"Eva, aku tahu kau di dalam. Buka pintunya, ja.lang! Kau harus menemuiku sekarang juga untuk menuntaskan urusan kita," teriak Britanny dari depan pintu. Ia berkacak pinggang menunggu. Beberapa detik tidak juga ada sahutan, Britanny menggedor lagi.
Brak brak brak!
"Eva, cepat buka pintunya atau kudobrak!" ancam Britanny.
Esteva mengalah. Ia beringsut turun dari ranjang sambil menarik sehelai seprai dan membungkus tubuhnya dengan kain itu. Agak enggan ia membuka pintu sedikit dan berdiri bersandar ke tiang pintu. Britanny dan beberapa pelayan serta Albert berdiri di luar kamarnya. "Ada apa?" tanyanya dengan nada ketus.
Britanny semakin meradang melihat sikapnya. Penampilan Esteva bak bergumul di hutan belantara serta suaranya tidak menunjukkan sopan santun sama sekali. Britanny segera membentaknya. "Baru sehari dua di sini kau sudah berani kurang ajar. Kau pikir Grisham akan selalu membelamu? Kita lihat saja. Mana Grisham?"
Britanny ingin mendorong pintu itu, tetapi Esteva menahannya. "Tuan sedang mandi. Apa Anda ingin mengganggunya juga di saat ia sedang membersihkan diri?" tuding Esteva.
Britanny terperangah. "Hah? Jadi, aku pengganggunya sekarang di rumah ini? Sebelum kau ada, semua di rumah ini tertata rapi dan damai. Setelah kau datang, semuanya jadi berubah."
Esteva semringah. "Bukankah itu yang diinginkan Tuan rumah ini? Dia berkata pada saya bahwa dia butuh hiburan. Saya rasa untuk itulah Tuan Grisham membawa saya ke sini."
Britanny melotot. "Hiburan? Apakah mencuri juga hiburan?"
Rahang Esteva mengeras. "Koin emas itu pemberian Tuan Grisham. Saya rasa Anda sudah tahu itu," bantah Esteva.
"Oh ya? Lalu bagaimana dengan ini?" Britanny memperlihatkan kalungnya.
Esteva berseru riang yang dibuat- buat. "Oh, Anda sudah menemukannya. Selamat!"
Britanny memicingkan matanya. "Jangan berpura- pura senang padahal kau senang melihatku kesusahan," geramnya.
Esteva terperangah lalu mengangkat bahu. "Saya tidak tahu harus berucap apa lagi. Saya rasa Anda akan selalu menyalahkan saya."
"Huh, munafik!"
"Ada apa ini ribut- ribut?" tegur Grisham yang keluar dari kamar mandi hanya berbalut handuk. Ia ke sisi Esteva dan membuka pintu lebih lebar agar bisa berhadapan langsung dengan Britanny. Ia mendorong Esteva agar berdiri di belakangnya.
Para gadis pelayan membuka mata lebar-lebar menatap tubuh telanjang da.da tuan tampan mereka.
"Ada apa lagi, Britanny?" tanya Grisham dengan tubuh masih berembun dan air menetes di ujung- ujung rambut pendeknya.
"Ini, kalungku sudah ketemu," jawab Britanny sambil menampilkan kalungnya.
"Selamat untukmu, Britanny. Aku rasa masalahmu selesai. Lalu kenapa kau menghardik Eva?"
"Karena dia yang membuang kalungku."
Kening Grisham terangkat. Ia tahu Esteva melakukannya, tetapi bukankah itu keisengan biasa. Apa yang harus dipermasalahkan?
Britanny meneruskan tudingannya. "Ia pembohong dan juga pandai mencuri. Kau harus mengusirnya dari tempat ini atau dia akan membuat masalah lebih besar!"
Grisham tidak akan menjadi tuan yang baik jika tidak bisa melindungi piaraannya. Lagi pula, ia sudah menghukum Esteva. "Apa kau punya bukti atau saksi mata yang tidak mengada-ada?" ucapnya sambil mengedarkan pandangan pada para pelayan agar tidak berusaha mendukung Britanny.
"Aku tidak punya, tetapi aku tahu dia pelakunya," ucap Britanny kesal.
Grisham menghela napas dalam-dalam lalu berujar gusar. "Demi Tuhan, Britanny! Siapa saja bisa jadi pelakunya. Mungkin salah satu pelayan yang ingin mengerjaimu. Bukankah tuduhanmu itu sama dengan aku merasa kau membenci Eva tanpa alasan jelas lalu kau berusaha mengusirnya? Dengar, Britanny! Aku pemilik rumah ini, aku berhak menentukan siapa yang boleh dan tidak boleh tinggal di sini. Jika kau merasa terancam dengan kehadiran Eva, aku persilakan kau pergi. Angkat kaki dari rumahku, sekarang juga!"
Suara Grisham yang meninggi baru pertama kali didengar Britanny hingga tubuhnya gemetaran karena terkejut. "Kau mengusirku? Kau memilih Eva dibanding aku yang telah mendampingimu bertahun-tahun?" sahut Britanny.
"Aku membelanya karena kau menyerangnya terus menerus dan sudah kelewatan, Britanny. Malam tadi Eva hampir celaka. Apa kau memikirkan apa akibatnya jika dia kenapa- kenapa? Eva ada hubungan dengan Bournemouth. Kau pikir bagaimana caraku membalas Bournemouth kalau bukan memelihara gadisnya?"
Esteva memeluk pinggang Grisham mempertontonkan kepemilikannya terhadap pria itu. Wajahnya memasang tampang manis dan lugu.
Britanny terperangah kehabisan kata- kata. Gadis ja.lang! Dia sukarela diperalat Grisham? Apa hal terjadi pada dunia ini? Seorang pembohong dan pencuri malah leluasa berlindung pada seorang bangsawan.
Grisham berujar tegas. "Sekarang kemasi barangmu dan pergi dari sini. Aku tidak mau di rumahku diisi pertengkaran. Kau tidak bisa menerima Esteva, maka Winterwall juga tidak bisa menerimamu."
Britanny gelagapan. Tidak! Aku tidak boleh terusir gara- gara gadis ja.lang ini. Aku tidak akan mengalah begitu saja. Britanny buru- buru bersuara memelas. "Jangan lakukan itu, Grisham. Tidak, aku tidak mau pergi dari sini. Jangan usir aku," pintanya sambil berlutut dan menarik tangan Grisham. "Kau tahu aku tidak rukun dengan ibu tiriku. Aku lebih baik di sini daripada seatap dengannya. Kumohon .... Jangan usir aku."
Esteva menggigit dalam bibirnya mendengar pengakuan Britanny. Ia juga punya ibu tiri yang sangat dibencinya sehingga tidak sanggup tinggal di Kastel Bournemouth lagi. Ia bisa memahami perasaan Britanny. Perlahan Esteva mengamit lengan Grisham dan berujar lembut pada pria itu. "Tuan ...."
Grisham menoleh padanya. Esteva bicara malu- malu. "Saya rasa terlalu berlebihan mengusir Nona Britanny karena masalah ini. Ini terlalu sepele. Saya sudah biasa mengalami kejadian seperti ini. Jadi, sungguh, ini bukan masalah bagi saya. Tuan ... tolong pertimbangkan lagi."
Grisham dibuat terpana oleh sikap rendah hati Esteva. Cerita kehidupan gadis itu telah menyentuhnya. Grisham yakin Esteva tidak sekeji tuduhan Britanny. Dia hanya gadis yang sering disalah pahami orang- orang. Grisham mencubit kecil pipi Esteva. "Kau manis sekali, sayang, tetapi aku tidak bisa begitu saja memaafkan orang yang membuat masalah di rumahku. Britanny harus minta maaf padamu jika ingin tinggal di sini dan berjanji tidak akan mengganggumu lagi."
Esteva tersenyum kikuk, sedangkan Britanny terdiam dengan wajah pucat pasi.
Aku harus minta maaf padanya? Demi Tuhan! Apa kesalahan yang telah kuperbuat? rutuk Britanny tanpa terucap. Baiklah, kelak ia akan menyaksikan kedok gadis ini terkuak. Ia harus bersabar. Kebetulan ia sedang berlutut. Britanny berucap lirih setulus mungkin. "Eva, maafkan aku. Aku berjanji tidak akan mengganggumu lagi."
Gadis itu tersenyum ramah dan hangat bagai sinar mentari pagi. "Tentu, Nona Britanny. Tidak masalah. Saya memaafkan Anda."
Sudut bibir Britanny berkedut- kedut terpaksa tersenyum dalam hati memaki sialan pada Esteva. Gadis itu kali ini telah menang telak darinya. Sialan!
Esteva berbicara manja pada Grisham. "Tuan, bukankah Tuan harus menghadiri pertemuan penting? Mari, Tuan, saya bantu Tuan berpakaian." Ia menarik Grisham ke dalam kamar. Pria itu masuk sekaligus menutup pintu meninggalkan Britanny yang masih berlutut.
Wajah Britanny merah padam diabaikan begitu saja. Para pelayan memegangi lengannya membantu berdiri. Britanny menegapkan tubuh dan menepis tangan mereka. Ia berujar getir. "Aku bisa sendiri!" Lalu melangkah pergi dari tempat itu seorang diri.
Grisham dimanjakan dalam dekapan Esteva. Baju bersihnya tidak ada di kamar itu, jadi ia tidak akan mengenakan pakaian seperti seharusnya. Grisham merapikan rambut berantakan Esteva agar melihat jelas wajahnya. "Aku tidak mengira kau bisa bersikap semanis ini, Eva," selidik Grisham.
"Tuan sudah melimpahi saya dengan nikmat luar biasa, jadi, mana mungkin saya tidak membalasnya."
"Ah, gadis nakal. Kau akan balik menggigitku jika aku tidak memuaskanmu, ya?"
"Mungkin," jawab Esteva sambil senyum-senyum penuh arti. "Atau Tuan bisa menghukum saya dengan cambuk itu jika saya jadi terlalu nakal." Cambuk kuda Grisham masih ada di kamarnya, terletak menganggur di nakas.
Grisham melirik ke benda itu, lalu ke Esteva yang perlahan membuka seprai di tubuhnya, kemudian duduk di tepi ranjang dan kaki mengangkang. Gadis itu mengusap- usap lapisan daranya seraya terpejam mendesah. "Jika tahu tidak perawan lagi bakalan seenak ini, saya seharusnya melakukannya dengan pria yang pertama menaksir saya. Ahhh ...." Engahannya bergetar oleh rasa ketika jarinya mengail lebih dalam.
Grisham panas dingin melihat pertunjukan itu. Ia terbelalak melihat kelaminnya kembali mengacung keras menunjuk gadis itu. Ia menggerutu kesal pada Esteva. "Apa yang kau bicarakan? Kau melepas keperawananmu denganku, aku lebih berhak atas tubuhmu dibanding siapa pun."
Esteva resah menyahutnya. "Ahhnnhh, iyahh, Tuannh, saya tahu ...." Gerakan jarinya semakin gencar hingga bunyi decap- decap terdengar dari lubang itu.
Grisham terpaku di tempat, menggerutu sendiri. "Sialan! Bagaimana bisa aku pergi kalau keadaannya begini?" Batangnya keras seolah perjaka lagi dan siap memerawani. Ia menelan liur dengan susah payah, kemudian bersuara tegas pada Esteva. "Bisa kau tahan sampai aku kembali?"
Gadis itu terperangah. "Ah? Kapan? Tuan bahkan belum pergi. Dari sini ke London memakan waktu 3 jam. Belum lagi pertemuan. Lalu ... Lalu ... perjalanan pulang. Ehmmhh, saya tidak tahu apa saya bisa tahan selama itu. Gyaahh!"
Isi rahim Esteva menciprat sehingga lelehan cairan lebih banyak keluar dari liang sanggamanya.
Grisham menggila seketika. Ia bergegas membuka pintu di mana di luar, Alfred siaga menunggu titahnya. "Katakan pada anggota dewan hari ini aku berhalangan hadir. Kau buat saja alasannya." Tanpa menunggu sahutan Alfred, Grisham masuk lagi ke dalam kamar dan mengunci pintu.
Alfred hanya bisa bersuara singkat. "Baik, Tuan." Lalu pergi dari situ, karena kalau tetap berdiri di sana, harus tahan mendengar erangan dan makian ero.tis tuan mereka dan piarannya.
***
Bersambung ....