Bab 10 Lelaki Pengganti

2208 Words
Seperti biasa, Sadin selalu menyambut Mika dengan kedua tangan terbuka, siap memeluknya. Tapi kali ini tak biasa karena Mika tak langsung menyambutnya. "Bunda, besok Bunda jangan kerja, ya?" Sadin menaikkan sebelah alis, "kenapa? Kok Bunda tidak boleh kerja?" "Karena Bunda harus ajarin Mika baca, sampai Mika lancar membacanya" Sadin diingatkan lagi kepada satu permasalahan yang harusnya mendapat perhatian lebih daripada lamaran Martin dan kemunculan Duta beserta segala kenagan buruk yang dibawanya. "Tadi semua teman mengejek Mika, mereka menertawakan Mika yang belum bisa membaca sendiri. Tidak ada yang mau berteman sama Mika karena Mika belum bisa membaca." Adu Mika bernada sedih. Sadin mengelus pipi Mika, sayang. "Besok sepulang Bunda kerja, Bunda ajarin, ya? Tapi Bunda tetap harus kerja" Mika menghentakkan kaki tak suka, "Bunda kan sudah kerja setiap hari, masa sehari saja tidak bisa libur sih. Pulang kerja Bunda tidak mungkin menemani Mika belajar, karena di rumah Bunda juga masih kerja, kan?" "Mulai nanti Bunda tidak akan seperti itu. Bunda akan menemani Mika belajar." janji Sadin setulus hati. "Bunda bohong." "Bunda janji, sayang." "Bunda tidak pernah menepati janji Bunda. Waktu itu Bunda janji mau ajak Mika main ke Dunia Fantasi, tapi sampai sekarang belum juga. Bunda jahat, Bunda tidak sayang sama Mika." Mika berteriak sambil menangis. Tubuhnya meronta saat akan dipeluk Sadin. Rotaannya semakin kuat hingga terlapas dari pegangan Sadin dan berlari kencang menjauhi Sadin. "Mika..." Teriak Sadin berusaha mengejarnya. Sadin tak peduli lagi dengan kakinya yang masih terasa sakit. "Sadin, ada apa?" Duta berlarian turun dari mobilnya, awalnya lelaki itu memilih menunggu di dalam mobil. Menahan pergelangan tangan Sadin menuntut penjelasan. Sadin tak mampu berkata-kata, hanya tangannya yang menunjuk-nunjuk arah Mika berlari. "Mika, Tolong.. tolong kejar Mika" "Mika?" Duta melihat ke arah telunjuk Sadin, dan benar saja, Duta melihat anak kecil berlari kian menjauh. Tanpa berpikir apapun lagi, Duta segera melepaskan cekalan tangannya dan berlari secepat mungkin menyusul Mika. Sementara Sadin masih tertatih dalam usahanya. Kakinya terasa sakit sekali, beberapa kali ia jatuh karena tak kuat menahan sakitnya. "Mika.. Mika berhenti. Jangan menyebrang jalan." Teriak Duta keras. Jantungnya nyaris copot melihat Mika bersiap - siap akan menyebrang jalan yang cukup padat. Beruntung langkah lebar Duta mengantarnya tepat waktu. Duta berhasil mengangkap Mika, tepat sebelum Mika melangkahkan kakinya turun ke aspal hitam. Duta menggendong Mika, memeluknya dengan rasa cemas yang belum sepenuhnya terkontrol. "Turun, Kak. Mika mau pergi." Mika meronta minta turun. Duta menurunkannya, namun tak melepaskannya. "Memangnya kamu mau pergi kemana?" "Kemana saja asal tidak bersama Bunda. Bunda udah tidak sayang lagi sama Mika." "Mika.. " Lirih Duta tak tega melihat air mata Mika lagi dengan sebab berbeda. "Bunda tidak pernah seperti itu, bunda sayang sama Mika" Mika menggeleng kuat, "Tidak, kalau Bunda sayang sama Mika, Bunda pasti mau berhenti kerja sehari saja buat mengajari Mika belajar." "Tidak, Bunda tidak mungkin seperti itu." Duta menggendongnya, membawanya pada Sadin yang pasti sangat mencemaskannya sambil terus berusaha menenangkan Mika. *** "Kamu yakin bisa jalan sendiri?" Sadin mengangguk. Duta membantu melebarkan pintu mobil, sambil menyamankan posisi Mika dalam gendongannya. Mika masih ngambek pada Sadin, bahkan di mobil gadis cilik itu memilih duduk sendiri di bangku belakang daripada harus duduk dipangkuan Sadin. Dan sekarang, Mika tidak mau jalan dan hanya ingin digendong Duta. Duta tak tahu apa yang terjadi pada Sadin saat dirinya mengejar Mika, saat kembali tahu - tahu stoking tipis Sadin menyerap darah di bagian lutut. Duta menebak Sadin terjatuh, karena Sadin memang tak mengatakan apapun. "Sampai disini saja, terima kasih. Ayo, sayang. Sama Bunda" Sadin baru menyentuh punggungnya, tapi Mika merenggek dan mengeratkan pelukannya di leher Duta. "Tidak apa - apa, biar sama aku saja." Sadin hanya bisa menatap punggung Mika sedih. Entah gosip apalagi yang akan berkembang di kampung ini tentang si janda beranak satu yang tak jelas mantan suami, keluarga maupun asal usulnya. Melihat seorang lelaki tampan menggendong anaknya, bukan tidak mungkin gosip seputaran si janda berhasil menggoda brondong akan jadi tranding topik baru selama beberapa hari ke depan. Sadin berusaha membutakan mata dari setiap mata yang memicing curiga, dan masih mempersiapkan telinga untuk semua gosip yang akan muncul. Duta berjalan di depan Sadin, Sesekali melirik ke belakang takut - takut jika Sadin jatuh lagi. Saat melewati sebuah rumah paling besar di gang itu, tepat saat seorang lelaki keluar darisana. Lelaki itu, Martin langsung berhambur menahan mereka. "Ada apa ini, Sadin? Mika, dan kamu…" tunjuknya heran pada Duta, lagi. "Mungkin sebaiknya mereka kerumah dulu." sela Duta. Martin berpikir hal sama saat melihat keadaan Sadin, lelaki itu dengan sigap memapah Sadin meskipun Sadin berusaha menolak. Rahang Duta mengeras menyaksikannya, entah berapa besar keingiannya untuk menonjok wajah lelaki yang berani menyentuh sadinnya. Sadinnya? Hey, Duta. Sejak enam tahun lalu Sadin bukan lagi milikmu, kamu sendiri yang membuangnya. Hati kecil Duta mengingatkan. Melirik kebelakang sekali lagi, lalu Duta memulai kembali langkahnya. Entahlah, rasanya berat badan Mika tiba - tiba bertambah, sol sepatunya terasa tertancap paku, dan jalanan vaping yang dilewatinya seperti track pendakian gunung. Duta cemburu.   Ya, Duta. Penyesalan memang selalu datang belakangan. Jika Sadin memang sebegitu berharganya, harusnya kamu tak pernah melepaskannya. Duta tersenyum miris, mengasihani dirinya sendiri. *** "Ssshh.. " Sadin menggigit bibir bawahnya, menahan sakit ketika Martin mengoleskan cairan anti septik ke atas luka barunya. Martin mendongak, melemparkan senyum terbaiknya. Untuk seorang pejuang cinta sepertinya, Martin sadar bahwa segala keadaan harus dimanfaatkan. Bukan berarti pamrih, anggap saja sambil menyelam minum air. Sambil menolong setiap kesulitan Sadin, siapa tahu Martin bisa mendapatkan hatinya juga. Citra lelaki kuat dan siaga coba dibangunnya. "Tahan ya, sebentar lagi selesai." Sadin mengangguk dengan pandangan fokus pada luka yang sedang diobati. Lalu pada Martin yang selalu ada di setiap situasi terburuknya. "Makasih ya" "Ini bukan apa - apa, tidak perlu berterima kasih." Sadin memilih diam kemudian, ucapan terima kasih itu terasa hambar keluar dari bibirnya karena Sadin hanya sekedar mengatakannya saja. Jujur, Sadin masih tidak nyaman dengan Martin mengaku - ngaku sebagai tunangannya. Entalah, Sadin merasa Duta jujur saat mengatakan bahwa Martin memperkenalkan diri sebagai tunangannya. "Janji, Kakak tidak akan pulang, ya?" Suara samar - samar Mika mengalihkan perhatian Sadin. Sadin melihat ke arah pintu masuk dimana Duta masih menggendong Mika dan sedari tadi mereka tak henti berinteraksi. "Mika nempel banget ya sama dia.” Sadin hanya tersenyum tipis. Seandainya Martin tahu siapa Duta sebenarnya, pasti dia tak akan heran. Mengapa mereka bisa sedekat itu. Dulu Sadin tak percaya adanya ikatan batin antara anak dan orang tua, dalam hal ini ayah. Buktinya papanya tidak pernah pulang berbulan - bulan meskipun Sadin telah berdoa dan selalu memikirkan papanya agar cepat pulang, Sadin merasa rasa rindunya tak sampai pada papanya sehingga papa juga tak merindukannya. Tapi setelah melihat Duta dan Mika, Sadin kini mempercayainya. Bahwa ikatan batin itu memang ada. Bahwa darah memang lebih kental dari air. "Mungkin Mika sudah tahu orang cakep." Canda Martin ingin menghapus wajah muram Sadin, tapi yang ada wajah Sadin malah makin murung. *** Martin pamit pulang setelah menerima telepon entah dari siapa, Duta mengucap syukur karena ia tak harus lebih lama melihat tunangan Sadin itu. Duta mengakui, hatinya terbakar cemburu. "Mika..." panggil Sadin berjalan mendekat dengan langkah terseret. "Diam saja disana." Duta tak tega melihatnya, lelaki itu lantas menghampirinya. "Lebih baik kamu duduk saja."   