“Apa kak Alex inget soal Boston?”
Alex yang sedang melihat-lihat menu langsung mengalihkan fokusnya kepada Cassie. “Kenapa dengan Boston?” pria itu malah balik bertanya.
Cassie memajukkan wajahnya ke depan meja dan berbisik, “Kak Alex stalker.”
“Maksud kamu? Stalker apa?”
“Kak Alex ngikutin aku terus,” ujar Cassie dengan nada serius.
Alex mengerutkan keningnya. “Aku bukan stalker.”
“Kak Alex lupa? Kak Alex selalu mau tahu aku di mana, sama siapa, makan apa, lagi ngapain.” Cassie menjelaskan dengan hiperbola. “Aku inget, sampai aku ke kamar mandi aja kak Alex ngikutin.”
“Satu lagi, Kak Alex bahkan masuk ke apartemen aku malem-malem!” Cassie menambahkan dengan ekspresi yang lebih serius dan bergeridik. “Dasar stalker.”
“Kenapa aku terkesan seperti melakukan hal kriminal? Aku gak ngikutin kamu ke kamar mandi ya, Cassie. Kamu sendiri yang minta diantar.” Alex harus membuka mata wanita yang duduk di hadapannya ini tentang kebenaran.
“Dan soal masuk ke apartemen kamu malam-malam, itu karena kamu datang bulan dan perut kamu sakit. Kamu bilang; Kak Alex tolong ke sini, aku gak mau mati sendirian.” Alex meniru nada suara Cassie yang merengek saat meneleponnya.
Meski hal itu sudah bertahun-tahun lalu, Alex tak mungkin melupakannya, sebab Cassie menghubunginya pukul satu pagi dan menangis.
Siapa yang tidak panik?
Alex berjanji kepada Arik akan menjaga Cassie selama di Boston, wajar jika ia khawatir apabila adik temannya kenapa-kenapa. Karena Arik akan memarahinya.
“Dibanding dengan stalker, aku lebih mirip bodyguard yang tidak dibayar.” Alex meluapkan deritanya selama di Boston.
Cassie menimpali, “Kenapa baru mengeluh sekarang? Bilang dari dulu dong ke kak Arik.”
“Aku gak mengeluh, hanya menjelaskan,” kata Alex. “Apa kamu risi waktu itu?”
“Gak terlalu.” Cassie mengangkat bahunya. “Cuma kadang kak Alex nyebelin kalau udah ngatur-ngatur soal jam malem.”
“Bukan aku yang mengatur, Cassie. Arik yang posesif.” Alex menjelaskan dengan sabar.
“Sama aja.”
Karena mereka berdua mengobrol, Cassie sampai lupa bahwa di meja sebelah ada teman-teman SMA-nya, beserta Tavisa Wyne tentu saja.
Ketika Cassie menghentikan pembicaraan soal Alex yang jadi stalker saat di Boston, ia melirik ke meja sebelah dan menemukan Tavisa tampak memperhatikan ke meja Cassie dan Alex. Apa si ratu ular itu menguping?
“Tapi aku suka kak Alex ada di Boston selama aku kuliah.” Cassie mengeraskan suaranya, sampai Alex saja menatapnya penuh tanya.
Cassie meneruskan sandiwara agar Tavisa dengar, “Kak Alex menjaga aku selama di Boston. Makasih, sayang.”
Alex hampir tercekat saat tangannya yang memegang buku menu diambil oleh Cassie untuk diusap dan digenggam. Tak lupa Cassie memasang senyum—yang siapa pun jika melihatnya pasti berpikir semua kata-kata wanita itu serius.
Cassie benar-benar agresif dan pandai merubah ekspresi wajah serta suasana.
Apa wanita itu ikut kelas akting? Alex tidak tahu.
“Kak Alex inget gak waktu itu aku demam dan kakak bawain aku brownis?” Cassie menendang kaki Alex di bawah meja sebagai kode agar Alex membalas kata-katanya dengan kebohongan.
Setelah makan nanti, Alex akan protes dengan kebiasaan Cassie yang satu ini. Karena kaki Alex bukan bola, Cassie tidak boleh semena-mena padanya.
Dan mengapa juga Alex menerima diperlakukan seperti ini?
Jika Cassie bukan adiknya Arik, sudah pasti Alex tinggalkan untuk makan sendiri.
“Kamu makan brownisnya sangat banyak padahal lagi diet,” balas Alex dengan asal.
Kenyataannya, tidak ada adegan Cassie demam atau Alex membawa brownis.
Jika Cassie demam, wanita itu akan tidur seharian dengan kompresan di dahi dan Alex tidak mengirimkan makanan.
Sebenarnya saat di Boston, mereka berdua tidak sedekat itu untuk memberi tahu keadaan tubuh masing-masing.
Kecuali saat Cassie datang bulan, itu adalah pertama dan terakhir kalinya Cassie merengek kepada Alex.
Sisanya, mereka seperti orang asing. Cassie yang menganggap Alex orang asing.
“Makasih selalu perhatian sama aku ya, kak Alex.” Cassie tersenyum lagi lalu dirinya melirik Tavisa seolah dirinya adalah sang juara.
Menunjukkan kepada Tavisa bahwa Cassie Irvadia Hartono mengenal Alex lebih dari Tavisa. Bahwa Cassie Irvadia Hartono lebih cocok jadi Nyonya Madava.
“Cassie, kamu gemes banget panggil Alex ‘kakak’.” Sheila berkomentar, disetujui oleh dua temannya yang lain. Tentunya Tavisa tidak mau mengakui kegemasan yang dilakukan musuhnya.
“Gemes? Masa, sih?” Cassie menyerongkan duduk untuk menatap teman-temannya. “Aku sama kak Alex udah begini sejak lama, bahkan sebelum kita memutuskan untuk menikah.”
“Kapan kalian akan menikah?” Lyta, teman Cassie yang lainnya kini bertanya langsung. “Aku yakin pasti pestanya akan sangat mewah, kan? Kita diundang gak, Cassie?”
“Pasti diundang.” Cassie mengangguk. “Nanti setelah tanggalnya fix, pasti ada undangan yang datang ke rumah kalian.”
“Kira-kira kapan fix tanggalnya itu?”
Itu adalah suara Tavisa Wyne, yang Cassie kira akan diam saja menahan kesal.
Tavisa Wyne menatap Cassie dengan alis yang terangkat sebelah. “Udah mencari tanggal atau gak yakin akan menikah dengan Alex?”
“Tavie...” Sheila memperingatkan teman yang duduk di sebelahnya agar tidak bersikap gegabah.
Perseteruan Cassie dan Tavisa diketahui semua alumni dan semakin memanas setelah kejadian di J’Land. Sheila hanya malas jika setelah ini mendengar omelan Tavisa terhadap Cassie. Sheila sebenarnya tidak peduli siapa yang akan menikah dengan Alex, ia hanya senang melihat pria seksi itu dan senang memperhatikan dua temannya ribut. Tapi Sheila tak mau ikut campur.
“Apa kalian beneran akan menikah?” Tavisa tidak memperdulikan kode dari Sheila. Sudah cukup Cassie membuatnya kesal.
“Tentu aku akan menikah dengan kak Alex,” jawab Cassie, langsung.
“Oh, ya? Kalau gitu kenapa aku gak melihat kamu pakai cincin?” Tavisa kini bersidekap dan menatap lurus pada Cassie. Gotcha! “Alex belum melamar kamu? Atau kamu berkhayal akan menikah dengan Alex?”
“Kamu memperhatikan aku sekali ya, Tavisa? Sampai penasaran begitu kenapa aku gak pakai cincin.” Cassie tidak suka dengan jenis suara yang dikeluarkan Tavisa namun ia akan menjawab setenang mungkin. “Kak Alex memberikan aku cincin dan itu terlalu berharga untuk dilihatkan kepada kamu.”
Alex ada di sana, satu ruangan dengan Cassie serta Tavisa, namun ia dibicarakan seolah kehadirannya hanya pajangan.
Alex tidak keberatan direbutkan oleh dua wanita cantik ini, namun ia tak mau menarik perhatian pengunjung lain yang mulai mencuri-curi lirik.
Dan Alex merasa suasana akan semakin memanas sehingga ia meminta Cassie untuk segera memesan. “Aku laper,” ujar Alex, agar semua drama ini selesai. “Cassie, bisa kita makan sekarang?”
“Permisi! Mas, mau pesan!” Sheila membantu Alex karena merasa ikut canggung akibat Cassie dan Tavisa. Ia memanggil pelayan restoran dengan cara mengangkat tangan kanannya.
“Cassie,” Alex mengalihkan perhatian Cassie dengan cara mengusap tangan wanita itu. “Mau makan apa?” tanyanya lembut.
Cassie menarik napas, dengan elegan membaca buku menu lalu memesan sushi.
“Aku pergi duluan ya, girls. Ada operasi mendadak.” Tavisa pamit kepada teman-temannya lalu tersenyum manis kepada Alex, “Enjoy your lunch, Alex.”
“Thank you.” Alex menjawab sebab ia akan mempermalukan Tavisa jika hanya diam saja. Alex tidak suka memperlakukan perempuan seperti itu.
“Cassie, Tavisa kan memang seperti itu. Jangan dipikirin.” Sheila berbicara kepada Cassie. “Dia sebenernya sedang denial tentang kamu yang mau menikah dengan Alex. Tavisa gak terima.”
“Aku tahu,” kata Cassie kepada Sheila. “Dari dulu dia memang selalu iri sama aku.”
Sheila mengangguk, kemudian mengatakan agar Cassie menikmati makan siangnya saja. Sheila dan dua teman Cassie tidak lama pamit setelah menghabiskan makanan mereka.
Setelah pesanannya datang, Cassie langsung melahap sushi sampai memenuhi mulutnya. Kembung.
Alex tahu keadaan hati wanita itu sedang tidak baik, namun cara mengunyah Cassie membuatnya ingin tertawa, sedikit. “Pelan-pelan makannya,” kata Alex.
“Kak Alex lihat sendiri kan kenapa aku benci sama si ular itu?” Cassie mengunyah dan menelan sushinya susah payah.
“Kalau kamu kesal berarti kamu kalah.”
“Apa maksudnya?!” Cassie menatap galak kepada Alex.
“Kamu ingin membuat Tavisa kesal, tapi malah kamu yang kesal. Gak ada maksud apa-apa, hanya berkomentar,” koreksi Alex.
Cassie menunjuk wajah Alex dengan sumpit. “Ini gara-gara kak Alex.”
“Kenapa aku yang salah?”
“Karena kak Alex nggak memberikan aku cincin!”
Alex tidak jadi mengambil sumpit untuk mulai menikmati makanannya, ia malah menatap lurus pada Cassie, “Kamu mau cincin? Habis ini kita beli. Kamu pilih sendiri.”
“Gak usah, deh.” Cassie kembali mengunyah sushi dengan santai.
Alex terkadang takjub dan juga heran dengan mood Cassie yang bisa berganti dalam beberapa detik. Tadi wanita itu sangat kesal, sekarang malah fokus makan dan memuji pilihannya sendiri karena menu yang ia makan sangat enak.
Cassie tidak pernah berubah. Seorang mood swing sejati.
“Kenapa gak usah?” Alex bertanya. “Kita beli aja, jadi semakin meyakinkan.”
“Dan untuk dilihat Tavisa?”
“Itu juga boleh.”
“Oke. Biar si ular itu kepanasan.” Cassie memiliki segudang ide di otaknya setelah ia memakai cincin dari Alex. Ia akan memastikan Tavisa melihatnya. Cassie akan memilih cincin yang paling berkilau! []
---------------------------------
Hai, apa kabar semuanya?
Follow my i********:; galeri.ken