Vardigos, adalah nama dari seorang lelaki dewasa berambut hitam panjang, berkulit merah pekat, bermata tajam, dan merupakan seorang pelayan pendamping yang ditugaskan oleh Sang Penguasa untuk membimbing mentor yang terpilih di Megasta, negara nomor satu di dunia.
Munculnya Vardigos di ruangan lantai berbunga cukup mengagetkan Lolita, sebab wanita berambut biru itu tidak menyangka kalau lelaki liar itu telah terbebas dari hukuman berat yang menimpanya bahkan ditugaskan untuk menjadi pelayan pendamping di Megasta.
Itu suatu pencapaian yang tidak masuk akal sebab hanya pelayan-pelayan elit-lah yang diperbolehkan untuk bertugas di negara-negara maju seperti Madelta, Marigold, dan Megasta, sedangkan Vardigos bukan termasuk ke dalam golongan pelayan elit.
Malah sebaliknya, Vardigos termasuk ke dalam salah satu pelayan yang sangat bermasalah di antara ratusan pelayan pendamping, itulah mengapa Lolita keheranan ketika melihat Vardigos bertingkah layaknya pelayan elit tulen.
Namun, entah bagaimana pun pasti ada alasan di balik semua ini dan Lolita hanya bisa pasrah dan mempercayakan segalanya kepada Sang Penguasa. Mungkin saja ada sesuatu yang membuat Sang Penguasa memerintahkan Vardigos sebagai Pelayan Pendamping di Megasta.
Sekarang, lelaki berkulit merah itu sedang menghampiri mentornya, Lolita hanya bisa menghela napas sambil meremas boneka jerami yang digenggam kuat di tangan kanannya, matanya mendelik tajam ke sosok Vardigos yang tengah berinteraksi dengan mentor dan para pahlawannya, sembari berharap mereka pergi dari ruangan ini.
“Ah, ini buruk. Munculnya gladiol merah seperti dia, akan memperburuk persaingan antar pelayan pendamping. Aku penasaran, apakah Roswel juga mengetahui ini?” gumam Lolita, suaranya direndahkan agar tidak terdengar oleh siapa pun.
Julukan yang barusan disebutkan oleh Lolita bukanlah julukan sembarangan, sebab ‘Gladiol Merah’ merupakan sebutan untuk para pelayan pendamping yang terlahir dari bibit bunga gladiol berwarna merah semerah darah, yang konon bagi mereka yang terbentuk dari bunga tersebut akan diberkahi oleh kekuatan yang maha dahsyat, melebihi kekuatan para pelayan pendamping pada umumnya, bahkan katanya hampir setara dengan kekuatan Sang Penguasa.
Itulah mengapa Vardigos pernah menunjukkan ketidakpatuhannya terhadap Sang Penguasa, dengan menantang penguasanya untuk bertarung secara adil di hadapan pelayan-pelayan lainnya sambil merasa bahwa kekuatannya lebih besar dibanding penciptanya.
Meski pertarungan itu sudah menjadi bagian dari masa lalu, tapi Lolita serta para pelayan lainnya tidak pernah bisa melupakannya, karena itu adalah peristiwa langka di mana seorang pelayan pendamping berani menantang Sang Penguasa.
Menggeleng-gelengkan kepalanya, Lolita berusaha menyadarkan diri dari lamunannya, sehabis itu dia kembali memperhatikan gerak-gerik Vardigos.
“Berhenti di situ, Leo,” tegur Vardigos saat dirinya telah menunjukkan diri di hadapan mentor dan para pahlawannya, tepatnya berada di tengah lingkaran api yang berkobar-kobar di lantai. “Jauhkan tanganmu dari gadis itu.”
Lelaki berkulit merah itu datang di waktu yang tepat sebab sedikit saja ia terlambat, dua tangan Leo bakal mencekik leher Gissel—gadis berambut putih keriting—yang sedang terbaring lemas di permukaan lantai.
Terkaget, Leo langsung mendongakkan kepalanya dan terbelalak, tak menyangka kalau pelayan pendampingnya muncul di hadapannya.
“T-Tuan Vardigos!?”
Entah kenapa, seluruh tubuh Leo jadi gemetaran seperti seseorang yang menderita depresi super berat sehabis menatap mata Vardigos.
Lelaki muda berambut cokelat gelap itu benar-benar menggigil ketakutan ketika matanya bertemu dengan mata pelayan pendampingnya.
“B-Baik! M-Maafkan saya, Tuan Vardigos!”
Buru-buru Leo segera menarik lengan kanannya dan mengangkat posisi jongkoknya untuk berdiri tegak bersama para pahlawannya untuk menjauh dari Gissel, mematuhi perintah dari Vardigos, layaknya sebuah robot yang taat pada sistemnya.
Bukan hanya Leo yang tampak bergidik, pahlawan-pahlawan bimbingannya juga terlihat ngeri memandang wujud dari Vardigos, seolah-olah lelaki berkulit merah itu adalah sosok monster yang mengerikan.
Kemudian, membungkukkan badan dan berjongkok sedikit, Vardigos menyentuh dan mengangkat tubuh Gissel dengan dengan dua tangannya, menyimpan dan membawa gadis keriting itu di dadanya sebelum akhirnya menghilang begitu saja dari hadapan Leo dan para pahlawannya.
Menyadari pria itu telah pergi, Leo mengepal dua tangannya dengan raut wajah yang super jengkel. “Ini semua gara-gara kalian!” Seketika, Leo membalikkan badannya, mengalihkan perhatiannya pada sepuluh pahlawannya yang semua anggotanya adalah laki-laki. “Kalau saja kalian tidak membuat gadis itu pingsan, Tuan Vardigos tidak akan memarahiku!”
“M-Maafkan kami, Bos!” Kini giliran para pahlawan Leo yang bergidik ngeri karena meratapi kesalahannya masing-masing.
Sesaat Leo membentak pahlawan-pahlawannya, kobaran api yang mengelilingi mereka perlahan-lahan padam seperti telah disiram oleh air, dan karena dinding apinya telah hilang, akhirnya mereka bisa melihat situasi ruangan ini lebih luas seperti sebelumya, dan disitulah mereka semua terkejut menemukan Tuan Vardigos yang mereka hormati sedang bercakap-cakap dengan Gissel—yang telah kembali sadar—dan pelayan pendampingnya yang merupakan seorang wanita.
“Sedang apa Tuan Vardigos bersama mereka?”
“Apakah mereka saling mengenal?”
“Baru kali ini aku melihat Tuan Vardigos tersenyum seperti itu!?”
“Mungkin wanita berambut biru itu teman dekatnya Tuan Vardigos!”
“Ya, mungkin benar! Soalnya Tuan Vardigos tidak pernah seakrab itu dengan pelayan pendamping lain!”
Mendengar para pahlawannya membicarakan Tuan Vardigos secara tidak sopan, Leo jadi tidak terima dan kesal. “Kalian semua payah sekali, ya?” ucap Leo dengan alis ditekan, tampak meremehkan omongan-omongan para pahlawannya. “Tentu saja Tuan Vardigos tidak berteman dengan wanita itu. Jangan sembarangan berasumsi, yang kita bicarakan ini adalah sosok Tuan Vardigos yang sangat hebat, loh. Meskipun kelihatannya Tuan Vardigos akrab dengan mereka, bukan berarti Tuan Vardigos menganggapnya sebagai rekan, karena Tuan Vardigos yang kita kenal, tidak selembut itu.”
Setuju pada pendapat Leo, sepuluh pahlawan berambut hitam itu menganggukkan kepalanya secara berbarengan, menyepakati bahwa apa yang dikatakan oleh Sang Mentor adalah fakta yang tak terbantahkan.
“Siapa orang ini, Lolita?” Setelah pulih dari pingsannya, Gissel memijit-mijit keningnya dengan bola mata bergulir ke kanan, menatap sebuah siluet merah dari sosok tinggi yang berdiri tegak di sampingnya.
Pandangannya masih samar-samar, belum terlihat secara jelas, tapi Gissel yakin kalau sosok tinggi yang ada di sampingnya ini adalah seorang pria, tertampak sekali dari gaya berdirinya yang terkesan kokoh seperti tembok dari sebuah benteng raksasa.
Dengan lembut, Lolita mendekat dan mengelus-elus rambut putih keriting Gissel seraya berkata, “Namanya Vardigos, dia sama seperti saya, seorang pelayan pendamping, dan kebetulan, dia adalah pelayan pendamping dari para laki-laki yang sempat mengganggu Anda, Nona.”
Sebenarnya Lolita tidak tega melihat Gissel dipermainkan separah itu oleh kelompok yang berada di bawah naungan Vardigos, tapi dia tidak bisa menolong lebih dari itu sebab dirinya juga tadi sempat berhadapan dengan lelaki berkulit merah ini, membuat ia tidak bisa membantu Nona Gissel yang sedang kesusahan.
Tapi Lolita bersyukur karena berkat itu pula, upaya melarikan diri Nona Gissel dari tugasnya sebagai mentor telah gagal, membuat wanita berambut biru itu menghembuskan napas lega.
“Jadi orang ini Pelayan Pendampingnya mereka, ya?” Kini penglihatan Gissel telah sangat jelas, ia bisa melihat penampakan dari sosok Vardigos yang tinggi dan menyeramkan.
Kulit merah dan rambut hitam panjangnya telah membuat Gissel bergidik ngeri, karena baru kali ini ia melihat makhluk menyerupai manusia yang seaneh ini.
Mengucek kelopak matanya, Gissel menampilkan bibir yang cemberut, ia masih merasa kesal pada kelakuan Leo dan pahlawan-pahlawannya, karena itulah dia juga jadi jengkel pada Vardigos, sebab orang ini masih punya hubungan dengan lelaki-lelaki nakal itu.
“Ada apa, Nona? Tampaknya Anda menyimpan rasa dendam pada saya, apakah ada sesuatu yang membuat Anda tidak nyaman saat berada di dekat saya?”
Secara halus, Vardigos mencoba menanyakan alasan dari ekspresi Gissel yang terkesan benci pada dirinya, meskipun sejujurnya raut wajahnya cukup menggemaskan.
“Oh, ya, saya mengerti. Sepertinya Anda masih tidak terima karena telah diganggu oleh bocah-bocah itu? Saya sebagai Pelayan Pendamping mereka, meminta maaf sebesar-besarnya atas kenakalan mereka. Anda tidak perlu khawatir, sebentar lagi saya akan mendisplinkan mereka agar tidak lagi mengganggu Anda, Nona.”
“Tidak perlu, terima kasih.” timpal Gissel dengan cuek, lalu ia mendongakkan kepalanya ke arah Lolita yang ada di dekatnya. “Lolita, bawa aku pergi dari Pulau ini, aku ingin pulang.”
Mendengar itu, rasa lega Lolita hilang, tergantikkan dengan kecemasannya yang kembali muncul menghiasi wajahnya. Padahal dia kira, Gissel telah mengurungkan niatnya untuk pergi, tapi ternyata tidak sama sekali. Gadis keriting itu masih belum menyerah atas keinginannya yang ingin pergi dari sini dan meninggalkan segala tugasnya sebagai Mentor dari Marigold, dan itu benar-benar membuat Lolita ketakutan.
Jika Gissel bersikukuh ingin keluar dari perannya sebagai Mentor, itu artinya Lolita telah gagal menjadi seorang Pelayan Pendamping dan ia tidak ingin itu terjadi karena dirinya mempunyai harga diri yang sangat tinggi.
Kalau itu sampai terjadi dan beritanya menyebar ke telinga para pelayan pendamping, Lolita bakal diejek oleh rekan-rekannya setiap saat.
“Nona, saya mengerti perasaan Anda, tapi saya mohon, tolong jangan—“
Baru saja Lolita hendak memohon-mohon pada Gissel di depan Vardigos, suara dengungan yang muncul di telinganya telah menghentikkan perkataannya dan ia langsung terdiam begitu saja, membuat Gissel keheranan melihat tingkahnya.
Ketika pandangan Gissel dialihkan ke wujud Vardigos, ia juga melihat pria itu tiba-tiba terdiam seperti patung sama seperti Lolita, itu membuat rasa herannya jadi makin meningkat.
“Hey? Lolita? Vardigos? Ada apa dengan kalian? Kenapa kalian jadi hening begitu?”
“S-Siapa Anda!?” Dengan bibir yang gemetaran, Naomi berusaha memberanikan diri untuk bertanya pada sosok perempuan yang berdiri tepat di depannya.
Bukan hanya Naomi yang panik, semua orang yang ada di gondola sama-sama kaget dan bingung dengan kemunculan tiba-tiba dari perempuan asing tersebut, apalagi suasana sedang cukup gelap, sehingga mereka tidak bisa memperkirakannya dengan jelas bagaimana rupa wajah dari perempuan itu.
Di kala situasi jadi hening dan pergerakan gondola mulai mengendur dan melambat, akibat dari kekagetan para pahlawan yang membuat mereka secara serempak menghentikan aktivitas dayung-mendayung untuk berdiri memandangi sosok asing tersebut, mendadak perempuan misterius itu terbahak-bahak begitu nyaring, mengeluarkan suara wanitanya yang cukup merdu, ternyata jika didengar baik-baik, suara perempuan itu tidak begitu asing di telinga mereka.
Bahkan, Colin saja langsung refleks menyebut nama, “ISABELLA!?” Dengan muka tegang dan bola mata yang membulat, nyaris melompat dari kelopak matanya.
Namun, itu reaksi yang wajar, karena kembalinya sosok yang mereka kira telah menghilang ditelan lautan, membuat mereka terbelalak saking kagetnya.
Ombak masih menggoyang-goyangkan gondola, angin dan kilatan suara petir yang begitu kencang masih menggelegar-gelegar begitu hebohnya. Seharusnya mereka melanjutkan kegiatan mendayungnya seperti sebelumnya, tapi sayangnya saat ini mereka tidak bisa melakukannya untuk sementara, karena satu-persatu dari mereka berjalan mendekati Isabella yang sedang berdiri di dekat Naomi, mengerubungi perempuan berambut merah panjang itu dengan seruan dan juga tangisan.
"Saya kira Anda sosok malaikat yang hendak mencabut nyawa saya," sengguk Naomi sambil memeluk erat tubuh Isabella dengan dua tangannya yang melingkar di badan langsing perempuan itu. "Tapi ternyata dugaan saya salah! Saya sangat senang melihat Anda kembali kemari dengan kondisi yang baik-baik saja, Isabella."
"Ayolah, Naomi? Mana mungkin, kan? Perempuan jalang sepertiku menyerupai sesosok malaikat?" Isabella mengusap-usap punggung Naomi yang terasa hangat. "Ya ampun, kau ini ada-ada saja, ya."
"Isabella!" Tiba-tiba Lizzie berseru dengan berjalan gagah mendatangi Isabella, membuat sesi pelukannya dengan Naomi terlepas secara mendadak.
"Oh, hai, Lizzie? Apa kau juga merindukanku?" sahut Isabella dengan tersenyum jahil.
"Sebenarnya dari mana saja kau selama ini, b******n!" Bukannya menyambut kembalinya Isabella dengan kata-kata yang penuh tangis dan haru, Lizzie malah menyerang perempuan mantan p*****r itu dengan seruan-seruan bernada tegas dan keras, selayaknya polisi yang sedang menginterogasi seorang penjahat.
Bukan cuma itu, Lizzie juga menarik lengan kanan Isabella agar mereka berdua saling bertatap mata dalam jarak yang begitu dekat, membuat perempuan bertubuh seksi itu sedikit ngeri melihat amarah yang berkobar-kobar begitu besar di tiap bola mata gadis tomboi itu, selain itu ia juga agak terganggu dengan deru napas si gadis tomboi yang sangat nyaring, tampak terengah-engah menimbun segala amarahnya.
Tapi, Isabella mencoba mengubur kengerian dan ketakutannya dengan menyunggingkan senyuman tipis yang terkesan santai, perempuan berambut merah itu mengangkat jari telunjuknya di tangan kiri untuk menyentuh dan menekan hidung Lizzie secara lembut.
"Sudah kuduga, kau pasti sangaaaaaat merindukanku, kan?" Isabella terkikik-kikik tepat di hadapan Lizzie, menunjukkan ketenangannya meskipun saat ini dirinya sedang berhadapan sangat dekat dengan gadis pemarah tersebut. "Semua itu tertampak jelas dari raut wajahmu yang begitu kesal dan jengkel seperti seorang seorang gadis mungil yang marah karena ditinggalkan oleh orang tersayangnya begitu lama, menyebabkan kerinduannya jadi tak tertahankan, aku benar, kan, Lizzie?"
Sadar dirinya sedang dipermainkan oleh Isabella, muka Lizzie langsung memerah pekat saking malunya. Dia pun segera menarik kepalanya dari dekat wajah Isabella dan membalikkan badannya, berjalan pergi sambil mengepalkan tangannya.
"Inilah yang kubenci dari b******n seperti dia!" pekik Lizzie setelah kembali duduk ke posisi mendayungnya. "Tapi yang jelas! Kalau kau hilang lagi seperti tadi, kami akan meninggalkanmu, b******n!"
"Tenang saja, kau tidak perlu bersedih begitu, Lizzie. Aku tidak akan membuatmu tersiksa karena merindukanku lagi, kok. Jadi tenang saja, Lizzie~" timpal Isabella dengan tersenyum jahil sembari memeletkan lidahnya ke sosok Lizzie yang sedang menggeram kesal.
"Waw! Aku tidak percaya bisa melihatmu lagi, Isabella!" seru Jeddy dengan tersenyum lebar, menunjukkan kebahagiaannya dalam menyambut kemunculan Isabella.
Mendengar itu, dengan anggun Isabella memutar lehernya, mengalihkan pandangannya dari Lizzie ke sosok lelaki berwajah riang, berbadan kekar, dan berambut hijau jabrik.
"Aku juga tidak percaya bisa melihat senyumanmu lagi setelah sebelumnya kau sempat berdebat dan bertengkar dengan teman-teman kita, Jeddy," sindir Isabella dengan tertawa jahil, membuat Jeddy dan beberapa orang yang pernah terlibat pertengkaran dengan lelaki itu sedikit tersinggung dan terdiam. "Tapi apa pun itu, syukurlah aku bisa kembali bersama kalian lagi, ya." ucap Isabella yang kini perhatiannya diperlebar ke muka kawan-kawan sesama pahlawannya yang lain.
"Tidak!" Seketika Cherry berseru sedetik setelah suara petir yang bergemuruh berdentum sangat keras di langit, membuat semua orang yang mendengarnya terkejut secara bersamaan, mereka semua langsung menoleh ke posisi berdirinya si gadis mungil itu, begitu pula dengan Isabella. "Cherry tidak boleh bahagia dulu!" sambung Cherry dengan terisak-isak menahan tangisnya. "Cherry harus menahan kebahagiaan ini karena Abbas masih belum ditemukan! Cherry tidak berhak berbahagia hanya karena Isabella telah kembali! Kalau Cherry melakukan itu--hiks!--artinya Cherry telah melupakan dan mengabaikan kondisi Abbas yang belum ditemukan!"
Tersentuh dengan perkataan Cherry, Isabella menyembunyikan rasa harunya dengan terkikik-kikik ria seolah-olah menertawakan omongan gadis mungil berambut merah muda itu, itu pun membuat kesalahpahaman semakin membesar karena teman-temannya yang lain pun tidak suka melihat tingkah perempuan berambut merah itu yang terkesan meremehkan perasaan Cherry.
"Apa yang kau tertawakan, Isabella?" Tidak paham pada sikap perempuan itu, akhirnya Victor bersuara dengan menanyakan hal itu sembari memasang wajah bingungnya yang dihiasi alis mengkerut, bibir mengerucut, dan bulir keringat yang membasahi kening.
Memandangi Isabella, Koko juga merasa kalau reaksi yang ditunjukkan perempuan bertubuh seksi itu terlalu berlebihan dan tidak pantas, karena itu pasti bakal membuat hati Cherry terasa sakit sebab perasaan khawatirnya dianggap sebagai sesuatu yang lucu dan malah ditertawakan.
Begitu pula dengan Nico dan Colin, mereka jadi saling pandang ketika Isabella mulai tertawa sebegitu renyahnya di hadapan mereka semua. Colin berpikir bahwa Isabella tidak bisa membaca situasi sedangkan Nico malah sebaliknya, dia mulai menyimpulkan mungkin saja Isabella melakukan itu hanya untuk menutupi rasa harunya, tapi ia masih meragukan pemikirannya sendiri.
Jeddy hanya memiringkan kepalanya sementara Naomi menggeleng-gelengkan kepalanya.
Lizzie tidak begitu peduli dengan semua itu karena dia sedang duduk santai di belakang teman-temannya yang tengah berdiri, sedangkan Cherry hanya terdiam saat segala perkataannya ditertawakan oleh Isabella, dia cuma mematung sambil menundukkan kepalanya.
"Maafkan aku, Cherry. Itu terdengar sangat menyedihkan sampai aku jadi tertawa sendiri setelah mendengarnya," ucap Isabella disela-sela tawanya, sampai akhirnya ia menghentikkan dan menyudahi sesi ketawanya dan mulai menjawab dengan serius sambil matanya menatap fokus pada Cherry yang masih sedang menundukkan kepala. "Jangan khawatir, Cherry. Aku paham pada perasaanmu, pasti menyakitkan, kan? Saat salah satu dari teman kita pergi begitu saja dari sisi kita, aku sangat memahami itu. Tapi kau tidak perlu mengkhawatirkannya, karena berdirinya aku di sini pun, itu berkat pertolongan dari Abbas."
Sontak, jawaban yang dilontarkan oleh Isabella berhasil membuat semua teman-temannya terkesiap saking terkejutnya, bahkan Lizzie saja sampai kembali mengangkat kembali tubuhnya untuk berdiri dan Cherry pun mendongakkan kepalanya dengan mata yang membelalak, memperhatikan wajah Isabella yang tersenyum tenang di depannya.
"B-Benarkah!?" pekik Cherry dengan suara imutnya yang begitu nyaring, teman-temannya yang lain juga tampak ingin memastikan hal itu pada Isabella sebab mereka sama kagetnya seperti gadis mungil itu. "Kau tidak berbohong, kan, Isabella!? Kau tidak mungkin berbohong, kan, pada Cherry!?"
Menggelengkan kepalanya dengan santai, Isabella memandangi Cherry dengan sorotan mata yang hangat. "Untuk apa aku harus berbohong?"
"Itu tidak masuk akal!" Setelah dari tadi hanya diam dan menyimak, kini Nico kembali mengeluarkan argumennya, tidak peduli kalau teman-temannnya jadi tegang saat dirinya berbicara. "Mana mungkin dia masih hidup setelah menenggelamkan diri di air laut mati! Kau pasti tidak serius mengatakannya! Kau pasti cuma berbohong, Isabella!"
"Sebetulnya, aku sendiri juga bingung, tapi jika kau memang membutuhkan bukti yang akurat, maka lihatlah diriku. Apakah kau berpikir aku datang kemari sendirian? Dengan berenang di permukaan air yang sangat berbahaya? Bukankah itu terlalu mustahil? Aku benar, kan? Nico?"
Isabella mengambil langkah dan mendatangi sosok Nico yang sedang berdiri di samping Colin.
"Kau mau apa mendekati kami!?" Colin agak panik, tapi Isabella segera mengedipkan mata sebelah kanannya pada si pelayan kedai agar diam.
"Apa yang mau kau lakukan di dekatku, Isabella?" tanya Nico dengan keringat yang membasahi wajahnya. Ia sedikit cemas karena Isabella adalah satu-satunya sosok di antara para pahlawan bimbingan Paul yang ia anggap sebagai rival, sebab kecerdasan perempuan itu nyaris sebanding dengannya, dan itulah yang membuatnya jadi khawatir saat perempuan itu mendekatinya.
"Aku cuma penasaran," bisik Isabella tepat di telinga Nico, dengan sengaja mendesah-desahkan suaranya. "Sebenarnya jalan pikiranmu itu tertuju ke arah mana, ya?"
Sesaat mendengar pertanyaan itu, Nico dengan tergesa-gesa, memundurkan posisinya, menghindari sosok Isabella yang ada di dekatnya, membuat Colin dan juga pahlawan-pahlawan yang lain keheranan.
"Atas dasar apa kau menanyakan soal itu padaku!?"
"Hmmm?" Isabella melirik wajah Nico dengan kelopak mata yang sendu. "Aku pikir aku bakal menemukan sesuatu yang menarik jika kau menjawab pertanyaanku, tapi sepertinya percuma saja, ya? Kau ini, kan, keras kepala, sama seperti Paul, Lizzie, dan juga diriku~" goda Isabella dengan terkikik-kikik.
"Hoi! Dari pada kau mempermainkan lelaki payah itu, sebaiknya kau jelaskan pada kami, pertolongan apa yang kau maksudkan dari Abbas!? Apakah dia membantumu berenang di lautan atau bagaimana!?" raung Lizzie dengan nada yang menggeram layaknya singa yang hendak menerkam mangsanya.
Tentu saja Isabella langsung menoleh ke sosok Lizzie saat gadis tomboi itu bersuara, lalu perempuan itu mengulum senyum dan merespon santai.