Siang yang begitu terik, matahari serasa berjarak satu jengkal dari ubun-ubun. Penawarnya adalah sesuatu yang segar dan dingin, dan kebetulan sekali kedua remaja itu tengah menikmati es kelapa muda di dermaga yang tak jauh dari basecamp mereka. Tempat yang selalu menjadi alasan mereka untuk bersama dan menghabiskan waktu dengan berbagai cerita konyol juga menyedihkan.
Sepulang sekolah, Resya dan Gio melipir ke pantai untuk menghabiskan waktu bersama. Kebersamaan itu harus sering dilakukan mengingat Gio akan segera lulus beberapa bulan lagi. walaupun tak akan bisa mengobati rindu yang nanti akan bersarang dipikiran mereka.
"Gimana kalau kamu juga nanti melanjutkan pendidikan di Universitas yang sama denganku?" tawar Gio, Resya menggigit bibirnya. Tawaran yang menyenangkan namun juga menyedihkan. Ingin sekali melanjutkan di pendidikan yang ternama dan bahkan kualitasnya bagus. Tapi siapa yang akan dengan senang hati membantunya? Ia tak mungkin merepotkan Tante Melody dengan meminta kuliah di tempat ternama sedangkan biaya hidup mereka saja sudah membuat Melody kembang kempis. Andai saja ia memiliki pekerjaan tambahan, meskipun Melody pasti dengan terang-terangan melarangnya.
"Gak bisa Gio. Gimana nasib Tante Melody? beliau pasti akan repot." lirihnya menatap deburan ombak.
"Kan' ada aku. Uang bulanan ku lebih itu bisa menjadi biaya pendidikan dan hidup kamu, jadi kita tidak akan terpisahkan." Sedih sekali jika harus bergantung hidup kepada orang lain yang bukan siapa-siapa. Resya tidak ingin menjadikan dirinya sebagai benalu
Resya menggeleng. "Apa kata orang tuamu Gio, aku gak ingin menjadi parasit." Belum lagi, pria yang akan ia tumpangi juga memiliki keluarga yang besar kemungkinan akan tak suka jika anaknya dimanfaatkan orang lain.
"Ya ampun, kamu bukan parasit tapi ini kan' kemauan aku." Meski begitu, tetap saja.
"Gio, aku sedih kita harus berpisah. Tapi bukan berarti kita melakukan segala cara agar terus bersama. Apalagi aku menumpang hidup denganmu, itu sama sekali bukanlah keinginanku." terang Resya. Ia bukanlah manusia-manusia yang doyan memakan harta orang lain dengan mengemis-ngemis agar orang lain merasa kasihan padanya. Lebih baik ia hidup sederhana daripada merepotkan orang lain, sudah cukup baginya merepotkan Tante Melody, dan tak akan menambah orang lain. Resya hanya tidak ingin menambah daftar orang yang akan di bahagiakan nya. Juga, harus dengan apa Resya berbalas Budi?
Gio nampak mengehela napasnya. "jujur berat meninggalkanmu Resya. Bisakah kita menjalin hubungan? Agar kita tahu bahwa hati kita saling memiliki?" penawaran itu membuat Resya bungkam sesaat, lalu menghela napasnya.
"Mengapa itu menjadi keharusan Gio? Jika begini saja kita saling memiliki." paparnya, Gio menggeleng.
"Bagaimana jika kamu bertemu dengan lelaki lain? Dan lebih dekat dengannya daripadaku?" takut Gio, ia tak rela jika ada lelaki yang bisa lebih membuat Resya merasa bahagia. Ia hanya ingin, dirinyalah yang menjadi orang satu-satunya dalam hidup Resya.
"Itu tidak akan!" Kata Resya mencoba meyakinkan Gio. apa yang lelaki itu rasakan, sama dengan yang Resya takutkan namun ia berusaha tenang.
"Keadaan bisa berubah Resya, kecuali dengan kita selalu bersama atau membuat perjanjian dan hubungan yang memiliki status."
Resya menghela napasnya. " Kalau kamu berpikir dengan pacaran itu adalah bentuk terikatnya hubungan kita, kamu jangan melupakan jika pacaran juga ada kata putus. Tapi pertemanan tidak akan pernah Gio." persahabatan, sampai kapanpun tidak ada batas waktu.
"Apa alasanmu tidak ingin?" tanyanya
"Karena belum saatnya." jelas Resya.
"Kapan saatnya?" tanya Gio lagi.
"Ketika kita sudah dewasa. Umur kita masih remaja dan pikiran kita masih anak-anak, bahkan kita masih meminta uang kepada orang tua." pikiran Resya mirip sekali dengan pikiran Melody. Ya, pelajaran itu memang ia dapatkan dari tantenya. Belajar melalui kisah Melody yang tak pernah gagal masalah perasaan. atau lebih tepatnya wanita itu tidak pernah ingin memulai sebuah perasaan baru.
"Tapi bolehkah aku meminta sesuatu? Sebelum kita benar-benar berpisah?" tanya anak remaja itu, Resya bertanya.
"Apa itu? Jika aku bisa mewujudkannya aku akan melakukannya."
"Aku ingin membuat kenangan bersamamu?"
Resya menyipitkan matanya, angin menerpa rambut mereka. "Seperti? Bukankah sekarang ini adalah hal yang akan menjadi kenang-kenangan untuk kita?"
"Lebih daripada ini.." pinta Gio, sontak saja Resya mengerti arah pembicaraan lelaki itu. Entah mengapa Resya merasa takut dan menjauh beberapa langkah.
"Gio, tidak sepantasnya kita.." saat itu juga Gio mengecup sekilas bibir Resya tanpa permisi. Gadis itu melotot, ia menjadi patung untuk sesaat. Apa-apaan gio? Ia merasa dipermalukan.
"Gio?" cicitnya, tanpa rasa bersalah anak remaja itu mengangguk dan tersenyum.
"Itu kenang-kenangan yang gak akan bisa kita lupakan. Aku orang pertama kan?" tanyanya, tak peduli Resya yang masih syok dengan apa yang terjadi.
"Tapi kamu melakukannya tanpa persetujuanku!" Hardiknya, Gio justru tertawa menganggap semua itu hal yang wajar.
"Anggap saja itu adalah kecupan perpisahan antara kakak dan adik hmm? Ayolah, jangan menganggap berlebihan lagipula itu hanya beberapa detik." terangnya, Resya memukuli lengan Gio, mereka justru saling bercanda gurau bersama.
"Kamu senang kan? Jadi tidak boleh ada orang lain yang melakukan hal yang sama kecuali aku."
"Gio! sudahlah jangan membahas hal itu!" gugupnya, Resya nampak salah tingkah.
"Apa kamu senang?" tanya Gio menatap wajah Resya, Gadis itu terdiam tapi senyuman mengembang di bibirnya.
"Kamu senang!" jawab Gio melihat ekspresi wajah Resya.
"Tapi, aku harap kamu tidak melakukan hal itu lagi. Meski hanya bentuk sebagai antara kakak dan adik, tapi aku merasa tak nyaman."
"Tak nyaman?"
Resya mengangguk, "Aku merasa menyakiti hati Tante Melody."
Gio nampak terdiam. "Kita sembunyikan masalah ini dari siapapun. Ini hanyalah kenangan kita berdua yang tak boleh dibagi siapapun."
Gadis lugu itu mengangguk, mereka kemudian menikmati es kelapa muda dengan semilir angin yang menerpa, deburan ombak menjadi saksi bisu kenangan mereka.
"Melody, aku harap kamu tidak pernah membuatmu menunggu?" terang Rendy, sudah hampir lima tahun penuh pria ini meminta kejelasan dari wanita itu. Banyak hal yang membuat Rendy merasa cocok dengan Melody. Kejujuran, ketekunan, dan juga sifat mandiri wanita itulah yang membuat Rendy tertarik. Apalagi jiwa keibuan dan juga kasih sayang yang tulus sangat sulit didapatkan dari wanita kebanyakan.
Hanya saja, Melody selalu menggantungkan keinginannya untuk segera meminang wanita itu. Rendy tak tahu alasan yang paling mendasar dari kegantungan ini, tapi ia tak pernah putus asa.
"Aku tidak pernah membuatmu menunggu Rendy, kamu boleh memilih siapapun yang menjadi pilihanmu tanpa menungguku."
"Tapi tidak bisa! Selalu kamu yang menjadi pilihan terakhir. Aku sudah mencobanya."
"Kamu tahu kan' aku masih sulit untuk membuat sebuah rumah tangga. Terlebih Resya masih sekolah dan butuh kasih sayangku."
"Apa kamu masih mengkhawatirkan hal itu sampai detik ini?" tanya Rendy yang diangguki wanita tersebut. Pria itu hanya dapat menghela napasnya panjang.
"Resya sudah dewasa, sejak kehadirannya aku juga menerimanya sebagai anakku dan ponakan. Tidakkah kamu melihat ketulusanku? Kita bisa merawatnya bersama Melody?"
Wanita itu menatap keseriusan Dimata Rendy, sebenarnya tak ada salahnya menerim pria itu. Rendy sekarang lebih mapan dan dewasa berbeda dengan lima tahun dan sepuluh tahun yang lalu. Tak ada alasan untuk menolak pria itu.
"Apa kamu ingin seperti ini terus-menerus? Sudah saatnya kamu punya masa depan yang bahagia, tapi tidak dengan melupakan Resya. Jika keduanya bisa dilakukan mengapa tidak?"
Rendy menarik tangan Melody lalu menggenggamnya. "Aku pastikan kamu dan Resya akan bahagia bersamaku, tolong izinkan aku untuk memulai semuanya bersamamu. Jika kamu belum siap menikah, biarkan kita membuat kotmitmen dulu." pinta Rendy benar-benar memohon. Melody memang tak memiliki alasan, mungkin sudah waktunya untuk menerima lelaki dalam hidupnya. Mengingat sudah terlalu lama ia sendiri, akan sampai kapan? Lagipula Rendy juga mencintainya, ia juga sudah lama saling mengenal. Dan Melody mengetahui baik buruknya pria ini.
"Apa kamu mau?" tanyanya, Melody mengangguk membuat mata Rendy melebar kegirangan.
"Aku mau." jawabnya, Rendy senang bukan kepalang dan langsung memeluk wanita itu.
"Terima kasih Melody. Aku tidak masalah jika kamu butuh waktu lama untuk menerimaku, tapi setidaknya kamu masih memberiku kesempatan untuk membuktikan."
Melody melepaskan pelukannya, lalu tersenyum menatap Rendy.
"Apa kamu tahu? Kamu adalah pacarku pertama."
"Ya aku tahu!" sahutnya, pria itu kemudian mendekatkan dirinya kearah Melody dan bibir mereka saling beradu. Ya, dua sejoli yang tengah dimabuk kasmaran.
"Dan, aku adalah pria yang pertama menciummu kan?" tebak Rendy, Melody memukul lengan pria itu dengan malu-malu.
Melody akan mencoba keluar dari zona nyaman ini, karena sejujurnya ia juga mencintai dan mengharapkan Rendy sejak dulu hanya saja saat itu ia masih benar-benar memikirkan Resya yang sedang dalam pertumbuhan. Tapi sekarang, ia tak khawatir karena ada Rendy yang akan membantunya dalam membesarkan anak remaja itu.