Bab 2.

2612 Words
Kaki Jenita seolah terpaku pada lantai tempatnya berpijak. Manik cokelatnya menatap nanar pada sepasang insan yang tengah saling bergenggaman tangan, dengan tubuh saling menempel satu sama lain, juga mata terpejam. Sepasang suami istri. Dua, dari tiga orang di masa lalunya yang telah membuat hatinya luluh lantak. Elang Bimantara dan Diana Hirawan. Tak jauh dari sana, duduk seorang lelaki yang sejak tadi menunggunya, sementara dirinya menemui sang papa. Tetapi, fokus Jenita tetap tertuju pada sepasang insan yang menurutnya salah tempat untuk tertidur. Sebastian yang sedang memeriksa email di ponselnya seketika mengalihkan pandangan pada benda pipih itu, saat mendengar derit pintu terbuka. Maniknya menemukan Jenita bergeming di tempatnya dengan tatapan dingin. Lelaki itu lantas mengikuti arah pandang wanita itu. Dan mengerti, wanita yang berdiri di ambang pintu itu tengah menahan amarah. Lelaki bersetelan formal tersebut beranjak dari duduk, melangkah menghampiri Jenita. "Sudah mau pulang?" Suaranya meski pelan rupanya mampu membuat Elang yang sejak tadi terpejam, membuka mata. Jenita menatap lelaki di hadapannya, ia mengangguk lemah. "Saya akan ke hotel,” jawab Jenita dan bersiap meninggalkan ruang perawatan Saiful. "Kalau begitu, mari saya antar." "Biar saya sama sopir," tolak Jenita. "Pak Rohim sudah kembali ke kantor,” beritahu Sebastian, menjelaskan keberadaan sang sopir yang bertugas mengantar jemput Jenita nantinya. Di sisi lain, Elang hanya mengamati dua orang berlawanan jenis yang tengah berdebat ringan itu, disertai senyuman kecil, mendapati Jenita ternyata masih keras kepalanya seperti dulu. "Di ... bangun, Sayang." Elang mengusap lembut pipi wanita yang sejak tadi tertidur dalam pelukannya. Tindakan tersebut tak luput dari tatapan Jenita yang seketika membuat d**a wanita itu kian teremas sakit.  Pemandangan memuakkan! Wanita yang kerap dipanggil Di itu membuka matanya perlahan, lalu menjauhkan tubuhnya dari sang suami. Bola matanya melebar kala mendapati Jenita berada di sana. Belasan tahun tidak berjumpa dengan sang kakak, membuatnya terkejut mendapati sosok Jenita yang berdiri menatapnya dengan sorot begitu dingin. "Kak Jen!" serunya yang segera menghampiri Jenita. "Kakak apa kabar?" Diana memeluk Jenita, mengabaikan tatapan tak bersahabat dari wanita yang dipanggilnya kakak itu. Jenita sendiri hanya berdiri sekaku patung, masih menatap datar pada sosok di belakang wanita yang memeluknya. Tanpa berniat sedikit pun membalas pelukan itu. "Lepaskan tanganmu dari tubuh saya, Diana!" ucap Jenita tajam pada akhirnya. Diana menurut, dengan kecewa ia melepaskan pelukannya pada tubuh sang kakak. “Kak.” "Bang Tian, bisa antar saya pulang sekarang?" Inginnya Jenita segera meninggalkan tempat tersebut. Sebastian mengangguk sebagai jawaban. Mereka bersiap pergi, sebelum seruan Diana menahan langkah mereka. "Kak tunggu, Kak." Diana meraih lengan Jenita. "Kak Jen, nanti jenguk Papa lagi, kan?" tanyanya dengan wajah penuh harap. Wanita itu hanya menatap datar pada Diana. Matanya menelisik penampilan adik yang tak diakuinya itu dari ujung kepala hingga kaki. Hatinya tersenyum mengejek melihat penampilan sang adik yang tak secantik dulu. Wajah yang dulunya putih bersih kini berubah banyak ditumbuhi jerawat. Badan yang dulu langsing, sekarang melebar. Oh, Jenita bahagia mendapati perempuan perebut lelaki yang dulu dicintainya berubah menjadi si buruk rupa. Tanpa mengindahkan Diana yang masih menatapnya penuh harap, Jenita melangkahkan kaki meninggalkan wanita itu. Sementara Diana hanya mampu meringis menahan kecewa dan Elang yang hanya bisa menatap kepergian Jenita dengan perasaan ... entah. Ada andil atas sikap lelaki itu di masa lalu yang membentuk sikap dingin Jenita. "Saya permisi." Sebastian berpamitan pada sepasang suami istri itu, menyusul Jenita yang berjalan cepat jauh di depannya. . . "Papa sakit apa sebenarnya, Bang?" tanya Jenita setelah menuntaskan makan malamnya. Wanita yang terlihat begitu kelelahan itu menurut saja saat Tian mengajaknya ke sebuah restoran Jepang. Dan di sanalah akhirnya mereka. Duduk di private room, menikmati sajian khas negeri Sakura.  Tian menyesap minumannya lebih dulu sebelum menjawab pertanyaan Jenita, "komplikasi. Darah tinggi, kolesterol dan gula darah." jawabnya pelan. "Beliau nekat menuruni tangga sendiri saat suster yang merawat beliau sedang shalat dan Bapak terjatuh. Punggungnya mengalami patah tulang dan ... kepalanya terjadi pendarahan. Dokter sudah melakukan yang terbaik untuk Bapak, tetapi ... ya, kamu bisa melihat sendiri kondisi beliau." Jenita terenyak di tempatnya. Meski rasa benci pada pria itu masih bercokol di dasar hatinya, ia tetap merasa iba. Terlebih mendengar begitu banyak penyakit yang bersarang di tubuh sang papa. "Sejak kapan Papa mengidap penyakit itu? Bukankah Papa selalu menjalankan hidup sehat?" tanya Jelita begitu penasaran karena setahunya sang papa adalah orang yang menjalankan hidup sehat. Olahraga hampir setiap hari. Asupan makanan dan minuman pun selalu diperhatikan. Tian menatap lekat pada Jenita. Senyumnya tersumir tipis, "apa Mbak Jen akan percaya jika Bapak meninggalkan kehidupan serba sehatnya setelah Mbak Jen pergi dari rumah?" Netra Jelita membeliak. Ingin menepis ucapan pria di depannya, tetapi melihat wajah serius Tian membuat Jenita bungkam. Tidak mungkin! "Tepatnya tiga atau empat tahun setelah Mbak Jen pergi dari rumah. Bapak berubah, dan mulai mengonsumsi kopi kental dengan gula. Tidur larut malam ...." "Tidak mungkin!" Akhirnya kedua kata itu terucap dari bibir tipis Jenita. Tian tersenyum tipis, "terserah Mbak Jen mau percaya atau tidak." "Papa nggak mungkin menghukum dirinya sendiri, demi anak seperti saya." Tian mengedikkan bahu. Lalu melirik benda di pergelangan tangan kirinya. "Sudah malam, mari saya antar pulang." Tian beranjak dari duduknya. "Pembicaraan kita belum selesai." Jenita menatap sedikit kesal pada Tian yang dianggapnya seenak hati memutus pembicaraan mereka. "Tidak ada pembicaraan kalau Mbak Jen masih saja emosi seperti saat ini," ujar Tian pelan, tak ingin membuat Jenita tersinggung. "Saya tidak emosi, Bang," elak Jenita. "Apa salah, kalau saya menolak asumsi Bang Tian soal perasaan Papa ke saya? Kalau memang Papa sesayang itu ke saya, Papa akan menemui saya dan meminta saya untuk pulang, begitu tahu saya kabur. Tapi apa?” "Apa dengan Bapak meminta Mbak Jen untuk pulang bertahun lalu, Mbak Jen akan menurutinya?" Pertanyaan Tian membuat Jenita bungkam kembali. Benar. Belum tentu jika bertahun lalu Saiful memintanya untuk pulang, Jenita akan menurut. Sedangkan saat ini saja keputusannya untuk pulang lebih karena membalas budi pada Tian. Pria yang sembilan tahun lebih tua darinya itu, yang sudah banyak membantu dirinya dengan sang ibu. Semua karena rasa amarah dan kecewanya yang saat ini masih menggunung. . . Tubuh Jenita terlihat lebih segar dari kemarin malam Tian melihatnya. Make-up tipis yang menghiasi wajah cantik itu semakin mempertegas kecantikan wanita itu. Sehingga tanpa sadar kedua sudut bibir Tian tertarik ke atas. Kamu masih cantik seperti dulu, Jen. Pikirnya. Tian sesekali melirik pada Jenita yang duduk di kursi penumpang mobil miliknya. Mereka akan menuju rumah sakit menemui Saiful tentunya, setelah melalui perdebatan alot, karena Jenita sempat bersikeras tidak akan kembali menjenguk sang papa. Sedangkan Jenita sedari tadi hanya terdiam, tampak sekali raut muka keengganan di wajah itu. Ia memang kembali ke Jakarta untuk menemui papanya. Tapi bukan berarti setiap hari waktunya harus dihabiskan di Rumah Sakit. Ya, memang baru kemarin sore dan hari ini, tapi Jenita merasa enggan. Karena hari ini wanita itu sudah berencana akan mengunjungi suatu tempat. Namun apalah dayanya yang tak bisa menolak permohonan lelaki yang duduk di belakang kemudi. Negosiator handal kepercayaan sang papa. Langkah kakinya bergegas keluar dari mobil begitu benda beroda empat itu terhenti di lantai basemen. Mengabaikan Tian yang sedikit berlari menyusulnya. "Bapak membutuhkan dukungan keluarga untuk kesembuhannya. Jika Mbak Jen masih saja menekuk wajah seperti itu, Bapak bukannya sembuh tapi mungkin bertambah parah," ujar Tian begitu mereka memasuki kotak baja yang akan membawa mereka ke lantai atas. Jenita mendengkus sebal mendengar perkataan sok tahu Tian. "Tidak ada korelasinya, sakitnya Papa tambah parah dengan wajah cemberut saya, Bang."  "Tapi Bapak membutuhkan keikhlasan keluarganya. Bapak butuh dukungan dan kasih sayang dari kita semua. Meski tubuh Bapak hanya terbaring di sana, Bapak tetap bisa merasakan kehadiran kita, Mbak." Pembicaraan dua orang itu terputus karena lift terbuka. Jenita dan Tian berjalan beriringan keluar dari sana menuju kamar perawatan Saiful. "Lalu saya harus bagaimana, Bang? Saya harus nangis-nangis, begitu?" "Terserah Mbak Jen saja kalau itu. Yang penting Mbak Jen ikhlas menginginkan kesembuhan Bapak." "Sembuh atau tidaknya Papa, sudah bukan prioritas saya. Bang Tian tahu sendiri alasan saya berada di sini karena apa." Jenita menatap tajam Tian sekilas. Lalu kembali fokus memandang lorong-lorong yang dilaluinya. "Setidaknya kita berusaha untuk kesembuhan Bapak. Setelah itu, Mbak Jen bisa meluapkan rasa marah dan kecewa Mbak pada beliau. Dan saat itu terjadi, semoga Mbak tidak menyesal." Tian melebarkan langkah kakinya, meninggalkan Jenita di belakang. Kesabaran pria itu sudah menipis menghadapi sikap keras kepala putri dari atasannya itu. Menyesal? Aku tidak akan menyesali apa pun. Justru orang-orang itu yang seharusnya menyesal.  Jenita semakin gondok menghadapi sikap semena-mena dan sok tahu lelaki yang sudah berjalan jauh di depannya. . . Jenita mendengkus malas mendapati Elang sudah berada di depan kamar perawatan sang papa. Duduk dengan tenang memainkan ponsel. Di hadapannya tersaji segelas kopi dan sepiring aneka kue. Sudah seperti rumah sendiri saja! Jenita bermaksud bergegas memasuki kamar Saiful saat sebuah tangan berhasil menghentikan langkah kakinya. Wanita itu memandang tajam si pemilik tangan yang dianggapnya sudah lancang menyentuh lengannya. "Lepaskan tanganmu dari lengan saya!" Elang melepaskan genggamannya. Pria itu menatap sendu pada Jenita yang memandangnya begitu tajam. Tidak ada keramahan di wajah wanita itu, yang ada hanya sebuah kemurkaan. "Jen, bisa kita bicara sebentar?" Elang memohon. "Tidak," tolak Jenita cepat. "Tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi, setelah dua belas tahun lalu kamu membuang saya." . . Jenita yang baru saja pulang dari kampus, hanya mampu menatap pedih pada sepasang muda-mudi yang sedang asyik bercengkerama di teras rumahnya. Ini bukan kali pertama, ia mendapati lelaki yang ia sayangi berduaan dengan adiknya. Jenita yang terlalu mencintai lelaki itu tidak berani mengutarakan kekecewaannya. Ia hanya mampu memendamnya sendiri dan memupuk kebencian pada sang adik yang dianggapnya sebagai perebut  Elang Bimantara—lelaki pemilik hatinya. Melangkah cepat, Jenita menghampiri keduanya dengan amarah menggelegak. "Dasar anak haram tidak tahu diri!" maki Jenita pada gadis yang lebih muda dua tahun darinya itu. Jari telunjuknya tak luput menuding ke wajah yang kini berubah pias. Sudah cukup rasanya selama ini Jenita memendam amarah. "Apa-apaan kamu, Jenita." Elang mengalihkan tangan Jenita dari wajah gadis yang dicintainya. "Kamu juga, kenapa kamu berduaan dengan dia?" Jenita menatap Elang kecewa. "Kenapa memangnya? Salah kalau aku dekat sama Diana?" "Bilang apa kamu barusan? Dekat? Apa maksud kamu dengan dekat sama dia? Kamu suka sama anak haram ini?" "JENITA! JAGA BICARA KAMU!" Tiba-tiba saja Papa Saiful datang. Plak! Dan tanpa ada yang mengira, Papa Saiful memberikan tamparan keras pada pipi Jenita. Semua terkejut dengan kejadian yang begitu cepat. "Papa tidak pernah mengajarkan kamu menjadi anak kurang ajar, Jenita! Jaga mulut kamu!” Suara Saiful Hirawan menggema ke seluruh teras rumah, disertai mata yang menyorot tajam pada Jenita. Jenita terkesiap. Matanya menatap tak percaya pada sang papa yang baru saja mendaratkan tamparan di pipinya. Itu adalah kali pertama selama dua puluh tahun ia hidup, sang papa berani menamparnya. "Papa lebih membela anak haram itu dari pada Jenita?" Gadis itu kembali menggeleng tak percaya dengan sikap papanya yang justru lebih membela sang adik.. Adik yang lahir dari rahim perempuan selingkuhan lelaki yang ia sebut Papa. Jenita begitu membencinya. "Dia sudah merebut Elang dari Jenita, Pa." Suaranya berubah parau. Gadis itu menahan tangis. Selama ini ia yang lebih sering membuat Diana menangis, Jenita tentu saja tidak ingin terlihat lemah di hadapan ketiga orang di depannya. Sekuat tenaga ia mencoba untuk bertahan di sana tanpa mengeluarkan barang setetes air matanya. "Elang." Tatapan Hirawan menyorot tajam pada satu-satunya pemuda di ruangan itu. “Apa benar, sebelum kamu menjalin hubungan dengan Diana, kamu memiliki hubungan dengan Jenita?" Elang tidak segera menjawab. Ia lebih dulu menatap Diana lalu beralih pada Jenita. Visual kedua gadis itu memang berbeda. Diana memiliki kulit seputih porselen dengan bentuk wajah yang membuat siapa pun akan menggumamkan kata cantik. Berbeda dengan Jenita, gadis itu memiliki kulit sawo matang khas kulit orang Indonesia. Wajahnya memang tidak secantik Diana, tetapi dia manis dengan bibir s*****l dan bulu mata lentik alami, juga rambut hitam legamnya. Tetapi Elang yang memang kenal lebih dulu dengan Jenita, memang hanya menganggap gadis itu sebagai sahabat. Meski sering menghabiskan waktu berdua, tak lantas membuat Elang jatuh hati pada gadis itu. Sebagai lelaki normal yang mengedepankan tampilan fisik pada lawan jenis, jelas ... Elang lebih tertarik pada Diana. Selain memiliki wajah yang membuatnya terkagum-kagum, kepribadian gadis itu membuatnya semakin jatuh hati. Diana dan Jenita bak bumi dan langit. Diana si gadis lemah lembut sedangkan Jenita adalah si gadis keras kepala dengan tingkat emosi akut. Elang menggeleng tegas. "Sejak awal saya dan Jenita tidak memiliki hubungan apa pun, Om. Kami hanya berteman." Jenita kalah. Air matanya luruh seketika mendengar penuturan Elang. Laki-laki yang ia pikir menyayanginya. Ternyata tak lebih dari seorang lelaki berengsek. Entah kata apa yang tepat untuk menggambarkan keadaan hatinya saat itu. Disakiti oleh dua pria yang paling disayanginya secara bersamaan. Hati dan harga diri Jenita serasa tercabik-cabik. Jenita menatap Elang tanpa berkedip. Tatapannya menyorot dingin. Terselip kemarahan dan kekecewaan di sepasang manik cokelatnya. "Kamu!" Jarinya menunjuk pada laki-laki yang sudah menemani hari-harinya sepanjang lima tahun ini. "Aku harap kamu tidak akan pernah menyesali kejadian hari ini Elang Bimantara!" ujar Jenita seraya meremas perutnya pelan. "Di sini." Ia lantas menunjuk dadanya. "Ada luka dari kalian semua yang tidak akan pernah kulupakan." "Kak Jen ...." panggil Diana mencoba menjelaskan pada sang kakak. Tapi gagal. Bibirnya ia rapatkan lagi setelah mendapat pelototan menusuk dari sang kakak. "Papa." Jenita menyeka air matanya yang semakin deras. Menatap sendu pada sang papa yang telah membuatnya kecewa. "Bertahun-tahun, Pa ... Jenita melihat mama menangis setiap malam karena pengkhianatan yang Papa lakukan. Apa salah kalau hari ini Jenita meminta sedikit pembelaan ke Papa karena laki-laki yang Jenita sayang direbut perempuan lain? Yang tak lain adik Jenita sendiri?” "Jangan mendramatisir keadaan! Elang sudah mengatakan kalau kalian tidak memiliki hubungan apa pun," tegas Saiful Hirawan tak ingin dibantah. "Dan Papa percaya?" tanya Jenita penuh keputus asaan dengan air mata yang semakin deras. "Papa percaya pada Diana. Dia tidak mungkin merebut kekasih kakaknya sendiri." Bukan tanpa alasan Hirawan mengatakan itu. Selama ini ia sering mendengar dari orang kepercayaannya jika Jenita kerap menjahili Diana. Diana yang ia kenal adalah anak baik dan penurut. Jadi menurutnya, putri keduanya itu tidak mungkin merebut kekasih anaknya yang pertama. Jenita memejamkan mata sejenak. Berharap kesakitannya sedikit berkurang. Berharap apa yang sedang dilaluinya kini hanya sekadar bunga tidur. Namun, lagi-lagi ia kembali disadarkan pada realitas di depan mata dengan pembelaan sang papa pada Diana. "Papa peringatkan! Jangan sekali-kali kamu berpikir untuk menjahati adikmu lagi. Atau memisahkan hubungan mereka. Karena Papa tidak akan segan untuk menghukummu!" Menyeka air matanya kasar, Jenita tidak gentar dengan ancaman sang papa. Bukan karena takut akan hukuman yang akan menimpanya. Tetapi karena Jenita sudah menetapkan pilihan. "Baik. Kalau memang itu keputusan Papa, Jenita terima. Semoga Papa pun sama, tidak akan menyesali keputusan Papa hari ini." Setelah mengatakan itu, Jenita melesat menuju kamar pribadinya. Mengemas pakaian secukupnya, ia bertekad akan keluar dari rumah yang menyimpan banyak kenangan indah bersama Almarhumah sang mama. "Kamu pikir dengan cara kabur seperti ini Papa akan luluh?" Kalimat pedas Saiful Hirawan membuat langkah Jenita yang hendak keluar rumah, terhenti seketika. Jenita berbalik. Menatap sekali lagi pada wajah sang papa. Pria yang begitu ia hormati dan ia sayangi. Namun kini justru menjadi pria yang paling Jenita benci. Tanpa sepatah kata pun, Jenita pergi. Meninggalkan segala kenangan di rumah masa kecilnya. Menelan pil pahit karena dikecewakan oleh Papanya, Elang dan anak dari wanita lain sang papa. Adiknya yang merebut kasih sayang sang Papa dan Elang. Sekaligus. Belasan tahun berlalu, pedih yang dirasakan Jenita masih tetap sama. Bahkan kini semakin bertambah pedih karena melihat kehidupan bahagia orang-orang yang pernah menorehkan luka padanya. Setidaknya itu yang ia tangkap pertama kali kemarin sore, saat melihat romantisme hubungan Elang dan Diana. Jenita masih terpaku di tempatnya menatap Elang dengan tatapan penuh kebencian. "Dua belas tahun berlalu, dan rasa sakit itu masih tetap sama, Elang Bimantara. Jadi ... jangan pernah menganggap hubungan kita akan baik-baik saja, setelah apa yang sudah kalian perbuat pada saya."  Bersambung      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD