Menaruh Rasa Curiga

1521 Words
“Ah, geli, Mas Bima!” “Baru segini. Sudah bilang geli,” kilah Bima. “Assalamualaikum,” sapa Laura yang baru pulang dari pasar. Terhenyak melihat adik dan suaminya sedang bercanda di ruang tamu. Jelas sekali dia lihat Bima sedang menggelitiki pinggang Raya. Ini hari Minggu, waktunya dia belanja dan libur kerja juga. Seperti hari minggu-minggu kemarin dia menghabiskan weekend dengan sang suami. “Walaikumsallam, Sayang. Ini adikmu mulai nakal, masa gelitiki telapak kaki Mas terus,” ucap Bima sambil berdiri dan bergegas mengambil keranjang belanjaan Laura. “Lho, kok nggak nelpon? ‘Kan bisa dijemput.” Basa-basi saja. “Walaikumsallam, Mbak. Mas Bima, yang nakal. Malah dia balas dendam,” jawab Raya yang sambil membetulkan posisi baju atasannya tampak terbuka tiga kancing. Kemudian dia duduk sila kembali sambil tersenyum lebar. Raya saat ini memakai rok panjang sampai mata kaki. Laura menghela napas panjang saat melihat keakraban Bima dan Raya belakangan ini sangat lengket sekali. Tidak biasanya Raya Minggu ada di rumah, padahal gadis itu kerap bermain dengan teman sebayanya. Sekarang malah lebih suka di rumah saja kalau hari Minggu. “Aku gak boleh curiga sama suami dan adikku. Mereka berdua itu adik dan kakak, tak mungkin Mas Bima tergoda pada Raya yang jelas-jelas sudah tinggal bersama kami selama enam tahun. Pasti Mas Bima menganggap Raya adiknya juga.” Dalam hati Laura terus meyakini dirinya sendiri agar tidak cemburu. “Laura!” tegur Bima yang sudah melingkarkan tangannya di pinggang Laura. “Eh, iya, Mas. Maaf, tadi aku gak ngabarin pulang. Tadi ketemu sama Sesmita di pasar, jadi kamu pulang bareng.” “Oh, gitu. Sekarang mau masak apa? Mas bantuin,” ujar Bima mengajak Laura ke dapur. Nampak sangat perhatian dan penyayang kepada Laura. Sementara itu. Raya menghela napas lega. Dia pun sambil senyum-senyum sendiri menatap layar ponselnya. 2 jam kemudian. Makanan sudah tersaji di meja makan. Mereka bertiga sudah duduk di depan piring masing-masing dengan nasi beserta lauknya. “Mbak, aku mau ngekost. Gak mau nyusahin Mbak terus di sini.” Mencerna ucapan adiknya. Mendadak membuat selera makan Laura hilang dengan demikian dia malah kembali menaruh sendok di piring. “Ngapain ngekost? Tinggal di sini saja.” “Mbak, dari rumah ke tempat kerja agak lama. Aku sudah dapat kostsan dekat sama kerjaan.” “Gak boleh, ngekost. Pokoknya kamu tinggal di sini. Mau makan atau tidak kita sama-sama,” hardik Laura tegas. “Sayang, Raya bisa menjadi lebih dewasa kalau dia ngekost. Dia bisa tanggung jawab dengan kamarnya,” ucap Bima menenangkan sang istri. “Gak setuju aku kalau dia kost. Tahu sendiri kalau Raya ini paling malas makan nasi. Harus diingatkan kalau dia sakit gimana?” kelakar Laura yang khawatirin Raya dengan tingkat Dewi. “Aku sudah bayar uang kostsan. Jadi mau tak mau Mbak harus setuju,” ucapnya seraya berdiri. Lekas dia beranjak pergi padahal belum makan. Kendatipun demikian, ternyata tidak membuat Laura mengejar adiknya. Saking sudah tahu watak Raya kalau sedang marah seperti itu lebih baik membiarkan Raya sendiri daripada nanti dia mendapatkan hinaan dari sang adik. Laura meremas sendok dengan mata berkaca-kaca. “Semakin dewasa justru aku semakin cemasin dia level akut.” “Sayang, ayo. Dimakan dulu, anak kita sudah kelaparan.” Bima beringsut mendekati dengan penuh kasih sayang menyuapi Laura. Mereka berdua memang duduk berdampingan jadi ini memudahkan Bima merayu istrinya agar makan. Baru tiga suap. Laura menepis tangan Bima. “Mas, siapa yang kamu sebut teratai salju?” tanyanya sambil menatap nyalang muka suaminya. Spontan Bima menjatuhkan nasi yang ada di sendok ke paha Laura. Lantas Laura menyapu kotoran nasi tersebut. Bima agak gugup menjawab, “Itu teman kerja baru. Namanya unik, ‘kan.” “Unik, Mas. Tapi, apa wajar kalau dia menanyakan perihal klimaks ke kamu?” “Cuma candaan, jangan diambil ke hati. Mas belum baca pesan itu. Apa kamu yang baca dan hapus?” Selidik Bima menatap nanar manik mata Laura yang berkaca-kaca. Tidak bisa marah itu sifat Laura. Tambah lunak lagi setelah diberi kecupan manis di dagu oleh Bima. Luluh hatinya dan tampak tenang Laura menganggukkan kepalanya. “Mas, aku belum pernah marah atau curiga ke Mas. Tapi, kalau baca pesan soal menjurus ke kayak gituan. Istri mana yang tak marah.” “Ini silakan baca pesan lagi. Siapa tahu ada yang perlu kamu blokir. Di sini Mas sudah berusaha jujur dan ngomong apa adanya. Kalau Mas bilang hanya teman. Harusnya kamu percaya bukan kayak gini mendesak Mas mengakui apa yang tidak Mas lakukan.” Sambil menyodorkan ponselnya kepada Laura. Bima meyakinkan istrinya kalau dia tidak pernah selingkuh. Kata-katanya selalu bisa membuat Laura luluh. “Gak usah, Mas. Aku percaya.” Dia menggelengkan kepalanya. Bukankah pernikahan itu harusnya memang didasari oleh kepercayaan. Makanya Laura selalu menaruh kepercayaan penuh pada Bima sang suami yang sudah dia cintai. “Makasih, Sayang,” ucapnya sambil mengecup pipi Laura. Sore harinya. Di saat Laura dan Bima sedang bercengkrama hangat dengan menikmati siaran televisi. Tiba-tiba saja terdengar suara derap langkah sepatu. Sontak Laura melirik ke arah sumber suara. “Raya, kamu beneran mau pergi dari sini?” tegur Laura langsung berdiri dan melangkah ke arah Raya yang sedang menyeret koper. “Mbak, sudah kubilang kalau aku ingin ngekost. Raya bukan anak kecil lagi.” “Jangan pergi, Raya. Ini rumahmu juga.” “Rumahku, Mbak. Bukan ini hanya tempat singgah untukku. Aku tak akan selamanya tergantung pada, Mbak.” “Raya, stay di sini,” pinta Laura sambil meremas-remas punggung tangan Raya. “Maaf, Mbak.” Gadis itu menepis tangan Laura lantas dia melewati kakaknya dengan raut wajah sedih. Baru saja tiga langkah. Raya menghentikan langkahnya kala Laura berkata, “Kalau itu maumu. Mbak gak akan maksa kamu untuk tinggal di sini? Tapi, coba katakan yang sejujurnya. Apa yang membuatmu mau pergi dari sini?” “Sudah aku katakan, Mbak. Mau mandiri pokoknya.” “Mas, antar Raya,” ucap Laura sambil melirik ke arah Bima. “Tapi, Mas mau pergi ada janji, Laura.” “Tolong, antarkan Raya.” Laura menangkupkan kedua tangannya di depan d**a menatap nanar suaminya dengan penuh harap. “Baiklah,” jawab Bima sembari mendesah pelan lalu dia mengecup kening istrinya. Dia mengekori Raya dari belakang. “Sini biar, Mas bawain kopernya. Naik ke mobil Mas aja.” “Gak usah repot-repot, Mas Bima.” “Raya, kamu gak denger perintah ratu di sini,” ucap Bima menarik koper Raya. Melihat mobil suaminya menjauh dari pandangan Laura yang membawa Raya. Wanita itu mengusap air mata yang luruh membasahi pipi. Kemudian dia balik kanan kembali masuk ke dalam rumah. Masih berat hati ditinggalkan oleh Raya. Di dalam mobil. Raya kipas-kipas wajahnya dengan tangannya. “Mas, AC mobilnya mati?” “Sengaja dimatiin.” “Kenapa, Mas?” Raya terbelalak. Kemudian Bima menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Dia lirik adik iparnya dengan tatapan buas bak harimau yang hendak menerkam mangsa. “Siapa yang nantangin saya terus ajak main di dalam mobil? Kamu mau rasaain panasnya di dalam mobil atau panas di atas ranjang.” Bima meremas pundak Raya. Sontak pipi gadis itu merah merona. “Mas Bima, nakal.” “Ihk, kamu yang sudah berani kirim pesan yang mancing aja. Untungnya Kakakmu tak tahu,” bisik Bima sambil menggigit telinga Raya dengan gemasnya. Raya terkekeh kecil sambil mengalungkan tangannya di leher Bima. “Ayo, mau di sini atau di rumah kita yang baru, Mas Bima?” “Di mana saja yang penting sama kamu,” jawab Bima menyeringai tipis. Di sisi lain. Laura sedang sedih. Dia pun melampiaskan kesedihannya mengobrol dengan sahabatnya lewat telepon. Terdengar suara cempreng sahabatnya. “Udah datang belum oleh-oleh dariku?” “Belum, Mesya. Emang kirim oleh-oleh apa? Kenapa gak ke sini aja?” “Masih sibuk sama kerjaan. Kapan-kapan ke rumahmu. Lho, suaramu seperti orang bis menangis. Ada apa, Laura?” Laura memejamkan mata sejenak. Tangannya masih memegangi ponselnya yang ditaruh di dekat telinga. “Raya pergi dari rumah, Mesya.” “Hahahaha, bagus. Daripada di sana aku ngeri aja kalau Bima akan tergoda oleh adikmu. Tahu sendiri ‘kan mereka berdua akrab sekali.” “Tapi, Mas Bima sayang sama Raya menganggap dia sebagai adiknya juga. Gak mungkin tergoda. Dia tahu Raya sejak SMA.” Laura membantah. “Hai, Laura. Gak usah polos banget. Mereka berdua itu sama-sama dewasa kalau ada setan gimana?” “Gak mungkin, Mas Bima orangnya setia.” “Terus sekarang suamimu di mana?” “Antar Raya ke kostsan barunya.” “Hanya berdua?” “Iya, kenapa emangnya?” “Laura, cepat susul mereka. Aku takut kalau mereka berdua itu sedang ninu-ninu.” Laura malah tertawa terbahak-bahak. “Hahaha, astaghfirullah, pikiranmu omes banget! Assalamualaikum.” Dia tutup teleponnya dan tiba-tiba saja terlintas bayangan saat dia pernah mergokin Raya mengerok punggung suaminya dengan alasan kalau Bima sudah tidak kuat sedang masuk angin. Kelamaan menunggu Laura pulang. Untuk mengusir rasa curiga. Dia menelepon nomor telepon suaminya. “Nomor yang Anda tuju sedang berada di luar jangkauan. Silakan hubungi beberapa saat lagi.” Degub jantung Laura mendadak berhenti saat mendengar suara operator yang menjawab. “Mas, lagi ngapain? Gak biasanya kayak gini." Tambah gelisah dan panik, Laura mulai menaruh rasa curiga kepada suaminya. Rupanya kesabaran Laura setipis tisu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD