"Apa ada masalah, Bu?" Tanya Sadin sopan saat salah satu guru Mika menghampirinya, dan berkata ada yang harus disampaikan. Melalui ekspresinya, Sadin terbawa pikiran bahwa itu bukanlah hal baik.
Bu guru itu hampir setiap hari bersama Mika. "Ibu masih ingat apa yang saya sampaikan tempo hari itu, kan?" Kening Sadin berkerut bingung. "Tentang keterlambatan Mika mengikuti pelajaran." Lanjut Bu Laras kemudian.
"Oh.." Bukannya lupa, saat itu Sadin hanya ragu sekaligus takut. Mana mungkin Sadin lupa setiap hal tentang Mika. Kelebihan, apalagi kekurangan. "Saya ingat, dan saya pikir saya bisa mengatasinya. Ketertinggalan Mika mungkin disebabkan karena saya kurang memperhatikan cara dia belajar. Saya akui, saya jarang menemaninya belajar."
Bu Laras menggeleng pelan. "Masalahnya tidak sesederhana itu, Bu. Saya dan guru-guru lain sudah membahas ini, dan kami menyimpulkan bahwa Mika butuh pemeriksaan lebih lanjut."
"Anak saya sehat-sehat saja, Bu." Bantah Sadin tak terima anaknya dipandang bermasalah.
"Secara fisik memang iya, tapi apa anda tahu bagaimana kerja otaknya? Maaf sebelumnya, bukannya saya menganggap Mika bodoh. Tapi percayalah, Bu. Itu semua untuk kebaikan Mikayala. Tidak ada salahnya memastikan lebih dini."
Sadin terdiam memikirkannya. Perempuan itu tak mau menutup mata, mengelak bahwa memang ada yang beda dari perkembangan Mika jika dibandingkan anak lain seusianya.
***
Mikayla, nama dan wajah anak kecil itu masih lekat di ingatannya. Anak kecil cantik dan penuh semangat. Anak kecil yang memberinya pengalaman pertama kali untuk tertawa dengan cara berbeda. Anak kecil yang menggetarkan hati Duta hanya dengan senyum dan pelukan seperkian detiknya. Duta tak pernah menyangka, ternyata anak itu adalah anak kandungnya.
Duta masih memperhatikan ketiga orang itu, Sadin masih berbicara dengan seseorang entah siapa, sedangkan Mika... Mika menatap ke arahnya, entah apa yang ada dalam pikiran bocah itu. Sampai ketika perempuan yang berbicara dengan Sadin pergi, dan Sadin menuntun Mika menaiki motor.
Duta mengikutinya di belakang, ia ingin tahu pemberhentian terakhir Sadin. Rumah Sadin. Agar suatu saat jika Sadin sembunyi, Duta dengan mudah bisa menemukannya. Atau, jika ia rindu pada anaknya, ia bisa datang kapan saja.
Hingga akhirnya motor Sadin masuk ke sebuah gang kecil yang tak bisa dilewati oleh mobil. Duta memandangi sekitarnya, ia merasa pernah kesini sebelumnya. Duta mengingatnya, dan langsung tersadar bahwa ini merupakan titik yang sama ketika ia mengantarkan Mika pulang. Dengan cepat, Duta membuka ponselnya. Mencari satu pesan didalam kotak pesan masuk. Mencari pesan singkat berisikan alamat rumah yang dikirimkan Tante Diana kemarin.
Sepertinya hukum mencari jarum jahit sedang berlaku sekarang. Diantara draft pesan yang jumlahnya hanya puluhan, Duta kesulitan mencari pesan yang dimaksud. Duta sampai harus men-scroll berulang kali, hingga akhirnya ia menemukan pesan itu. Setelah alamat didapat, Duta langsung keluar dari mobilnya dan masuk ke gang yang sama.
Duta berjalan pelan, menoleh kanan kiri untuk menyamakan nomor. Suasana perkampungan kumuh benar-benar terasa di sini. Beberapa anak kecil berpakaian dekil yang kejar-kejaran di jalan sempit itu mau tak mau menabraknya, Duta juga menemukan ibu-ibu bergerombol bergosip satu sama lain. Duta kesulitan mencarinya karena letak rumah yang saling berdempetan dan tak semua pintu memiliki nomor. Duta berniat untuk bertanya, namun urung saat melihat sebuah motor dengan merk dan model yang sama persis seperti milik Sadin. Terparkir di teras sebuah rumah mungil yang tak lebih bagus dari pos satpam di rumahnya. Itulah rumah Sadin, tempat tinggal anaknya.
Sebuah rumah berlantai satu, ukurannya tak besar, dan memiliki halaman kecil di depannya. Tampak cat rumah sudah memudar dan terkelupas di beberapa bagian. Halamannya di biarkan kosong, dan hanya ditumbuhi rumput-rumput liar, dan terdapat rangka jemuran berkarat di sana. Duta tak bisa membayangkan keadaan di dalam rumah.
Duta tak bisa percaya ini, bukannya sulit, tapi ini benar-benar mustahil. Duta memandangi rumah itu tanpa putus. Merekam setiap detail yang ada untuk menghukum dirinya sendiri. Tanpa perlu perumusan masalah yang rumit, Duta tahu semua ini salahnya. Harusnya waktu itu mempercayai Sadin, menemaninya melewati badai itu, dan hidup bersama. Hati Duta berdenyut sakit, lelaki itu marah pada dirinya sendiri.
Perlahan lelaki itu bergeming, melangkah mendekati rumah.
"Kamu mandi dulu, Bunda mau angkat jemuran dul..lu." Tubuh Sadin melambat, hingga diam membatu ketika dilihatnya Duta berdiri tepat di depan terasnya.
"Bagaimana, kamu bisa ada disini?" Susah payah Sadin mengucapkannya. Ternyata bukan tubuhnya saja yang membatu, suara Sadin juga.
Duta tersenyum tipis, lebih kepada senyuman miris. "Jadi rumah seperti ini yang kamu tinggali? Jadi kehidupan seperti ini yang kamu jalani?"
Sadin tersinggung, perkataan Duta terdengar seperti hinaan di telinganya. Satu lagi, Duta telah menggoreskan satu luka lagi. "Apa mau kamu dengan datang ke sini?" Sadin tak mau banyak bicara, tak mau juga bertanya bagaimana Duta bisa menemukan alamatnya. Entah menguntit atau menyewa detektif swasta, Sadin benar-benar tak peduli.
"Waktumu, aku ingin kita bicara empat mata."
Sadin membuang muka. Sikap ketus ditampilkannya, berharap bisa menjatuhkan harga diri Duta. "Tidak ada yang perlu kita bicarakan."
"Aku ada." Nampaknya itu tak berhasil. Duta sama sekali tak terpengaruh dengan sikap Sadin. Lelaki itu tetap tenang. "Aku ada banyak hal yang ingin aku katakan dan tanyakan." Ulang Duta.
"Aku tidak mau."
"Masalah diantara kita sekarang bukan hanya antara aku dan kamu, Din. Tapi juga anak kita."
"Anak?" Ulang Sadin sakartis, hatinya semakin sakit mendengar kalimat ‘anak kita’ keluar dari mulut Duta. "Apa aku mengenalmu, Bung? Dan, kenapa tiba-tiba anakku bisa jadi anakmu?"
"Sadin, ayolah. Jangan hukum aku dengan cara seperti ini. Aku datang untuk bertanggung jawab. Menebus kesalahanku." Ucap Duta bersungguh-sungguh. Sesungguh bahwa yang dipikirkannya saat ini bukanlah keinginannya memeluk Sadin, melainkan anak mereka.
"Terlambat." Dengus Sadin tercekat, lantaran menahan desakan air mata yang meminta keluar. Namun Sadin masih punya harga diri untuk tak menangis di depan lelaki yang sudah banyak membuatnya menangis. "Harusnya kamu datang di saat aku membutuhkan kamu. Enam tahun lalu. Bahkan setelah aku meminta, kamu tetap meninggalkan aku."
Duta tak tahu harus berkata apa. Yang dilakukannya hanya menatap nanar wajah Sadin yang memerah menahan tangis.
"Sekarang aku sudah menemukan hidupku, aku tidak butuh kamu lagi. Jadi sebaiknya kamu pergi dan jangan pernah temui kami lagi. Seperti enam tahun ini."
"Aku mungkin memang terlambat, Din. Karena itulah aku di sini sekarang. Aku berlari secepat yang aku bisa agar tidak tertinggal semakin jauh." Duta menelan ludah serat. "Aku ingin bertemu anakku."
"Untuk apa?"
"Untuk mengatakan ayahnya belum meninggal, ayahnya adalah aku dan aku masih hidup."
"Anakku nggak punya ayah, ayah Mika udah meninggal."
Sadin memicing tak suka. "Aku tidak mengizinkannya."
Baru saja bibir Duta terbuka untuk menjawab, suara teriakan dari dalam rumah menyela.
"Bunda... cepat, Mika dingin."
Sadin gelagapan, takut-takut jika nanti Mika keluar dan bertemu dengan Duta. Sementara Duta menyeringai pilu. "Tidak ada larangan ayah bertemu dengan anaknya."
"Duta, kamu mau apa." Sadin menghadang Duta yang hendak beranjak. "Jangan macam-macam, brengsek." Sadin ketakutan.
"Kamu tahu si b******k ini bisa melakukan apa saja. Seperti menghamili kamu, lalu meninggalkan kamu." Duta tak main-main dengan ucapannya. Lelaki itu melewati tubuh Sadin, sampai di ambang pintu masuk, Sadin kembali berhasil menghadang langkahnya.
"Baik, besok jam 4 sore di kafe terakhir kita bertemu dulu." Sadin memejamkan mata dan mengatakannya cepat-cepat. Perlahan Sadin membuka mata, bersamaan dengan air matanya menetes keluar. Semudah itu benteng pertahanan Sadin runtuh.
Kedua tangan Duta mengepal disisi tubuhnya, menahan agar tangannya tak lancang menghapus air mata Sadin. Lelaki itu mengangguk berat. "Harusnya kamu katakan itu sejak tadi, jadi aku nggak perlu membuat kamu menangis lagi.”
Sadin mengusap air matanya kasar. "Aku mohon pergi sekarang." Sadin berbalilk cepat masuk ke dalam rumah, tak lupa menutup pintu rapat-rapat. Meninggalkan Duta yang sedikit diliputi lega karena Sadin memberinya celah untuk masalah mereka.
Ini merupakan langkah awal Duta mengejar segala yang sudah Sadin dan Mika lewati enam tahun tanpanya.
***
Masalah itu membuatnya tak bisa tidur, tak berselera makan, tak ada yang ingin dilakukannya kecuali segera bertemu dengan Sadin.
Sejak pukul 3 siang, Duta sudah berada kafe yang dimaksud. Kafe yang bisa dibilang sebagai saksi bisu kisah cintanya bersama Sadin. Letaknya dekat dari sekolah, sejak dulu hingga sekarang kebanyakan pengunjungnya adalah anak - anak SMA.
Tarikan nafas panjang disertai gumaman seorang lelaki di seberang Duta menyadarkan Duta dari nostalgia singkatnya. "Pintar juga si Sadin milih tempat," Bagas mengejek Duta melalui tatapannya. "Di sini kan, dulu lo ninggalin dia?”
Duta idah punya waktu untuk merasa tersinggung. "Ini juga tempat kami jadian."
"Astaga, itu bahkan lebih buruk. Di tempat inilah hidupnya mulai hancur.”
"Yah, hidup dia mungkin sudah hancur."
"Mungkin?" Bagas mengacungkan telunjuk, mengoyangkan ke kanan dan ke kiri. Kemudian memberikan kalmiat yang benar. "Memang sudah hancur." Bagas membenarkan.
"Ya, dan aku akan membangun lagi hatinya."
"Dengan apa? Konstruksi cakar ayam, lalu merekatkannya dengan campuran semen dan pasir?" Bagas tertawa sendiri. "Ya Tuhan, dipikirnya hati cewek itu lahan bongkaran satpol PP apa? Haha.. Duta.. Duta lo - " Duk! Bagas nyaris terjungkal ke belakang akibat tendangan keras Duta pada kaki kursi yang didudukinya. Ibaratnya, Duta sudah bersabar-sabar sejak tadi menerima ejekannya, tetapi makin dibiarkan, ejekan Bagas makin menjadi-jadi.
Duta melirik sekitar yang menjadikan mereka pusat perhatian. Lelaki itu berdecak sambil menyembunyikan wajah malu. "Pergi gih, bentar lagi Sadin datang."
Meski sambil bersunggut - sunggut kesal, Bagas cukup punya malu untuk tidak tetap disana setelah membuat keributan. Lebih lagi, ia ingin memberikan kesempatan bagi Duta dan Sadin, berdua saja.
***
Dengan tergopoh-gopoh Mika mengikuti langkah Sadin yang menggandengnya keluar dari sekolah. Sepasang kaki kecilnya tentu tak bisa disamakan dengan kaki jenjang Milik Sadin. "Bunda, jangan cepat-cepat dong. Tali sepatu Mika mau lepas." Ujar Mika sambil membenarkan letak bandonya yang hampir jatuh. Tapi sang Bunda seolah tuli, tak mau menghiraukannya.
Sampai ketika Mika tanpa sengaja menginjak tali sepatunya yang terlepas, dan terjatuh. Alih-alih langsung membantu Mika mengikat tali sepatunya, Sadin malah langsung menggendong Mika menuju motor.
"Bunda, kenapa buru - buru sekali sih?" Tanya Mika pasrah ketika Sadin memasangkan helm di kepalanya.
"Kita harus segera pulang, Sayang."
"Memangnya ada apa, Bun?"
"Sudah, kamu diam saja." Sadin merasa tak memiliki waktu lagi untuk sekedar menjawab pertanyaan Mika yang pasti tak akan berhenti sampai disana.
Sadin segera menaiki motornya, setelah memastikan Mika memeluknya erat dari belakang, Sadin segera memacu motornya.
Cuaca sedang cerah, tak terindikasi akan turun hujan lebat disertai angin dan petir. Di belakang Sadin juga tak ada rentenir yang mengejarnya, lalu kenapa Sadin cepat - cepat ingin tiba di rumah? Karena Sadin ingin menghindari Duta. Bersembunyi di dalam dan pura-pura lupa akan janjinya. Sadin tak mau bertemu dengannya, lebih tepatnya belum siap. Pertemuan kemarin saja sudah membuatnya gelisah, Sadin belum siap untuk lebih dari itu.
***
Rasanya sudah tak terhitung berapa kali Duta melirik pergelangan tangannya, tepatnya pada jam tangan yang melingkar disana. Bukan untuk memastikan bahwa benda mahal itu terpasang dengan benar, melainkan melihat sudah berapa lama ia menunggu Sadin yang belum juga tiba.
Jam sudah menunjukkan pukul lima sore, satu jam lewat dari waktu yang Sadin tentukan sendiri. Duta mencoba bersugesti positif, bahwa mungkin Sadin harus menyelesaikan urusan lain terlebih dulu. Tapi ternyata itu tak cukup untuk menghalau pemikiran negatif, bahwa Sadin akan mengingkari janjinya. Pertarungan batin terjadi, tiga gelas minuman tandas menemani. Hingga pada akhirnya pertarungan pun dimenangkan oleh pemikiran negatif. Duta bangkit dari duduknya.
Duta tahu kemana harus pergi setelah ini, lelaki itu memacu mobilnya dalam kecepatan tinggi.
Duta marah sebab dibohongi. Ini jelas menjatuhkan harapannya yang kemarin membumbung tinggi. Namun Duta bukanlah orang yang pantang menyerah, ia menasbihkan bahwa takdirnya adalah mendapat semua yang ia inginkan. Dengan cara apapun. Dan dengan sikap Sadin yang seperti ini, Duta malah semakin terpacu.
Beruntung sepanjang jalan yang dilewati menuju rumah Sadin cukup lancar, namun tiba-tiba sedikit tersendat saat ada kerumunan di tepi jalan. Hingga ketika ia melihat seorang lelaki menuntun keluar dari kerumunan sebuah sepeda motor yang sama persis dengan milik Sadin. Duta melihat plat motor tersebut, kedua bola matanya langsung membulat terkejut. Segera Duta menepikan mobilnya, berjalan cepat keluar, dan menyelinap ke dalam kerumunan.
Lelaki itu terpaku sejenak, sejenak itu dapat merasakan nyeri di dadanya setelah melihat pemandangan di depan matanya. Pemandangan seorang wanita berselonjor di tanah berpasir sambil memeluk erat seorang anak kecil yang menangis di pangkuannya. Tampak darah segar mengalir dari kedua kaki perempuan itu.
"Sadin." Duta berlutut disampingnya, masih menatap tak percaya keadaan Sadin dan Mika, dan otaknya belum bisa menerka apa yang terjadi. "Ya Tuhan, Apa yang terjadi?"
Dengan wajah berlinang air mata, Sadin mendongak sebentar lalu menunduk lagi. Sadin sangat malu Duta melihatnya dalam keadaan seperti ini.
"Mika." Duta menyentuh punggung Mika pelan. Mika lantas berbalik.
"Kak Duta." Mika menerjang udara, memeluk erat leher Duta. Sadin menangkat wajahnya cepat, ia merasa ada yang salah dengan pendengarannya. Kenapa Mika mengenal Duta dan memeluknya seolah mereka sudah saling mengenal. Bagaimana bisa?
Duta segera memindahkan Mika ke dalam pelukannya. Menepuk-nepuk punggung Mika yang menangis ketakutan, getaran tubuhnya bisa dirasakan oleh Duta. Sadin tak memahan, perempuan itu terkejut ditengah keterkejutan akibat kecelakaan yang belum sepenuhnya hilang.
"Angkotnya sudah datang, ayo, bawa mereka ke klinik." Ucap seseorang.
'Tidak perlu." Duta mencegah. "Tolong bantu membawanya ke mobil saya saja." Dua orang paruh baya memapah Sadin yang pasrah saja dimasukkan ke dalam mobil Duta, sementara Mika masih belum mau lepas dari Duta. Bersamaan dengan itu, seorang bapak menyerobot, mengatakan bahwa motor Sadin tak bisa distarter. Duta pun meminta tolong untuk membawanya ke bengkel terdekat. Duta juga meninggalkan kartu nama dan sejumlah uang sebagai upah.
"Kamu yakin bisa pangku Mika?" Sadin hanya mengangguk menjawabnya.
Dengan pelan-pelan Duta menaruh Mika di pangkuan Sadin. Sadin langsung mendekapnya, saling menenangkan diri. Setelah itu barulah Duta memutar ke kursi kemudi, dan melajukan mobilnya ke rumah sakit terdekat.
"Bagaimana kalian bisa saling mengenal?"
Gerak tangan Duta di atas lingkaran kemudi kaku, matanya lurus ke depan. lelaki itu menelan ludah. "Entahlah, Takdir... mungkin."