Seketika perhatian kami tertuju pada lemari yang bergerak-gerak sendiri di pojok ruangan penyimpanan mayat ini. Aku bahkan tak henti-hentinya berdoa di dalam hati semoga tidak ada hantu apa pun di tempat ini, soalnya jika ada hantu, aku bisa pingsan mendadak, dan itu sangat merepotkan. Tubuhku secara reflek beralih ke punggung Tante Eliza, aku juga tidak mengerti mengapa setiap kali aku ketakutan, pasti punggung wanita itu yang kujadikan sebagai tempat berlindung, mungkin penyebabnya karena pakaiannya besar, membuat perasaanku menganggap kalau punggungnya itu seperti sebuah benteng yang dapat melindungiku dari bahaya apa pun.
Sebetulnya, hanya aku dan Tante Eliza yang memandang kejadian aneh itu, sementara Yoga sama sekali tidak memperhatikan itu, dia sedang sibuk dengan es krim kesayangannya.
"Tolong aku." Padahal melihat lemari bergerak sendiri saja telah membuatku sangat ketakutan, dan sekarang, malah ada suara seseorang yang minta tolong dari dalam lemari itu, membuatku dan Tante Eliza sama-sama terkejut mendengarnya.
Ini gawat. Jangan bilang kalau dugaanku benar bahwa ada mayat hidup yang terperangkap di dalam lemari itu dan meminta tolong pada kami untuk dibebaskan, aku tidak mengira kalau hal-hal begitu bisa terjadi juga di dunia nyata, maksudku, ini seperti kejadian-kejadian di n****+ horor yang sering k****a, di mana si protagonis dibuat kaget dengan kemunculan sosok mengerikan dari dalam lemari yang bergerak sendiri.
Aku membenamkan kepalaku di punggung Tante Eliza, membuat wanita itu melirikku dan berkata, "Anita, bagaimana kalau kita periksa saja? Jangan khawatir, aku yakin di sini tidak ada hal-hal yang menakutkan, kok." Walau Tante Eliza bilang begitu, tetap saja, kekhawatiranku makin bertambah seiring dia melangkahkan kakinya membuat tubuhku ikut terbawa, karena posisi lenganku sedang mencengkram pakaiannya.
Aku ingin sekali memperingati Tante Eliza untuk tidak mendekati lemari itu, tapi entah kenapa, mulutku enggan untuk mengeluarkan suara karena ketakutan yang membelenggu seluruh tubuhku, membuat diriku seakan-akan menjadi beku.
"Kenapa Anita bersembunyi di belakang tubuhmu, Eliza?" Ah, akhirnya Yoga menanyakan keadaan kami, walau aku kaget dia menyebut Tante Eliza langsung dengan namanya, tapi kekhawatiranku berkurang karena perasaanku berkata kalau lelaki itu pasti tahu penyebab dari bergeraknya lemari itu.
Ayolah, berpikir positif! Aku yakin, Yoga pasti akan berkata 'oh, itu bukan apa-apa' dan menjelaskan semuanya pada kami mengapa benda itu bergerak sendiri, mungkin saja karena ada binatang kecil yang ikut masuk ke dalam dan memberontak ingin keluar, atau bisa saja karena ada sesuatu yang dapat dijelaskan dengan logika tanpa embel-embel hantu atau semacamnya. Semoga saja.
"Syukurlah, rupanya kau sudah sadar pada keadaan anak ini, Yoga," kata Tante Eliza dengan menoleh pada lelaki itu sembari mengembangkan senyuman manisnya. "Dia ketakutan karena melihat lemari yang ada di pojok ruangan bergerak-gerak sendiri, aku berniat ingin memeriksa benda itu, tapi aku sangat senang jika kau menjelaskan fenomena aneh ini, Yoga."
Dengan hembusan napas, Yoga menjatuhkan batang kayu yang sebelumnya merupakan tempat es krim yang dijilatinya, lalu dia mulai menjawab dengan nada yang sangat tak niat, "Oh, itu bukan apa-apa, hanya mayat yang ingin dibebaskan saja, kok."
Memang sih, kata-kata awal dari jawaban Yoga sesuai harapanku, tapi sayangnya, dia menyebutkan hal yang tidak ingin kudengar pada bagian akhir dari jawabannya. Ini sangat gawat. Ketakutanku malah terus menaik hingga mukaku memerah dan cengkramanku semakin kuat pada baju Tante Eliza, membuat wanita itu tersentak.
"Ma-Mayat hidup?" Perhatian Tante Eliza kembali tertuju pada Yoga. "Katakan padaku kalau kau saat ini sedang bercanda, Yoga. Kau tahu, candaanmu kali ini tidak lucu." Kedengarannya Tante Eliza pun takut pada makhluk mengerikan itu, terbukti dari nada suaranya yang bergetar seperti seorang wanita yang ketakutan saat melihat ukuran junior milik pacarnya, ah, astaga, mengapa bisa-bisanya aku sempat memikirkan hal kotor seperti itu di saat keadaanku sedang terhimpit pada situasi yang menakutkan ini.
"Jawablah, Yoga. Jawablah kalau kau sedang bergurau!" Aku membentak Yoga agar dia mengatakan apa yang kuinginkan, walaupun kesannya memaksa.
Melihat wajahku yang menyembul dari belakang tubuh Tante Eliza, menatap tajam dirinya, Yoga hanya bisa memejamkan matanya dengan melipatkan tangannya. "Sayangnya kali ini aku tidak sedang bercanda." jawabnya dengan muka pucat seperti biasa.
Setelah Yoga berkata begitu, lemari itu makin agresif, bahkan pergerakannya jadi lebih cepat dari sebelumnya, terayun-ayun ke kiri dan kanan, membuat napasku menderu tak beraturan.
Yoga dan Tante Eliza pun sama sepertiku, melihat lemari itu dengan pandangan kaget, walau aku tidak yakin pada ekspresi lelaki pucat itu.
"Kumohon ... keluarkan aku dari sini."
Ah, suaranya terdengar lagi. Kali ini lebih jelas dari sebelumnya, bahkan Yoga dan Tante Eliza pun sama terkejutnya sepertiku saat mendengar suara itu. Kemudian, dengan berani, Yoga berjalan menghampiri lemari itu, meninggalkan kami berdua yang sedang ketakutan.
"Tunggu-Yoga! Jangan!" Walau Tante Eliza berusaha menghentikkannya, tapi Yoga sama sekali tidak mendengarkan.
Setelah sampai di dekat lemari itu, Yoga langsung membukanya, seketika ekspresinya membuat kami tersentak, mata lelaki pucat itu membulat seperti telur mata sapi, bibirnya menganga seperti seekor buaya, dan wajah pucatnya semakin menjadi dari biasanya. Dari sini kami sudah menyimpulkan kalau Yoga sedang berhadapan dengan makhluk yang menyeramkan, terbukti dari eskpresi keterkejutannya.
Yoga memundurkan langkahnya, seperti seseorang yang memberikan ruang untuk orang lain keluar dari lemari itu, dan dugaanku lagi-lagi benar! Ada sebuah kaki yang muncul dari lemari itu, mendarat di lantai dengan kaki yang telanjang. Setelah itu, akhirnya aku dan Tante Eliza bisa melihat dengan jelas pada sosok yang membuat Yoga menganga tak henti-hentinya.
Ternyata, bukan hantu atau mayat hidup yang bersemayam di dalam lemari itu, melainkan seorang gadis kecil berambut merah yang mengenakan gaun mungil berwarna putih, dia sangat lucu ketika dirinya berjalan menghampiri Yoga dan memeluk paha lelaki itu dengan tubuh yang bergetar.
"Terima kasih, Kakak," ucap gadis kecil itu dengan nada yang parau. "Terima kasih karena telah mengeluarkanku dari lemari menyeramkan ini, Kakak." Ah, ya ampun, rupanya gadis itu benar-benar terperangkap di dalam lemari mayat tersebut, aku tidak bisa membayangkan bagaimana seramnya berada di dalam benda yang seharusnya untuk mayat itu, pasti rasanya mengerikan.
Aku dan Tante Eliza berlari kecil mendatangi gadis imut itu. Yoga masih menampilkan eskpresi kagetnya dengan mata yang terus-terusan memandang gadis kecil itu, entah kenapa aku merasakan sesuatu yang menyebalkan dari lelaki itu. Mendengar gadis itu mengucapkan terima kasih padanya, Yoga buru-buru mengubah ekspresinya menjadi pucat kembali, lalu dia mengusap rambut merah gadis itu dengan lembut.
"Jangan takut, mulai saat ini, aku akan menjagamu." kata Yoga merespon ucapan gadis itu dengan suara serak-serak basahnya. Gadis itu langsung mendongakkan kepalanya untuk melihat ekspresi Yoga dan dia tersenyum senang.
"Ya ampun," Sesampainya di dekat mereka, Tante Eliza menjongkokkan tubuhnya untuk setara dengan gadis kecil itu. "Aku kira ada sesuatu yang menyeramkan dari dalam lemari itu, tapi lihatlah? Aku malah menemukan seorang gadis cantik berambut merah yang keluar dari lemari. Mengapa kau bisa terperangkap di dalam benda ini, sayang? Oh, sebelumnya, siapa namamu?"
Gadis kecil itu mengembungkan pipinya dan tersenyum. "Namaku Mita, Mama." Dengan polosnya, gadis kecil itu menyebut Tante Eliza dengan sebutan 'mama', membuat wanita bercadar itu tercekat.
"Jadi namamu Mita, ya?" kata Tante Eliza dengan tersenyum pada Mita. "Lalu, mengapa Mita bisa terperangkap di dalam lemari ini? Apakah karena ulah dari orang jahat? Jika benar, siapa orangnya? Atau kau bisa sebutkan saja ciri-cirinya pada Mama, ayo?" Kelihatannya Tante Eliza menyukai sebutan dari Mita, tapi jika dipikir-pikir, wanita itu memang cocok untuk disebut dengan sebutan tersebut, karena sifatnya sangat keibuan sekali.
Mita menundukkan kepalanya. "Aku tidak mengingatnya, Mama," Ungkapan Mita membuat semangat Tante Eliza menurun. "Yang kuingat hanyalah ketika aku dipilih menjadi perwakilan penulis w*****d dari genre humor oleh Papa bertopeng di ruang kelasku. Hanya itu saja, selebihnya, aku tak ingat."
Astaga. Aku, Yoga, dan Tante Eliza terbelalak mendengarnya, ternyata Mita itu bukan sembarang anak kecil. Dia juga salah satu penulis yang terlibat dalam pertarungan mematikan ini. Namun, entah mengapa, perasaanku mengatakan bahwa penyebab Mita bisa terperangkap di dalam lemari adalah ulah dari penulis-penulis lain yang bertarung dengannya.
Membayangkan seorang anak kecil bertarung melawan orang dewasa membuat kepalaku pening, aku tak tahan jika itu memang terjadi, karena itulah, aku langsung menarik lengan kanan Mita untuk berhadapan denganku, kemudian, aku segera memeluknya dengan erat, membuat gadis kecil itu tidak paham pada apa yang kulakukan.
"Aku tidak akan membiarkan penulis lain menyakiti gadis imut sepertimu, Mita. Buatlah tim denganku! Aku berjanji akan melindungimu dengan darah dan dagingku, Mita!"
Serentak, Yoga dan Tante Eliza terperangah mendengar ucapanku yang mengejutkan itu, mungkin mereka tidak mengira kalau aku ingin membuat tim dengan anak kecil seperti Mita, yang pastinya bakal menyusahkanku dalam turnamen ini, tapi aku tidak peduli. Hatiku sudah sepenuhnya tertarik pada Mita, aku ingin melindunginya.
Sendirian di tengah pertempuran itu sangat menakutkan, karena itulah, aku bersyukur bisa bertemu dan berteman dengan Tante Eliza dan Yoga, tanpa mereka, aku tidak akan mengetahui aturan dan cara bertarung di turnamen ini, berkat mereka berdua, aku bisa sampai sejauh ini, bahkan telah mampu membunuh lawan yang berbahaya dan mendapatkan poin. Jika dibandingkan dengan diriku yang dulu, mungkin sekarang aku sudah mati dibunuh oleh penulis lain. Sungguh, ucapan terima kasih saja menurutku tidak cukup untuk membayar kebaikan mereka dalam menemaniku selama ini.
Dan sekarang, aku juga bersyukur karena telah dipertemukan dengan seorang anak gadis yang terperangkap di dalam lemari mayat, mungkin, ini akan menjadi giliranku untuk melindungi nyawa seseorang, seperti yang dilakukan Tante Eliza dan Yoga dalam melindungi nyawaku. Ya, semoga aku bisa menjadi teman yang baik untuk Mita, gadis kecil berambut merah itu, yang kini sedang ada di dekapanku, melingkar dalam pelukan hangat. Sorotan mata dari Tante Eliza dan Yoga terasa begitu menghangatkan, membuat suasana yang seharusnya seram menjadi menenangkan.
Beruntung, karena aku belum memilik tim, akhirnya aku mengajukan diri untuk membuat tim bersama Mita, dan senang sekali ketika dia menerima tawaranku. Yoga kelihatan kecewa karena Mita mau jadi timku, terlihat jelas dari matanya, jangan-jangan, lelaki itu tertarik pada gadis kecil ini. Astaga, padahal seharusnya dia sadar kalau saat ini Tante Eliza sudah menjadi partnernya dalam sebuah tim, tapi mengapa dia terlihat menginginkan Mita untuk menjadi bagian dalam timnya? Baru kali ini aku melihat Yoga begitu kecewa terhadap sesuatu, padahal biasanya, dia itu selalu tidak peduli pada segala hal yang menurutnya merepotkan.
Saat ini, kami sudah keluar dari tempat penyimpanan mayat, melangkah lebih jauh dari tempat sebelumnya, dan tanpa disadari kami sudah sampai di depan sebuah pintu besar yang terbuat dari kayu jati dan di setiap lekuknya terdapat ukiran-ukiran berbentuk ombak, yang membuat nuansa dari pintu tersebut sangat indah. Pintu itu memiliki dua jalan sekaligus, yang dapat dilalui oleh banyak orang. Awalnya, aku tidak begitu tertarik dengan bagian dalamnya, tapi setelah mendengar ucapan Tante Eliza,
"Kurasa ini merupakan ruang pertemuan orang-orang dari kalangan atas, apa kalian tertarik untuk masuk ke dalamnya?"
Aku jadi tertarik untuk masuk ke dalam pintu itu. Lantas, karena begitu penasaran, aku menghampiri gagang pintunya. "Bagaimana kalau kita memeriksanya dulu? Mungkin saja ada sesuatu yang berguna di dalam sini untuk kita gunakan dalam turnamen ini, seperti ... umm .. sebuah senjata atau sejenisnya?" Yah, kelihatannya mereka bertiga sudah terpengaruh oleh ajakanku, akhirnya, kami sepakat untuk masuk ke dalam, tapi, yang jadi masalah sekarang adalah, pintu tersebut tidak dapat dibuka, alias sudah terkunci.
Alhasil, aku dan yang lainnya kecewa pada pintu besar di hadapan kami ini, padahal kami ingin memasukinya, tapi mengapa pintu ini terkunci? Benar-benar mengecewakan, aku jadi kasihan pada Yoga yang sudah merasakan kecewa dua kali.
"Kalau begitu, kita lupakan saja ruangan ini dan lanjutkan perjalanan." Entah mengapa, mendengar Tante Eliza berkata demikian membuatku ingin menyanggahnya.
"Tu-Tunggu dulu!" Dan aku pun menyanggahnya. "Terlalu cepat untuk menyerah, bagaimana kalau--"
"Kita sudah tidak punya waktu lagi untuk mencari sebuah kunci pada situasi seperti ini, Anita," jawab Tante Eliza dengan nada yang begitu dingin padaku. "Jika sebuah ruangan telah dikunci, itu artinya, ruangan tersebut merupakan tempat yang tidak boleh dimasuki oleh peserta turnamen seperti kita, kau paham?"
Bibirku langsung cemberut mendengar penjelasan dari Tante Eliza yang seakan-akan melarangku untuk berbuat seenaknya, padahal aku hanya ingin memastikan saja.
"Aku juga," Tiba-tiba Mita bersuara dengan suara yang begitu rendah, membuat kami harus mengheningkan suasana dulu untuk bisa mendengarnya dengan jelas. "Aku juga ingin masuk ke ruangan itu, Mama."
Ah, aku senang sekali mendengar Mita memiliki pikiran yang sama denganku, baiklah, mungkin saja Tante Eliza bisa bersikap lunak pada gadis kecil seperti dia, semoga saja wanita bercadar itu mengabulkan permintaannya dan mulai bekerja sama untuk mencari kunci dari ruangan itu bersama-sama, tapi sayangnya,
"Tidak, sayang," ucap Tante Eliza yang langsung mendatangi Mita dan mengusap-usap rambut merahnya. "Kita tidak boleh masuk ke ruangan itu, jika orang dewasa berkata tidak boleh, maka kamu harus menurut, apa Mita paham?"
"TIDAK MAU!"
Aku dan Yoga terkejut ketika melihat Mita berteriak pada Tante Eliza karena menolak untuk menuruti larangan wanita bercadar itu. Aku memang senang sih mendengar Mita punya kemauan yang sama sepertiku, tapi dia tidak perlu berteriak kencang seperti itu pada Tante Eliza yang merupakan wanita paruh baya, aku yakin, Mita reflek melakukannya karena dia memang ingin masuk ke sana.
"Eliza," Yoga berbicara dengan suara serak-serak basahnya yang begitu khas. "Turuti saja kemauannya, akan merepotkan jika kita melarangnya." Aku suka pada kata-kata Yoga yang begitu blak-blakan dalam berucap, itu adalah kelebihannya yang dapat berguna untuk menghancurkan pendirian kokoh dari Tante Eliza.
Dengan mata yang begitu sayu, Tante Eliza tersenyum tipis, dan kembali beranjak untuk berdiri tegak, lalu dia menatapku.
"Ayo kita cari kuncinya bersama-sama."
Rasanya seperti ada kembang api di seluruh hatiku setelah mendengar Tante Eliza berkata begitu, dengan semangat yang membara, aku ikut untuk mencari kunci pintu ruangan ini di berbagai sudut, walau hasilnya tetap sama saja, tapi aku tidak akan menyerah, karena keyakinanku berkata kalau kunci itu pasti ada di sekitar sini.
"Oh, ada. Aku menemukannya." Ini serius, aku menemukan kuncinya tepat di bawah sepatuku, telah terinjak olehku, dan aku langsung mengambilnya. Tante Eliza, Yoga, dan Mita, secara serentak menghampiriku dan memandang bentuk kunci mungil yang sedang kupegang ini.
"Wah, bentuk kuncinya lucu sekali, ya?" Tante Eliza tersenyum pada Mita sambil tangannya mengusap rambut gadis cilik itu? Sementara Yoga kelihatannya tidak begitu tertarik untuk memandang kunci itu terlalu lama, dia segera mengambil kunci yang ada digenggamanku dan tubuhnya bergerak ke depan pintu besar itu sendirian, aku dan yang lainnya menatap punggung lelaki pucat itu yang kini sedang berusaha memasukan kunci itu ke dalam lubangnya.
Cklek!
Suara kunci yang telah berhasil diputar oleh Yoga membuat pintu besar itu terbuka dengan sendirinya, aku, Mita, dan Tante Eliza begitu takjub saat perhatian kami fokus ke pergerakan pintu yang pelan-pelan membuka itu, dan menampilkan sebuah ruangan yang di dalamnya terdapat meja bundar berwarna emas dengan diselimuti taplak meja bernuansa hijau serta kursi-kursi yang dipenuhi dengan pot-pot berisi bunga-bunga mawar putih.
Tentu saja, melihat keadaan yang tidak normal seperti itu membuat kami berempat terheran-heran dengan kondisi di dalam ruangan tersebut, Tante Eliza yang masuk paling pertama ke dalam tempat itu, lalu disusul oleh Yoga, Mita, dan diriku. Kepalaku tidak bosan-bosan untuk menoleh kesana-kemari, melihat-lihat benda-benda kantor yang dihiasi dengan hal-hal tak wajar. Selain kursi-kursi yang dipenuhi oleh pot dari bunga-bunga mawar putih, banyak sekali keanehan lain yang ada di dalam ruangan ini, membuat aku sampai terus-terusan mengernyitkan kening karena kebingungan.
"Mengapa tempat ini dipenuhi dengan tumpukan benda-benda yang tidak seharusnya bersama, Tante?" tanyaku saat mataku masih tertuju pada laci yang dipenuhi dengan anting-anting serangga, jejak sepatu kami menimbulkan bekas berwarna merah di lantai, membuat keramik perak di tempat ini dipenuhi dengan bercak-bercak merah dari sepatu kami.
"Aku juga tak mengerti," jawab Tante Eliza yang terlihat sedang memandangi lukisan gunung yang dihujani paku, mukanya merenung, sama sepertiku yang terheran dengan keanehan suasana ini. "Berdasarkan apa yang kuingat, ini merupakan tempat pertemuan antar orang-orang kalangan atas, tapi mengapa jadinya seperti ini?"
Yoga bersin mendadak, membuat suaranya memantul-mantul di ruangan ini, kemudian, dengan nada yang lemas, lelaki itu merespon ucapan Tante Eliza, "Ingat? Apa maksudmu kau pernah ke tempat ini, Eliza?"
"Tentu saja, aku pernah," Tante Eliza menghembuskan napas beratnya, dia memain-mainkan cadarnya dengan jemarinya, aku dan yang lainnya langsung mengalihkan perhatian kami pada wanita berkerudung itu. "Karena aku adalah pemenang dari turnamen antar penulis w*****d tiga tahun yang lalu, bukan bermaksud menyombongkan diri, hanya saja, aku sudah tahu berbagai rute dari gedung ini agar kita bisa lolos, termasuk ruangan-ruangan di seluruh gedung ini, tapi aku terkejut, karena ruangan ini berbeda dari sebelumnya."
"E-EEEH!? Ya-Yang benar saja!? Ta-Tante Eliza adalah pemenang dari turnamen tiga tahun yang lalu? Hebat sekali! Aku tidak pernah menduganya! Tapi, tidak heran sih, dari kita berempat, hanya Tante yang usianya paling matang, jadi aku rasa Tante sudah pernah mengalami hal-hal seperti ini."
Pekikanku yang melengking membuat Yoga dan Mita serentak menutup kupingnya dengan jemarinya, sementara Tante Eliza hanya terkekeh melihatku. Benar-benar mengejutkan! Kupikir Tante Eliza itu hanyalah seorang wanita paruh baya biasa yang baru menulis di w*****d dan terlibat dalam turnamen ini, tapi rupanya dia sudah lama menulis di dunia oren dan juga sudah pernah ikut dan memenangkan turnamen antar penulis yang menakutkan ini. Waw, sebuah pencapaian yang luar biasa.
"Jadi, dulu juga kau menang dari perwakilan genre Acak, Eliza?" Pertanyaan dari Yoga telah membuat kekehan Tante Eliza semakin nyaring. "Kenapa kau malah tertawa, Eliza? Apa aku salah?"
"Tidak-tidak, kau tidak salah, Yoga. Aku tertawa karena pertanyaanmu terkesan lucu saja," Kemudian, tawa Tante Eliza berhenti dan dia mulai serius. "Ya, sama seperti sekarang, aku merupakan perwakilan dari genre Acak, yang telah memenangkan turnamen menakutkan ini, tiga tahun yang lalu. Dari pada itu, kita kesampingkan dulu masa laluku, sekarang, kita harus bisa memecahkan masalah yang sedang ada di sekitar kita, mengenai ruangan ini yang dipenuhi dengan hal-hal yang aneh, jadi, bagaimana? Apakah ini semua adalah ulah dari orang-orang kalangan atas? Atau mungkin--"
"Dari penulis tampan sepertiku?"
Tiba-tiba, perkataan Tante Eliza terpotong oleh suara berat seorang pria yang muncul tepat di atas meja bundar berwarna emas itu, yang posisinya ada di tengah-tengah ruangan. Lantas, aku, Tante Eliza, Mita, dan Yoga terkejut oleh kehadiran pria asing yang memakai jubah merah serta mahkota perak itu, yang kini dia sedang menyeringai menyoroti kami berempat.
"Siapa kau!?" Aku langsung bertanya dengan nada yang membentak sambil berlari kecil ke posisi Mita untuk melindungi gadis itu.
Bola mata merah pria itu langsung terguling ke arahku, dan dia tersenyum senang mendengar pertanyaan itu. Lengan yang diselimuti oleh kain kebesaran dari jubah merahnya itu di acungkan selebar-lebarnya ke atas, membuat kami berempat tidak mengerti apa yang sedang pria itu lakukan.
"Pertanyaan yang bagus, sudah seharusnya, penulis-penulis rendahan seperti kalian bertanya mengenai siapa diriku ini?" Dia langsung menghentamkan kedua kakinya ke meja dan menatap kami dengan tatapan tajam. "Ingatlah nama yang agung ini! Namaku adalah ZAKARIA! Seorang penulis handal dari dunia oren! Yang berasal dari genre FIKSI SEJARAH! Yang juga akan memurnikan jiwa-jiwa kotor kalian! HAHAHAHA! Ayo! Pujalah diriku ini! HAHAHAHA!"
Aku menganga tidak percaya melihat tingkah pria itu, Yoga mendecih dengan wajah pucatnya, sepertinya dia benci melihat orang aneh, sementara Tante Eliza mengerutkan keningnya bingung mengamati sikap unik pria itu, dan Mita ketakutan melihat pria bernama Zakaria itu, bibirnya bergetar.
"Aku ingat!" Mita menjerit. "Dialah ... yang telah menyiksa dan mengurungku di lemari mayat! Kakak!"
Ungkapan Mita langsung membuat wajah Zakaria menyeringai bahagia. Aku, Tante Eliza, dan Yoga kaget mendengar pengakuan Mita, dan kami langsung siap siaga melindungi gadis itu jika pria menyeramkan itu mengeluarkan serangan tiba-tiba.
"Jadi, kita bertemu lagi, ya? Marmut Kecil." Zakaria melirik ke arah Mita dengan senyuman gemas.