"Kak Duta.." Teriak Mika melihat sosok Duta melambai padanya dari kejauhan. Disampingnya ada Tante Diana yang tampak tak tenang dalam duduknya. Saat Duta ada dihadapannya, mereka ber hi-five ria.
Tante Diana resah karena ia baru saja mendapat telepon bahwa anak kesayangannya akan berkunjung akan pulang ke rumah. Sementara Mika kekeh ingin tetap bersama Duta.
"Ehmm... Gimana ya, Nak. Mikanya keliahatan ingin sekali main bareng kamu, tapi sayanya tidak bisa menemani."
"Ibu tenang saja, Ibu bisa percaya sama saya. Ibu kasih tahu alamatnya saja, nanti biar saya antar Mika pulang." Tante Diana tak bergeming, ragu. Bagaimanapun juga Duta tetaplah orang asing yang patut diwaspadai, terlepas dari wajah malaikat yang dimilikinya. Seolah mengerti isi pikiran tante Diana, Duta menambahkan. "Saya bisa meninggalkan KTP, kalau perlu." Ujarnya disela tawa.
"Ah, tidak-tidak.. " Tante Diana menggeleng cepat. "Kasih nomor telepon kamu saja, nanti saya sms alamat rumah saya dan alamat rumah Mika. Nanti kalau kalian selesai main kurang dari jam 4 sore, kamu antar Mika ke rumah saya. Kalau sudah sampai jam 4, tolong langsung antar ke rumah Bundanya. Nanti saya juga akan beritahu Bundanya Mika." Duta mengangguk mengerti, dan mereka pun bertukar nomor ponsel.
"Nah, Mika. Sekarang kita mau kemana?"
"Apa Kakak bisa bikin istana pasir?"
"Istana pasir?"
Mika mengangguk kuat, "Ya, yang besar dan tinggi." Duta memasang gimik berpikir keras. Namun belum sampai mengucapkan jawabannya, Mika sudah lebih dulu menariknya menuju area bermain kolam pasir.
***
Sejak beberapa menit lalu, Sadin dibuat risih dengan kehadiran dua orang lagi dari masa lalunya. Kali ini Vella, bersama Renata. Mereka duduk di lounge sambil memandanginya, seolah ia adalah spesies langka yang baru ditemukan di muka bumi. Mereka tak berani mendekatinya, sejak ia menekankan bahwa ia sedang bekerja di sini. Seakan tak ingin ditipu seperti kemarin lusa, Vella bersikukuh ingin menunggu disini.
Pemilik toko keluar dari ruangannya dan menghampiri mereka. Sadin berdoa dalam hati agar dia mengusirnya dengan alasan apapun. Namun doa Sadin lagi-lagi tak didengar Tuhan, bos nya itu malah memanggilnya dan mengatakan sesuatu yang tak diinginkannya sama sekali.
"Saya beri waktu setengah jam, Sadin kamu bisa istirahat."
"Tapi, mbak.. yang lain gimana?" Semoga alasan ketidakadilan mampu mengurungkan niat Angel.
"Tidak apa - apa, yang lain bisa mendapat kesempatan yang sama juga lain kali."
Merasa Sadin terlalu banyak alasan ingin menghindar, Vella dan Rena gemas sendiri di buatnya. Kedua gadis itu kompak menyeret Sadin keluar toko.
"Disini saja... " ujar Sadin menahan langkahnya, sambil berusaha melepaskan gandengan kedua mantan sahabatnya itu. Mantan? Ya, karena sejak enam tahun lalu kehidupannya telah berbeda.
Vella mendesah lemah, melirik Renata seolah berkata tuh, kan. Apa gue bilang. Rena menarik nafas panjang, lalu berusaha menyentuh lengan Sadin lembut. "Sadin, Kamu masih ingat kita. Kan?" Barangkali Sadin amnesia.
"Ada apa?" Tanya Sadin dingin.
"Din, lo sebenarnya kenapa sih? Lo nggak suka ketemu kita lagi? Atau lo memang sengaja menghindar dari kita? Ada apa, apa kita ada berbuat salah sama lo?" Vella kehilangan sabar.
"Jadi itu masih kurang jelas?" Sadin berusaja bersikap kasar dan jahat, jika itu satu-satunya cara ampuh mengusir dua gadis cantik dan modis itu. "Sekarang aku bukan lagi Sadin yang dulu, bukan Sadin teman kalian lagi. Jadi, tolong. Tolong jangan datang ke sini lagi dan menganggu pekerjaanku. Sekali lagi aku mohon pengertian kalian."
"Tapi apa salah kita?"
"Kadang alasan tidak selalu tentang salah dan benar. Kadang takdir sendiri bisa jadi alasan." Gumam Sadin pelan, lalu berbalik pergi.
"Sadin, tunggu. Apa maksudnya tadi?"
"Vel, jangan." Renata mencegah Vella yang ingin mengejar Sadin.
***
Tanpa alat apapun kecuali sekop kecil dan sebuah papan persegi, Duta dan Mika berusaha membangun istananya.
"Tinggal buat atapnya saja, Kak."
"Iya, sini, Mik. Bantuin Kakak bikin kerucut." Duta menaruh beberapa genggam pasir setengah basah ke atas bentukan pasir persegi.
Entah apa yang membuat Duta mau berkotor-kotor di atas pasir. Duta tak pernah menyangka akan bisa semenyenangkan ini menghabiskan waktu dengan seorang anak kecil yang kebanyakan dianggap orang dewasa sebagai makhluk penganggu. Siapa pun yang melihat mereka pasti berpikir bahwa mereka kakak adik atau mungkin juga ayah dan anak.
Dan akhirnya istana itupun berhasil mereka buat, meskipun tak seindah seperti bayangan Mika, tetap saja tak mengurangi kegembiraan bocah itu. Mungkin sebuah kebanggan, akhirnya Mika bisa merasakan bermain di taman seperti cerita teman-temannya. Yah, walaupun tidak ditemani ayah seperti mereka. Bermain bersama ayah, Mika tahu Mika tak akan pernah bisa merasakannya.
Sambil membersihkan sisa pasir yang menempel di telepak tangannya, Duta mundur beberapa langkah untuk melihat buah karya pertamanya. Di matanya istana itu sama sekali tidak bagus, bahkan bisa dikatakan buruk. Duta teringat terakhir kali ia melakukan kegiatan ini saat dirinya seusia Mika, waktu itu di salah satu pantai di pulau Bali. Kemudian Mika berlarian ke arahnya, membuat rambutnya yang dikuncir kuda bergerak ke kanan dan ke kiri mengikuti gerakannya. "Bagus ya, kak?"
"Bagus, dong. Siapa dulu yang buat."
"Mikaaa... " Mika menepuk d**a bangga.
Dura tergelak kuat, lalu mengeluarkan I-phone keluaran terbaru miliknya. "Berdiri di dekat sana, Mik. Kakak fotoin."
"Nanti di cetak ya, Kak." Duta hanya mengacungkan jempol, lalu Mika mengambil posisi di belakang istana. Melakukan beberapa pose dengan percaya diri, jelas sekali Mika sering dan senang difoto.
"Lihat dong, Kak. Lihat... "
Duta duduk dipinggiran kolam dengan Mika berdiri disampingnya, memanjangkan leher agar menjangkau layar ponsel Duta. Mika cekikikan sendiri melihat gambar dirinya, mungkin lebih tepatnya mengagumi betapa cantik dan menggemaskan ia di dalam foto.
"Cantik banget, Mik."
Mika tersenyum malu-malu. "Di rumah Mika punya banyak foto karena setiap hari Bunda suka fotoin Mika."
"Oh, ya? Pantes kalau begitu." Duta mempercayainya. Wajar karena orang tua manapun pasti akan bangga memiliki anak secantik Mika, lalu mengabadikannya melalui lensa kamera.
Saat mereka sedang asyik - asyiknya mengobrol tentang foto, sebuah bola menggelinding mengenai kaki Duta. Namun bukan itu yang membuat mereka terkejut, melainkan istana mereka yang hancur karena sebelum mengenai ujung sepatu Duta, bola itu lebih dulu menghantam istana pasir mereka.
Mika mendesah kecewa, lalu seorang bocah lelaki berlarian ke arah mereka dan memungut bolanya. "Leo, bola kamu kena istana pasir aku." Ternyata bola itu milik temannya, Leo.
"Itu bukan istana, itu tumpukan pasir." leo sama sekali tak menunjukkan rasa bersalah, atau memang tidak bersalah.
"Jangan ngejek istana yang aku buat sama kak Duta."
"Aku enggak ngejek. Lagian kalau nggak mau diganggu, jangan main di taman umum. Dasar bodoh." Leo mengakhirinya dengan menjulurkan lidah mengejek.
"Ihh. Leo!" Teriak Mika kesal saat Leo berlari meninggalkannya.
Duta menarik Mika mendekat padanya, "Sudah, nggak boleh marah-marah. Gimana kalau kita beli es krim?"
"Tapi Leo itu emang nyebelin anaknya, di sekolah dia yang paling jahat sama Mika. Dia Selalu ngejek Mika bodoh. Eh tidak cuma Leo aja sih, icha juga menyebalkan."
Dan, ada lagi yang Duta baru tahu di 23 tahun hidupnya. Bahwa mendengarkan anak kecil berceloteh ini dan itu, ternyata sangat lucu.
***
Duta menatap geli dari samping Mika yang sibuk menjilati es krimnya, tangan dan bibirnya belepotan. Memandangi Mika lekat-lekat seperti ini membuatnya menyadari, bahwa perkataan Tante Diana kemarin ada benarnya. Bahwa wajah mereka mirip.
Selain wajah, dibandingkan dengan keturunan asia lainnya, Mika memiliki rambut yang sedikit berbeda yakni berwarna cokelat gelap. Kulitnya juga lebih pucat dibanding orang Indonesia kebanyakan. Mirip dengan Duta swaktu kecil, namun semakin Duta dewasa, rambutnya semakin gelap. Wajar saja karena ayah Duta keturuan campuran.
Saat Mika tiba-tiba menoleh padanya sambil nyengir, Duta hanya tersenyum membalasnya. Tangannya terulur begitu saja untuk membersihkan sudut bibir Mika. "Mika di keluarganya ada yang bule, ya?" Tanya Duta ingin tahu.
"Bule itu orang Amerika ya, Kak?" Duta mengangguk saja, mungkin maksud Mika adalah orang - orang berperawakan tinggi, berkulit putih, berambut pirang, dan berbicara pakai bahasa Inggris. "Bukan, Bunda Mika bukan bule."
"Ayah kamu?"
"Mika nggak punya ayah, Ayah Mika udah meninggal."
Jawaban Mika membuat Duta berpikir mungkin Mika belum mengerti arti kata meninggal sehingga bisa mengucapkannya dengan seenteng itu. Kasihan sekali.
"Meninggal itu seperti kucing Alika yang tertabrak mobil terus nggak bisa gerak terus dikubur itu kan, Kak?"
Duta tersenyum getir, "Ya, kurang lebih seperti itu. Mika nggak sedih nggak bisa bertemu dengan Ayah Mika lagi?" Duta sebagai orang dewasa saja kerap kali ngeri membayangkan orang terkasihnya meninggal dunia.
"Enggak." Nafas Duta tercekat sesaat, "karena Mika nggak pernah ketemu sama Ayah, jadi Mika nggak tahu harus sedih apa enggak. Yang selalu ada sama Mika cuma Bunda, dan Mika nggak mau Bunda meninggal."
Duta dapat menangkap ketulusan disana. Mika, hanyalah anak kecil berusia lima tahun yang telanjang akan segala drama dunia.
"Oh ya, kakak udah punya pacar?" Duta menggeleng, "Istri?" Duta menggeleng lagi. "Anak?"
Duta terbahak kencang, "Apalagi anak, Mika. Istri aja belum punya. Lagipula kakak masih muda, umur kakak baru 23 tahun."
Mika mengerucutkan bibir lucu, ekspresi kesal karena ditertawakan. "Bunda Mika umurnya juga 23, tapi dia udah punya anak Mika. Itu artinya 23 tahun itu sudah tua."
"32 maksud kamu mungkin."
Mika menggeleng tegas, "Tidak. Umur Bunda dua dan tiga."
"Mungkin Bunda kamu memang menikah muda." Sebenarnya Duta sedikit terkejut. Jika usia Mika sekarang 5 tahun, maka bunda Mika menikah kurang lebih usia 17 tahun sudah dihitung dari masa kehamilannya.
Samar - samar terdengar suara meongan kucing, Mika menoleh kesekeliling namun tak menemukannya. Dan saat mendongak ke atas, Mika melihat seekor anak kucing terjebak di atas pohon. "Kak, kucing.. " tunjuk mika.
Insting Duta sebagai seorang pecinta hewan khususnya kucing dan anjing langsung memekik terkejut. "Ya ampun, dia kesangkut."
"Kok dia bisa ada di atas pohon sih, bukannya kucing nggak punya sayap?"
"Dia mungkin manjat terus nggak bisa turun. Kamu tunggu disini ya, Kakak mau nolongin kucingnya. Dan tolong pegangin ini.. " Mika menurut saja menerima es krim Duta di tangan kirinya.
Dengan pijakan terukur dan hati - hati, Duta mulai memanjatnya. Mika menganga kagum dibuatnya, menurutnya Duta keren sekali. Saat berhasil menggapai kucingnya, Duta memeluknya dan turun lebih hati - hati. Duta langsung membiarkan kucing itu berlari pergi begitu menapak tanah.
"Wah.. kak Duta, keren. Bisa manjat-manjat gitu, kayak sepidermen"
"Spiderman, Mika." Duta membenarkan.
Namun Mika menggeleng tegas, "Ih.. bukan. Spidermen kan yang ada di luar negeri dan manjatnya di tembok. Dan kak Duta itu orang Indonesia, manjatnya di pohon. Beda kan, Kak?"
"Iya deh, iya. Sepidermen." jawabnya memakai aksen medok jawa.
Mereka kembali duduk dan kembali menikmati es krim masing-masing, ketika Duta membuka ponselnya dan menemukan notif pesan dari Vella diantara notifikasi lain.
Kita ketemuan, segera. Ini tentang Sadin.
Dan duta anggap itu sebagai pesan penting.
***
Jam masih menunjukkan pukul 11 siang saat Duta mengajak Mika pulang. Duta akan mengantar Mika ke rumah Tante Diana, meskipun sebelumnya Mika sempat menolak dengan megajukan tawaran mereka bisa bersama selama satu jam lagi.
Mobil Duta tak bisa masuk ke gang, jadi diparkirnya di pinggir jalan raya. Semoga tak ada polisi patroli sehingga mobilnya tak diderek. Duta membukakan pintu untuk Mika. "Hati - hati."
Hap! Mika melompat turun dengan wajah bahagia, katanya ini pertama kali Mika naik mobil selain bus dan angkot. Tepat setelah bunyi pintu berdebam tertutup, seseorang memanggil Mika.
"Om Martin." Teriak Mika pada seorang lelaki berstelan jas rapi yang juga baru keluar dari mobilnya.
Lelaki itu mendekat, menatap curiga Duta yang tak pernah dilihatnya. "Siapa ya?" Tanya Martin.
Duta mengulurkan tangan. "Nama saya Duta, Tante Diana menitipkan Mika ke saya dan saya akan mengantarnya pulang."
"Darimana bisa kenal Mika dan Mama saya?" Oh, jadi dia anaknya Tante Diana.
Duta tersenyum kecil, "Yang jelas saya bukan seperti yang anda pikirkan. Tolong sampaikan salam saya pada Tante Diana, dan sepertinya saya cukup mengantarkan Mika sampai disini saja." Duta lalu membungkuk, mensejajarkan wajahnya dengan wajah mika. "Mika, Kakak pulang dulu, ya. Kapan-kapan kita main lagi, oke?"
Mika membentuk hutuf O dari jari telunjuk dan jempolnya. "Oke, Kakak sepidermen." jawabnya sambil mengedip lucu.
Sebelum pergi, Duta mengangguk sekali pada Martin yang masih bertahan dengan wajah curiganya.
Sementara Martin masih bertanya - tanya bagaimana lelaki itu bisa kenal dengan mamanya dan Mika? Dan, mengapa mereka terlihat akrab sekali, seperti dua orang yang sudah kenal lama. Setahunya Sadin tak memiliki sanak keluarga, bahkan teman sekalipun. Satu - satunya orang terdekat Sadin selain Mika, ya mamanya.
"Bye, Kak sepidermen." Mika melambai sepeninggal duta.