Suami Idaman

1550 Words
“Kamu lihat, Laura. Suamimu pura-pura berduka cita atas kematianmu.” “Iya, aku ingin balas dendam. Jadikan aku Laura yang baru.” “Kamu yakin mau balas dendam?” tanya Mesya. Pertanyaan Mesya tidak dijawab oleh Laura. Wanita berjilbab itu keluar dari mobil memakai masker hitam dan kacamata hitam juga. Laura masuk dengan tatapan menajam. Bayangan saat suami dan adiknya saat menamparnya begitu jelas terekam jelas. Dia terus maju sampai berdiri di depan pintu. Tampak Raya memakai jilbab hitam sambil menangis menyandarkan kepalanya di pundak Bima. Tangan Laura mengepal erat. Dia membenci dua orang yang dulu sangat dia cintai. Lantaran orang terdekat itulah yang memberikan luka yang sangat jelas. Apalagi luka di wajah Laura tidak bisa hilang. Jadi seperti ada codet. “Dasar penipu,” lirihnya lalu Laura balik badan dan berjalan gontai dengan mengangkat wajahnya keluar dari halaman rumah itu. Laura kembali masuk ke dalam mobil. “Kita mau ke mana?” tanya Mesya. “Bawa aku ke apartemen Dirga.” “Ngapain ke sana?” “Cepat, Mesyaaaaa!” “Oke, Laura.” Mesya lekas menyetir, melaju dengan kecepatan tinggi. Satu jam kemudian. Dua wanita berhijab itu berdiri di pintu kamar apartemennya Dirga. Sedari tadi menekan bel tidak ada yang membuka pintu itu. Laura mendesah pelan sambil membuka kacamata. “Mungkin dia gak ada. Lagi di luar.” “Iya, mendingan kita pulang aja. Kamu itu lagi terpukul dan.” Belum saja Mesya melanjutkan ucapannya. Terdengar suara bariton yang menyapa mereka. “Kalian tunggu saya?” “Dirga, dari mana aja kamu?” keluh Mesya. “Baru pulang dari pemakaman. Tadi ada urusan sebentar. Ada apa, nih?” “Boleh bicara sebentar,” pinta Laura. “Tentu, silakan masuk!” Dirga melempar senyum. Mereka berdua pun masuk ke dalam apartemen Dirga. Tanpa basa-basi lagi. Laura mengutarakan maksud tujuannya. “Aku ingin di operasi wajah.” “Astaghfirullah, kamu yakin? Laura.” Mesya terkejut mendengar rencana Laura. “Tentu, yakin.” Senyumnya Laura kini misterius. Dia yang dulu polos sekarang di matanya penuh dendam. “Aku mau berubah bukan Laura yang dulu lagi. Kamu bisa carikan aku dokter yang bisa operasi wajahku?” Dirga menohok terduduk menatap lekat wajah Laura yang memang rusak. “Baiklah, saya akan bantu. Saya punya teman di bidang itu.” “Makasih, Dirgaaa!” seru Laura langsung melempar senyum. Dia sangat senang sekali mendapatkan jawaban dari Dirga. Laura duduk dan teringat kejadian masa lalu yang membuat wajahnya hancur. Flash back. “Raya! Jangan kayak gitu, dong. Kebiasaan banget, di sini ada Mas Bima belum berangkat kerja!” sentak Laura sambil menarik tangan Raya. Dia giring adiknya sampai ke kamar. Jelas Laura menegur Raya lantaran adiknya kerap memakai handuk saja berseliweran dari kamar mandi ke kamar. Berjalan gontai di hadapan Bima yang sedang menonton televisi. “Sorry, lupa. Hahahaha ... kebiasaan, kirain Mas Bima udah berangkat kerja,” jawab Raya dengan entengnya. Lantas dia tanggalkan handuk yang melilit tubuhnya. Handuk itu dilempar ke atas kasur. Kemudian Raya memakai pakaian dalam di depan Laura tanpa ada rasa malu sedikit pun. “Jangan kayak gini terus, kamu sudah gadis. Gak baik, lho. Pamer auratmu pada yang bukan mahramnya. Kalau selesai mandi, mendingan kamu bawa pakaian dari kamar dan pakai di sana.” “Iya, Mbak. Aku hari ini ada panggilan kerja. Mendingan Mbak keluar dulu, aku mau siap-siap,” usir Raya sambil mendorong Laura agar keluar dari kamar. Laura mendesah pelan melihat sikap adiknya yang belum bisa berubah. Padahal ini sudah ke sekian kalinya ditegur jangan berpakaian sexi dan jangan pakai handuk saja dari dalam kamar mandi. Dia melangkah lebar mendekati sang suami yang masih duduk di depan televisi. “Mas, mau sarapan apa?” “Apa saja yang penting buatan istri tercinta.” Bima mencubit gemas pipi Laura. Mereka berdua ini sangat harmonis dan serasi sekali saling menyayangi apalagi Bima suami yang perhatian serta pengertian. Kehidupan rumah tangga Laura dan Bima terbilang bahagia sudah menjalani biduk rumah tangga selama tujuh tahun. Mereka berdua masih bercanda mesra di sofa. “Mbak, aku buru-buru berangkat. Udah terlambat ini!” ucap Lisna Rayadinata yang kerap dipanggil Raya. Gadis itu berjalan terburu-buru keluar dari rumah. “Raya, bukannya sarapan dulu!” Laura bergegas bangkit berdiri. “Pasti kamarnya seperti kapal pecah,” rutuknya. “Mas bantuin!” timpal Bima langsung mengekori Laura dari belakang menuju ke arah kamar Raya. “Mas, jangan capek-capek. Biar aku aja yang membereskannya.” “Kamu duduk manis, aja. Adikmu ini terlalu dimanja olehmu, masa soal membereskan kasur saja kamu yang beresin,” jawab Bima sambil merapikan seprai. “Dia tadi buru-buru ada panggilan kerja, Mas. Aku paham pasti hari ini dia sangat gugup sampai lupa bereskan tempat tidur,” hardik Laura yang selalu membela adiknya. Dia duduk melihat sang suami sibuk sendiri. Bima sangat telaten membereskan tempat tidur adiknya. Lantas Bima mendekati Laura sembari tangannya terulur dengan demikian dia dapat mengusap perut Laura yang kian hari tambah besar. “Istri Mas jangan capek-capek. Ada calon anak kita di sini.” “Eh, Mas. Udah minum obat belum?” “Udah, makanya Mas bisa bantuin kamu beresin rumah. Sakit itu tidak enak.” “Istirahat dulu, Mas. Baru sembuh sudah mau bantuin aku,” tutur Laura sambil menggamit lengan sang suami. Mereka berdua berjalan bersisian menuju ke arah meja makan. Namun, Bima pamit untuk mengambil ponselnya yang lupa masih ditinggal di nakas di dalam kamar. Laura menyiapkan sarapan untuk suaminya, sedangkan Bima masuk ke dalam kamar. [Aku rindu banget. Ditunggu di tempat biasa.] Lelaki itu usai membaca pesan mendesah pelan dan tersenyum getir. Dia bergegas mengambil jaket dan juga tas laptop. Lantas Bima keluar dari kamar. “Laura, Mas ada kerjaan penting. Kayaknya pulang malam.” Bima mendekati istrinya yang sudah menyiapkan sarapan di meja makan. “Makan dulu, Mas. Tadi Raya gak mau makan dulu, masa Mas juga gak mau makan. Lagian Mas harus istirahat dulu, jangan dulu kerja.” “Maaf, Laura. Ini kerjaan sudah melambaikan tangan minta dijamah oleh saya,” tukas Bima sambil duduk dan dia tersenyum simpul dengan demikian Bima menampakkan kalau dirinya sudah sehat di depan sang istri. “Baiklah, Mas. Pokoknya hati-hati, jangan capek-capek. Ingat jangan pernah lupa makan. Apa mau aku anterin makanan ke kantor?” “Gak usah, Laura. Mas siang ini ada rapat di luar.” Lalu Bima mulai melahap makanannya dengan semangat 45. Laura memperhatikan Bima sambil senyum-senyum sendiri. Iya, Bima tidak pernah mencela masakan yang dimasak oleh Laura. Lelaki itu juga selalu menuruti permintaan Laura dengan tangan terbuka salah satunya yaitu permintaan Laura adalah Raya tinggal menetap di rumah bersama mereka karena Raya menginginkan sekolah SMA di kota tempat tinggal mereka serta kuliah. Semua biaya sekolah SMA dan kuliahnya Raya ditanggung oleh Laura dan Bima. “Mau berangkat kerja bareng?” tanya Bima sambil berdiri. “Iya, Mas.” Laura berdiri seraya tersenyum lebar. Dia bekerja sebagai perawat di salah satu rumah sakit besar di Jakarta. Mereka berdua berjalan sambil bergandengan tangan beranjak keluar dari rumah. “Mas, di kantor gak ada pekerjaan buat Raya? Aku gak tega aja kalau dia kerja di tempat orang lain. Padahal dia seharusnya fokus kuliah aja jangan sambil bekerja.” “Sayang, biarin Raya mandiri. Kalau bisa dia ngekost aja. Kalau tinggal bersama kita terus. Dia tak akan bisa mandiri.” “Tapi, aku khawatir, Mas. Kalau Raya ngekost. Tahu sendiri ‘kan pergaulan Jakarta itu bagaimana?” keluh Laura sambil mendesah pelan. Dia tatap jalanan yang ada di depannya. Semenjak ibunya meninggal, Laura memposisikan dirinya sebagai pengganti seorang Ibu bagi Raya. Sementara ayah mereka menikah lagi. Makanya Laura ingin memberikan yang terbaik untuk adiknya. “Sayang, pegangan yang erat. Mas mau ngebut!” seru Bima lalu dia melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Sengaja memakai motor agar bisa selap-selip di jalan raya di saat jalanan padat merayap. Malam harinya. Bima yang baru pulang kerja mendapati istrinya sudah tidur pulas. Lelaki itu menarik selimut dan menyelimuti tubuh Laura. Drett! Pesan masuk kembali membuat Bima gusar. Dia mengusap layar ponselnya sambil berjalan beranjak keluar dari kamar. [Oh, gitu. Udah gak kangen lagi sama aku. Sampai pesanku diabaikan.] Bima lagi-lagi mendesah pelan kalau sudah membaca pesan itu. Dia melihat sosok adik iparnya sedang berada di dapur mengambil air minum. “Belum tidur?” tanya Bima mendekati Raya. “Eh, Mas Bima. Belum ngantuk.” Raya balik badan dan melempar senyum semanis mungkin pada Bima. “Mas Bima, mau dibuatin teh atau kopi? Kayaknya capek banget pulang kerja.” “Gak usah, Raya. Saya Cuma mau ambil air minum,” tukasnya sambil membuka kulkas. Dia mengambil botol berisi air mineral. Raya menyodorkan gelas sambil mencodongkan badan. Namun, Bima buru-buru beringsut menghindari adanya gesekan. “Sombong banget, Mas Bima. Sudah sembuh malah jaga jarak, emangnya aku ini virus,” ucap Raya sambil mengerucutkan bibirnya. “Saya gak suka kamu berpakaian celana pendek seperti ini,” jawab Bima sambil buang muka lantas bergegas beranjak keluar dari dapur sambil memegangi botol dan gelas. Mendengar protesnya Bima malah membuat Raya senyum-senyum sendiri. Kemudian dia melangkah gontai mengekori Bima yang tengah berjalan menuju ruang televisi. “Mau aku temenin, Mas Bima?” Tawarnya sambil duduk begitu saja di samping Bima. Dia dengan berani langsung memegangi kaki Bima. Senyumnya menyeringai. “Saya mau ditemani sampai pagi. Cepat buka bajunya,” bisik Bima menggoda adik iparnya. Sontak Raya terkekeh kecil. “Bukain, dong, Mas Bima.” Tantangnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD