Setuju

1387 Words
"Mengenai pernikahan kontrak yang Akang tawarkan sama saya, sepertinya akan saya ambil." Tak ada respon dari suara di seberang. Kang Sarmin, yang sepertinya juga tidak menyangka jika Malika akan menyetujui tawaran itu, diam tidak memberikan komentar. "Besok Akang ke Jakarta!" Begitulah percakapan terakhir yang Malika lakukan  dengan Kang Sarmin kemarin. Hari ini, di depan gadis itu, sudah ada Kang Sarmin dan Teh Lilis. Pasangan suami istri itu, terus memperhatikan wajah si gadis desa. "Dari kemarin Akang sudah bilang, Akang tidak memaksa kamu untuk melakukan ini, Malika." "Saya seolah tidak memiliki pilihan lain, Kang. Juragan Darma akan melakukan apa saja supaya keinginannya tercapai." "Adikmu tidak akan memberitahu di mana kamu berada." "Akang benar, tapi bukan Adi dan ibu saja yang akan terus diteror oleh Juragan Darma dan anak buahnya. Akang dan Teh Lilis juga. Saya enggak mau kalau sampai hal itu terjadi, Kang!" Malika sudah tidak bisa lagi bersikap tenang. "Saya akan merasa sangat bersalah kalau sampai Akang dan Teh Lilis kenapa-kenapa." "Akang tahu siapa Juragan Darma, tapi ... apa kamu tidak terlalu berlebihan dalam menanggapi ancamannya?" ujar Kang Sarmin kini. "Berarti Akang belum mengenal lelaki tua itu." Malika menatap lekat pria dewasa di depannya. "Juragan Darma sudah lama menginginkan saya untuk dijadikan istri kesekiannya. Lelaki itu bahkan sudah berani meminta pada bapak saat beliau masih hidup." Ada pilu terpancar di wajah cantiknya. "Tapi bapak tidak mau menerima permintaan Juragan Darma, alhasil hutang bapak yang awalnya tidak seberapa itu terus membengkak karena lelaki itu menambahkan bunga setiap harinya." Malika sudah tak tahan, air mata yang sedari tadi ia tahan --mengalir di pipinya. Ia teringat akan penyakit sang tulang punggung keluarga yang semakin bertambah parah sejak Juragan Darma menerornya dengan hutang yang tak kunjung lunas. Teh Lilis segera merangkul pundak Malika. Sesama perempuan ia mengerti beban seperti apa yang saat ini gadis muda itu tanggung. "Saya enggak mau, Kang, kalau kejadian serupa menimpa ibu," sambung Malika dengan isakannya. "Ibu yang memiliki riwayat sakit jantung sejak dulu --bukan tidak mungkin akan semakin parah penyakitnya akibat ulah Juragan Darma dan anak buahnya." Kang Sarmin ikut larut dalam kisah kehidupan pilu keluarga Malika. Pria itu memang tahu, keluarga gadis itu bukanlah keluarga berada. Semua warga di kampungnya bukanlah orang kaya kebanyakan, maka dari itu lah dengan pengalaman yang cukup banyak di kota sejak masih muda dulu, Kang Sarmin mau menolong para tetangganya dalam mencari pekerjaan. Seperti halnya yang saat ini tengah terjadi di dalam kehidupan gadis muda itu, mendengar kisah yang Malika ceritakan, pria itu mengerti apa yang harus ia lakukan. "Baiklah. Kalau itu memang sudah menjadi keputusanmu, Akang akan bicarakan hal ini dengan teman Akang dulu." Malika mengangguk sembari menghapus jejak air mata di pipinya. "Iya, Kang." "Nanti Akang akan kabari." "Secepatnya, Kang," potong Malika, "karena waktu saya udah enggak banyak." "Ya, Akang mengerti. Kalo begitu Akang pergi dulu." Kang Sarmin beranjak dari duduknya. "Kamu temani dia, Bu. Bapak pergi menemui teman Bapak dulu," perintahnya pada sang istri. "Iya, Pak. Hati-hati di jalan." Malika terus menatap lelaki itu hingga tidak lagi terlihat oleh kedua matanya. Pergi dengan mobilnya menuju entah ke mana, gadis itu tidak tahu. Tapi feelingnya mengatakan, jika mulai saat ini kehidupannya akan penuh dengan hal-hal baru dan juga luar biasa. *** "Bisa kamu perlihatkan foto gadis itu!" tanya seorang pria tampan dengan setelan jas dan penampilannya yang sangat elegan. Kang Sarmin memberikan ponsel miliknya kepada Danu --teman di kota-- yang kemudian memberikannya kepada pria tersebut. Pria itu mengambil ponsel milik Kang Sarmin dan melihat dengan teliti. Senyum terulas di bibirnya demi melihat sebuah foto dengan wajah Malika di sana. Gambar yang sempat ia minta pada gadis itu melalui aplikasi pesan. "Lumayan." Mengembalikan ponsel kepada si empunya. "Saya setuju. Segera pertemukan saya dengan gadis itu supaya perjanjian pernikahan ini bisa dilakukan dengan segera." Si pria tanpa basa-basi --seolah waktu sangat berharga baginya-- memerintahkan Kang Sarmin untuk mengenalkan ia kepada Malika. Ya, setelah pergi menemui temannya, Kang Sarmin malah diminta untuk langsung bertemu dengan si pengusaha tersebut. Pria yang sedang mencari perempuan untuk ia nikahi itu, meminta untuk bertemu dengan Kang Sarmin setelah ia selesai dengan pekerjaannya di kantor. Lantas, di sinilah mereka kini. Di dalam sebuah restoran mewah, tempat dimana sang pengusaha ingin bertemu dan membicarakan perihal tujuan yang ingin ia laksanakan secepatnya. "Ia sudah setuju dengan semua persyaratan yang saya ajukan?" tanya pria itu. "Saya belum menjelaskannya secara mendetail, Tuan. Danu tidak menjelaskan persyaratan lainnya kecuali perihal anak." Pria itu menatap Danu yang tersenyum canggung. "Asisten Anda memang belum menjelaskan persyaratannya, Tuan." Danu membela diri. "Ck!" Pria itu berdecak. Sayang, sang asisten tak ada di meja itu. Tadi ia meminta izin kembali ke kantor karena ada berkas yang tertinggal. Jika tidak, mungkin ia akan menumpahkan kekesalannya langsung saat itu juga pada karyawan yang menjabat asisten pribadi itu. "Ya sudah, tidak apa-apa. Biar nanti saat pertemuan saja, saya akan jelaskan, sekalian berkenalan." "Baik, Tuan," jawab Kang Sarmin. "Jadi, kapan kamu bisa mempertemukan saya dengan gadis itu?" tanya si pria lagi. "Saya terserah Tuan saja. Kapan Tuan ingin bertemu, akan langsung saya sampaikan pada Malika." "Malika?" "Iya, Tuan. Nama gadis itu Malika." "Nama yang bagus." Senyum itu kembali hadir di bibirnya. Kang Sarmin dan temannya --Danu-- hanya saling pandang dan tak bereaksi. Mereka tidak tahu apa yang saat ini tengah pria itu pikirkan. Padahal sejak mereka bertemu tak pernah sekali pun pria di depannya itu tersenyum, tetapi hanya melihat foto dan mendengar nama gadis itu, senyum itu terulas. "Besok jam tujuh malam, di restoran ini lagi." Pria itu memerintah. "Baik, Tuan. Saya dan Malika akan datang tepat waktu." Tidak lama kemudian, datang asisten pribadi si pria pengusaha. Berjalan dengan sedikit tergesa khawatir bosnya itu menunggu dirinya terlalu lama. "Kalian bisa menikmati hidangan yang sudah tersedia. Saya permisi pamit lebih dulu." Pria tampan itu berdiri. Menatap Kang Sarmin dan Danu. "Jangan lupa besok!" "Baik, Tuan. Kami tidak akan lupa. Terima kasih untuk hidangannya dan hati-hati di jalan." Kang Sarmin yang memang pandai berbasa-basi, menjawab ucapan dari si pengusaha. Pria itu pergi dari hadapan keduanya, diikuti oleh sang asisten dari belakang yang mengikuti langkah panjang kedua kakinya. "Aku belum pingin makan, Kang," ucap Danu setelah mendudukkan kembali tubuhnya. "Sama, aku juga. Gimana kalo kita minta bungkus saja semua makanan ini, sayang daripada mubazir." "Ya, aku ikut aja, Kang." "Mas!" panggil Kang Sarmin kepada seorang pelayan yang berdiri tidak jauh dari meja mereka. "Apa boleh semua makanan ini dibungkus?" tanya Kang Sarmin. "Oh, boleh kok, Pak. Sebentar saya akan siapkan." Pelayan itu kembali ke stand rak yang tadi ia berdiri di dekatnya --mengambil nampan untuk membawa makanan yang ada di atas meja Kang Sarmin. "Ngomong-ngomong, gadis yang Akang bawa itu, apa sudah tahu mengenai sifat si bos yang player itu?" tanya Danu ingin tahu. "Sudah, aku sudah kasih tahu Malika," jawab Kang Sarmin mengangguk sembari menyeruput minuman dalam gelas yang ada di tangannya. "Ya, walau pernikahan ini hanya sebuah kontrak kerjasama tanpa adanya perasaan cinta, khawatir saja gadis itu akan kaget kalau suatu saat si bos bawa wanita lain ke rumah dan dilihat oleh dia." "Sebetulnya aku juga sedikit khawatir, Nu. Tapi mau bagaimana lagi, Malika sendiri yang mau. Aku enggak tega menolak karena tahu kondisi dia saat ini. Beban yang ia tanggung cukup berat. Ia butuh banyak uang untuk membayar hutang keluarganya pada rentenir di kampung. Kasian." Kang Sarmin memandang lurus dengan tatapan kosong. Pria itu masih teringat dengan kisah Malika, di usianya yang masih muda, gadis itu sudah harus berpikir keras demi keamanan, kenyaman dan kesejahteraan ibu dan adiknya. Dimana para gadis yang sebaya dirinya sedang berada dalam masa-masa kesenangan --berbanding dengan keadaan gadis itu. *** "Lelaki itu ingin ketemu kamu besok," ucap Kang Sarmin memberitahu. "Benarkah secepat itu, Kang?" tanya Malika tak percaya. "Ya, Akang kan sudah bilang kalo ia sudah lama mencari istri untuk ia kontrak, tetapi tak kunjung dapat. Mungkin memang jodohnya dengan kamu, Malika." "Jodoh apa, Kang?" sinis Malika. "Ya, jodoh. Tapi bukan dalam artian sebenarnya." Pria tiga puluhan itu menyahut dengan senyuman yang sama. "Jam 7 kita sudah harus di sana. Para pengusaha kebanyakan sangat menghargai waktu. Jadi, kita jangan sampai terlambat datang." "Iya, Kang. Saya ikut Akang saja." "Bu, besok kamu carikan pakaian yang pantas untuk Malika kenakan. Walau kita dari kampung, setidaknya jangan membuat malu." "Iya, Pak." Teh Lilis yang tengah menyiapkan makan malam, menyahut dari dapur. "Apapun yang nanti lelaki itu katakan, kamu ikuti saja, yah, Malika?" pesan Kang Sarmin. "Iya, Kang." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD