18. Kapankah Kami Bisa Sama-Sama Siap?

1507 Words
Zaka's PoV Hari berlalu dengan cepat. Ayah mertuaku akan menjalani hukuman selama lima tahun sedangkan ibu mertuaku hanya enam bulan karena melakukan kejahatan berbeda. Akan memasuki waktu istirahat, selama mencuci muka dan menggosok gigi di kamar mandi, aku tidak sendirian, melainkan ditemani istriku. Di batas pintu kamar mandi, tiba-tiba kursi rodaku dihentikan beroperasi, dimana istriku tahu-tahu sudah bergeser dan memutar badan hingga berdiri di hadapanku dengan sedikit membungkuk. "Kak," serunya dengan wajah berbinar, bahkan kedua matanya terlihat dibuka lebar-lebar. Aku merasa tertarik dengan rencana di dalam kepala cantiknya. "Mau mencoba berjalan sendiri?" Lepas ditanya demikian, aku hanya bisa mengangguk, setidaknya dapat menjadi sumber kebahagiaan untuk istriku, meskipun sebatas sumbangan kecil-kecilan. Aku sudah menurunkan kedua kakiku di lantai dengan gerakan perlahan hingga berdiri tegak dengan memanfaatkan bantuan dari istriku. Dia sedang berjalan mundur dan tidak lupa untuk menyesuaikan langkahnya dengan langkahku dalam rangka menjaga keseimbanganku, demi bisa segera merengkuh tindakan antisipasi kalau sampai terjadi sesuatu. "Ayo, Kak," ucap Zara dengan nada bersemangat untuk mendukungku. Dia sudah semakin mundur setelah melihat perkembanganku, bahkan memutuskan untuk menunggu di dekat kasur, seperti memintaku untuk bergegas menyusul. "Akan kutunggu di sini," katanya. "Satu langkah lagi, Kak!" Yang dimaksud dengan 'satu langkah lagi' adalah setengah dari langkah normal orang dewasa. "Aaaah!" Bruuukkk! Aku tidak mengerti kenapa, salah satu kakiku tersandung lantai hingga membuatku terjatuh ke depan, mendarat di kasur dengan posisi tahu-tahu sudah setengah menimpa tubuh istriku, dimana badan istriku bisa habis kalau kedua tanganku tidak bergerak cepat untuk menyangga berat badanku. Wajah kami hampir bertemu karena hanya terpisahkan dengan jarak sejauh satu depa, sementara kedua mata kami saling memandang satu sama lain ketika napas kami terdengar sahut-sahutan, akibat dikejutkan dengan kejadian tidak terduga barusan. "Zara, kau tidak apa-apa?" tanyaku. Zara meneguk ludahnya. Aku mendengar sendiri ketika menyaksikan wajah gugupnya selama menuturkan, "Tidak, Kak." Hening sebentar. Tatapan Zara tiba-tiba dibawa ke anggota tubuh bagian bawah. Dia sempat membekap mulutnya dengan kedua telapak tangannya ketika pupil matanya diperlebar sebelum memekik, "Aaawwwh!" Tanpa peringatan, tubuhku didorongnya hingga aku terguling ke samping. Untunglah, setidaknya tidak sampai bertemu dengan kerasnya lantai. "Duh, untuk sentuhan singkat, ternyata tidaklah murah." Zara sudah bangun dan sedang dalam posisi duduk, menatapku dengan muka bersalah dan berucap pelan, "Kak, maaf ...." Entah karena mendapatkan bisikan dari mana, secara tidak terduga, tahu-tahu tangan kananku sudah meraih salah satu pergelangan tangan istriku hingga tercipta sebuah tarikan kuat dan cepat dalam satu sentakan, bahkan mengakibatkan tubuh istriku mendarat di sisi kasur di sebelah tubuhku. "Zara, aku mencintaimu," ucapku selama menatap kedua manik mata beriris hitam di hadapanku sesudah mentalku tumbuh dengan pesat. Tanpa diselingi dengan persiapan, aku terlalu nekat dalam menyampaikan isi hatiku, seolah-olah merupakan bentuk improvisasiku, benar-benar muncul secara mendadak, barangkali tidak melewati proses berpikir terlebih dahulu. Zara menggeleng berkali-kali. Dari sini, sudah bisa disimpulkan kalau barisan kalimat bermakna buruk—dan tidak kuinginkan—akan segera mencuat ke permukaan. "Tidak. Tidak. Kau tidak boleh mencintaiku," kata istriku dengan irama napas tidak teratur, masih menggeleng-geleng, tetapi dengan gerakan sudah berubah pelan dan ringan saja. Ditolak langsung, aku sungguh membeku hingga otakku terlalu ragu untuk meyakini kenyataan. Dari sudut pandangku, kalbu mana bisa menerima dengan mudah. Jujur, aku masih dalam keadaan tercengang ketika bertanya singkat, "Kenapa?" Zara berusaha membebaskan tubuhnya dariku, termasuk dengan cara memberikan dorongan ke dadaku, tetapi aku bersikap seperti tidak diapa-apakan, masih demikian hingga istriku selesai berkata, "Karena aku tidak mau berkomitmen dengan siapa pun." Wanita di pelukanku tidak sudi untuk menyerah. Aku masih didorong supaya kerapatan di antara kami berdua dapat sirna dengan cepat. Ibarat meniru sebuah robot, sekarang ekspresiku benar-benar kaku, bahkan tetap bertahan sekalipun istriku sudah menyerukan, "Mengertilah, Kak." "Berikan aku alasan," kataku kemudian. Tanpa disangka-sangka, Zara seperti habis mengisi ulang bahan bakar sampai penuh sehingga dapat terdengar menggebu-gebu ketika menatap kedua mataku seraya mengucapkan, "Yang paling menyakitkan dari hidup adalah kehilangan. Lebih baik sendiri, daripada harus meninggalkan atau ditinggalkan orang-orang terkasih!" Lenganku lemas seketika hingga membuat tubuh istriku terlepaskan dengan sendirinya. Aku masih terlihat merana ketika istriku bergegas cepat untuk beranjak dari kasur dan meninggalkan kamar tanpa berbicara sepatah kata apa pun lagi. Duh, nasibku bisa buruk sekali. Aku akan tidur sendirian, sepertinya. Yang menjadi tema utama di dalam benakku adalah kesakitan di dalam dadaku, dimana anak panah seolah-olah meluncur dari langit ketujuh dan menancap di sana untuk membuatku menderita. *** Di malam larut, ketika istriku terbawa arus mimpi, diam-diam aku masuk ke ruangan rahasiaku. Aku mulai bekerja dengan hanya menggunakan cahaya dari layar komputer dan lampu temaram di pojokan dekat dengan pintu masuk. Baru bergelut sebentar, tiba-tiba aku terpikirkan untuk membuat sebuah panggilan video kepada adikku demi melepaskan kerinduanku. Ini adalah waktu terbaik untuk berbincang-bincang karena adikku mungkin sudah atau sedang makan malam. "Hai, Kak." "Kabar baik, bukan?" Lepas melontarkan dua kalimat secara berurutan tersebut, adikku terlihat menyuapkan sesuatu ke dalam mulutnya. Dia benar-benar terkesan semakin berisi dengan rambut lurus sebahunya sehingga kedua pipi bulatnya dapat terlihat seutuhnya, tidak ditekan dengan menggunakan kain kerudung lagi. "Ya, seperti hasil penglihatanmu sekarang," sahutku dengan rasa percaya diri tinggi. "Kak, apakah kakak memiliki keinginan untuk menunjukkan identitas asli kakak kepadanya?" Aku terdiam dengan pertanyaan adikku barusan. Identitasku bukan untuk dikoar-koarkan. Adalah kesalahanku karena malah pernah memberitahukan kepada adikku secara cuma-cuma. Ini merupakan bentuk pelanggaran, tidak untuk ditiru. Disamping sebagai seorang dosen muda di salah satu universitas ternama di Kota Semarang, aku adalah ahli IT (hacker bersifat positif di Badan Intelijen Negara (BIN) dengan tugas utama untuk mengamankan setiap data berskala khusus dan menemukan Queen, sosok ratu dari kerajaan bisnis barang haram terbesar di Indonesia. Meski terkenal memiliki sikap ramah, aku tidak pernah dekat dengan wanita mana pun—di luar kerabat—selama 26 tahun hidupku. Dari hari ke hari, mungkin hidupku akan terus bagaikan dunia monokrom—serba hitam putih—andaikan sosok di balik terciptanya semesta tidak berkenan untuk mempertemukanku dengan Zara, seorang wanita bermata jernih, seperti wujud bidadari di dalam khayalanku. "Aku cemas, Kak," ucap adikku dengan muka terlihat resah, "bisakah kita percaya kepadanya?" Masuk akal, sih. Zara adalah pendatang. Akan susah untuk bisa percaya kepada orang baru. Bahkan, sebagian besar umat manusia masih sering enggan percaya termasuk kepada kerabat sendiri. Jadi, wajar sekali apabila adikku sampai berkata, "Masalahnya, bagaimana kalau malah memicu kejadian buruk?" "Kak, kalau sudah terbongkar sekali, maka ribuan jarum akan terus mengintai … dari hari ke hari." Aku tidak memungkiri, sebagai salah satu orang penting di sebuah instansi nasional, baik diriku maupun seluruh anggota keluargaku dapat menjadi sasaran empuk dari setiap manusia berhati culas. "Mungkin, demi keamanan kita, bersikap biasa adalah pilihan terbaik," ucapku setelah terdiam sebentar untuk merenung, "aku tidak apa-apa." "Tapi, istriku belum tentu." “Lalu, ….” “Kapankah kami bisa sama-sama siap?" Ini bukan karena aku tidak menganggap keberadaan istriku, hanya saja … terkadang tidak tahu apa-apa malah lebih menenangkan. Aku tidak bisa bernapas dengan nyaman sebelum menangkap pimpinan dari kerajaan bisnis barang haram terbesar di Indonesia. Ada indikasi bahwa sebagian aksi penyelundupan berkilo-kilo gram barang haram dari Negara H ke tanah air dimaksudkan untuk menghancurkan generasi penerus bangsa. Bisa dikatakan, karena dapat mengancam keamanan negara, segala sesuatu berkenaan dengan importisasi zat-zat adiktif untuk memicu halusinasi, penurunan kesadaran hingga menyebabkan kecanduan—bahkan kematian—sudah dikategorikan sebagai kejahatan besar. *** Author's PoV Zara, Ruby dan Winda terlihat sedang duduk mengitari salah satu meja di kantin. Mereka hanya memesan minuman segar untuk memuaskan dahaga sekalian menunggu kelas berikutnya. Ruby terkesan berbeda dibandingkan dengan biasanya, teramat manja seperti anak kecil. Maklum, sih. Dia sedang berulang tahun. "Nanti malam bagaimana?" tanyanya dengah nada antusias. "Kalian serius?" tanya Winda. "Iya, hitung-hitung buat pengalaman," ucap Ruby untuk menghapuskan kebimbangan Winda, entah akan sukses atau tidak. "Tapi," kata Winda, masih ragu-ragu untuk ikut serta atau tidak, "bukankah terlalu bahaya untuk kaum wanita?" Jelas, di antara mereka bertiga, Winda sangat keberatan karena merasa selalu lurus dalam menjalani kehidupan. Jadi, ketika diajak untuk berbuat tidak benar, di kedua matanya akan ternilai sebagai sebuah keanehan. Dia berpikir bahwa dunia malam bukanlah tempat bagus untuk bermain-main, meski dari segi usia mereka bertiga sudah bisa dikatakan cukup untuk berkelana di sana. Ruby terkesan menyepelan ketika berseru, "Heh, bahaya dari mana?" "Menurutku, selama kita bisa terus terjaga, tidak akan terkena masalah." "Ayolah," Ruby masih berupaya untuk membujuk, mungkin lebih cocok kalau disebut dengan mempengaruhi, "kapan lagi?" Di sini, Zara bersikap seperti air, akan mengalir sesuai dengan jalan di hadapannya, berubah bentuk sesuai dengan wadahnya. Ruby sudah menambahkan, "Di era serba modern, masa kita masih tetap ketinggalan zaman." "Hm?" Kini, Ruby menatap Winda dengan muka memelas untuk mengharapkan belas kasihan. "Temanilah aku di hari ulang tahunku," katanya. Winda tentu tidak enak hati menolak. Meski di dalam hati merasa diselimuti dengan dosa, dirinya tetap pasrah hingga mengatakan, "Iya, deh." "Kau bisa, 'kan?" tanya Ruby kepada Zara setelah mengalihkan tatapan. Dia tidak harus bertanya, sebenarnya. Zara tentu akan memberikan tanggapan positif, meski dari luar terkesan tidak. "Mm, akan kuusahakan," katanya. "Wajib," Ruby membalas dengan cepat. "Iya," ucap Zara seraya melukiskan garis senyuman di wajahnya. Zara mana bisa menolak mengingat terus bergaul dengan Ruby akan selalu mempermulus langkahnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD