Merantau

1276 Words
Tepat saat adzan Dzuhur, mereka sampai di sebuah kawasan perumahan. "Kita mampir ke mesjid dulu, Malika. Pas adzan, kita salat." Kang Sarmin memakirkan mobilnya di tempat yang sudah disediakan. Sebuah mesjid yang berada dekat sebuah lapangan di tengah-tengah perumahan mewah. "Iya, Kang." Malika turun dari mobil, mengambil mukena yang ia bawa dari rumah. "Di sana bagian wanita. Akang ke sini yah!" ujar Kang Sarmin memberitahu. Malika mengangguk. Gadis itu berjalan menuju area tempat wudhu dan toilet khusus wanita. Segera ia masuk ke dalam toilet yang masih kosong, untuk melakukan hajat yang sedari tadi sudah ia tahan. Ketika Malika keluar toilet dan menyelesaikan wudhu-nya --masuk ke dalam area mesjid-- sudah banyak para jamaah yang datang untuk melaksanakan salat berjamaah. "Sudah selesai? Tidak ada barang yang tertinggal?" tanya Kang Sarmin yang sudah duduk terlebih dahulu di dalam mobil. "Sudah, Kang. Tidak ada, saya cuma bawa mukena aja tadi." Malika membuka pintu mobil bagian depan penumpang --tempat yang ia duduki sejak keberangkatannya dari desa. "Oh iya, tadi si Putra membalas pesan yang Akang kirim sesuai permintaan kamu kemarin." Kang Sarmin memberitahu Malika mengenai kabar dari sang sahabat. "Benarkah?" tanya Malika. "Ya. Ini kamu telepon saja dia!" "Boleh, Kang?" "Hemm. Nih! Akang sudah tekan nomornya, tunggu dia angkat." Kang Sarmin menjalankan kembali mobilnya--setelah memberikan ponsel pada Malika-- untuk menuju rumah tempat gadis itu akan bekerja. "Hallo!" [Hallo, Malika. Kamu jadi kerja di kota?] "Iya, Putra, jadi. Aku baru aja sampai. Dan sekarang akan menuju rumah tempat aku kerja nanti." [Oh, begitu. Baiklah, Malika. Nanti aku akan cari cara agar bisa berkomunikasi denganmu.] "Ya, Putra. Aku akan tunggu kabar dari kamu." [Baiklah, aku harus kembali bekerja. Nanti aku kabari kamu yah!] "Iya." Sambungan telepon terhenti. Malika mengembalikan ponsel pada lelaki di sebelahnya yang masih fokus menyetir. "Ini, Kang!" kata Malika. Kang Sarmin mengambil ponsel miliknya dari tangan tetangganya itu. "Nanti kamu bisa membeli ponsel dengan uang gaji kamu. Untuk sementara kamu bersabar dulu. Komunikasi dengan Putra, biar Akang yang kasih tahu dia." "Iya, Kang." "Ngomong-ngomong, apakah kamu pacaran sama dia?" "Dia siapa, Kang?" tanya Malika. "Si Putra 'lah, memang siapa lagi yang saat ini kita bicarakan." Kang Sarmin nampak tersenyum. "O-oh, e-enggak kok, Kang. Saya sama Putra enggak pacaran." Malika menjawab dengan gugup. "Tapi Akang lihat kalian kaya yang pacaran, deket banget. Kemarin aja, dia belain pulang dari kota saat bapak kamu meninggal." "Kita cuma teman aja, Kang." "Kalian emang enggak saling suka gitu?" tanya Kang Sarmin dengan mata yang masih tetap fokus ke jalan di depan. "E-enggak, Kang." Malika menjawab dengan wajah menunduk. "Kamu suka sama dia, iya 'kan?" Kang Sarmin menoleh sedikit ke arah gadis yang duduk di sebelahnya. Malika tidak menjawab. "Tebakan Akang benar rupanya. Kenapa kalian tidak pacaran saja, terus menikah? Akang lihat Putra juga suka sama kamu." "Akang salah, Putra enggak pernah suka sama saya. Dia cuma anggap saya adik, enggak lebih." "Masa? Kamu tahu darimana?" "Putra sendiri yang bilang sama saya." "Putra bilang enggak suka sama kamu, gitu?" Malika menggeleng, "bukan." "Nah, terus?" Kang Sarmin nampak penasaran. "Dia bilang, kalo dia sudah suka sama perempuan sejak lama." "Dia bilang siapa perempuan itu?" Lagi-lagi Malika mengangguk. "Siapa?" "Winda, teman satu sekolah kami saat SMP dulu." "Winda anak Pak Wahyu, yang tanahnya bapak kamu garap itu?" tanya Kang Sarmin, menatap iba pada gadis 19 tahun itu. "Iya!" jawab Malika sembari mengangguk  dengan tatapan pilu. Lelaki dewasa itu tak tahu lagi harus berkomentar apa. Dia tahu kedekatan Malika dan juga Putra dulu saat lelaki itu belum merantau ke kota. Tentu saja Kang Sarmin tahu, bahkan mungkin satu desa tahu kedekatan mereka berdua. Sampai-sampai ibu Putra sendiri merasa yakin jika Malika adalah calon menantunya dan wanita paruh baya itu memang menyukai anak gadis tetangga sebelah rumahnya. "Terus, kenapa Putra enggak bilang sama si Winda?" "Dia minder, Kang. Makanya Putra memutuskan untuk kerja ke kota biar bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan tidak akan malu jika suatu saat ia menyatakan perasaannya pada Winda." "Apa enggak kelamaan? Bagaimana kalau si Winda menyangka kalau kalian adalah pasangan kekasih, seperti Akang dan warga desa sendiri yang menganggap jika kalian memiliki hubungan spesial? Apa bukan sesuatu hal yang tidak mungkin kalau Winda akan menyukai pria lain?" Malika mengangkat kedua bahunya, "enggak tahu 'lah, Kang. Saya enggak pernah mau ikut campur untuk urusan pribadi dia. Saya cuma bisa berterimakasih di saat aku butuh seseorang untuk berbagi dia selalu ada. Bagi saya itu udah cukup." Malika biasanya tidak pernah bisa dengan leluasa membicarakan masalah pribadinya dengan siapa pun kecuali dengan sahabatnya --Putra. Tapi, entah mengapa --ia sendiri bingung-- bagaimana bisa dia bercerita mengenai perasaanya terhadap lawan jenis kepada Kang Sarmin seperti itu. "Saya harap Akang enggak membicarakan masalah ini sama orang lain, cukup kita berdua aja yang tahu. Saya malu." "Tenang saja, Malika. Kamu bisa percaya sama Akang." "Terimakasih, Akang sudah bisa menjadi tempat curhat dan juga penolong saya di saat seperti ini." "Sama-sama, Malika. Akang harap kamu bisa menemukan kebahagiaan dengan keputusan besar kamu mengubah nasib ke kota." "Iya, Kang. Saat ini saya cuma mau fokus mencari banyak uang untuk menghidupi keluarga saya di rumah." "Bagus! Tapi jangan terlalu berlebihan juga, Malika." "Iya, itu pasti!" ucap gadis itu. Keduanya kembali berdiam. Kang Sarmin kembali memperhatikan jalanan komplek, menengok satu rumah ke rumah yang lain kanan dan kiri, sepertinya takut kalau rumah yang dituju akan kelewat. "Nah, ini rumah yang kita cari!" seru Kang Sarmin, menunjuk sebuah rumah yang sangat besar --menurut Malika-- dengan cat berwarna putih mendominasi. Pagar hitam yang terlihat tinggi nampak kokoh seperti bangunan yang berdiri di dalamnya. "Besar banget, Kang!" seru Malika takjub. "Rumah ini enggak seberapa besar, Malika. Di kota, banyak rumah yang lebih besar daripada rumah calon majikanmu itu!" sahut Kang Sarmin memberi tahu. "Benarkah, Kang?" tanya Malika antusias. "Iya, masa Akang bohong. Akang 'kan enggak cuma ke daerah sini doang mainnya. Udah gitu, bukan setahun atau dua tahun Akang bolak-balik ke kota, udah puluhan tahun dari Akang masih bujangan." "Wah, kaya apa yah Kang rumah yang benar-benar itu." Malika masih penasaran dengan sesuatu hal yang baru kali ini dilihatnya. "Pastinya setiap rumah punya kolam renangnya. Udah yuk, kita turun! Kamu bisa lihat sendiri nanti." Kang Sarmin turun dari mobil dan menunggu Malika di depan gerbang. Berbicara pada seorang petugas penjaga rumah. "Malika! Ayo, sini?" panggil Kang Sarmin melambaikan tangannya pada gadis desa itu. Dengan berjalan perlahan, Malika menghampiri Kang Sarmin. "Udah boleh masuk, Kang?" "Lagi laporan dulu sama yang punya rumah." "Oh!" sahut Malika lantas diam. "Silakan, Kang. Nyonya sudah menunggu di dalam," ucap Pak Satpam sembari memencet sebuah tombol yang ada di dalam posko. Tak lama kemudian, pintu gerbang tinggi itu terbuka lebar. "Makasih yah, Pak Heru. Kami masuk dulu." Penjaga itu mengangguk. Malika mengimbangi langkah kaki Kang Sarmin. Gadis itu tidak terlihat tegang sama sekali, meski tadi ia sempat merasakan gugup di hatinya, sebelum sampai ke rumah yang saat ini hendak ia masuki. "Semoga majikan kamu orang yang baik!" ujar Kang Sarmin dengan langkah yang semakin mendekati rumah yang memiliki dua daun pintu. "Aamiin!" sahut Malika sembari mengusap wajah dengan dua telapak tangannya. "Permisi, selamat siang!" sapa Kang Sarmin di depan pintu yang masih tertutup sambil memencet sebuat bel di sisi atas pintu. Pintu terbuka dan terlihat seorang wanita tua berdiri di ambang pintu. "Kang Sarmin, yang tadi mau ketemu Nyonya yah?" kata wanita itu. "Iya, Bu!" jawab lelaki di sebelah Malika. "Ayo, silakan masuk! Sudah ditunggu oleh Nyonya." Ibu tua itu berjalan mendahului keduanya. Memasuki rumah, Malika kembali dibuat takjub. Kedua matanya tak berhenti berkelana melihat semua yang ada di dalam. Dari lukisan di dinding, guci-guci besar di setiap sudut ruangan sampai beberapa bingkai poto terpajang dari yang ukurannya kecil sampai yang terbesar, tak luput gadis itu amati. "Permisi, Nyonya. Kang Sarmin sudah datang." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD