Rasa nyeri langsung menyebar di p****t Jiola saat Arga mendorong badannya yang sedang berdiri menghimpit leher anak itu sampai terjerembab ke tanah dengan hantaman dan bantingan yang cukup keras. Dia tidak tahu kalau adiknya akan melakukan hal seperti itu padanya, dia kira Arga hanya meminta untuk dilepaskan sedikit pahanya yang tengah menghimpit leher bocah itu dari atas, tapi dia tidak mengira kalau yang dia lakukan telah dimanfaatkan oleh Arga untuk melancarkan rencananya yaitu mendorong dan menggulingkan badan Jiola dari posisi berdirinya kemudian bisa keluar dan terbebas dari tekanan itu sehingga akhirnya bocah itu kini telah benar-benar lepas dari kunciannya. Jiola agak kesal dan marah karena merasa ditipu tapi dia tidak bisa menunjukkan emosi amarahnya itu kepada adiknya, karena dia sangat menyayanginya. Yang ditunjukkannya hanyalah raut kekecewaan saja.
Jiola mengerti dan paham pada apa yang ingin dilakukan Arga terhadap kerusuhan kota itu, tapi dia tidak ingin melihat adiknya memperoleh resiko dari perbuatan tersebut, apalagi ini menyangkut soal kedudukan ras, posisi kerajaan, dan juga keselamatan diri, itu benar-benar beban yang terlalu besar untuk dipikul oleh anak yang masih berusia tujuh tahun dan sangat menentang hal tersebut. Itulah kenapa dia tidak mengizinkan dan cenderung menghalangi Arga dalam melakukan aksinya ke tengah kota karena dia sadar kalau itu terlalu beresiko. Dia ingin Arga tetap berada di sampingnya dan selamat. Mengerikan sekali jika membayangkan Arga kembali kepada dirinya dengan tubuh penuh luka, juga reputasi yang semakin memburuk di kerajaan ini. Itu terlalu mengerikan. Jiola sangat menyayangi Arga sehingga dia akan selalu menghentikan adik kesayangannya itu yang hendak melakukan tindakan nakal dan ceroboh di kota dan kerajaan ini.
Tentu saja apa yang dirasakan Jiola belum begitu sampai kepada benak Arga sehingga anak itu maish saja mengira bahwa perempuan berambut perak panjang yang ada di depannya ini sungguh menjengkelkan karena terus-terusan menghalang-halanginya padahal situasi sedang genting seperti ini. Bagi Arga, dia harus bertanggung jawab atas apa yang dia mulai, jika dia kabur seperti ini setelah melempar api ke tengah kota, itu artinya dia sama saja seperti seorang pengecut. Arga ingin mengakhiri insiden besar itu dengan caranya sendiri, agar semua itu bisa berakhir dengan damai dann tentram. Tentu saja Arga punya pemikirannya sendiri yang terbilang cukup cerdas untuk ukuran anak kecil berusia tujuh tahun sepertinya. Tapi yang jadi masalahnya di sini adalah Jiola, perempuan itu tidak mau membiarkannya pergi dari sini dan malah menghalanginya. Sungguh, Arga tidak habis pikir pada otak Jiola, apakah dia baik-baik saja? Mengapa dia begitu terobsesi pada dirinya, Arga benar-benar terheran-heran pada hal itu, bahkan itu terkesan menyeramkan.
Lihat saja, tingkah dan kelakuan Jiola tidak jauh berbeda seperti seorang psikopat yang begitu terobsesi pada daging manusia sehingga jika manusia yang ia targeti ingin lepas dan pergi dari hadapannya, dia akan berusaha sekuat mungkin untuk terus mengejar dan menghalanginya agar mangsanya tetap berada di jangkauannya. Bukankah itu mengerikan? Dan begitulah perasaaan Arga saat ini terhadap apa yang dilkukan Jiola terhadap dirinya. Meski perempuan itu terus saja bilang bahwa yang dia lakukan saat ini adalah ‘murni kasih sayang seorang kakak terhadap adik’ tapi di mata Arga itu tidak tampak demikian, malah lebih terkesan seperti hawa nafsu psikopat yang tidak ingin mangsanya lepas.
“Aku tidak pernah merasa setakut ini sebelumnya. Ini adalah perasaan yang baru kurasakan selama ini, aku sangat takut padamu. Bisakah kau berhenti terobsesi pada diriku? Kau menyeramkan! Tingkahmu sangat menakutkan! Kau seperti Psikopat yang mengejar mangsanya! Jadi tolong hentikan itu! Kau harus berhenti menghalang-halangiku, Jiola!” seru Arga saking paniknya terhadap tingkah laku Jiola yang semakin kesini semakin menyeramkan. Dia senang karena akhirnya berani mengatakan itu, karena sebelumnya dia masih enggan untuk mengungkapkannya karena khawatir itu akan melukai perasaan perempuan berambut perak itu. Tapi karena sudah tidak tahan lagi, ditambah perlakuan Jiola jadi semakin horor, akhirnya Arga melontarkannya dengan bentakan. Tidak lagi peduli pada perasaan perempuan yang mengaku-ngaku sebagai kakaknya itu.
“Eh?” Tentu saja Jiola terbelalak mendengarnya, dia begitu tercengang saat mengetahui bahwa adiknya merasa tidak nyaman pada perilakunya dan bahkan menganggapnya sama seperti seorang psikopat yang mengejar dan memburu mangsanya, begitu terobsesi terhadap daging manusia dan memiliki hawa nafsu yang diambang batas. Begitulah yang ia dengar dan amati dari perkataan-perkataan yang barusan terlontar dari mulut Arga. Hati Jiola langsung hancur berkeping-keping saat mendengar hal tersebut, itu adalah kata-kata yang sangat menyakitkan, lebih menyakitkan daripada dicaci maki dan dihujat oleh orang lain. Padahal yang dia lakukan saat ini adalah tindakan yang wajar bagi seorang kakak dalam melindungi dan menyelamatkan adiknya dari apa yang akan ia perbuat, tapi Sang Adik malah menganggap bahwa Sang Kakak seperti orang gila dan bahkan seorang psikopat, meski itu hanyalah perumpamaan semata, tapi itu terlalu kejam dan kasar.
Jiola tidak tahu harus bagaimana setelah mendengar ucapan-ucapan kasar yang baru saja dikatakan oleh adiknya, dia jadi bingung harus menjawab apa karena hatinya sudah sangat sakit sekarang. Dia pun berpikir, apakah wajar dan normal seorang adik berkata hal seperti itu pada kakaknya sendiri yang begitu menyayanginya? Dia benar-benar kebingungan sekaarang, antara ingin marah dan menangis dalam waktu yang bersamaan. Di satu sisi dia kecewa dan sakit hati karena ungkapan yang Arga kataan terhadap dirinya, dan di satu sisi yang lain, kasih sayang dan cintanya terhadap Sang Adik begitu besar dan kuat sehingga dia tidak mampu untuk membentak ataupun memarahi adiknya.
Akhirnya Jiola hanya bisa meneteskan air matanya dengan badan yang masih sedang terbaring di permukaan tanah, air matanya terus menetes dan menetes, napasnya juga jadi semakin sesak, dia bisa melihat langit sudah semakin gelap dan berbintang, dia benar-benar sedih karena malam ini dia mendengar perkataan yang begitu menyakitkan dari adiknya sendiri yang sangat dia sayangi.
Sementara Arga yang melihat itu hanya terdiam dan tidak begitu peduli, dia masih muak pada perlakuan kakaknya yang menyebalkan, tidak bisa sedikit saja mengizinkannya untuk pergi dari hadapannya, tapi anehnya meskipun sekarang Arga sudah terlepas dan terbebas dari kekangan Jiola, dia sama sekali tidak bergegas pergi meninggalkanya, malah sebaliknya anak itu hanya berdiri dalam diam, memandangi perempuan berambut perak itu yang kini sedang menangis terisak-isak berbaring di permukaan tanah.
Arga merasa bersalah.
Rasa nyeri langsung menyebar di p****t Jiola saat Arga mendorong badannya yang sedang berdiri menghimpit leher anak itu sampai terjerembab ke tanah dengan hantaman dan bantingan yang cukup keras. Dia tidak tahu kalau adiknya akan melakukan hal seperti itu padanya, dia kira Arga hanya meminta untuk dilepaskan sedikit pahanya yang tengah menghimpit leher bocah itu dari atas, tapi dia tidak mengira kalau yang dia lakukan telah dimanfaatkan oleh Arga untuk melancarkan rencananya yaitu mendorong dan menggulingkan badan Jiola dari posisi berdirinya kemudian bisa keluar dan terbebas dari tekanan itu sehingga akhirnya bocah itu kini telah benar-benar lepas dari kunciannya. Jiola agak kesal dan marah karena merasa ditipu tapi dia tidak bisa menunjukkan emosi amarahnya itu kepada adiknya, karena dia sangat menyayanginya. Yang ditunjukkannya hanyalah raut kekecewaan saja.
Jiola mengerti dan paham pada apa yang ingin dilakukan Arga terhadap kerusuhan kota itu, tapi dia tidak ingin melihat adiknya memperoleh resiko dari perbuatan tersebut, apalagi ini menyangkut soal kedudukan ras, posisi kerajaan, dan juga keselamatan diri, itu benar-benar beban yang terlalu besar untuk dipikul oleh anak yang masih berusia tujuh tahun dan sangat menentang hal tersebut. Itulah kenapa dia tidak mengizinkan dan cenderung menghalangi Arga dalam melakukan aksinya ke tengah kota karena dia sadar kalau itu terlalu beresiko. Dia ingin Arga tetap berada di sampingnya dan selamat. Mengerikan sekali jika membayangkan Arga kembali kepada dirinya dengan tubuh penuh luka, juga reputasi yang semakin memburuk di kerajaan ini. Itu terlalu mengerikan. Jiola sangat menyayangi Arga sehingga dia akan selalu menghentikan adik kesayangannya itu yang hendak melakukan tindakan nakal dan ceroboh di kota dan kerajaan ini.
Tentu saja apa yang dirasakan Jiola belum begitu sampai kepada benak Arga sehingga anak itu maish saja mengira bahwa perempuan berambut perak panjang yang ada di depannya ini sungguh menjengkelkan karena terus-terusan menghalang-halanginya padahal situasi sedang genting seperti ini. Bagi Arga, dia harus bertanggung jawab atas apa yang dia mulai, jika dia kabur seperti ini setelah melempar api ke tengah kota, itu artinya dia sama saja seperti seorang pengecut. Arga ingin mengakhiri insiden besar itu dengan caranya sendiri, agar semua itu bisa berakhir dengan damai dann tentram. Tentu saja Arga punya pemikirannya sendiri yang terbilang cukup cerdas untuk ukuran anak kecil berusia tujuh tahun sepertinya. Tapi yang jadi masalahnya di sini adalah Jiola, perempuan itu tidak mau membiarkannya pergi dari sini dan malah menghalanginya. Sungguh, Arga tidak habis pikir pada otak Jiola, apakah dia baik-baik saja? Mengapa dia begitu terobsesi pada dirinya, Arga benar-benar terheran-heran pada hal itu, bahkan itu terkesan menyeramkan.
Lihat saja, tingkah dan kelakuan Jiola tidak jauh berbeda seperti seorang psikopat yang begitu terobsesi pada daging manusia sehingga jika manusia yang ia targeti ingin lepas dan pergi dari hadapannya, dia akan berusaha sekuat mungkin untuk terus mengejar dan menghalanginya agar mangsanya tetap berada di jangkauannya. Bukankah itu mengerikan? Dan begitulah perasaaan Arga saat ini terhadap apa yang dilkukan Jiola terhadap dirinya. Meski perempuan itu terus saja bilang bahwa yang dia lakukan saat ini adalah ‘murni kasih sayang seorang kakak terhadap adik’ tapi di mata Arga itu tidak tampak demikian, malah lebih terkesan seperti hawa nafsu psikopat yang tidak ingin mangsanya lepas.
“Aku tidak pernah merasa setakut ini sebelumnya. Ini adalah perasaan yang baru kurasakan selama ini, aku sangat takut padamu. Bisakah kau berhenti terobsesi pada diriku? Kau menyeramkan! Tingkahmu sangat menakutkan! Kau seperti Psikopat yang mengejar mangsanya! Jadi tolong hentikan itu! Kau harus berhenti menghalang-halangiku, Jiola!” seru Arga saking paniknya terhadap tingkah laku Jiola yang semakin kesini semakin menyeramkan. Dia senang karena akhirnya berani mengatakan itu, karena sebelumnya dia masih enggan untuk mengungkapkannya karena khawatir itu akan melukai perasaan perempuan berambut perak itu. Tapi karena sudah tidak tahan lagi, ditambah perlakuan Jiola jadi semakin horor, akhirnya Arga melontarkannya dengan bentakan. Tidak lagi peduli pada perasaan perempuan yang mengaku-ngaku sebagai kakaknya itu.
“Eh?” Tentu saja Jiola terbelalak mendengarnya, dia begitu tercengang saat mengetahui bahwa adiknya merasa tidak nyaman pada perilakunya dan bahkan menganggapnya sama seperti seorang psikopat yang mengejar dan memburu mangsanya, begitu terobsesi terhadap daging manusia dan memiliki hawa nafsu yang diambang batas. Begitulah yang ia dengar dan amati dari perkataan-perkataan yang barusan terlontar dari mulut Arga. Hati Jiola langsung hancur berkeping-keping saat mendengar hal tersebut, itu adalah kata-kata yang sangat menyakitkan, lebih menyakitkan daripada dicaci maki dan dihujat oleh orang lain. Padahal yang dia lakukan saat ini adalah tindakan yang wajar bagi seorang kakak dalam melindungi dan menyelamatkan adiknya dari apa yang akan ia perbuat, tapi Sang Adik malah menganggap bahwa Sang Kakak seperti orang gila dan bahkan seorang psikopat, meski itu hanyalah perumpamaan semata, tapi itu terlalu kejam dan kasar.
Jiola tidak tahu harus bagaimana setelah mendengar ucapan-ucapan kasar yang baru saja dikatakan oleh adiknya, dia jadi bingung harus menjawab apa karena hatinya sudah sangat sakit sekarang. Dia pun berpikir, apakah wajar dan normal seorang adik berkata hal seperti itu pada kakaknya sendiri yang begitu menyayanginya? Dia benar-benar kebingungan sekaarang, antara ingin marah dan menangis dalam waktu yang bersamaan. Di satu sisi dia kecewa dan sakit hati karena ungkapan yang Arga kataan terhadap dirinya, dan di satu sisi yang lain, kasih sayang dan cintanya terhadap Sang Adik begitu besar dan kuat sehingga dia tidak mampu untuk membentak ataupun memarahi adiknya.
Akhirnya Jiola hanya bisa meneteskan air matanya dengan badan yang masih sedang terbaring di permukaan tanah, air matanya terus menetes dan menetes, napasnya juga jadi semakin sesak, dia bisa melihat langit sudah semakin gelap dan berbintang, dia benar-benar sedih karena malam ini dia mendengar perkataan yang begitu menyakitkan dari adiknya sendiri yang sangat dia sayangi.
Sementara Arga yang melihat itu hanya terdiam dan tidak begitu peduli, dia masih muak pada perlakuan kakaknya yang menyebalkan, tidak bisa sedikit saja mengizinkannya untuk pergi dari hadapannya, tapi anehnya meskipun sekarang Arga sudah terlepas dan terbebas dari kekangan Jiola, dia sama sekali tidak bergegas pergi meninggalkanya, malah sebaliknya anak itu hanya berdiri dalam diam, memandangi perempuan berambut perak itu yang kini sedang menangis terisak-isak berbaring di permukaan tanah.
Arga merasa bersalah.
Pada akhirnya, Arga memilih mengantarkan Jiola yang masih sedang menangis tersengguk-sengguk ke rumahnya lagi, tidak pergi dan kembali ke tengah kota untuk menciptakan kerusuhan dan ketegangan lagi bersama para warga Vanterlock. Ini sudah larut malam, dan jalanan kota terlihat cukup sepi dan sunyi, tidak seperti biasanya, mungkin karena hampir semua warga kota pergi ke tengah kota, jadi area-area yang lain terlihat begitu kosong dan hening. Arga berjalan di samping Jiola dengan memegang erat tangan perempuan berambut perak itu agar mengikuti langkahnya karena sebenarnya perempuan itu tidak niat untuk menggerakkan kakinya karena kesedihan masih melanda hatinya, itulah sebabnya Arga yang melakukannya sebagai penuntun Jiola untuk kembali pulang ke rumahnya. Tidak lagi pemberontak dan keras kepala seperti sebelumnya, kini Arga memutuskan untuk menyerah dalam hal itu dan memilih untuk mengantarkan Jiola pulang, penyebabnya tentu saja karena rasa bersalahnya yang telah membuat seorang perempuan menangis.
Di dalam perjalanan menuju kediaman Jiola, Arga yang tubuhnya tentu saja lebih pendek dan mungil dari Jiola, tampak diam dan tidak berekspresi sama sekali, dia hanya memegang erat lengan Jiola sambil berjalan tanpa memecahkan keheningan yang tercipta di antara mereka. Entahlah, mungkin Arga agak bosan untuk berbicara dengan Jiola karena setiap kali dia mengobrol dengan perempuan itu, pasti bakal terjadi pertengkaran dan perbedaan pemikiran, entah dari hal-hal sepele atau pun hal-hal serius, seolah-olah mereka memiliki jalan hidup yang sangat berlawanan sehinggga perdebatan selalu ada ketika mereka berdua saling berbicara. Padahal, bukankah mereka berdua adalah saudara kandung? Tapi mengapa kelihatannya berbeda sekali? Apakah penyebabnya karena masa kecil mereka punya pengalaman yang berbeda? Itu bisa jadi merupakan kemungkinannya, tapi bisa juga bukan, tapi yang jelas apa pun penyebabnya, mereka harus mencari cara agar obrolan tetap terasa hangat meskipun pemikiran mereka selalu bertentangan.
“Eh? Aku mau dibawa kemana? Apa yang mau kamu tunjukkan?” Setelah tangisannya mulai reda, Jiola baru sadar kalau kini dirinya sedang berjalan dengan dituntun oleh genggaman tangan Arga di jalanan kota yang cukup sepi dan hening. Jiola tidak paham mengapa Arga melakukan ini padanya, dan dia pun bertanya-tanya, apakah anak itu akan membawanya ke tengah kota? Tapi saat diamati baik-baik, jalan yang mereka lalui berlawanan dengan tengah kota, lalu apakah Arga akan membawanya ke suatu tempat untuk menunjukkan suatu hal yang mengejutkan? Tapi apa? Jiola masih tidak begitu mengerti alasan dari Arga menuntunnya begini, bukankah anak itu begitu bersikeras ingin kembali ke tengah kota? Tapi mengapa malah berakhir seperti ini? Jiola benar-benar merasa heran.
“Tentu saja kita pulang, memangnya kita mau kemana lagi?” ucap Arga sebagai jawaban atas pertanyaan yang terlontar dari mulut Jiola setelah perempuan berambut perak itu menyudahi isakan tangisannya. Ketika menjawab itu, bola-bola mata Arga sedikit mengerling dan kepalanya agak sedikit ditolehkan ke muka Jiola, meski setelahnya dia kembali memandang ke depan dengan ekspresi datar seperti biasanya.
“Bukankah kamu ingin kembali ke tengah kota? Lalu kenapa?” Lagi-lagi Jiola mengajukan pertanyaan, tapi kali ini lebih spesifik karena dia benar-benar penasaran pada Arga yang tiba-tiba mengantarkannya pulang seperti ini. Dia kaget karena seharusnya Arga tidak mempedulikan dirinya, dan langsung pergi ke tengah kota, tapi kenapa jadi seperti ini? Rasanya seperti ada yang aneh dan mengganjal, dan Jiola ingin mengetahui alasan dari hal tersebut.
“Mana mungkin aku meninggalkan seorang perempuan yang sedang menangis begitu? Kau membuatku merasa harus menjagamu sehingga aku tidak punya kekuatan untuk pergi meninggalkanmu. Sepertinya rencanamu berhasil berjalan dengan baik, kau telah membuatku berubah pikiran.” Sahut Arga dengan nada yang cukup malas dan mengantuk, dia mengatakan seakan-akan semua yang Jiola lakukan sebelumnya, termasuk juga tangisannya, adalah rancangan rencana agar anak itu mematuhi ucapan perempuan itu. Dan mungkin tangisan adalah caranya yang terakhir agar Arga dibuat merasa bersalah. Tapi jika itu memang benar, itu sungguh luar biasa, karena hasilnya memang bagus.
“Eh? T-Tidak! Mengapa kau berpikiran begitu? Aku menangis karena memang sedih, bukan salah satu rencanaku untuk membuatmu mengurungkan niat untuk pergi ke tengah kota, lagipula apa yang dimaksud dengan sebuah rencana? Aku sama sekali tidak merancang sebuah rencana sedikit pun hanya untuk menahanmu pergi, aku melakukan semua itu secara spontan dan tanpa aba-aba, termasuk juga menangis, itu bukanlah tangisan palsu.” Jelas Jiola dengan sedikit menyaringkan suaranya karena tidak terima saat Arga berpikiran bahwa semua yang dia lakukan sebelumnya terhadap anak itu adalah bagian dari rencananya, dan itu benar-benar tidak masuk akal dan tidak enak didengar. Untuk apa juga Jiola membuat sebuah rencana kepada adiknya sendiri, kesannya malah seperti dirinya adalah orang yang sangat licik dan picik.
“Begitukah? Kalau memang benar, aku senang. Tapi kalau itu memang sebuah rencana, ya sudahlah, aku hanya bisa menyerah karena strategimu benar-benar hebat.” Sindir Arga dengan menyunggingkan senyuman kecil dan sedikit kekehan untuk menyudutkan Jiola yang ada di sampingnya, dan setelah mengatakan itu tiba-tiba saja perempuan berambut perak itu melepaskan tangannya dari genggaman tangan Arga. “Eh? Kenapa kau melepas genggamannya?”
“Apa kau sedang mempermainkanku?” ucap Jiola dengan memandang serius pada wajah Arga yang masih terlihat menyunggingkan senyuman kecil, jujur ia tidak begitu nyaman dengan sikap yang ditunjukkan adiknya, sangat menyebalkan dan tidak sopan. “Apa kau masih menganggapku seperti itu? Mengapa kau punya anggapan begitu? Apakah aku terlihat licik dan picik di matamu?”
“Hey? Kenapa kau jadi—“ ucapan Arga langsung dipotong oleh Jiola.
“Aku tidak ingin dinilai seperti itu, bahkan oleh adikku sendiri. Itu terlalu kasar dan frontal. Aku tidak seperti itu, aku bukan manusia selicik itu yang bisa berpura-pura menangis hanya untuk merebut hati adiknya, jika kamu masih beranggapan bahwa aku adalah orang yang seperti itu, lebih baik kita berhenti di sini, aku tidak mau pulang jika harus begini caranya.”
Pada akhirnya, Arga memilih mengantarkan Jiola yang masih sedang menangis tersengguk-sengguk ke rumahnya lagi, tidak pergi dan kembali ke tengah kota untuk menciptakan kerusuhan dan ketegangan lagi bersama para warga Vanterlock. Ini sudah larut malam, dan jalanan kota terlihat cukup sepi dan sunyi, tidak seperti biasanya, mungkin karena hampir semua warga kota pergi ke tengah kota, jadi area-area yang lain terlihat begitu kosong dan hening. Arga berjalan di samping Jiola dengan memegang erat tangan perempuan berambut perak itu agar mengikuti langkahnya karena sebenarnya perempuan itu tidak niat untuk menggerakkan kakinya karena kesedihan masih melanda hatinya.