Part : 2
Tante Banci, baru saja selesai mendandani kemudian pergi meninggalkan Amira sendirian. Menatap wajah diri sendiri dalam cermin.
"Ini bukan aku," bisik Amira lirih.
Cermin melukiskan wajah bermake-up tebal dengan bibir bergincu merah menyala. Cantik memang? Tetapi Amira merasa tidak sesuai dengan umurnya, belum pantas rasanya berdandan seperti ini, jujur ... hatinya menolak.
Asmah masuk ke dalam kamar mendatangi Amira, melihat dengan pandangan sedih.
"Duniamu akan segera berubah, Amira." Mengembang air matanya. "Aku berharap, takdir tidak akan membuatmu menjadi seperti aku, kamu layak mendapatkan hidup yang lebih baik di luar pekerjaan kotor ini.
"Ini pegangan buatmu. Entahlah ... aku merasa yakin, hidupmu akan berbeda dari kami."
Asmah memberikan Amira uang senilai dua ratus ribu rupiah.
"Semoga Tuhan membuatmu tidak akan pernah kembali lagi ke rumah sialan ini!" Dipeluknya Amira erat, berkaca-kaca kedua matanya, mendengar doa baik dari sahabatnya itu.
"Terima kasih, As. Aku pun berharap begitu."
Asmah lalu keluar meninggalkan kamar, cepat-cepat Amira menyembunyikan uang pemberian Asmah kedalam pakaian dalam dan mengusap genangan air mata yang hampir saja luruh.
Teringat masa kecilnya di rumah penampungan milik Mami Merry ini. Tante Banci yang mendidik mereka. Mengajarkan tentang segala hal, termasuk membaca dan menulis, sedangkan Mami Merry adalah monsternya.
Menghukum dan menghajar dengan caranya. Bahkan mengurung kami kedalam satu kamar kecil bila dianggap terlalu nakal, dan tidak memberikan makan selama dikurung di sana.
"Amira! Ayo berangkat. Pemenang tendermu sudah menunggu." Mami Merry sudah berada di depan pintu kamar, memerintahkan untuk segera bersiap.
Amira melangkah perlahan menuju pintu keluar kamar, Mami Merry menahanku sesaat.
"Ingat, Amira? Kamu sudah dibayar mahal untuk ini. Berikan pelayanan yang terbaik, jangan permalukan aku di depan klien!" ucapnya tegas.
Amira hanya mengangguk pelan. Monster besar ini selalu terlihat menakutkan, semua penghuni di sini takut padanya.
"Anak pintar," ujarnya. "Handphone terbaru dan uang sepuluh juta akan segera jadi milikmu, jika Kamu tidak mengecewakan klienku." Di cengkamnya keras kedua bahu Amira.
Tante banci dan kedua bodyguard Mami Merry sudah menunggu di dalam mobil. Mobil yang akan membawa Amira ketempat takdir yang baru. Takdir yang harus dia jalani nanti. Sampai di posisi ini, hanya pasrah yang bisa Amira lakukan.
"Tuhan ... aku tidak pernah mengenal-Mu, tetapi jika benar Kau memang ada, maka tolonglah aku," bisik Amira lirih.
Mobil yang membawa Amira meluncur ketengah pusat kota. Gemerlap lampu-lampu jalan dan tingginya gedung-gedung megah, cukup mengagetkan dan membuat Amira terpesona, karena selain di rumah penyekapan, gadis belia itu tidak pernah pergi kemanapun.
Sepanjang perjalanan, tidak henti-hentinya Tante Banci mengingatkan tentang ilmu-ilmu maksiat yang pernah diajarkannya. Membuat dua bodyguard yang mengawal terkadang tertawa terbahak-bahak.
Amira terus berdoa kepada Tuhan yang tidak pernah dikenalnya, tetapi entahlah ... hatinya meyakini jika Dia memang ada.
Sampailah mereka di tempat parkir sebuah restoran cepat saji. Mobil yang membawa Amira diparkirkan di situ, dan tante banci mencoba menghubungi seseorang dengan gawai yang dibawanya.
[Om, eike sudah di tempat yang Om bilang nih ]
Entahlah, apa isi percakapan mereka, hanya suara Tante Yusnia saja yang terdengar.
Satu bodyguard turun dari mobil, sedangkan yang satunya lagi tetap di belakang kemudi.
Tidak lama sebuah mobil sedan mewah datang dan terparkir di samping mobil. Tante Banci segera turun dan menghampirinya, kemudian membuka pintu samping tempat duduk Amira. "Turun Amira, pemenang atas tubuhmu sudah siap membawamu." Jantung Amira terasa berdebar kencang, turun perlahan dan mendekati pintu sedan mewah tersebut.
"Buktikan jika Kau memang ada,Tuhan."
Seorang pria peranakan paruh baya menyambut Amira. Tubuhnya besar seperti Mami Merry, dengan wajah dan kulit tubuh seperti pria keturunan pada umumnya, dan Amira pun duduk di sebelahnya. Jantung Amira masih berdebar kencang, pria paruh baya itu menatapnya dengan pandangan mata yang terpesona. "Mantap ini," ujarnya.
Sedikit terdengar percakapannya dengan Tante Banci, jika pria keturunan tersebut sudah mentransfer sejumlah uang ke Mami Merry, tetapi masih tetap memberikan beberapa lembar uang kepada Tante Yusnia dan dua orang bodyguard.
"Ini buat lo olang makan-makan."
Bos besar itu lalu menepuk bahu sopir pribadinya, dan mobil pun bergerak perlahan menjauh. Namun masih terlihat oleh Amira, tante sedang membagikan uang pemberian si bos kepada kedua bodyguard tersebut.
Amira diam terpaku, rasa takut menghinggapi seluruh tubuhnya. Gemetar rasanya, jijik dengan pria bertubuh besar ini, tetapi Amira bisa apa? Dalam hati Amira terus berdoa pada Tuhan yang tidak pernah dia kenal, berharap Dia mampu menolong Amira keluar dari jalan nista ini.
"Lo olang cantik," kata bos besar itu, sembari menyentuh dagu Amira dan dihadapkan ke arah wajahnya.
"Semoga lo juga bawa hoky besar buat owe."
Sedan mewah itu melaju menuju pusat kota, udara dingin dalam mobil membuat Amira mengiggil. Rasa takut semakin menyergap, membayangkan jika nanti harus melayani nafsu birahi pria besar di sampingnya ini.
Mobil tiba dan memasuki sebuah bangunan megah dengan taman-taman indah. Sebuah tulisan nama besar sebuah hotel terpajang di atas gedung megah tersebut, dan berhenti tidak jauh dari tulisan "Lobby".
"Ayuk turun," ajak pria besar itu kepada Amira, dan Amira mengikuti apa maunya.
Berdiri terdiam di samping mobil. Menatap nanar gedung megah di depannya. Meremang matanya. Meremas keras pakaian yang dia kenakan, dan perlahan memasuki gedung tersebut.
"Mungkin memang Tuhan, menginginkan aku menjadi seperti Asmah dan yang lain." Bathinya berkata lirih. Tuan besar itu menggenggam tangan Amira, melangkah bersama menuju ke dalam lobby. Langkah takdir sudah membuat Amira sampai di tempat ini, dan gadis muda itu sudah berhenti berdoa.
Ruangan yang disebut lobby ini begitu indahnya, dengan lampu kristal besar menggantung di ruang utama. Lalu ada dua wanita dewasa yang cantik berseragam menerima setiap tamu yang datang. Bangku-bangku besar super mewah yang empuk, Amira dengan bos gendut menunggu di situ.
Tidak lama seorang pria datang menemui mereka, separas dan kulit yang sama dengan bos gendut, dan mereka berbincang-bincang dengan bahasa yang tidak Amira mengerti.
"Kamu tunggu di sini dulu sebentar, jangan kemana-mana," pesannya jelas.
Amira hanya mengangguk saja, lalu bos besar itu meninggalkannya di ruangan besar yang super mewah ini, nyaman sekali duduk di bangku seempuk dan semewah ini.
""Mungkin ini kesempatan untuk lari dari sini." Niat Amira.
Menoleh ke arah kiri dan kanan, keadaan ruangan mewah itu sedikit lenggang. Berdiri perlahan, sudah bulat tekadnya untuk segera terlepas dari genggaman Mami Merry.
"Ayo, kita pergi lagi." Suara bos gendut, dari arah belakang, dan cukup membuat Amira terkejut.
Sedan mewah yang membawa Amira, menuju ke arah luar kota, dan sepertinya pria yang tadi bertemu bos gendut juga mengikuti dengan membawa kendaraan sendiri.
Melewati seperti jalan pegunungan, tetapi ramai kendaraan. Dengan banyak orang-orang berkumpul di sepanjang pinggir jalan. "ke puncak" itu yang tadi bos gendut bilang kepada sopir pribadinya.
Sepanjang perjalanan, si bos terus saja menelpon dengan bahasa yang tidak Amira mengerti. Sepertinya sedang berbicara dengan pria yang di lobby hotel tadi, sesaat dia berhenti menelpon dan menoleh kearah Amira.
"Lu udah makan?" tanya si bos. Amira menggeleng, dan memang belum masuk makanan apapun sejak dari siang tadi.
"Lu mau makan apa?" tanya si bos lagi.
"Apa saja tuan," jawab Amira pelan.
"Jagung bakal saja yah, bial bisa makan di jalan," tawarnya, dengan logat yang sedikit cadel. Amira hanya mengangguk.
Mobil pun menepi sesaat, dan sopir bergegas turun, setelah si bos memberikan uang kepadanya tadi. Tidak beberapa lama sopir bos kembali masuk ke dalam mobil dan memberikan jagung yang baru dibelinya kepada tuan gendut. Dia pun memberikan satu jagung kepada Amira, dan mobil kembali bergerak ke arah atas puncak.
"Nama lu siapa?" tanya si bos. Amira belum menjawab, sembari menghabiskan sisa kunyahan jagung di mulutnya.
"Amira tuan...." Bos Gendut semakin mendekatkan wajahnya ke arah Amira.
"Lu olang cantik ... sayang ...." Segera dia kembali duduk seperti semula. Amira yang sempat merasakan takut, sedikit kembali merasakan tenang.
Kendaraan yang membawa Amira mulai memasuki halaman sebuah rumah besar dengan banyak pepohonan taman. Juga terdapat kolam renang pas di ujung tembok halaman memanjang hingga hampir mendekati pintu masuk rumah.
Amira pun segera turun, dan mendadak hawa dingin menyergap tubuh kecilnya yang berbalutkan pakaian minim seadanya. Menggigil langsung badannya, menatap dalam rumah itu sesaat.
"Apakah rumah ini akan menjadi saksi hilangnya sebuah kehormatan." dalam diam, lirih berbisik ke hatinya sendiri.
Tidak beberapa lama, mobil yang dikendarai pria yang tadi berbincang di lobby pun tiba, dan pria itu segera turun mendekati.
"Jadi ini hadiah yang akan kamu berikan?" tanya pria itu kepada bos besar.
"Iya, bagaimana menurutmu." Bos besar memegang tangan Amira, dan mengajak masuk ke dalam rumah itu.
"Cantik, masih perawan?" tanyanya lagi.
"Di jamin." Bos besar tertawa terbahak-bahak.
"Buat owe saja jika begitu," ucap pria itu, sembari matanya menatap Amira dengan penuh nafsu.
"Jika bukan buat mendapatkan kakap besar, mending buat owe sendiri," jawab bos besar, dan tangannya mulai menyentuh tubuh Amira.
"Semoga keperawanan anak ini mendatangkan cuan yang besar buat kita." Sekarang pria itu yang tertawa lepas. Tangannya pun ikut menjamah tubuh Amira, dan Amira hanya bisa terdiam, merintih pedih dalam hatinya.
"Aku berada di antara Singa dan Serigala." hatinya mengeluh, dan takdir masih bermain-main dengan jalan hidupnya.