Sadin tak menghiraukannya, perhatiannya hanya tertuju pada Mika yang tiba - tiba cemberut saat didekatinya. Padahal beberapa saat lalu Sadin sudah mendengar gelak tawa Mika. Sadin menyentuh punggung Mika pelan. "Mika masih marah ya sama, Bunda?" Mika bungkam, semakin mengeratkan pelukannya di leher Duta. "Turun ya, sayang. Kasihan Kak Dutanya capek." "Mika tidak mau." "Ya sudah, besok Bunda tidak akan kerja dan menemani Mika seharian asal Mika sekarang mau maafin Bunda dan nggak ngambek lagi." Mika sedikit mengendurkan pelukannya, kedua bola mata bundarnya menatap Sadin penuh harap namun juga ragu disaat bersamaan. "Bunda mau bohong lagi, kan?" Sadin menggeleng. "Tidak, Bunda janji." Apapun, apapun akan Sadin lakukan asal Mika kembali ceria. "Sekarang Mika mau kan meluk Bunda?" Sadin merentangkan tangannya penuh harap, beberapa saat menunggu dalam gelisah hingga nyaris menyentuh titik keputusasaan. Sampai akhirnya Mika memeluk Sadin dengan kedua kaki yang masih melingkari pinggang Duta. Sadin tersenyum bersama linangan air mata harunya, kedua tangannya memeluk erat Mika seolah tak mau melepaskannya. Tanpa menyadari Duta sedang mati - matian menahan nafas dan detak jantung agar normal seperti biasa. Jika saja Mika sudah turun dari gendongannya, posisi mereka tak akan sedekat ini. Hembusan nafas berat Duta, menyadarkan Sadin. Perempuan itu seketika menarik Mika hingga terlepas dari gendongan Duta. Duta menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal, mendadak lelaki itu jadi salah tingkah. "Ehmm.. kamu boleh pulang." Gumam Sadin menetralisir kecanggungan. "Tidak, Kak Duta tidak boleh pulang." Larang Mika keras. "Tapi ini sudah sore, sayang." Duta juga masih ingin disini, bersama anaknya. Tapi melihat Sadin seringkali melirik jalanan, Duta tahu apa yang ada di pikiran Sadin. Duta berjongkok, mensejajarkan wajahnya dengan wajah Mika. "Kalau besok Kakak datang lagi kesini, apa Kakak sekarang boleh pulang?" Sekilas Duta melirik Sadin yang melotot tak setuju. *** Sadin baru keluar dari kamar mandi, langsung mencari Mika yang belum juga mau sarapan. Sadin tak menemukannya dimanapun, saat Sadin keluar, ternyata Mika disana. Duduk di undakan teras sambil bersenandung riang. Wajahnya tampak sangat cerah dihiasi senyuman, secerah warna pakaian yang dikenakannya. Sadin tersenyum, harusnya setiap hari Mika seperti itu. "Mika, sarapan dulu, yuk" Sadin berjalan mendekatinya. "Enggak ah, Bun. Mika mau nungguin kak Duta aja. Jam 10 dia bilang mau ajak Mika ke toko buku." Selain Sadin, ternyata Duta juga berjanji untuk mengajarinya membaca. Dan hari ini Duta sudah berjanji akan mengajaknya ke toko buku. "Tapi kan tetap harus sarapan, sayang." "Kalau kak Duta tiba - tiba dateng pas Mika masih makan, gimana?" "Kakak tungguin." Suara Duta menginterupsi. Pasangan anak dan ibu itu pun menoleh ke sumber suara. "Kak Duta." Seru Mika senang. Senyuman Duta menyapa, dengan tangan terangkat melambai pada Mika. "Kita nggak akan pergi kalau Mika belum sarapan." ujar Duta setelah membungkuk dihadapan Mika. Seketika itu juga Mika langsung bangkit berdiri, Duta pun menegakkan tubuh. "Bun, Mika mau sarapan. Ada di atas meja, kan?" Sadin mengangguk dan Mika pun berlarian masuk ke dalam rumah. "Kamu tunggu disini saja." Duta kedinginan oleh suara Sadin yang bahkan lebih dingin dari air shower kamar mandinya. Saat perempuan itu hendak masuk ke dalam rumah, Duta tiba - tiba bersuara. "Bagaimana bisa Mika belum bisa membaca?" Dada Sadin terasa sesak karenanya. Perkataan Duta itu, sudah seperti tuntutan pertanggung jawaban. Baik, Mika memang anak Duta dan Sadin lah yang mengasuhnya selama ini. Tapi ingatkah Duta bahwa dirinya sendiri dengan lantang mengakui Mika sebagai anaknya? Bukankah itu artinya tanggung jawab atas Mika sekarang ada pada mereka berdua, alih-alih mengatakan sesuatu seolah-olah Sadin tidak becus jadi Ibu. "Aku sebenarnya tidak ingin menggunakan alasan ini." Sadin menjeda sejenak, "Uang," lanjutnya penuh penekanan. "Aku, selain Mika dalam kanduganku, aku tidak sempat membawa apa pun termasuk ijazah terakhirku. Aku harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan kami. Tanpa ijazah dan pengalaman apapun, kamu pikir itu mudah? Aku akui aku memang kurang memperhatikan belajar Mika, tapi sepertinya kamu tidak berhak menuntut apa-apa." Jawaban Sadin membungkam Duta seketika. Uang, sesuatu yang baginya sepele, menjadi salah satu masalah serius bagi Sadin dan Mika. "Aku harus menemani Mika." Ujar Sadin berbalik masuk ke dalam rumah. Meninggalkan Duta yang masih mematung disana. *** Layar televisi didepannya menyala, menampilkan acara infotaiment yang selalu itu - itu saja beritanya. Sadin ada di depannya, menghadap lurus pada layar itu dengan tatapan kosong. Tubuh dan pandangannya memang disana, tapi pikirannya entah ada dimana. Jujur, Sadin merasa senang karena akhirnya Duta sudah menyadari kesalahannya, meminta maaf, dan ingin menebus kesalahan itu yang Sadin tak tahu apakah segala kesalahan di masa lalu bisa ditebus dengan cara apa. Tapi disisi lain, Sadin cemas. Mencemaskan apakah kemunculan Duta akan merusak ketenangannya dengan Mika, begitupun sebaliknya. Tok! Tok! Suara ketukan pintu membangunkan Sadin dari lamunannya. Perempuan itu berjalan keluar, membuka pintu. "Hai.. " wajah riang Martin mendahului salamnya. Lelaki itu membawa sekantung plastik buah apel fuji kesukaan Mika. "Bagaimana keadaan kamu?" Tanyanya sembari menyerahkan buah bawaannya. Sadin memaksakan senyum saat menerimanya. "Aku kan nggak sakit."   "Apa perlu sakit dulu untuk bisa makan buah? Mana Mika?" "Sedang pergi dengan Duta." Sadin mengikuti duduk dikursi plastik yang ada disana. "Cowok itu lagi?" Sadin hanya mengangguk. Martin ikut menangguk - angguk pelan. "Hmm.. dia kelihatannya memang orang baik - baik. Awalnya aku kira dia cowok yang mau mendekati kamu, jadi aku terpaksa sedikit bohongin dia." Sadin menoleh cepat ke arah Martin. "Jadi kamu beneran ngaku sebagai tunanganku?" Martin tersenyum tanpa dosa, wajahnya tak menunjukkan rasa bersalah sama sekali. "Dia bilang ya?" Sadin berdecak kesal. "Kenapa harus begitu, kak?" "Kamu marah, Din?" Entah kesal atau marah, yang jelas Martin tidak menemukan ekspresi baik di wajah Sadin. Sadin menghela nafas dalam, berusaha tenang kembali. Martin lelaki baik, terlalu baik untuk mendapatkan perlakuan kurang sopan darinya. Itu tidak tahu diri namanya. "Harusnya kamu tidak perlu sampai melakukannya." Jawab Sadin pada akhirnya, lemah, dan penuh penyesalan. "Selain itu adalah kebohongan, apa ada lagi yang salah?" "Aku tidak ingin membuat orang lain salah paham." "Kenapa kamu merasa harus peduli sama pendapat dia?" "Kak Martin… " "Apa salah kalau aku takut kamu direbut lelaki lain?" Tanya Martin sakartis. "Anggap saja ini usahaku untuk mengamankan kamu selama kamu belum menjawab lamaranku." Martin bangkit dari duduknya, melemparkan senyum Tipis, lalu menambahkan. "Besok, sebelum aku kembali ke dinas. Aku harap kamu sudah memberiku kepastian. Mungkin besok adalah batas penantianku."  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD