BAB 3

1148 Words
   Enam bulan berlalu, namun Alliana masih berada di mansion tengah hutan. Gadis itu selalu melakukan kebiasaan lamanya, membaca hingga malam di perpustakaan pribadi. Kehidupannya selalu tenang, tidak ada yang mengusik dan berniat buruk padanya.    “Robert, apa Ayah mengirimkan surat?” tanya Alliana.  Ia merasa rindu pada ayah angkatnya, ia ingin bertemu dan ingin bermanja di pelukan pria itu.    “Tidak ada surat yang datang, Nona.” jawab Robert.    “Ambilkan kertas dan pena, aku ingin mengirim surat padanya.”    Robert dengan patuh melakukan perintah Alliana, ia pergi ke ruangan lain di perpustakaan dan membawa kertas serta pena yang Alliana minta. Pria itu meletakan kertas, dan pena itu di atas meja. Ia kembali pada posisinya, berdiri di samping Alliana dan menunggu perintah dari gadis itu.    “Apa kau tidak lelah?” tanya Alliana.    “Lelah? Saya tidak bekerja berat, Nona.” jawab Robert.    “Maksudku, apa kau tidak lelah terus berdiri? Cobalah untuk melakukan hal lain, Robert.”    “Tugas saya adalah berada di sisi Anda, Nona.” jawab Robert.    Mendengar jawaban Robert, Alliana hanya mengembuskan napasnya. Ia berharap pria di samping tidak bersikap kaku, ia berharap Robert menjadi orang yang lebih santai dan tidak terlalu formal pada dirinya. Namun, harapan itu sudah pasti tidak akan pernah terwujud.    “Anda terlihat lelah, Nona.”    “Aku hanya memikirkan dirimu, kenapa tidak mencari gadis di pusat kota?” tanya Alliana.    “Saya sudah memiliki seorang gadis, dan gadis itu adalah Anda, Nona.” jawab Robert.    “Maksudku, kau seharusnya mencari seorang kekasih!” ujar Alliana agak keras. Ia merasa kesal sendiri sekarang, apa ia harus memberi Robert perintah untuk menikah? Tidak, masalah pernikahan adalah hak pria itu sendiri.    “Saya tidak tertarik.” Robert tersenyum, ia merasa senang sekali saat ini. Melihat Alliana yang kesal adalah hiburan baginya, mendengar Alliana banyak bicara membuatnya merasa sang nona lebih terlihat hidup.    Alliana yang sedari tadi banyak bicara mendadak diam, ia lebih memilih duduk tenang dan menulis surat untuk Sousaki.    Untuk Ayah …    Ayah, aku merindukanmu. Kemana saja? Kenapa tidak berkunjung lagi? Apa Ayah sehat? Apa Ayah makan dengan baik? Ah ya, Ayah. Aku ingin melihat dunia luar, kapan aku bisa pergi? Di sini sepi tanpa Ayah. Aku bukannya bosan dengan kehadiran Robert, Ayah Asuh, dan Ibu Asuh. Tapi, aku ingin mengenal dunia luar. Bukan hanya dari buku, tapi melihat dengan mata kepalaku sendiri.    Ayah, apa Kakak Ichiru sehat? Apa pekerjaan Kakak telah usai? Bagaimana dengan Kakak Ryu? Ah, terlalu banyak pertanyaan yang aku berikan. Aku sehat, semuanya juga demikian. Apa Ayah tahu? Saat aku bermain di hutan, aku melihat anggrek. Aku teringat dengan ucapan Ayah, dan ku akui, anggrek itu begitu cantik.    Ayah, aku menunggu kedatangan Ayah.    Salam manis, Alliana.    Setelah selesai menulis surat, Alliana termenung. Ada rasa yang janggal di hatinya, ia mengingat Ichiru.    “Aku ingin tidur, kau bisa kembali ke kamarmu, Robert.”    “Saya akan tidur di sini, Nona.” jawab Robert.    “Jangan katakan, kau tidak pernah tidur di kamarmu!”    Robert tersenyum, ia memang tidak pernah menempati kamarnya. Ia selalu tidur di perpustakaan dan menunggu Alliana bangun, pria itu menunjuk sofa panjang di sudut ruangan.    “Itu terlihat sempit, Robert.” Alliana menggeleng pelan, ia tidak menyangka pria itu akan menyiksa dirinya sendiri.    “Sebaiknya Anda melipat surat itu dengan baik lalu memasukannya ke dalam amplop, Nona. Saya akan memberikannya kepada Ayah untuk dibawa besok pagi.”    Alliana hanya diam, namun tangannya terus bekerja. Setelah selesai, ia memberikan surat itu kepada Robert. …    Hujan malam itu begitu deras, suara guntur dan petir yang menggelegar menjadi lonceng yang cukup mengerikan bagi Alliana. Gadis itu terbangun, matanya menatap ruangan gelap kamarnya.    Alliana memutuskan untuk bangun, ia duduk dengan tenang sambil mengumpulkan kesadarannya yang masih mengambang. Perlahan, gadis itu berdiri.    Kaki Alliana melangkah anggun, ia memutuskan untuk keluar dan duduk di ruang keluarga. Mansion besar itu begitu sunyi, bahkan lilin yang menerangi beberapa sudut ruangan tidak lagi menyala.    Beberapa menit berlalu, Alliana kini berada di lantai dasar mansion. Kakinya melangkah lagi, menuju ruang keluarga. Namun, apa yang matanya lihat begitu mengejutkan. Seorang pria sedang tertidur, bertelanjang d**a dan dalam posisi telentang.    Alliana mendekati pria tadi, ia duduk bersimpuh. Dipandanginya wajah tenang yang masih terlelap, satu per satu di mulai dari, mata, hidung, dan bibir. Alliana memberanikan diri untuk lebih dekat, di ulurkannya tangan lalu merapikan anak-anak rambut yang terlihat berantakan. Ia terdiam, jarinya tidak sengaja menyentuh bagian bibir pria tadi.    “Bibir ini, jika di dalam n****+ yang k*****a …” Alliana berhenti sejenak, ia menyentuh bibir itu lalu menarik tangannya lagi. Alliana menyentuh bibirnya, terasa berdebar bahkan ia menjadi malu sendiri, “Bibir ini, terkesan tipis namun tetap terlihat manis dan kenyal.” lanjut Alliana.    Alliana kembali mengamati wajah tampan di depan matanya, ia menatap mata yang terpejam dengan bulu mata panjang yang begitu cantik. Lagi, ia mengelus pipi pria tadi dengan tangannya, garis wajah pria itu terasa begitu tegas. Alliana kemudian mengelus kelopak mata yang masih terpejam, ia menarik tangannya saat pria tadi bergerak.    Beberapa saat berlalu, Alliana kembali menikmati keindahan di depan matanya. Ia mendekatkan wajahnya, lalu menempelkan bibirnya pada bibir pria itu. Terasa berdebar, dengan cepat Alliana berdiri. Ia harus pergi, ia merasa malu.    “Apa itu perasaan yang ditulis oleh penulis di buku? Itu, itu, itu, tidak baik untuk kesehatan jantung.” gumam Alliana pelan.    Alliana membalik tubuhnya, ia menggeleng pelan dan akan beranjak pergi. Namun, seseorang menarik tangannya. Alliana kehilangan keseimbangan, ia terjatuh di atas tubuh pria yang sedari tadi memejamkan mata.    “Apa yang kau lakukan, Alliana? Mengamati seseorang yang sedang tidur?”    “Ak-aku, aku, Kakak … aku.”    “Tidurlah, Kakak tahu kau tidak bisa tidur jika hujan deras seperti ini.” Ichiru memeluk Alliana lebih erat, ia mengembuskan napasnya tenang lalu kembali diam. Pria itu memang sering mendengar Sousaki bercerita tentang Alliana. Ia juga tahu, jika ayahnya mengangkat Alliana menjadi seorang anak.    “Kakak …”    “Tidurlah, adik manis.” jawab Ichiru pelan.    Sunyi kembali, hanya ada deruan napas Ichiru yang terdengar tenang. Detakan jantung Alliana semakin menggebu, bahkan ia bisa mendengarnya begitu jelas.    “Jantungmu berdebar, apa yang kau rasakan?” tanya Ichiru.    “Ti-tidak, Kak.” jawab Alliana.    “Coba jelaskan, atau kau ingin pindah ke kamarmu?” tanya Ichiru.    “Aku malas untuk kembali menaiki tangga, terlalu tinggi.” jawab Alliana.    Ichiru terkekeh, sedangkan Alliana mulai terbiasa dengan pelukan pria itu. Keduanya bicara semalam suntuk, mereka tidak ingat waktu.    Pagi hari, suasana tetap saja sepi. Ruang keluarga juga demikian, hanya ada Alliana yang tidur dengan tenang di atas tubuh Ichiru. Seorang wanita hanya bisa menahan napasnya, dia adalah Nyonya Hansen.    “Ibu, Alliana mengh-” ucapan Robert terhenti, ia menatap Ichiru dan Alliana yang masih terlelap.    “Diamlah, Nona Muda dan Tuan Ichiru sedang tidur,” ujar Nyonya Hansen.    “Aku hanya khawatir, Ibu.” jawab Robert.    Tanpa kedua orang itu tahu, Ichiru sudah membuka mata. Pria itu bahkan sudah berdiri, dengan Alliana yang ada di gendongannya.    “Biarkan Alliana tidur,” ujar Ichiru. Ia kini sudah berdiri di depan Robert dan ibunya.    “Tuan, saya akan mengantar Nona Alliana,” ujar Robert.    “Dia akan tidur di kamarku. Bereskan kamarnya dari buku-buku n****+ yang mempengaruhi Alliana dengan percintaan, dia masih terlalu kecil untuk hal seperti itu.” Ichiru berlalu pergi, ia menaiki anak tangga lalu menuju kamarnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD