bc

Fall Apart

book_age18+
317
FOLLOW
2.2K
READ
doctor
drama
genius
female lead
like
intro-logo
Blurb

Apa yang hebat dari putaran waktu? Dia mengubah segalanya. Empat tahun lebih sejak kepergian Mahesa. Ciara kini mulai membuka hatinya pada laki- laki lain.

Bara memutuskan untuk kembali mengejar cinta pertamanya saat tahu bahwa Ayra masuk ke kampus yang sama dengannya. Ayra kembali dihadapkan pada sosok Bara yang begitu dominan.

Kamal yang cintanya pada Lara tak pernah berbalas, kini tidak pernah percaya pada cinta. Dirinya mencoba mencari pelarian ke beberapa gadis hingga akhirnya julukan playboy tersemat padanya.

Lara sendiri sudah lelah menasehati Kamal untuk tak mempermainkan perasaan perempuan. Ia tak sadar bahwa secara tidak langsung, dirinya lah yang membentuk Kamal seperti itu.

Mahesa tak pernah benar- benar pergi. Mahesa ada di kota yang sama. Membangun bisnisnya dan memperhatikan Cira dari jarak tak terlalu dekat. Saat ini hanya Iras yang mengetahui dengan pasti keberadaannya.

Dan saat Mahesa mengumpulkan keberanian untuk menemui Ciara, hati gadis itu justru sudah tertambat pada laki- laki lain. Sanggupkah Mahesa kembali mengambil hati gadis itu?

chap-preview
Free preview
CHAPTER SATU
    Taman itu ramai. Udara sore tampak menenangkan. Matahari sudah tampak bersahabat. Sinarnya tak lagi terik dan terasa membakar. Beberapa mahasiswa terlihat bergerombol. Ada yang sibuk membahas mata kuliah dengan buku- buku terserak di sekitarnya. Ada juga yang hanya duduk- duduk dan mengobrol santai.             Gadis itu tengah membaca buku kedokteran di taman belakang kampus saat dua orang laki-laki menghampirinya. Ia mendongak lalu menatap seorang pria yang membawa bunga.             "Dengan mbak Ciara Anastasia?" tanyanya ramah. Gadis itu mengangguk lalu menatap laki-laki di sebelah pria itu. Pria yang membawa bunga itu lalu mengulurkan satu rangkaian mawar putih ke arahnya dan memintanya menandatangani kertas yang ia ambil dari saku jaketnya. Ciara membubuhkan tanda tangan di tempat seharusnya lalu menyerahkan kembali pada si pengantar bunga. Pria itu mengucapkana terima kasih lalu kembali memasukkan kertas tanda terima itu ke sakunya dan pergi dari sana.             "Sampai kapan lo mau bohong sama gue?" satu laki-laki masih tertinggal di sana dan kini menatapnya tajam. Sorot mata yang telha berakali-kali ia lihat. Ia hanya mengangkat bahu lalu membaca surat kecil yang dibuat si pengirim lalu meletakkan bunga itu di atas meja.             "Sampai kapan lo mau desak gue untuk sesuatu yang sama sekali nggak gue tahu." balas Ciara dengan nada sarkastis. Ia memberikan kartu ucapan yang baru saja ia baca pada Bara yang kini duduk di depannya. Bara menerima dan melihat isinya.             Semangat untuk skrispsinya. Mr. R.             Dari pertama Bara tahu bahwa Ciara suka menerima bunga ataupun cokelat dari seseorang misterius berinisial Mr. R. Ia yakin bahwa itu sosok Mahesa. Mahesa Raditya Raitama. Tapi sekeras apapun ia membujuk Ciara, untuk memberitahu di mana keberadaan laki-laki itu. Ciara selalu bilang bahwa ia tidak tahu. Bahwa kiriman-kiriman itu selalu datang tanpa memberitahu ada di mana si pengirim.             Dan memang Ciara tidak tahu. Untaian bunga pertama kali ia terima saat ia dinyatakan lulus dari SMA Pancasila dengan nilai ujian tertinggi se DKI Jakarta. Selanjutnya, karangan bunga dan cokelat semakin sering datang padanya. Saat ia dinyatakan lulus ujian dan akhirnya mendapatkan beasiswa di jurusan kedokteran di salah satu universitas negeri bergengsi di Jakarta.             Mulanya Ciara senang bukan kepalang mengetahu inisial si pengirim yang langsung menjurus pada nama Mahesa. Tapi laki-laki itu tidak pernah muncul di depan Ciara, bahkan sampai saat ini. Padahal lebih dari bunga dan cokelat yang dikirim padanya, ia ingin melihat sosok laki- laki itu, ingin memastikan bahwa laki- laki itulah si pengirim yang sebenarnya.              Bara yang duduk di depannya menatap untaian bunga yang kini terongggok di depannya sementara Ciara sudah kembali terfokus pada buku kedokterannya. Untuk sementara, Bara hanya menatap Ciara yang membaca dengan fokus seakan dirinya tidak ada.             Bara lelah. Itu yang dirasakannya setelah lebih dari empat tahun Mahesa menghilang. Semua bujuk rayunya pada ayahnya demi sebuah tempat di mana Mahesa berada tak juga ia dapatkan. Ia bosan terus mendesak Ciara meskipun ia tahu kalau Ciara tidak tahu apa- apa tentang Mahesa, begitu juga Iras yang kini satu kampus dengannya.             Sekeras apapun ia memaksa mereka, ia tahu, mereka sama bodohnya sepertinya. Sama-sama tidak tahu di mana Mahesa. Dia sudah lelah mencari tapi tahu bahwa hidupnya tidak akan pernah tenang sebelum mengetahui di mana keberadaan kakak tirinya. Ia ingin ersenyum untuk pertama kalinya pada laki- laki itu lalu meminta maaf dan memeluknya.             "Lo nggak bosen tiap hari nanyain Mahesa sama gue?" Ciara menaruh buku di atas meja lalu menatap Bara. "Lo mau nyari teman berantem lagi." katanya dengan nada sarkastis. Bara tertawa pelan lalu menumpu kedua tangannya di atas meja lalu mencondongkan sedikit tubuhnya ke depan.             "Iya, lo nggak kangen lihat gue ribut sama dia?"             Senyum sinis terukir di bibir gadis di depannya. "Mending Mahesa nggak pernah balik deh. Kalau ujung-ujungnya bakal ribut sama lo." katanya dengan nada mencemooh yang langsung di sambuk gelegak tawa dari Bara.             "Hai, Ra." seorang laki-laki muncul di antara mereka. Menaruh satu cup jus alpukat di depan Ciara.             "Makasih." kata Ciara sambil tersenyum.             "Anything for you." jawab laki-laki itu sambil duduk di samping Ciara lalu melirik Bara.             "Hai, Bar." sapanya ramah. Bara tidak menjawab, hanya mengulas senyum sumir tanpa minat.             "Selesai kelas jam berapa, Ra?" tanya Bara sambil berdiri.             Gadis itu terlihat melirik jam tangannya. "Jam setengah empat." jawabnya             "Langsung pulang ya. Jangan ke mana- mana dulu." katanya lalu pergi menjauh. Membuat Ciara dan lelaki di sebelahnya menaikkan alis.             "Itu anak posesif banget sama lo." kata Nugi. Ciara hanya mengangkat bahu sebagai jawaban tercepat.   ***               Laki-laki itu menatap gadis di depannya yang sedang sibuk menyeka air matanya. Ia bersandar di tembok ruang kelas kosong itu sambil melipat kedua tangannya di depan dadanya.             Gadis di depannya mendongak, menatap matanya dengan mata berkaca-kaca. "Sekarang kamu pilih aku atau Lara." kata gadis itu sambil sesenggukan. Laki- laki di depannya tersenyum sinis dan si gadis merasa menyesal melontarkan pertanyaan itu. Bukan pertanyaan sulit buat Kamal. Ia bahkan tidak perlu berpikir ulang untuk menemukan jawabannya.             "Lara." katanya dengan nada dingin dan tajam. Gadis di depannya menunduk sambil menangis. Bagaimana mungkin laki-laki yang penuh cinta yang baru di pacarinya tak lebih dari dua bulan bisa menjawab dengan hati begitu dingin.             "Dasar brengseek." dan gadis itu menghadiahkan sebuah tamparan sebagai salam perpisahan pada mantan pacarnya. Gadis itu menghentakkan kakinya pada lantai saat berjalan lalu menutup pintu dengan kasar hingga terdengar bunyi berdebam yang terasa memekakkan telinganya.             Kamal mengusap- usap sebelah pipinya yang terasa perih. Dirinya tidak menyangka kalau gadis mungil itu punya kekuatan yang begitu besar untuk menamparnya hingga merasakan nyeri seperti ini.             Tak lama suara pintu kesanya terdengar di buka dengan keras.             "Mal, Riri kenapa?" Lara masuk dan terkejut melihat pipi Kamal yang memerah. "Ini pipi lo kenapa? Abis ditampar?" tanyanya dengan nada panik.             Laki- laki di depnnya tidak menjawab. Malah memberinya seulas senyum tipis lalu mengandeng tangannya. "Makan yuk, gue lapar." katanya sambil menarik paksa tangan Lara menuju kantin di lantai bawah.             Selepas SMA, Lara, Kamal dan Ayra memutuskan untuk masuk ke kampus yang sama. Kamal dan Ayra masuk ke fakultas yang sama, fakultas Manajemen sedangkan Lara menjadi mahasiswi Sastra Indonesia.             Mereka berdua menuruni tangga untuk menuju kantin dan menghampiri Ayra yang sudah berada di sana.             "Mal, pipi lo kenapa?" tanya Ayra heran.             "Di tampar sama Riri. Kelakuan sahabat lo tuh, Ay. Gue nggak ngerti sama jalan pikirannya." keluh Lara lalu pergi ke salah satu penjaja makanan dan kembali dengan sebuah plastik berisi es batu.             "Sini, diem." Lara mengambil dagu Kamal agar menghadap ke arahnya lalau mengompres pipi laki-laki itu.             "Gue putus sama Riri." adunya.             "HAH?" seru si kembar secara bersamaan.             "Kenapa lagi?" tanya Lara sambil menyerukkan plastik berisi es batu itu ke pipi Kamal dengan keras.             "Sakit ih, Ra." keluh Kamal.             "Lagian lo itu maunya apa sih. Gonta- ganti pacar kok kayak gonta- ganti baju." Lara mulai tersulut kekesalannya. Sementara Lara menumpahkan kekesalannya pada Kamal, Ayra pergi menuju penjaja somay dan kembali dengan sepiring somay yang langsung di taruh di depan Kamal             "Makasih, Ay." katanya yang langsung sibuk dengan isi piringnya. Pendengarannya tidak sepenuhnya mendengarkan apa yang Lara katakan.             "Tenang aja, Ra. Gue masih muda. Emang masih waktunya main- main." katanya dengan nada santai. Lara memutar matanya jengah sementara Ayra hanya mengangkat bahu tak acuh.             Disaat Lara kesal setiap kali Kamal putus dari pacarnya. Ayra justru senang. Karena rasa untuk Kamal masih ada. Hingga saat ini dan rasanya tidak rela laki- laki itu dimiliki perempuan lain.             Dan waktu memang ampuh mengubah seseorang. Tidak ada yang menyangka bahwa Kamal akan menjadi playboy seperti sekarang. Semenjak Lara menolaknya, ia merasa tidak pernah percaya pada cinta. Dirinya mencoba mencari pelarian ke beberapa gadis dan hasilnya selalu sama. Hanya Lara yang mengisi hatinya dan tidak akan ada yang bisa mengantikan tempat gadis itu di hatinya.             Kamal masih terus mencari. Mengindahkan rasa sakit hatinya akibat penolakan itu, hingga sekarang. Berharap cintanya dapat berlabuh pada gadis yang tepat yang mampu mengalihkan perhatiannya dari sosok Lara. Sosok yang begitu dekat namun tidak pernah bisa digapainya.             "Mati gue..." kata Ayra saat melihat siapa yang baru saja masuk ke kantin fakultas managemen. Tanpa pikir panjang, ia langsung berjongkok dan bersembunyi di bawah meja. Membuat Kamal dan Lara saling pandang.             "Ayra mana?" suara itu membuat kebingungan Lara dan Kamal terjawab.             Mereka berdua tersenyum lalu mengarahkan mata mereka ke arah bawah meja. Bara tersenyum lalu melongok ke bawah kolong. Ke arah Ayra yang tengah meringkuk dan menahan debar jantungnya mati-matian.             "Kamu nyari apa, Ay?" tanya Bara sambil tersenyum. Ayra merengut kesal dan kepalanya terbentur bagian bawah meja saat mencoba keluar dari persembunyiannya.             "Aduh." keluhnya sambil mengusap- usap kepalanya.             "Makanya, lain kali kalau mau ngumpet tuh di toilet kek, jangan di bawah meja." kata Bara sambil mengusap- usap kepala Ayra yang langsung menjauh karena risih sementara Lara dan Kamal terikik geli.             "Kamu kelar kelas jam berapa?" tanyanya pada Ayra.             "Jam setengah enam." jawabnya dengan nada ketus.             "Lho, bukannya jam setengah empat, Ay?" ralat Kamal yang langsung mendapat pelototan tajam dari Ayra.             "Kamu berapa kali aku bilang, jangan suka bohong. Kalau bohong nanti nggak dapat -dapat pacar." kata Bara. Ayra mendengus kesal.             "Gue ke kelas dulu." kata Lara sambil berdiri.             "Gue antar." Kamal ikut berdiri. Meninggalkan Bara dan Ayra di kantin itu.             Sementara Bara melambaikan tangan pada kedua orang itu, Ayra justru mendengus kesal.            Ia menatap jus jeruknya baik- baik lalu mendekatkan mulutnya ke sedotan yang mencuat dari dalam gelas. Menyesapnya pelan. Matanya memindai sekeliling. Ke mana saja, asal tidak ke laki- laki yang kini ada di sebelahnya.             "Aku udah minta izin sama Om Wijaya mau ajak kamu nonton besok malam." Bara mengambil keripik kentang yang ada di atas meja lalu memakannya.             "Nggak bisa. Aku mau belajar buat kuis hari senin." kata Ayra tegas.             "Balajar hari minggu aja." selak Bara.             "Nggak bisa."             "Nggak bisa apa nggak mau?"             "Nggak mau!!!" kata Ayra akhirnya.             "Nah, gitu dong. Ngomong yang jujur. Yaudah besok aku jemput jam tujuh ya." laki- laki itu mengusap pucuk kepala Ayra lalu pergi meninggalkan gadis itu dalam kekesalan luar biasa.             "Dasar Diktator." Desisnya.   ***               Bara berdiri di depan cermin. Mematut dirinya dalam balutan kemeja hitam yang lengannya di gulung sampai siku dan jeans hitam. Setelah memastikan tampilannya rapi, ia keluar dari kamar setelah sebelumnya menyambar kunci mobil yang tergeletak di atas meja belajarnya.             "Bara pergi dulu, Pa." laki-laki itu berdiri di ambang pintu ruang kerja ayahnya.             "Sama Ayra?" tanya pria berkacamata itu. Anak laki- lakinya mengangguk sambil tersenyum. "Hati-hati." katanya lagi. Bara mengangguk lalu berlalu dari pandangan Irawan.             Bara tidak tahu kalau mengejar Ayra akan kembali menjadi tujuan hidupnya. Semenjak penolakan yang dilakukan gadis itu, Bara sudah melepaskannya. Sudah mengikhlaskan kebebasan pada gadis itu. Ia fokus pada hidupnya, fokus pada masa depannya, dan fokus pada Mahesa.             Tapi nyatanya hatinya tidak bisa berbohong. Saat ia tahu bahwa gadis itu masuk di kampus yang sama dengannya, naluri dominanya kembali lagi. Dan mungkin gadis itu memang di takdirkan untuknya. Mungkin ia memang harus mempertahankan sesuatu yang patut dipertahankan. Mulai detik itu, ia kembali mengejar Ayra. Tapi gadis itu bukan gadis yang sama seperti yang sebelumnya. Gadis itu kini punya sejumput keberanian untuk melawannya, meskipun akhirnya akan kalah juga. Gadis itu tidak takut lagi untuk membentak atau mengomeli Bara panjang lebar. Tapi Ayra tetaplah Ayra, gadis kecil yang akan ketakutan saat merasa terintimidasi.             Ia menjalankan mobilnya menuju kediaman Ayra. Ia sampai kurang dari satu jam. Ia menghentikan mobilnya di depan gerbang rumah mewah itu lalu berjalan masuk ke dalamnya. Seorang security yang sudah sangat mengenalnya mempersilakannya masuk.             Bara masuk ke rumah itu dan menemukan Kamal dan si kembar tengah menonton televisi di ruang tengah.             "Hay, masuk, Bar." kata Kamal sambil mengambil kentang goreng dan memasukannya ke mulutnya.             Bara tersenyum lalu melangkah masuk, "Kok kamu belum siap- siap?" Bara mendekat lalu melihat Ayra yang masih santai dengan kaos dan celana pendeknya. Gadis itu beringsut menjauh saat Bara duduk di sebelahnya.             "Aku nggak mau pergi." kata Ayra sambil melipat kedua tangannya di d**a.             Kamal melirik Lara dan mengisyaratkan untuk pergi.             "Kita ke belakang dulu, ya." kata Lara dan mereka berdua menghilang.             Bara memberikan setangkai mawar merah yang dibelinya di florist dalam perjalanan ke sana.             "Aku nggak mau. Aku nggak butuh mawar merah." kata gadis itu kekeuh. Kalau saja Ayra punya keberanian, ia ingin sekali mengambil bunga itu, mematahkan tangkainya menjadi dua lalu menginjaknya beberapa kali. Tapi nyatanya, Bara terlalu menakutkan dan ia tidak punya nyali untuk melakukan hal yang kini ada dalam angan- angannya.             Bara menoleh dan menatap tajam Ayra yang sudah semakin berinsut menjauh. Bara terus mendekat hingga gadis itu sampai pada lengan sofa dan tidak ada jalan keluar karena sebelah tangan Bara menghalangi akses satu-satunya.             "Kamu... mau ganti baju atau begini aja?" tanya Bara. Ia menatap Ayra yang sudah menunduk. "Aku udah jauh- jauh loh dateng ke sini. Udah bawain kamu bunga juga." bisiknya tepat di telinga Ayra yang semakin menunduk.             "Sayang..."             "Iya... iya..." selak Ayra langsung. Ia menerobos tangan Bara lalu jalan ke kamarnya dengan hati dongkol. Ia tidak perlu repot- repot memilih baju apa yang ingin ia pakai. Ia hanya mengambil sepotong kaos, celana jeans dan hoodie miliknya. Ia tidak menyisir, hanya mengikat rambutnya dengan asal dan memakai sendal jepit yang ada di rak sepatunya..             Tidak sampai sepuluh menit, ia sudah keluar kamar dan berdiri di depan Bara yang penampilannya terlihat sangat kotras dengannya. Bara berdiri lalu melihat Ayra dari atas sampai bawah.             "Aku nggak mau disuruh ganti baju lagi." kata Ayra langsung sebelum Bara sempat mengomentari penampilannya. Gadis itu berkacak pinggang, menantang Bara yang justru terkekeh pelan.             "Kamu mau pakai bikini doang juga nggak apa- apa kok, sayang." katanya sambil mengedipkan sebelah matanya genit. Tak urung membuat Ayra bergidik ngeri.             Mobil itu ternyata tidak membawa Ayra ke gedung biosko di mall. Mobil itu memasuki sebuah cafe italia yang membuat Ayra nyaris melongo. Desain luar restoran itu begitu mengangumkan dan ia melirik dirinya sendiri.             Ia mendesah pelan lalu melirik Bara penampilannya memang jauh lebih rapi dari biasanya.             "Kenapa kita ke sini? Katanya mau nonton?" tanya Ayra saat Bara melepas safety beltnya.             "Pas aku cek, filmnya nggak ada yang bagus. Jadi kita makan di sini aja. Aku udah lama mau aja kamu ke sini." kata Bara.             "Kenapa kamu nggak bilang? Kamu nggak lihat penampilan aku kayak apa?" kata Ayra sambil melipat kedua tangannya di depan d**a. Laki- laki itu tertawa lalu mengusap kepala Ayra pelan.             "Kamu cantik kok. Seperti biasa." jawabnya sambil melepaskan safety belt Ayra dan keluar dari mobil.             "Dasar Kunyuk." keluh Ayra lalu keluar dari mobil. Ia berdiri di depan Bara yang -sekali lagi- penampilannya sangat- sangat rapi. Coba lihat dirinya, persis seperti pembantunya Bara.             "Yuk." tangan Bara menggenggam sebelah tangan Ayra dan membawanya masuk. Ayra mendesah sambil menutup matanya. Saat pintu otomatis itu terbuka, sudah berjejer pelayan berpakaian rapi yang menyambut mereka dengan senyum ramah.             "Atas nama Bara." kata Bara dan seorang laki- laki itu membawa mereka ke sebuah meja di ujung ruangan. Restoran itu kelilingi oleh pilar-pilar dengan ukiran- ukiran indah. Lantai marmer dengan warna cokelat terang, lampu- lampu temaram dan lihat siapa saja yang makan ke sini, orang-orang berpakaian formal atau sedikitnya berpenampilan rapi dan mengagumkan.        Penampilan pelayannya saja lebih rapi daripada penampilannya, pikir Ayra.             Ayra menundukkan kepalanya dalam- dalam saat membuka buku menu. Terlalu malu hanya untuk menatap pelayan yang ini berada di samping mereka. Menanti mereka memesan.             "Kamu mau pesen apa?" tanya Bara. Dahinya berkerut melihat tingkah Ayra. Dengan cepat ia mengambil buku menu gadis itu hingga gadis itu melotot marah.             "Lihat dia, mas." Bara meminta pelayan menatap Ayra. "Dia cantik nggak?" tanyanya.             "Cantik." jawab pelayan pria itu sambil tersenyum ramah pada Ayra.             "Namanya Ayra, pacar saya." kata Bara.             "Bukan!!!" selak Ayra langsung. Membuat pelayan itu menatap mereka berdua bergantian dan mengulum senyum.             "Calon pacar, mas." tegas Bara lalu menyebutkan pesanannya.             "Maksud kamu tuh apa sih? Malu- maluin aja." kata Ayra.             "Aku atau kamu yang malu?" jelas Bara. Membuat mulut Ayra langsung terkatup rapat. Meja kaca berbentuk persegi itu dihiasi setangkai mawar di atasnya dan dua buah lilin yang mengesankan aura romantis. Tapi bagi Ayra, jurus ini sama sekali tidak mempan. Dia tidak terkesan sama sekali. Kalau gadis lain mungkin sudah menangis saking terharunya, Ayra malah terus menerus mencebik kesal. Jadi usaha Bara kali ini gagal dan sepertinya akan terus gagal.             Mereka makan dalam diam. Bara menikmati suasana yang tersedia sementara Ayra lebih ingin cepat- cepat menghabiskan makanannya lalu pulang.   ***               Lara dan Kamal menghabiskan malam minggu mereka di depan televisi dengan bungkusan makanan terserak di sekitarnya. Kamal duduk di sofa, Lara di sebelahnya, menyandarkan kepalanya ke bahu Kamal dan memegang toples berisi popcorn. Sebuah film action berputar di layar besar di depannya.             Suara dering ponsel memecah perhatian mereka berdua.             "Hp lo bunyi, Mal." kata Lara.             "Ambilin dong. Angkat aja kalau nggak penting." kata Kamal tanpa melepas tatapan dari layar di depannya. Lara menegakkan tubuhnya untuk mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja didepannya.             "Dania, Mal." kata Lara.             "Angkat aja." kata Kamal lagi.             "Halo." sapa Lara dan yang selanjutnya ia dengar adalah makian menggebu- gebu untuk Kamal. Ia sampai mengusap-usap daun telinganya saking kagetnya mdengar suara menggelegar dari ujung sambungan.             "Ha? Putus?" kata Lara saat panggilan itu mati. Gadis itu melempar ponsel itu ke pangkuan Kamal yang langsung terbagi fokusnya.             "Lo pacaran sama Dania yang anak administrasi itu?" tanya Lara. Kamal mengangguk.             "Kapan?"             "Kemarin?"             "Ha? Lo baru pacaran kemarin dan hari ini udah di putusin?" Lara geleng- geleng kepala sementara Kamal hanya mengangkat bahu tak acuh.             "Gue udah bilang nggak bisa nganterin dia ke acara ulang tahun temannya karena udah janji mau nemenin lo nonton. Kalau dia nggak mau ngerti ya emang harus putus kali." kata Kamal sambil memasukkan popcorn ke mulutnya. Tampak tak terganggu dengan apa yang baru saja terjadi.             Lara menghelas napas kasar.  "Berapa kali sih, Mal, harus gue bilang. Nggak ada cewek yang mau diduain sama gue, meskipun gue cuma sahabat lo. Kalau lo ada janji sama pacar lo tinggal bilang sama gue. Gue nggak akan ngelarang kok." kata Lara.   "Tapi gue nggak mau. Udahlah, nggak penting ngomongin kayak gitu." tangan Kamal terulur untuk menyeret kepala Lara kembali ke bahunya.   ***               Mobil hitam Bara terparkir di depan gerbang rumah Ayra. Ia melirik ke sebelah, di mana Ayra dengan semangat empat lima sedang melepas safety beltnya dan saat tangannya terulur untuk membuka pintu, pintu itu masih terkunci. Ia menoleh ke  arah Bara yang tersenyum kearahnya.             "Central locknya." kata Ayra.             "Kamu nggak mau bilang sesuatu dulu sama aku?"             "Oh iya, aku mau bilang, makanannya nggak enak, aku nggak suka dan jangan pernah ajak aku ke tempat itu lagi." katanya dengan nada tegas. Senyum di bibir Bara belum hilang, tapi sorot mata itu kian menajam.             "Cuma itu?"             Ayra mengangguk sambil tersenyum tipis. "Iya itu aja."             "Makasih?" Tubuh Bara mendekat kea rah Ayra yang semakin menempel pada pintu.             "Buat apa? Untuk jamuan kamu yang sama sekali tidak mengesankan? Maaf ya, Bara. Semua hal yang dimulai dengan pemaksaan nggak akan pernah memberikan kesan baik." Kata Ayra dengan nada tegas, "Central lock, please." Ayra mengigit bibir bawahnya sebelum mengatakan itu. Lengkungan senyum di bibir Bara masih tercetak jelas. Masih menatap Ayra, tangannya terulur untuk menekan tombol yang diminta gadis itu.             Sebelum membuka pintu, Ayra menatap mata serupa jelaga itu lalu keluar dari mobil. Masuk ke rumahnya tanpa menoleh lagi. Di ruang tamu, dilihatnya Ayra tengah tertidur di bahu Kamal dan mata laki- laki itu juga terpejam dengan kepala menyandar pada punggung sofa.             Ia menghela napas lalu mendekat. Mengusap pelan rambut hitam laki- laki itu. "Mal, bangun, Mal." Katanya sambil mengusap- usap punggung laki- laki itu. Perlahan, sepasang mata itu terbuka dan laki- laki itu menguap lebar.             "Lo udah balik?" katanya sambil mengucek- ucek matanya. Ayra mengangguk pelan.             "Pindahi ke kamar, gih.” Kata Ayra. Ia melihat laki- laki itu mengangguk. Ayra pergi ke kamarna saat kamal berusaha membangunkan gadis di sebelahnya.             Tubuh Lara menggeliat pelan. Kedua matanya perlahan terbuka.             “Pindah ke kamar.” Priantah Kamal. Lara mengangguk lalu menutup mulutnya saat ia menguap lebar.             “Lo nginep?” tanya gadis itu.             “Nggak. Gue nggak bilang mau nginep sana Bunda.” Jawab Kamal.             Keduanya berdiri. Kamal tersenyum melihat Lara yang terlihat mengucek- ucek sebelah matanya. “yaudah gue balik dulu, ya.” Pamitnya. Ia mengusap pucuk kepala Lara yang mengangguk.             “Hati- hati.” Kata Lara saat Kamal sampai diambang pintu. Laki- laki itu mengangguk lalu sosoknya menghilang dibalik pintu. TBC LalunaKia

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Marriage Aggreement

read
81.3K
bc

DENTA

read
17.1K
bc

Byantara-Aysha Kalau Cinta Bilang Saja!

read
284.8K
bc

(Bukan) Pemeran Utama

read
19.6K
bc

Head Over Heels

read
15.9K
bc

Menantu Dewa Naga

read
177.4K
bc

Scandal Para Ipar

read
694.6K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook