Brum brum..., motor itupun berhenti tiba tiba di tengan jalanan kampung.
Motor Renata meman motor tua, motor Astrea Grand peninggalannya pamanya.
Paman Renata memberikan motor itu waktu dia sekolah SMP dulu karena letak sekolah yang cukup jauh dari rumahnya.
Motor tua dia makan usia itu memang suka buat ulah, mogok tak tahu tempat.
Renata mencoba menghidupkan motor beberapa kali namun tak bisa.
"Ck, si hitam memang lucnut,mogok gak tahu tempat." kata Renata mengomel.
Dia bisa saja menelpon supir pribadi yang telah di tunjuk ayahnya tapi tidak, sandiwara ini belum berakhir.
Baru satu sahabat yang topengnya terbuka, dia masij ingin mencari manusia manusia yang bermuka dua lainya sebelum mereka tahu siapa sebenarnya Renata putri Wiranata dan mereka akan kaget setengah mati ataupun kencing berdiri nantinya setelah Amira mendapat haknya sepenuhnya karena saat ini sesungguhnya Renata sedang bersiap siap menggugat tantenya Erlita dan juga neneknya Rosa, sudah terlalu lama mereka menikmati kenyamanan atas harta yang bukan miliknya.
Dengan terpaksa Renata menuntun motornya, hitung hitung olah raga.
Tiba tiba
Brum ..brum.., Danu datang dengan motor metik pengeluaran terbaru.
"Haii.. gadis miskin, hari gini motor masih mogok."
Danu tertawa mengejek sambil menyetarter motornya.
"Is kalau aku sudah ku buang motor butut seperti itu ke tempat loakan atau aku kasih tukang rongsokan tukar sama kerupuk yang di goreng pasir." kata Nurul menimpali.
Renata hanya diam dan tenang tanpa amarah, biarlah mereka puas puaskan dulu menghinanya biar bahagia hidupnya, kelak ketika roda berputar harap harap dia tidak t*******g keliling kampung.
"Alhamdulilah bisa beli motor ya Danu."
"Oo, kalau aku jelas motor tiap bulan ganti." Danu membenarkan kacamata hitamnya.
"Iya dong sayangnya aku." Nurul menunjuk dadanya.
Sekali Renata hanya tersenyum menanggapi kesombongan mereka itu.
****
"Kamu dari mana nak?" Amira bertanya pada anaknya yang baru sampai rumah.
Keringat membasahi tubuh Renata, menuntun motor tadi betul betul sukses membuat tubuhnya berpeluh seperti habis lari maraton.
"Dari rumah lisa bu." jawab Amira. Di raihnya kendi (sejenis teko dari tanah liat berfungsi tempat air yang akan terasa dingin jika di minum).
"Motormu mogok lagi nak?"
"Iya bu, nanti mau ku bawa ke bengkel." jawab Renata.
Renata sebenarnya ingin menceritakan semua tentang ayahnya pada ibunya tapi dia takut akan membuka luka lama ibunya, biarlah nanti jika waktunya sudah tepar dia akan ceritakan semuanya.
"Maaf ya nak, ibu belum bisa membahagiakan kamu, dari kecil kamu tak pernah bisa hidup seperti mereka." kata Amira. Dari nada suaranya yang sedikit serak dia sepertinya sangat sedih dan menyesal.
Di usapnya puncak kepala Renata anaknya dengan lembut dan penuh kasih.
"Siapa bilang Rena gak bahagia ibu, Rena sangat bahagia di besarkan wanita tangguh seperti ibu, ibu kuat menahan hinaan orang orang sekitar ibu bahkan ibu rela di usir dari rumah ibu sendiri hanya untuk mempertahankan aku."
Amira tersenyum, anaknya sudah besar rupanya sudah bisa memahami apa yang dia alami dan juga sudah paham bagaimana kerasnya hidup membesarkan anak tanpa ayah.
Ke sana kemari di hina dan di caci seolah dirinya adalah manusia paling kotor di dunia ini.
Ingatan Amira tertuju pada dua puluh tahun yang lalu.
Plack ..., Nyonya Rosa menampar keras pipi Amira sehingga menimbulkan bekas memerah di pipi Amira.
"Anak tak tahu di untung, kamu hany memalukan keluarga saja." kata Nyonya Rosa murka.
"Gugurkan kandungan kamu!" Tuan ronald ayah tiri Amira ikut bicara.
Tuan Ronald sebenarnya hanyalah pegawai biasa di kebun teh milik ayah kandung Amira yang bernama Tuan Robert.
Namun setelah tuan Robert meninggal justru Nyonya Rosa menikah dengan Ronald dan memiliki anak Nyonya Erlita.
Jadi secara tak langsung sebenarnya Amiralah yang berhak atas semua harta Tuan Ronald, namun orang orang serakah itu justru ingin menguasai sendiri harta tersebut.
Dan Nyonya Rosa sebagai seorang ibu tidak bisa berlaku adil pada anak anaknya, bagi dia anak kesayangannya adalah Nyonya Erlita.
"Tidak." jawab Amira tegas tanpa ragu.
"Dasar anak gak tahu diri, jadi kamu milih melenpar kotoran ke keluarga kamu hah?" kata Tuan Ronald. Matanya membulat tajam ke arah Amira, ingin rasanya dia membelah perut Amira yang buncit itu lalu memakan hidup hidup anaknya.
Amira kemudian memutuskan pergi dari rumah untuk mempetahankan bayinya melwan kerasnya hidup dan hinaan dari orang orang yang merasa dirinya paling suci.
*****
"Rena ke bengkel dulu bu, mau benerin motor." pamit Renata.
"Iya nak hati hati." kata Amira.
Renata meraih tangan ibunya yang kasar dan mulai keriput itu untuk kemudian di cium tanda takzim.
Renata menuntun motornya menyusuri jalan kampung menuju bengkel motor langganannya.
"Eh lihat tu Renata, motor bututnya itu masih aja di pakai, kalau aku udah ku buang." kata beberapa emak emak yang sedang ngerumpi di teras sebuah rumah.
"Ah kamu ni, bu Amira mana ada duwit buat beli motor." tukas ibu ibu yang lain.
Renata hanya tersenyum dan menganguk menyapa mereka, tak ada amarah ataupun dendam walaupun Renata mendengar jelas hinaan mereka tadi.
Renata tak ingin menyombongkan dirinya walaupun sebenarnya dealer motorpun bisa dia beli.
Tidak, itu perlu, dia tak mau seperti emak emak yang punya emas sedikit heboh di pamerin orang sekampung.
Brum brum...
Renata menoleh ke suara motor yang tenyata Danu.
Seperti biasa Danu tersenyum mengejek." Kasian orang miskin, motor sudah buruk pun masih di pakai, buang sana ke tukang rongsokan oyy." Kata Danu dengan nada sombong seperti biasa.
"Terima kasih sarannya." jawab Renata tenang.
Seperti biasa Renata memilih tak menanggapi hinaan Danu, biar saja dia bahagia dengan hinaanya.
Renata kembali menuntun motornya namun baru saja berjalan dua orang lelaki bermotor besar menghampiri Danu.
"Haii bang sini motornya ini sudah batas waktu untuk bayar cicilan motor lo, sudah enam bulan lo nunggak."
Renata mengerutkan alisnya, jaraknya yang masih belum terlalu jauh memungkinkan dia mendengar percakapan mereka.
"Aduh bang jangan dong, malu dong saya." kata Danu memohon.
"Ah bodo amat."
Salah seorang mendorong paksa Danu untuk turun.
"Bang, jangan ambillah motor saya." mohon Danu tapi lekaki itu tak menghiraukan Danu dan membawa motornya pergi.
"Sial.." umpat Danu.
Renata hanya menoleh sebentar lalu kembali melangkah pergi, dia ingin tertawa takut dosa karena mentertawakan penderitaan orang lain.
"Tak baik memaksakan sesuatu demi gengsi, bergayalah sesuai kemampuan saja." kata Renata membatin.