10. Mama Tega Nampar Venus?

1034 Words
“Siap-siap sana, Jansen akan datang.” Venus begitu dikejutkan dengan sang Mama yang mengatakan jika Jansen sedang dalam perjalanan untuk menjemputnya. Mendengarnya, tentu Venus marah dan kecewa. Padahal yang sebenarnya, Jansen tidak sedang datang menuju ke sini. Semua itu hanya kebohongan Sekar semata untuk memancing reaksi anaknya tersebut. “Ma, kenapa memberitahu dia kalau Venus di sini?” tanya Venus penuhi dengan emosi. “Memangnya kenapa? Dia ‘kan suamimu. Wajar jika Mama memberitahukan keberadaan istrinya.” Sekar dengan santai menyeruput kopinya. Meminum kopi di pagi hari begini memang terasa begitu nikmat. “Seharusnya Mama beritahu Venus dulu!” protesnya kepada sang mama tercinta. “Aku datang ke sini buat tenangin pikiranku tapi mama malah mengatakan pada Jansen kalua aku ada di sini.” Venus benar-benar emosi padahal dia baru saja bangun tidur. Sekar memandang sang anak lekat. Dengan perlahan, Sekar meletakkan kopinya. Ia menelisik penampilan sang anak dari atas sampai bawah. Terlihat jelas kalau anaknya itu masih menggunakan pakaian tadi malam. Sungguh, bukan ciri khas seorang Venus sama sekali. Hal itu membuat Sekar semakin curiga saja. “Venus, sebenarnya ada apa? Kalian ada masalah?” tanya Sekar tampak serius. Venus yang ditanya tidak langsung menjawab. Ia bingung ingin memulai dari mana. Apa mamanya akan mengerti akan keputusannya atau malah sebaliknya? Dirinya sangat tahu kalau mamanya selalu lebih berpihak kepada Jansen, dibandingkan kepadanya. Apapun yang Jansen bilang pasti mamanya akan lebih percaya. Tampaknya, Jansen lah yang lebih cocok menjadi anak kandung mamanya itu ketimbang dirinya ini. “Kenapa diam? Kau sudah janji akan menjelaskannya pada mama.” Sekar terlihat tidak sabar, apa yang membuat putrinya terlihat kacau. Huh! Venus menarik nafas dalam-dalam, kemudian dihembuskan secara perlahan. “Venus akan bercerai dengan Jansen. Kami sudah tidak cocok.” “APA?! CERAI?!” Sekar seketika langsung beranjak dari posisi duduknya. Kaget. Ia tentu sangat kaget mendengar perkataan sang anak yang dengan mudahnya mengatakan kata mengerikan tersebut. Apa katanya? Cerai? Astaga! Seketika rasa pening mendadak hinggap di kepalanya. Sekar tampak marah. “Sebenarnya ada apa? Kenapa harus bercerai? Jangan gila kamu! Kau pikir suami seperti Jansen ada banyak di dunia, dia baik sama keluarga kita dan juga dia mencintaimu. Kalian tidak boleh bercerai!” Sekar menegaskan. Bullshit. Mencintai dirinya? Mencintai dari mana jika berselingkuh dengan sahabat dekat istrinya. Apa itu dinamakan cinta? “Tidak, Ma. Keputusan Venus sudah bulat. Kami harus bercerai. Venus tidak akan memaafkan pria b******k itu, dia sudah melukai hati Venus!” Plak!!! Tiba-tiba saja terdengar suara kuat yang begitu renyah. Ternyata Sekar menampar sang anak dengan kuatnya. “Kenapa kau melakukan hal gila, huh? Kenapa kau kehilangan akal sehatmu. Kalian tidak boleh bercerai.” Sekar kekeh dengan pendapatannya. Dia tidak mungkin membiarkan putrinya bercerai dengan sang suami, baginya Jansen adalah suami yang baik bagi Venus. Rasa perih dan nyeri begitu terasa. Venus terus memegangi pipinya. Ia menatap mamanya dengan tatapan yang tidak dapat diartikan. “Kenapa mama tega nampar Venus?” lirih Venus hampir tidak terdengar. “Itu untuk menyadarkanmu!” “Mama tega menampar Venus? Anak mama itu, aku, bukan Jansen. Tapi Mama tega nampar aku dan ngebelain pria itu,” suara Venus terdengar serak, dia ingin menangis tapi menahannya. Air mata Venus sudah membendung di pelupuk mata. Hening. Sekar terdiam tidak menjawab pertanyaan dari sang anak. Melihat respon seperti itu, hati Venus langsung sakit. Mamanya memang tidak pernah sayang kepadanya. “Mama jahat!” Kata-kata itu terlontar begitu saja dari mulut Venus. Ia langsung pergi dari sana. Sekar hanya melihat kepergian sang anak tanpa berniat menghentikannya. Sudah bisa ia tebak kalau Venus akan mengunci pintu kamarnya. “Kenapa aku sampai menamparnya?” ujar Sekar memandangi tangannya yang sudah tega menyakiti sang anak. “Sudahlah! Jangan terlalu dipikirkan.” Akhirnya Sekar memilih untuk tidak ambil pusing. Setelahnya, Sekar pun menghubungi Jansen, bermaksud untuk menjemput Venus seperti kebohongannya tadi. Tak berapa lama, sosok Jansen yang sudah ditunggu-tunggu oleh Sekar akhirnya tiba juga. “Mama,” sapa Jansen kepada wanita yang tengah tersenyum manis di depan pintu untuk menyambutnya. “Jansen, akhirnya kamu datang juga.” Sekar memberikan senyum termanisnya untuk sang menantu. Ia memang begitu sayang kepada menantunya tersebut. “Ayo, masuk,” kata Sekar mempersilahkan. Jansen pun mengangguk. Jansen terlihat agak cemas dan khawatir. Takut kalau Venus menceritakan semua kebenarannya. Namun, dari yang ia lihat. Tampaknya mama mertuanya itu belum tahu apa yang sudah terjadi. Kalau tidak, tidak mungkin perlakuannya masih baik begini. “Mau minum apa?” “Apa saja, Ma.” “Baiklah, kalau begitu.” Baru beberapa langkah, Sekar kembali berbalik. Tentu Jansen agak kaget karenanya. “Maaf, Nak Jansen. Mama begitu penasaran dan sudah tidak bisa menahannya lagi. Boleh mama bertanya?” Deg! Jansen tampak terkejut. Namun, berusaha untuk tenang. “Tentu boleh, Ma. Mama mau bertanya apa?” “Begini, kenapa Venus datang seorang diri dengan koper di larut malam, setelah itu bilang akan bercerai? Sebenarnya apa yang terjadi?” “Ah, itu. Maafkan Jansen, Ma. Terjadi kesalahpahaman di antara kami.” “Hanya masalah kecil, ‘kan?” tanyanya memastikan. Jansen mengangguk. “Iya, Ma. Nanti, Jansen akan bujuk Venus. Mama tidak perlu khawatir.” Berusaha meyakinkan. “Syukurlah kalau begitu. Ya sudah, mama pamit ke belakang untuk membuat teh dulu.” “Iya, Ma.” Jansen pun bernafas lega karena Sekar yang tampak mempercayainya. "Maaf," ucap Jansen dengan suara tidak terlalu keras dan tidak terlalu pelan. Venus yang berada di samping masih bisa mendengar dengan baik, tetapi wanita itu memilih untuk diam sambil terus memandang gedung pencakar langit yang mereka lalui itu. Ia malas untuk menatap wajah Jansen yang sejak tadi terus mencari celah mengajaknya untuk bicara. Suasana hatinya begitu buruk sekali dan belum bisa untuk diajak bicara. Tapi, memang tidak akan ada lagi yang harus mereka bicarakan saat ini dan seterusnya, rasanya semuanya sudah cukup dan berakhir. Venus tak ingin terlihat seperti wanita bodoh yang masih ingin menerima Jansen. Cukup sudah pengkhianatan yang ia lihat dengan mata kepalanya sendiri, apapun itu alasannya, itu hanyalah bentuk meminta simpati darinya dan berakhir membuat ia kembali menjadi bodoh! "Sayang." "Jangan panggil aku sayang dengan mulut kotormu itu!" potong Venus dengan cepat. Jansen terdiam, tapi ia cukup tahu diri akan ucapan yang dikatakan oleh Venus itu. Ia tahu bahwa istrinya sedang berada pada puncak kemarahan saat ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD