4. Melihat Dia Lagi

1974 Words
Chandralekha Waktu itu terkadang bergerak seperti kereta api ekspress di Jepang. Rasanya baru kemarin menghabiskan waktu berdua bersama sahabatku liburan di Jepang. Ya, meski sempat terjadi banyak hal yang tidak diinginkan selama liburan berlangsung. Sebut saja salah kostum, itinerary berantakan, ketemu kasus yang secara tidak langsung menyeret aku di dalamnya dan hal yang paling menyebalkan adalah cincin berlian hadiah ulang tahun dari Mama ketinggalan di Jepang. Bisa-bisanya aku kehilangan fokus sampai-sampai tidak sadar kalau cincin keramat itu ketinggalan di dalam sarung tangan milik Bayu. Gara-gara cincin itu aku sampai tidak punya nyali pulang ke rumah Mama. Males aja berdebat cuma gara-gara cincin yang harganya tidak seberapa, tapi harus dengerin omongan Mama yang nyelekit sampai DNA. Aku yakin, segala umur mau 40 tahun tapi belum nikah akan jadi trending topic melebihi ketidak beradaan cincin itu di jemariku. Ah, ya. Bayu. Aku hampir saja melupakan nama itu. Sifat pelupa ini sepertinya harus segera diatasi kalau tidak ingin kehilangan semua barang-barangku suatu hari nanti. Menurut aku Bayu adalah satu hal baik yang hadir dalam liburanku yang kacau. Nggak baik-baik banget juga, sih. Karena bisa-bisanya laki-laki itu melupakan janjinya untuk menemaniku dan sahabatku liburan di Hokkaido. Meski dia sudah menjelaskan alasan kenapa tidak bisa memenuhi janji yang dia buat sendiri itu, tapi entah kenapa aku sudah terlanjur kecewa sama dia. Benar kata Mama, jangan terlalu menaruh harapan sekecil apa pun pada manusia kalau tidak ingin merasakan sakitnya sebuah kecewa. Lalu hari ini setelah beberapa minggu berlalu dan aku bahkan sudah lupa kalau pernah berkenalan dengan seorang laki-laki bernama Bayu, aku kembali mendengar nama itu disebut lagi oleh sahabatku. Seketika memori yang tidak seberapa banyak tentang laki-laki itu kembali berputar di benakku. “Jadi lo udah ketemu Bayu atau belum?” tanya Syfo. “Tapi kalau dilihat dari roman-roman wajah lo, tebakan gue kalian belum ketemu, sih. Wajah lo pasti naik setingkat lebih cerah kalau udah ketemu Bayu. Denger dia mau datang ke Indo waktu itu aja udah bikin mood lo baik sepanjang hari selama satu minggu.” Aku otomatis melempar gumpalan tisu bekas ke arah Syfo. “Lo pikir gue abege labil yang lagi kasmaran?” “Mungkin kalau lo benar-benar udah mau membuka hati buat Bayu, kayaknya lo bakal lebih parah dari abege labil yang lagi kasmaran.” “Fo, please! Nggak banget, deh. Yakali umur udah mau kepala empat tapi mau bertingkah kayak abg. Yang bener aja lo,” ujarku sambil mengibaskan tangan serta memutar bola mata. Oke, pendapat Syfo itu tidak sepenuhnya benar, tapi juga tidak sepenuhnya salah. Aku memang antusias menunggu kedatangan Bayu dari Jepang setelah Syfo mengatakan bahwa laki-laki itu akan datang ke Indonesia dalam waktu dekat. Dan tanpa aku sadari orang-orang yang ada di sekelilingku memerhatikan perubahan suasana hatiku setelah hari itu. Hampir rata-rata menegurku dan berkomentar kalau aku tampak lebih ceria dan lebih bersinar dari biasanya. Berlian kali, ah, bersinar. Namun aku menanggapi komentar-komentar itu dengan santai dan tidak berekspektasi apa pun soal Bayu. Salah satu dari perubahan yang terjadi dalam alur kehidupanku yang menjadi sorotan orang-orang terdekatku adalah aku jarang sekali menghabiskan waktu berlama-lama di rumah sakit karena aku akan segera pulang setelah jadwal praktekku usai. Kecuali ada panggilan operasi atau panggilan darurat lainnya yang mengharuskan aku kembali ke rumah sakit di luar jam praktekku. Puncak dari perubahan rutinitas harianku adalah aku sudah tidak lagi menjadi penunggu abadi IGD. Kalau dulunya sangat mudah mencari keberadaanku. Kalau tidak di ruang praktek ya, di IGD. Namun beberapa hari belakangan ini butuh meneleponku terlebih dulu kalau ada kepentingan di luar jam praktek dan tidak ada hubungannya dengan urusan rumah sakit. Semua itu terjadi karena begitu takutnya aku bertemu dengan Galih, membuat aku tidak berani berlama-lama berada di rumah sakit. Tidak ada yang tahu alasanku selain Syfo. Hanya saja sahabatku itu bersikap seolah alasanku jarang berada di rumah sakit bukan karena takut pada Galih, melainkan karena hal lain. Dan itu ada hubungannya dengan Bayu. “Berdasarkan laporan yang sampai ke telinga gue, lo bahkan sempat ke salon kecantikan tanpa ngajak-ngajak gue. Bener apa bener banget?” Syfo kembali membuka suara. “Yaelah, Fo. Apa salahnya, sih, ke salon kecantikan? Lo juga sering ke salon buat perawatan. Masa iya, gue bilang lo ke salon demi kelihatan lebih muda dari Sagara. Nggak juga, kan?” “Heh! Nggak gitu maksud gue. Kata mata-mata gue pokoknya lo lebih memedulikan diri sendiri beberapa hari terakhir. Tepatnya itu setelah gue bilang kalau Bayu mau datang ke Indo. Jadi, ya, gue narik kesimpulan kalau perubahan lo itu ada hubungannya dengan Bayu.” Syfo mengeluarkan seringai iseng. “Sayang aja, gue sibuk banget beberapa hari ini. Jadi nggak bisa nongkrongin rumah sakit buat buktiin semua laporan yang sampai ke telinga gue. Padahal gue penasaran banget sama kondisi lo yang mendadak sesuai jalur itu.” See! Syfo mulai memaksakan kebenaran alasannya. Gerakanku menyedot minuman sampai terhenti. Kalimat terakhir yang diucapkan Syfo itu nyaris saja membuatku tersedak minuman yang baru saja sampai kerongkongan. “Jadi selama ini hidup gue menyimpang dari jalur yang sebenarnya? Gitu?” komentarku. Syfo mengedikkan kedua bahu sambil mengangkat kedua alisnya, pose dia sedang membenarkan ucapanku. Dengan cueknya perempuan di hadapanku ini melahap makanannya tanpa merasa berdosa sedikitpun padaku. Well, tapi aku tidak sepenuhnya membantah pendapat Syfo. Kalau dipikir-pikir selama ini memang hidupku tidak pernah sesuai jalur. Tidak sesuai jalur bukan dalam arti harfiah. Maksudnya itu ketika semua orang sedang beristirahat aku malah nongkrongin IGD menemani dokter koas yang sedang dapat shift malam, padahal sebenarnya bisa bertemu di jam jaga normal. Itu salah satu contoh kehidupanku yang sudah di luar jalur. Hanya saja ketika aku sedang berusaha memperbaiki dan berjalan di jalur yang benar, Syfo malah memaksa mengait-ngaitkan perubahanku dengan kedatangan Bayu. “Jadi persiapan apa yang sudah lo lakukan untuk bertemu Kangmas Bayu?” “Emang mata-mata lo nggak ngasih info apa-apa lagi selain gue pernah ke salon kecantikan?” tanyaku dengan senyum sinis pura-pura. “Nggak, sih. Dia cuma bilang lo ke salon kecantikan, potong rambut dan ngubah warna rambut lo. Bener?” “Cukup valid.” Aku mengangguk santai. “Gue kebetulan udah bosan dengan gaya rambut dan warna rambut gue yang begitu-begitu aja selama beberapa tahun terakhir. Jadi gue memutuskan buat potong rambut trus kepincut sama promosi khusus pewarnaan rambut yang lagi ada di salon itu. Kebetulan tone warna yang sedang promosi cocok sama kemauan gue, ya, gue pikir nggak ada salahnya buat nyoba,” jelasku panjang lebar ke Syfo sambil mengibas-ngibaskan rambut baruku. “Sekalian buat nyambut kedatangan Bayu juga, kan?” “Teteup, ya, Wak? Udahan deh, bahas yang lain napa!” Syfo mengembuskan napas panjang. “Lo beneran nggak bisa buka hati lo buat cinta yang baru, ya? Yah, gue udah tahu jawaban lo, sih... Cuma kayak yang udah sering gue bilang, Lek. Sayang aja lo secantik ini, perfect segalanya, tapi lo kalah sama rasa trauma. Try to move on, Lekha. Kita berhak untuk bahagia dengan pasangan yang tepat.” “I’m trying. Dan lo tahu itu. Tapi nyatanya memang nggak segampang itu, Fo.” Mau gimana lagi aku adalah seorang anak perempuan yang ayahnya tidak hanya sekadar pernah selingkuh, tetapi juga perannya tidak dapat diandalkan meski sosoknya masih ada di dunia dan bahkan masih sehat walafiat hingga detik ini. Hal itu membuat aku mengalami trust issues kepada pria. Aku sulit percaya pada laki-laki. Tidak mudah bagiku mempercayai pria. Tapi sekalinya sudah percaya banget malah digebukin. Punya salah apa aku di masa lalu sampai diperlakukan tidak manusiawi oleh pria-pria yang pernah aku titipkan separuh hatiku pada mereka. “Iya, gue tahu, kok.. Tapi lo jangan putus asa, ya,” pinta Syfo. “Lo pasti bisa. Yang penting yakin aja dulu. Sisanya serahkan pada Yang Maha Kuasa. Gimana Chandralekha? Setuju saran gue, kan? You must try!” Aku tersenyum miris. Setuju, sih, setuju aja. Tapi menjalaninya itu yang sulit. Bayangan terdampar di IGD dengan wajah babak belur akibat perbuatan laki-laki b******k itu saja masih membekas dengan sangat lekat sampai detik ini, bagaimana aku mau memulai sebuah jalinan asmara yang baru? ~~~ Bayu Aksara Kalau tidak salah tadi aku melihat Lekha waktu makan siang di sebuah restoran yang ada di Senayan City. Awalnya aku nggak yakin perempuan itu Lekha melihat penampilannya yang hampir berubah 180 derajat dari terakhir aku melihatnya, ketika mengejar dia ke bandara beberapa waktu silam. Setelah melihat perempuan yang sedang bersamanya, yang kalau lihat dari keakraban mereka adalah Syfo, barulah aku yakin kalau itu Lekha. Tadinya aku mau menghampiri untuk menyapa mereka, tapi berhubung aku sedang bersama pengacara dan big boss Orland’s Fashion yang sedang fokus-fokusnya membahas kasus plagiarisme salah satu karya orginal desain milik desainer muda Orand’s Fashion, ya, aku terpaksa mengurungkan niat itu. Namun aku benar-benar tidak menyangka bisa melihat Lekha lagi. Aku pikir satu-satunya kemungkinan kami bakal ketemu lagi itu, kalau aku memang berniat untuk menemui dia lewat Syfo atau langsung saja menghampiri perempuan itu di tempat prakteknya. Tapi itu tidak ada dalam agenda kunjunganku ke Indonesia kali ini. Sebenarnya aku sendiri nyaris lupa soal pertemuanku dengan Lekha di Jepang. Lalu begitu melihat sosok Lekha lagi, rasanya semua memori tentang perempuan itu seperti langsung berputar dengan sangat jelas di otakku. Aku bukan mau bilang Lekha adalah sosok yang mudah dilupakan. Namun ketika teringat ucapan Pak Jerome beberapa waktu yang lalu sebelum akhirnya benar-benar bertemu dengan sosok Lekha, membuatku jadi menaruh perhatian lebih dan memiliki keinginan cukup kuat untuk mengenal perempuan itu. Kalau tidak salah ingat Pak Jerome waktu itu bilang bahwa, “Dia malaikat berwujud manusia versi saya. Kamu pasti akan jatuh hati padanya” dan “Intinya perlakukan dia dengan baik. Dia mudah tersinggung dan sedikit bertemperamen tinggi, jadi hati-hati kalau berbicara dengannya. Jangan sampai salah bicara. Selebihnya dia orang baik dan tulus.” Sayangnya belum apa-apa Lekha sudah membangun tembok yang cukup tinggi. Aku yang sudah lupa caranya berjuang memutuskan untuk melupakan Lekha begitu saja. Lagipula untuk apa juga aku memperjuangkan sesuatu yang belum jelas dan jelas-jelas menunjukkan gelagat tidak mau diperjuangkan. Ditambah lagi kasus plagiarisme yang menimpa salah satu produk Orland’s Fashion yang terjadi di wilayah kerjaku cukup menyita waktuku. Sehingga aku jadi tidak punya waktu lebih untuk sekadar berbasa basi mengakrabkan diri dengan Lekha. “Ngelamunin apa, Bayu?” Teguran Pak Jerome menyadarkan aku dari lamunan soal Lekha. Aku menoleh dan meninggalkan aktivitasku memandangi skyline kota Jakarta dari ruang meeting utama kantor Orland’s Group saat mendapati pemilik gedung perkantoran ini tengah berjalan ke arahku. “Nggak ngelamunin apa-apa, Pak. Maaf saya nggak dengar Pak Jerome masuk. Pandangan saya terlalu fokus melihat aktivitas lalu lintas siang kota Jakarta tercinta,” ucapku dengan tambahan nada bercanda di akhir ucapanku. Pak Jerome menarik salah satu kursi yang tersembunyi di bawah meja oval lalu mendudukinya. Aku mengikuti jejak Pak Jerome menarik salah satu kursi yang berjarak tiga kursi dari kursi Pak Jerome. “Kamu itu seperti kurang kerjaan saja melihat aktivitas lalu lintas siang hari,” komentarnya. Aku tertawa kecil mendengar ucapan bernada meledek yang diucapkan oleh Pak Jerome. “Kamu sibuk malam ini?” Aku menggeleng ragu menanggapi pertanyaan Pak Jerome. “Nggak, Pak. Kenapa?” “Saya ingin mengundangmu makan malam di rumah.” “Rumah siapa, Pak?” “Ya, rumah saya, Bayu. Memangnya kamu sedang menunggu ajakan makan malam di rumah seseorang sebelum saya?” “Pak Jerome bisa aja. Jam berapa saya harus sudah ada di rumah Pak Jerome?” tanyaku ingin memastikan. “Kalau bisa sebelum jam tujuh malam kamu sudah ada di rumah. Nggak usah terlalu formal. Ini hanya makan malam santai saja dengan anggota keluarga inti saya,” jawab Pak Jerome dengan nada santai. “Oke, kalau gitu saya usahakan datang tepat waktu.” “Baguslah! Kalau begitu saya tinggal dulu, ya, Bayu. Oh, ya. Jangan ngelamun. Kalau sedang kepikiran seseorang mending segera samperin orang itu biar tidak jadi beban pikiran,” ujar Pak Jerome sebelum berbalik badan meninggalkan ruang meeting utama. Samperin sih samperin, Pak. Tapi apa iya yang mau disamperin itu terima, tiba-tiba ada yang nyamperin? ~~~ ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD