Bab 10

2046 Words
"Apa yang sedang Anda pikirkan, Pak?" tanya Geofan Taygate, wakil komandan pasukan Ganmate, pada Orion saat dilihatnya pria berambut pirang itu serba salah. Sejak beberapa menit yang lalu Orion mondar-mandir di depannya. Mungkin ia yang melakukan tidak pusing, tetapi dirinya yang melihat itu terasa seperti menaiki pesawat yang tengah berputar. Geo meringis. Atasannya ini sepertinya sedang ada masalah. Entah apa ia tidak tahu, ia tidak pernah bertanya apalagi ikut campur urusan Sang Atasan. Mereka memang bersahabat, tapi tak pernah saling mencampuri urusan pribadi masing-masing. Apalagi mencampuradukkan masalah pribadi dan pekerjaan, itu sangat bukan mereka sekali. Mereka adalah orang-orang profesional. Pertanyaannya.pada Orion juga hanyalah sekedar basa-basi karena selama ini ia sangat jarang melihat Orion seperti ini. Di mata Geo, Orion adalah seorang yang sangat tenang. Pembawaannya seperti air di dalam kolam, membuat siapa pun nyaman. Orion juga pria yang ramah, ia selalu tersenyum dan nyaris tidak pernah marah kecuali ada sesuatu yang menurutnya sudah tidak bisa ditoleransi lagi, maka Orion akan meledak. Satu lagi, Orion bukan tipe pria yang akan melepaskan musuhnya begitu saja. Ia selalu memenangkan setiap duel. Hanya satu orang yang bisa mengalahkannya, Antares Hyperion yang sekarang sudah kembali ke planetnya. Orion dan Ades sebenarnya berteman, mereka berdua dekat. Kalau sudah bersama Antares, Orion seolah melupakan semuanya, termasuk dirinya. Sangat menyedihkan, bukan? Namun, ia tak pernah mempermasalahkan hal itu. Saat Orion bersama Antares, ia selalu menganggap pria itu atasannya. Lagipula kenyataannya memang seperti itu, 'kan? "Apakah tentang kelima gadis yang sudah mengalahkan Anda?" Geo tertawa kecil. Mungkin Orion akan menimpuknya dengan sesuatu, atau ia akan dihadiahi tatapan membunuh. Geo meringis, opsi kedua yang didapatnya dari Orion saat ini. "Maksudku pertempuran Anda dengan mereka berlima yang bisa dikatakan ... mereka telah mengalahkan Anda." "Bukan mereka, tetapi hanya Freysia!" bantah Orion cepat. Ia tak terima dengan kata kalah yang keluar dari mulut Geo. Ia tidak kalah, belum. Seandainya saja ia lebih berhati-hati, tidak mungkin Freysia dapat mengalahkannya. Tidak mungkin juga ia jadi memikirkan gadis itu seperti sekarang. Sialan! "Ya, ya, ya, terserah Anda saja." Geo memutar bola mata. Sudah dikatakannya ia sangat mengenal Orion, bukan? Pria ini tidak suka kalah kecuali pada Antares. Dari beberapa pertandingan mereka, Orion tidak pernah menang, Antares Hyperion selalu berhasil mengalahkannya. Ia tahu kalau Orion diam-diam menganggap Antares sebagai saingan. "Aku hanya ingin mengatakan kalau Anda harus berhati-hati bila bertempur melawan mereka lagi. Dari data yang kuperoleh, Freysia adalah yang terkuat di antara kelima gadis itu." Orion tidak menjawab, hanya di dalam hati membenarkan apa yang dikatakan wakilnya. Freysia memang yang terkuat, ia sudah merasakan kekuatannya. Hanya dengan tatapan gadis itu dapat membuat lawannya tidak bisa melihat, dan baru bisa kembali melihat dengan normal setelah dia yang menginginkannya. Kekuatan Freysia membuatnya kagum dan tertarik, sampai-sampai ia selalu memikirkan gadis itu. Ini lebih sialan lagi karena sebelumnya ia tidak pernah memikirkan seorang perempuan pun sebelumnya. Ini adalah yang pertama ada seorang gadis membuatnya tidak bisa tidur dan terus memikirkannya. Astaga! "Sedangkan keempat gadis yang lain masih di bawahnya." Geo masih menjelaskan. "Namun, mereka juga memiliki kekuatan terkuat yang masih belum mereka bangkitkan." "Kekuatan terkuat?" ulang Orion bertanya. Geo mengangguk. "Menurut orang-orang planet kita yang mempelajari kekuatan sihir planet Ameris, kelima pahlawan planet Ameris memiliki kekuatan sihir terkuat yang sewaktu-waktu akan bangkit. Namun, sampai sekarang tidak ada yang tahu kebenaran tentang itu, kekuatan terkuat masih menjadi rahasia atau legenda. Bahkan Sang Penyangga Utama pun tidak tahu benar tidaknya cerita itu." "Ini sangat menarik." Orion mengangguk sekali. "Aku tidak tahu kalau kau banyak mengetahui tentang Ameris dan kekuatan sihir yang mereka banggakan." Geo mengangkat bahu. "Aku suka membaca, kau tahu itu," ucapnya terkekeh. "Aku juga mencari tahu tentang Ameris dan kelima orang gadis yang menjadi pahlawan di planet itu serta kekutan mereka, dan aku mendapatkan itu." Sekali lagi Orion mengangguk. Ia merasa sangat beruntung memiliki wakil seperti Geo, selain pintar dalam bertempur Geo juga sangat pandai. "Gadis yang menyemburkan lumpur padamu itu kelihatannya menarik." Geo tersenyum. "Dia cantik." "Gadis berambut merah lebih cantik!" seru seseorang dari dalam ruang makan. Saat ini mereka berdua sedang berada di sebuah ruangan yang bisa dikatakan ruangan untuk bersantai yang terdapat di dalam pesawat tempur ini. Suara itu berasal dari ruangan lain yang lebih dekat dengan lorong-lorong menuju kamar tidur mereka. Orion dan Geo menoleh bersamaan, keduanya sama-sama memutar bola mata melihat siapa yang tadi berseru. Kai Daphnis. "Tentu saja bagimu gadis berambut merah paling cantik, karena hanya gadis itu yang tinggi badannya sesuai dengan tinggi badanmu," cibir Geo. Kai Daphnis adalah asisten Orion. Ia sangat mahir menggunakan senapan. Dengan tinggi badannya yang sama dengan tinggi badan perempuan membuat Kai bisa bergerak dengan lincah dan gesit. Senapan yang digunakannya adalah senapan laser yang dapat menembus baja setebal apa pun. Meskipun bertubuh kecil, usia Kai sama dengan Geo, karena itulah Geo sangat suka menggodanya. Masalah tinggi badan juga membuat Kai sedikit tidak percaya diri, padahal ia termasuk pria yang mempunyai paras tampan. Namun, karena para perempuan yang didekatinya selalu memilih pria yang lebih tinggi menyebabkan ia kehilangan kepercayaan diri. "Jangan menggodanya lagi, Geo!" tegur Orion. "Biarkan Kai bahagia. Lagipula ia tidak salah, gadis berambut merah itu memang cantik." Ia tersenyum. Bayangan Freysia kembali menari di kepalanya. Kali ini Orion membiarkan, ia tidak berniat untuk mengusirnya. "Bagaimana dengan gadis berusaha menenggelamkan Orion dengan gelombang tornadonya itu?" tanya Geo. "Dia juga cantik. Apa kau tidak tertarik padanya, Kai?" Ia kembali berniat mengusilinya. Menggoda Kai merupakan obat stress baginya. Kai menggeleng cepat. "Tidak!" jawabnya. "Aku tidak tertarik pada gadis pemarah seperti dia." "Tapi, dia sangat cantik...." "Kalau dia memang sangat cantik, lalu kenapa kau tidak menyukainya saja?" tanya Kai memotong perkataan Geo. "Aku tetap menyukai si rambut merah. Apa kau tahu siapa namanya, Geo?" "Aku tidak tahu." Geo menggeleng. "Aku hanya tahu mengenai Freysia saja. Di antara mereka berlima, dia yang paking terkenal, bukan?" Kai memutar bola mata. Menurutnya kelima gadis itu memiliki kekuatan yang sama besar. Ia sudah mengamatinya, seperti yang diperintahkan Orion padanya. Ia sudah memberikan hasil pengamatannya pada Orion kemarin. "Aku juga tidak tahu nama mereka," jawab Orion sebelum Kai bertanya. "Kenapa tidak kau tanyakan saja langsung nanti kepadanya bila bertemu lagi?" Wajah tampan Kai yang tadinya murung sekarang berubah cerah. "Benarkah aku bisa bertemu dengannya lagi nanti?" tanyanya bersemangat. Orion mengangguk. "Tentu saja!" jawabnya yakin. "Selama kita masih berusaha mengambil alih Ameris, kita pasti akan bertemu mereka lagi." Kata-kata itu bukan hanya ditujukan Orion untuk Kai, tetapi juga untuk dirinya sendiri. *** Freysia tak dapat bergerak, seluruh tubuhnya seolah kaku. Kakinya sepertinya terpaku di lantai, tak dapat lari menghindari pria yang sekarang tengah melumat bibirnya rakus. Tangannya pun tak dapat digunakan untuk mendorong d**a yang menghimpitnya. Sungguh, rasanya dia tak dapat bernapas. Seluruh oksigen di sekitarnya seakan terisap ke dalam ciuman panas Antares. Tolong, hentikan! Aku tidak bisa bernapas! Itu yang ingin diteriakkannya. Sayangnya suaranya tidak dapat keluar. Mulutnya dipenuhi indra pengecap pria itu yang mengabsen keseluruhan isi di dalam mulutnya. Mata biru Freysia perlahan terpejam. Bukan karena napasnya sudah benar-benar habis, tapi karena ada sekelebat bayangan memasuki kepalanya. Wajah dan suara itu terdengar samar, tapi dia masih dapat mengingat suara itu. Suara itu adalah suaranya, memanggil seseorang. "Ares!" Freysia tersentak. "Ares!" Mata biru itu terbuka lebar dengan jantung berdegup kencang. "Ares!" Wajah yang samar perlahan tampak nyata, dan Freysia mengingat semuanya. Perlahan mata birunya kembali terpejam, dua bulir bening menuruni sudut matanya begitu kelopak mata itu menutup. Freysia terisak, tangannya yang tadi kaku sekarang meremas kain baju bagian d*da Antares. Pada akhirnya Antares melepaskan tautan bibir mereka. Ibu jarinya mengusap air mata yang kini sudah membanjiri wajah cantik di pelukannya. "Kau sudah mengingat semuanya." Perlahan Freysia membuka mata. Wajah tampan itu yang dilihatnya. Wajah tampan yang selalu tersenyum dan selalu menguatkannya saat dia merasa sangat lemah. Ares! Ares-nya! Benarkah pria di depannya ini adalah Ares? Pria yang selalu datang lewat mimpinya, pria yang sangat berarti untuknya. "A-Ares ... kau ... Ares?" tanya Freysia putus-putus. Kepalanya menggeleng pelan beberapa kali. Masih belum percaya dengan apa yang terjadi. Masih tidak percaya kalau dia kembali bertemu dengan pria yang selalu membuatnya merasa nyaman dan aman. Pertemuan pertamanya dengan Ares dimulai dua tahun yang lalu, saat pertandingan anggar pertamanya. Freysia sangat gugup sampai-sampai selalu tertidur di tempat dan waktu yang tidak semestinya. Di dalam tidur, Freysia bermimpi bertemu dengan seorang pria berambut gelap dan memiliki warna mata yang sama dengan warna rambutnya. Tubuhnya tinggi menjulang, dia yang saat itu baru berusia empat belas tahun hanya sebatas d*da bagian bawahnya saja. Pria yang mengaku bernama Ares itu selalu datang di setiap mimpinya, di mana pun dia tertidur. Ares selalu ada dan tetap datang meskipun pertandingan anggar yang dimenangkan olehnya sudah berlalu. Masih memainkan seruling sebagai pengantar tidur dan perpisahan sementara mereka. Ares yang tidak pernah absen setiap malam menemuinya di alam mimpi membuat rasa suka itu tumbuh di hati Freysia. Saat Ares menyatakan perasaannya, dia langsung menerima. Walaupun tahu kalau hubungan mereka tidak wajar, Freysia selalu setia. Sampai suatu malam, Ares memutuskan hubungan mereka dengan alasan yang menurutnya sangat konyol. Ares berkata tidak akan bisa lagi menemuinya. Tentu saja Freysia menolak. Sekeras apa Ares ingin hubungan mereka berakhir, dia lebih keras lagi untuk mempertahankan. Ares bukannya mengalah, sinar menyilaukan yang keluar dari ujung jari pria itu membuatnya terbangun dari tidur dan tidak ingat apa-apa. Tentang Ares semua dia lupa, dan kembali mengingatnya malam ini. Ares adalah Antares. Astaga, bagaimana bisa? Pantas Antares seperti tidak asing baginya. Bukan karena pria itu adalah adik dari Ades, melainkan karena Antares adakah Ares-nya. Musik yang didengarnya malam itu adalah musik yang selalu mengantarkannya tidur. "Kenapa?" tanya Freysia menggeleng, masih tak percaya dengan kenyataan di depannya. "Kau memang Ares?" "Menurutmu?" Hanya pertanyaan itu saja yang keluar dari mulut Antares, tapi sudah cukup menjawab semuanya. Pertanyaan itu adalah jawaban dari pertanyaannya. Pria di depannya ini memanglah Ares-nya. Ares yang menghilang dari ingatannya beberapa bulan yang lalu. Sekali lagi Freysia menggeleng sebelum menghambur ke pelukan pria itu. "Kau jahat!" Freysia memukuli punggung lebar dari pria yang juga memeluknya tak kalah erat. "Kau sangat jahat! Tidakkah kau sadar itu, Ares?" Antares mengangguk, menumpukan dagu di pucuk kepala bersurai pirang itu. "Iya, aku jahat," bisiknya. "Tetapi aku memiliki alasan." "Dan aku tidak ingin mendengar alasan konyolmu itu!" Freysia mendongak, menatap Antares masih dengan linangan air mata. "Kau sudah mengatakannya waktu itu, tidak perlu mengatakannya lagi sekarang!" Freysia mengurai pelukan. Menepis kasar tangan Antares yang berusaha mengusap air matanya. Dia lebih suka air matanya tumpah seperti ini saja. Dia memerlukannya untuk melegakan semua. Dadanya rasanya ingin meledak, panas mengetahui semua kenyataan ini. Sekarang semuanya akan semakin bertambah rumit. Dia adalah pembunuh kakak dari laki-laki yang dicintainya. Astaga! "Alasan konyol katamu?" Suara Antares meninggi. "Apa kau tahu yang kurasakan setelah tahu kau adalah orang yang sudah membunuh kakakku?" Freysia menggeleng kuat. Dia belum siap mendengar semua ini. "Aku menghilangkan ingatanmu tentangku untuk kebaikanmu. Callisto mengatakan kita tidak akan bisa bersama." Antares mengusap kasar wajahnya, dengan kekasaran yang sama meremas rambutnya. "Kita akan sama-sama menderita. Kau kira aku senang? Kau kira aku bahagia melakukan itu?" Freysia menutup telinganya menggunakan kedua tangan. Matanya terpejam, kepala menggeleng. Sementara air matanya jatuh semakin deras. "Aku yang masih memiliki ingatan tentangmu justru lebih menderita. Aku pergi ke planet Ganmate agar bisa melupakanmu, tapi tetap tidak bisa." Antares tersenyum mengejek. Senyum yang ditujukan untuk dirinya sendiri. Dia mengejek dirinya yang lemah dan bertekuk lutut pada perasaan. "Seandainya saja aku tahu kau adalah salah satu dari lima gadis yang terpilih itu, aku pasti akan kembali ke Ameris." Freysia membuka mata perlahan. Meskipun dia menutupi kedua telinganya menggunakan kedua tangan rapat-rapat, suara Antares masih dapat terdengar dengan jelas. Dia merasakannya, semua kesakitan yang dirasakan Ares-nya, dia ikut merasakannya. Freysia melangkah tertatih memeluk Antares erat. Membenamkan wajah penuh air matanya di d*da pria itu yang tersengal. "Apa kau tahu bagaimana perasaanku begitu aku tahu kau adalah gadis yang sudah membunuh kakakku?" Pertanyaan Antares bagai sebuah bom yang meledak di telinga Freysia. Jadi, Antares sudah tahu kalau hanya dirinya yang membunuh Ades? Lalu, kenapa Antares juga menyalahkan teman-temannya? Freysia mendongak, menatap Antares di sela tirai air mata yang tak berhenti sejak beberapa waktu yang lalu. Tangannya terangkat memeluk leher Antares, menarik tengkuknya dan berjingkat. "Maafkan aku," bisik Freysia tepat di depan bibir Antares. "Kau bisa membalas dendammu padaku." Freysia memejamkan mata, menyatukan bibir mereka. Dia tidak peduli dengan apa pun yang akan terjadi nanti. Dia rela kalau memang harus mati di tangan pria yang dicintainya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD