3. Dia yang Ingin Mati Sia-Sia!

1190 Words
Mendengar kabar bapak yang sudah sadar, seakan menjadi pelontar agar aku mempercepat langkahku. Kuabaikan mereka berdua dan aku langsung menuju ke kamar bapak. Pria yang menjadi cinta sejatiku tersebut masih bersembunyi di balik masker oksigennya. Tapi setidaknya, kini bola mata yang sayu itu menatapku. “Bapak,” tuturku dengan segera berlari ke arah bapak dan Pak RT yang telah kembali menemani. “Shanum ...,” panggil bapak dengan lirih. Tangannya tampak rapuh dan berusaha bergerak, tapi mungkin dia terlalu lemah hingga hanya ujung jari saja yang mampu digerakkan. “Bapak ...,” panggilku lagi sambil mendekat ke arahnya. Kucium tangan keriputnya dengan warna kulit coklat tua tersebut. Sembari berderai air mata, aku bisa melihat jika sedikit sudut bibir sedang naik di balik masker. Apa yang membuat dia tersenyum? Kondisinya bahkan belum bisa dikatakan baik-baik saja, tapi dia bisa tersenyum bahagia? “Kenapa bapak seperti ini? Kenapa bapak menyelamatkan orang lain kalau hanya akan membuat seperti ini?” kesalku sambil terus menangis dan tak bisa menahan air mata. Aku mendengar melalui pembicaraan Pak RT dan yang lainnya, mereka berkata jika saat itu bapak melihat seorang pemuda berjalan di bawah pantai karang menuju ke tengah laut. Pemuda itu hampir hanyut dan bapak menyelamatkan, tapi malah bapak yang terseret ombak. Sebenarnya ... apa yang dipikirkan oleh Rasya saat ia hendak berjalan menuju ke tengah lautan? Kenapa dia mau membahayakan diri sendiri? Kalau dia mau mati, kenapa harus di depan orang lain? Kenapa dia ingin menenggelamkan diri di tempat yang akan dilihat banyak orang? Hatiku rasanya memanas dan penuh kekesalan terhadap anak orang kaya yang telah membuat kondisi bapakku menjadi demikian. Tapi ... di sini aku hanya bisa menangis, yang pastinya air mataku ini tak bisa menyelesaikan apa-apa. “Kamu ... beruntung, Neng. Ini sudah jalan untuk kita ...,” ucap bapak secara tiba-tiba. Tangannya yang bergetar, terulur mengusap kepalaku. Aku hanya bisa menggelengkan kepala, sembari menolak apa yang diucapkan oleh bapak. “Bapak tidak bisa menemani kamu lagi lebih lama ... tapi sebagai gantinya, Nak Rasya yang akan menikah dengan kamu,” lanjut bapak dengan napas yang tersengal-sengal. “Bapak ini ngomong apa? Bapak yang akan nemenin Shanum sampai nanti. Sampai Shanum lulus kuliah, kerja, bisa ngebahagiain bapak. Kenapa bapak berkata seperti itu?” tuturku dengan suara yang agak sengau karena hidungku yang tersumbat. “Keluarga Nak Rasya bersedia menjadikan kamu menantunya. Kamu bisa melanjutkan mimpimu jika kamu hidup dengan dia.” Kalimat bapak yang ini membuat aku tersentak. Tapi sepertinya bukan hanya aku, karena seseorang yang sedang berdiri di depan pintu pun ikut terkejut mendengarnya. “Apa?” ungkapnya terkejut. Aku menoleh dan melihat pemuda itu bersama kakaknya. Dia sama sekali tak menunjukkan wajah bersalah dan sekarang aku mau dinikahkan dengannya. Hal ini sungguh benar-benar membuat aku kesal. “Shanum, izinkan saya memperkenalkan diri lagi.” Kakak dari Rasya ini mendekat padaku. Sementara aku masih mematung karena ucapan bapak terlalu mengejutkanku. “Panggil saya Aksa, Mas Aksa. Bisa kita bicara di luar?” tanyanya dengan suara yang tegas tapi terdengar ramah. Aku pun mengangguk dan mencoba untuk membicarakan hal ini dengan mereka. Mana mungkin ketika bapakku berkata ingin menikahkan anaknya denganku lalu serta merta mereka setuju kami langsung menikah. Itu sangat tidak mungkin. “Mas Aksa, emm ... sepertinya ... saya kurang paham dengan ucapan bapak yang barusan. Lalu hal itu terlalu mendadak untuk saya,” ucapku berterus terang. “Saya paham, tapi rasanya, Rasya memiliki hutang nyawa pada bapakmu. Dan itu adalah satu-satunya yang diinginkan oleh bapak. Dia ingin melihat kamu menikah,” jawab Mas Aksa dengan nada yang tenang. Sementara di sini aku merasa panik, begitu pula dengan Rasya yang sedari tadi berjalan mondar-mandir di koridor rumah sakit. Aku yakin dia juga pasti tak akan setuju dengan rencana ini. “Tapi ..., Mas. Saya bahkan baru lulus SMA. Saya juga ... tak bisa menikah dengan orang yang baru saya kenal,” jujurku karena ini sangat berat. “Kamu bisa pegang ucapan saya. Kalau kamu tidak mengenal saya, ini ....” Mas Aksa memberiku secarik kartu nama. “Itu kartu nama saya, kamu juga bisa cari di internet dengan mengetik nama panjang saya. Kamu cari, siapa saya dan kamu akan menemukannya. Kamu pegang ucapan saya, saya mengenal Rasya dan saya tahu bagaimana dia. Jika suatu saat dia memperlakukanmu dengan tidak baik, kamu bisa mengunggah apa pun itu tentang keluarga kami di media sosial. Reputasiku dan keluargaku jadi taruhannya.” Dia bahkan sampai berkata demikian padaku. Aku harus apa? “Shanum, saya mengerti rasanya kehilangan orang tua yang sangat saya cintai. Saya mengerti bagaimana perasaan itu dan rasa sesal yang menghantui seumur hidupmu ketika kamu tak bisa mewujudkan keinginan terakhirnya. Saya mohon ... agar Rasya juga tidak terbebani rasa bersalah itu selamanya,” tuturnya dengan kalimat berkaca-kaca. Dari kalimatnya, aku bisa merasakan rasa pedih dan sakit yang diucapkan oleh Mas Aksa. Apa dia juga pernah kehilangan orang tua? Kalau begitu, orang tua Rasya juga tidak utuh? “Saya ... berharap bapak saya untuk hidup.” Aku berlari dan meninggalkan mereka yang berdiri di koridor depan kamar. Aku tidak mau menyesal karena tak bisa mewujudkan keinginan bapak. Tapi ... bukan berarti aku mau menikah dengan Rasya sekarang juga. Karena aku masih berharap bapak bisa tetap hidup sampai aku benar-benar telah membahagiakannya nanti. “Mas, kenapa Mas berkata seperti tadi kepada Shanum? Kenapa Mas Aksa tidak bicarakan dulu dengan aku? Yang mau menikah itu aku, Mas!” Aku mendengar suara Rasya yang marah pada kakaknya di luar ruangan. “Sudahlah, Rasya. Agar semua cepat selesai. Jika keinginan Bapaknya Shanum terpenuhi, setidaknya kamu tidak dihantui rasa bersalah. Bapaknya Shanum hampir mengorbankan nyawanya untuk kamu!” ujar Mas Aksa pada adiknya. “Aku yang mau mati, Mas. Aku yang mau menenggelamkan diri! Kenapa dia yang menghampiriku? Aku tak pernah meminta dia untuk menggantikan aku mati!” ketus Rasya yang terdengar cukup marah. Aku meremas rok sambil duduk di samping bapak. Beruntungnya, bapak kini telah tertidur lagi sehingga tak perlu mendengarkan pertengkaran di luar tersebut. “Pak, mohon tenang! Banyak pasien sedang istirahat!” pungkas seorang perawat yang mengingatkan mereka. Aku pun bergegas keluar dan menemui Rasya. Teganya dia menganggap jika pengorbanan bapakku adalah kesalahannya. Tak pernah ada orang yang ingin mati saat mereka hidup dengan bahagia. Bahkan ketika melihat orang hendak mati pun, dia susah payah menyelamatkannya agar tetap hidup. “Rasya! Kalau kamu tidak mau menikah denganku, setidaknya jangan salahkan pengorbanan bapakku! Jangan pernah berkata seolah-olah jika dia ingin menggantikan kamu mati! Kalau kamu mau bunuh diri, pergi sana! Yang jauh! Jangan sampai ada orang yang melihatmu sehingga orang ingin menyelamatkanmu!” bentakku pada Rasya. Aku benar-benar tak tahan dengan omongannya tadi. “Apa kamu ...!” “Sudah! Cukup!” tegas Mas Aksa yang memotong ucapan Rasya. “Kita turuti permintaan Bapaknya Shanum! Meski begitu, bukan berarti kita menganggap ini adalah permintaan terakhirnya. Kita tetap mendoakan agar bapakmu bisa sembuh total. Tapi ... saya tetap akan meminta Rasya menikahimu! Karena menjadi sebuah bentuk pertanggungjawaban!” Rasya berdecak karena kesal. Dia berbalik membelakangi kami. Sementara itu, Mas Aksa berkata lagi. “Aku tidak mau terlalu lama di sini mengurusi urusanmu, Rasya! Jadi aku harap kita segera selesaikan dan kamu harus bertanggungjawab atas hidup Shanum!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD