremas d**a kirinya yang berlompatan. Saking kencangnya jantungnya berdetak, Fre merasa napasnya sesak.
"Adik Ades?" tanya Fre susah payah karena gadis itu harus mengatur napasnya.
"Iya." Tuan Callisto yang menjawab. Pria itu mengangguk. "Dia adalah Antares Hyperion, adik dari Ades Hyperion."
"Pria yang sudah kami bunuh," sambung Fre dengan suara bergetar. Sungguh kejadian ini membuatnya sedikit terguncang. Tatapan dingin dan tak terbaca Antares membuatnya takut.
"Jangan berkata seperti itu!" tegur Emilia. "Kalian tidak sengaja melakukannya."
"Maafkan aku!" Lucia membungkuk di depan Antares sekali. "Maaf karena telah menghabisi nyawa kakak laki-lakimu," ucapnya.
"Apa kau pikir dengan perkataan maaf darimu kakakku akan kembali?" tanya Antares dingin. "Apa Ameris akan kembali seperti saat putri Amery masih hidup?"
"Lalu kau ingin kami membayarnya dengan nyawa kami?" Thea bertanya tajam. "Apa kau pikir dengan begitu kakakmu akan kembali? Pendek sekali pikiranmu!"
"Setidaknya aku akan merasa puas." Antares menatap Thea dingin. Gadis yang berani, pikirnya. Ada kilat di mata gadis berbaju biru itu. Lalu bagaimana dengan gadis berbaju putih di sebelahnya, apakah gadis itu seberani temannya? Antares tidak tahu. Yang ia tahu hanyalah gadis itu mengganggunya.
"Aku yang sudah membunuh kakakmu. Jadi jangan ganggu teman-temanku. Kalau kau ingin membalas dendam, kau bisa membalasnya padaku!"
Ternyata gadis berambut pirang itu juga sangat berani. Antares salah tadi kalau menduga gadis itu penakut.
"Fre!" seru tuan Callisto keras. "Jangan macam-macam! Kita semua tahu kalau apa yang dilakukan Ades itu salah. Bahkan Ades tidak mau mengatakan alasan kenapa dia menculik putri Amery sampai dia terbunuh."
Antares mengepal mendengar semua itu. Hanya saja ia memiliki pengendalian diri yang sangat baik sehingga ia tidak meledak sekarang. Padahal ia sudah sangat marah mendengar tuan Callisto menjelek-jelekkan kakaknya. Ia dan Ades memang kurang akrab, perbedaan usia mereka terlalu jauh. Namun meskipun begitu, Ades tetaplah kakaknya, keluarga satu-satunya yang ia miliki.
"Kau juga sudah tahu itu bukan, Antares? Aku sudah memberitahumu," ucap tuan Callisto. Kali ini dengan suara tidak sekeras tadi. "Lagipula kau dapat melihatnya sendiri, apa yang terjadi saat itu."
Lagi, Antares hanya diam. Hanya tatapannya saja yang berkilat.
"Aku juga kehilangan kakak perempuanku, Antares." Dione tersenyum sedih. "Tetapi aku dapat mengikhlaskannya. Semua itu keinginan mereka."
Antares mendengus kesal. Pria itu memutar tubuh dan meninggalkan aula. Tuan Callisto hanya menggeleng pekan melihatnya. Antares sedikit lebih sulit untuk diatur daripada Ades. Ia mengenal mereka, dirinya juga yang mengajari ilmu sihir kepada kakak-beradik itu. Ades yang lembut sangat bertolak belakang dengan Antares yang sangat keras kepala. Ades saja sudah bosan menegurnya. Puncaknya adalah Antares yang meninggalkan Ameris dan menetap di planet Ganmade, planet tetangga Ameris. Antares baru kembali setelah mendengar kematian kakak laki-lakinya itu.
"Biarkan saja dia," ucap tuan Castillo. "Sampai sekarang Antares belum bisa menerima kematian Ades. Ia menyesal tidak berada di sini saat kejadian itu."
Fre meremas d**a kirinya. Semua salahnya. Seandainya saja dia menanyakan alasan kenapa Ades menculik putri Amery, mungkin semua ini tidak akan terjadi. Mungkin saja sekarang Ades dan putri Amery masih hidup.
"Maaf, semua ini memang salahku." Fre memejamkan mata kuat membuat dua bulir bening menuruni pipinya. "Seandainya saja aku dapat merasakan cinta di antara Ades dan putri Amery, pasti semua ini tidak akan terjadi. Mereka pasti masih hidup dan Dione tidak akan kehilangan kakak perempuannya." Fre mengusap air matanya menggunakan punggung tangan. "Maafkan aku, Dione," ucap Fre di sela isak. "Maafkan aku karena sudah merebut nyawa yang kau sayangi. Maafkan aku karena sudah merenggut kakak perempuanmu darimu. Aku harap kau tidak menyalahkan teman-temanku karena aku yang sudah membunuh kakakmu bukan mereka. Kekuatan sihirku yang menghabisi nyawanya!"
"Fre..."