Pulang Untuk Memperbaiki Masa Lalu

1809 Words
POV RISWAN Part 10 "Titip anak-anak, Bang. Aku harus segera membantu, Emak," ucap istriku Risma, yang biasa kupanggil dengan sebutan Eneng, sembari mengusap air matanya, lalu berbalik meninggalkan aku yang masih berdiri terdiam. Kesedihan terlihat jelas dari tatap matanya, hanya karena membela aku, suami miskinnya. Apakah salah aku memilih diam? Apakah juga salah jika aku terus mengalah? Apakah itu menandakan jika aku sudah tidak lagi memiliki harga diri. "Jika semuanya habis mereka injak-injak, apalagi yang harus eneng banggakan sama suami sendiri, Bang." Sembari menemani kedua putriku Yuli dan Neti, memetik cabai dan tomat di depan pekarangan rumah, ucapan istriku selalu terngiang-ngiang. Istriku memang tidak pernah mengeluh tentang kemiskinan kami, hampir selama enam tahun kami membina rumah tangga. "Tidak apa-apa, eneng dibilang miskin. Tetapi jangan sampai abang dianggap tidak punya harga diri!" Menemani kedua anakku yang kembali tertidur di karpet ruang tamu, di dalam ruangan kamar yang hanya seluas 3X4 meter, ruangan kosong melompong. Tanpa ada satu pun alat-alat elektronik, bahkan kipas angin sekalipun. Yuli dan Neti mungkin lelah, setelah bermain dan berlari-larian di kebun depan rumah, dan ... ucapan eneng bagaikan alarm, selalu membuatku teringat. Sembari terbayang wajahnya yang menyimpan dan memendam kepedihan, karena selalu disindir dan dihinakan. Bertahan bersamaku yang hidup dengan serba kekurangan. "Apakah Abang ikhlas, bila kita bercerai, dan anak-anak jauh dari Abang?" Air mataku mengembang, memandangi kedua putriku yang sedang lelap tertidur. Aku seperti ayah yang tega melihat kesusahan yang dijalani mereka. Akan tetapi, keluarga kecilku harus merasakan terlebih dahulu susah dan sulitnya kehidupan, agar rasa empati kepada sesama sudah tertanam dalam lubuk hati mereka. Jadi selama ini, keluarga istriku, terutama Bapak dan tiga orang saudaranya yang lain terus memaksanya untuk bercerai denganku. Naif-nya aku, tadinya kupikir tidak akan sampai sejauh itu. Mengambil sikap diam, mengalah dan selalu menuruti kemauan mereka rasanya itu sudah cukup untuk mereka bisa menerima keberadaanku, dan ternyata aku salah besar. Sepertinya batas kesabaran istriku sudah habis. Mati-matian dia membela harga diriku di hadapan keluarganya, dan aku tetap bertahan dengan prinsip sabar dan mengalah, ternyata itu memang tidak cukup untuk membuat mereka berubah menjadi baik. Memisahkan aku dengan Eneng dan kedua anakku, sama saja dengan membunuh diriku secara perlahan tetapi pasti. Merekalah sekarang duniaku, dan selain Tuhan, tidak ada yang bisa memisahkan aku dengan keluarga kecilku. Menutup pintu depan, aku segera menuju ke pintu belakang dekat dapur. Sembari membawa pacul, lantas mulai menggali tanah yang ada di sisi luar dapur, dan sudah kutandai dengan sebatang kayu jambu, sejak enam tahun yang lalu, saat pertama aku membeli rumah sederhana ini dengan sedikit lahan di depan dan belakang rumah. Mengambil kotak penyimpanan yang sudah kubungkus dengan plastik yang sudah berlumuran tanah lembab. Membuka kotaknya dan mengambil isi di dalamnya, lalu mulai menguruk tanah itu kembali. Kedua anak-anakku semua sudah terbangun dari tidur siangnya, saat Ical anak Kang Amran memintaku untuk datang ke rumah emak. "Ada apa, Cal?" "Dipanggil Uwak, Mang?" "Bapak kamu, Cal?" "Bukan, Mang, itu Uwa Darman sudah datang, Mamang diminta untuk segera ke sana secepatnya," jelasnya lagi. "Iya, Cal, ini mamang sama anak-anak akan langsung berangkat." Ical berbalik badan, sedikit berlari sepertinya ingin kembali ke rumah besar. Mengunci pintu rumah, lalu bersama kedua anakku menuju ke rumah induk keluarga besar istriku. Benar saja, kedatanganku ke sana hanya untuk dibuat malu dan dihinakan. Keluarga besar istriku menyindir dan merendahkan keberadaanku, hanya Emak dan keluarga Kang Darman si anak tertua yang baik terhadap keluargaku. Kembali kulihat guratan luka pada wajah istriku, wanita desa yang setia membersamaiku selama enam tahun. Yang sama sekali tidak pernah mengeluh tentang kemiskinanku, dan tidak sedikit pun mengurangi rasa cintanya terhadapku. 'Secepatnya akan kuakhiri penderitaanmu, Neng' janji hatiku. Aku tahu, hati istriku pasti sangat sakit, dan itu karena membelaku, suaminya. Hatiku geram melihat sikap keluarganya. "Persiapkan dirimu, untuk bersikap tega nanti." Kubisikan pelan di telinganya. Sepenuhnya dia belum mengerti maksud dari perkataanku, tetapi dia sepertinya bisa melihat kegeraman dalam mimik wajahku. Sakitnya Papah baru kudengar, saat Linda dan Yeni, kedua anak Kang Darman bercerita dari berita online yang dibacanya, dan itu sangat mengejutkan. Laki-laki yang kupanggil Papah yang pernah menggoreskan luka dalam di hatiku, tetapi beliau tetap orang tuaku. Sebenci apapun aku terhadapnya. Segera aku meminta ijin kepada istriku untuk kembali "pulang" dengan menitipkan kedua anakku terlebih dahulu kepadanya. Pulang, bukan pulang ke rumah sederhana kami, tetapi pulang ke masa laluku. Meminta ijin kepada Emak, Kang Darman, dan keluarganya. Tetapi kuhiraukan yang lainnya. Karena mereka sudah terlebih dahulu memicu pertikaian, dan aku hanya akan melanjutkan, sampai nanti siapa yang akan melambaikan tangan. Masih kudengar makian dari Bapak mertuaku saat aku meninggalkan rumah besar, tak kuhiraukan makiannya. Kini saatnya aku harus memperbaiki masa laluku terlebih dahulu dan menjenguk Papah. Dengan menaiki ojek motor, aku langsung menuju ke pabrik pengolahan teh, berhenti tepat di depan gerbang pabrik, tanpa sempat pulang terlebih dahulu untuk berganti baju. Kemeja pendek berwarna oranye pudar, celana bahan, dan sandal jepit, langsung menuju ke pos satpam di balik pintu gerbang. "Permisi pak, selamat siang, saya ingin bertemu dengan Pak Julius?" tanyaku, kepada dua petugas security berseragam yang berjaga. Seseorang yang usianya sudah cukup umur, dan seorang pemuda yang sepertinya baru lulus sekolah dua atau tiga tahun sebelumnya. Bapak tua itu sepertinya sedang sibuk membuat laporan, dan security yang berusia lebih muda menanggapi pertanyaanku seperti acuh, setelah sebelumnya memperhatikan penampilanku dari wajah hingga sandal jepit yang kupakai. "Buat apa?" Tidak menjawab pertanyaanku, malah balik bertanya, tanpa memandang ke arahku sama sekali, sedang asyik dengan handphone-nya. "Ingin bertemu, Pak. Penting," jawabku, mulai jengkel dengan tingkahnya yang terkesan acuh dan meremehkan. "Beliau tidak bisa diganggu, lagi sibuk!" jawabnya ketus, sedikit membentak, tetapi matanya terus saja menatap ke layar handphone, sepertinya dia sedang bermain game online. "Setidak-tidaknya sampaikan dulu Pak kepada Pak Julius, jika ada tamu yang ingin bertemu," ucapku, menjawab penjelasannya. "Anjrittt! Mati lagi," keluhnya dengan sedikit kesal, sepertinya dia kalah dalam permainan game. Lalu meletakkan handphonenya dengan sedikit kasar di atas meja. Petugas berusia muda itu terdiam, lantas memelototiku dari tempat duduk besinya. "Anda itu jika sudah dibilang orangnya sedang sibuk dan tidak bisa diganggu, ngerti dong!" ucapnya keras, membentakku, sembari menunjukkan jemari tangannya ke wajahku, masih dalam posisi duduk. "Tetapi setidaknya sampaikan dahulu, Pak, biar Pak Julius tahu dulu," sanggahku akan ucapannya. Petugas keamanan berusia muda itu lantas berdiri cepat, tubuhnya mendekat, terlihat marah wajahnya. Arogan sekali gayanya. "Anda ini punya kuping tidak sih, ngerti atau tidak jika dibilang orangnya sibuk dan tidak bisa di temui." Rahangnya terlihat bergemeretak, matanya menatapku dengan penuh amarah. Pabrik ini sudah salah mempekerjakan orang. Pria petugas ini berhadapan langsung dengan orang yang ingin berkunjung ke dalam pabrik. Membawa citra baik perusahaan. Jika sikapnya sudah tidak menyenangkan seperti ini, kesan baik perusahaan akan jatuh. "Maaf, Pak, bapak belum memberi tahu kedatangan saya, kok bisa bilang jika dia tidak mau menemui saya," jawabku, tetap kekeh ingin bertemu. "Braakkk!" Pemuda itu lantas menggebrak meja di depannya dengan sangat kencang, hingga terlihat bapak tua yang sedang membuat laporan itu terkejut. "Jika begini, anda sama saja mau mencari perkara!" sentaknya, sembari mendorong dadaku kencang, hingga langkahku sedikit mundur. "Sudah-sudah, apa-apaan sih, ini," ucap petugas tua ini ingin melerai. "Ya, ini orang gak ada otaknya, sudah dibilang Pak Julius sibuk tidak bisa diganggu masih ngotot!" jelas pemuda itu, masih emosi, jemari tangannya masih terus menunjuk-nunjuk wajahku. "Saya hanya minta, beri tahu Pak Julius dulu jika saya ingin bertemu, sedangkan ini memberi tahu pun belum, bapak juga pasti dengarkan?" pria tua itu diam saja, sepertinya sifat acuhnya sama dengan pemuda itu. "Ya sudah, saya telepon dulu sekretarisnya, untuk memberi tahu," jawabnya, segera menuju tempat telepon, sementara petugas muda itu masih menatapku tajam, tangannya sudah mengepal. "Bapak namanya siapa?" tanya Pak Tua itu. "Chairiswan Kusumateja," jawabku. Pria itu masih menelpon, tidak lama meletakkan gagang teleponnya. "Bagaimana, pak?" tanyaku. "Tunggu saja dulu, Pak," jawabnya. "Tunggu saja sampai subuh," sindir petugas muda itu kepadaku. Lalu kembali duduk sambil memainkan handphone-nya. Tidak beberapa lama, dari dalam kantor yang jaraknya sekitar 30 meter dari pos satpam. Seorang pria berpakaian rapi berdasi, agak sedikit berlari menghampiri ke arahku. Petugas muda yang juga melihat kehadiran Julius, lantas cepat-cepat menyembunyikan gawainya ke dalam laci, dan langsung berdiri tegap, diikuti oleh petugas yang berusia sudah lanjut. "Selamat siang Pak Khairiswan, ada yang bisa saya bantu, Pak? tanya Julius, yang notabene adalah kepala pabrik di perusahaan pengolahan teh yang masih di bawah naungan Niskala group. Dari sudut mataku, sempat menangkap keterkejutan dari dua orang petugas pengaman tersebut, melihat pemimpin tertinggi di pabrik ini bicara terbungkuk-bungkuk kepadaku, yang hanya berpakaian lusuh bersendal jepit. "Saya butuh mobil dan sopir untuk mengantar saya ke Jakarta sekarang juga," titahku tegas. Hanya Julius ini yang tahu keberadaanku di desa ini, dan kuminta dia untuk tutup mulut selama bertahun-tahun, dan ternyata dia bisa memegang rahasia. "Baik, Pak, segera saya siapkan," jawabnya, sembari menelpon untuk menghubungi seseorang lewat gawainya. "Sudah, pak. Siap berangkat sekarang juga," ujarnya. "Bapak lebih baik menunggu di kantor saja, Pak," ajaknya padaku. "Julius." "Saya, pak." "Saya tidak ingin melihat orang itu ada di pabrik ini," ucapku tegas, sembari menunjuk ke wajah petugas muda tersebut, "dan bapak yang disebelahnya pensiunkan saja, kasihan sudah terlalu tua, dan kasih pesangon yang pantas sesuai masa kerjanya." "Baik Pak, segera laksanakan." "Jika nanti saya lihat dia masih ada di sini, kamu yang saya singkirkan." "Siap Pak, siap. Petugas muda itu terlihat pucat pasi, tidak bicara apapun. Sementara petugas yang sudah berumur itu terlihat cerah wajahnya, memang seharusnya diusia setua itu dia sudah harus pensiun. Aku masuk ke dalam kantor dengan diikuti Julius di belakangku, sepertinya dia sedang menelpon pihak personalia terkait dengan perintah dariku. "Mari Pak, masuk," ucap Julius mempersilahkan aku masuk ke dalam ruang kerjanya. "Panggil pimpinan HRD kemari," titahku lagi. Julius mengangguk dan segera berlalu, tidak lama dia datang lagi dengan orang yang kuperintahkan untuk kupanggil. Aku duduk di bangku yang biasanya diduduki Julius. Suasana ruang kerja ini kembali menaikkan gairah gila kerjaku dulu. Aura kesibukan rutinitas kerja mulai merasuk ke sendi-sendi nadiku. "Siapa namamu?" tanyaku kepada pimpinan HRD di pabrik ini, duduk di depanku berdampingan dengan Julius, setelah kupersilahkan terlebih dahulu. "Saya Oscar, Pak," jawabnya. Segera kusampaikan keluhanku menyangkut tentang perilaku petugas pengaman di pabrik ini, menanyakan secara detail bagaimana system' perekrutan karyawan baru, test psikologi, juga menyangkut masa kerja. Terlihat aneh jika melihat pria tua yang sudah uzur masih bekerja sebagai team pengaman, dan dari penjelasannya memang kutemukan ada system' yang sudah tertulis yang tidak dilaksanakan. Pucat pasi, pimpinan HRD yang bernama Oscar itu kumarahi, memintanya untuk segera mengikuti SOP yang sudah dibuat, disertai ancaman akan membuangnya dari pabrik ini jika tidak ada perbaikan. Yah, aku memang terlahir dari keluarga pebisnis. Tidak bisa diam jika melihat ada ketidaksesuaian yang terjadi. Aku tegas, tidak ada kompromi dalam berbisnis. Andalan almarhum kakek dalam memperluas bidang usahanya, sampai pada satu peristiwa yang menyakitkan, aku lantas memutuskan untuk menghilang. "Pak ... mobil dan sopir sudah menunggu di depan kantor," ucap Julius, setelah melihatku selesai menyantap hidangan nasi Padang yang dia persiapkan. "Baik, saya sudah siap untuk "pulang."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD