Pulang kerumah ibu
Walau tak banyak berbicara, Jeffry menyadari bahwa raut wajah Janna berubah ceria saat mereka melakukan perjalanan menuju Bandung. Perempuan itu tampak tak sabar untuk segera tiba bahkan tak ingin berhenti di rest area.
“Di Bandung saja jika kita mau makan siang,” pintanya saat Jeffry mengajaknya berhenti sejenak. Bagi Jeffry ini adalah kedua kalinya ia datang kerumah Janna, yang pertama saat ia dan kedua orangtuanya datang melamar Janna.
Sesampainya di Bandung, Janna meminta mampir ke beberapa toko kue untuk membeli oleh-oleh untuk sang ibu dan sedikit memaksa Jeffry untuk segera sampai ke rumah, padahal Jeffry ingin mengajak Janna untuk melihat-lihat sejenak. Jeffry pun menurut dan akhirnya mereka berdua sampai di sebuah gang komplek perumahan lama dengan jalan yang hanya cukup dilalui satu mobil .
Janna segera mendorong gerbang rumahnya yang asri agar Jeffry bisa memasukan mobilnya yang cukup besar.
“Loh, Janna?!” ucap Amima terkejut saat ia melihat putri tunggalnya berada dihalaman rumah bersama suaminya.
“Assalamualaikum ibuuu,” panggil Janna senang dan segera memeluk sang ibu penuh rindu.
“Baru kemarin kita ngobrol, sehat nak?” tanya Amima sambil menciumi anak perempuannya sayang. Melihat Jeffry berdiri dibelakang Janna, Amima segera menyambutnya dengan memberikan ciuman di kening untuk menantunya.
“Kapan datang dari KL Jeff?Ayo masuk… masuk…” ajak Amima dengan wajah gembira.
Jeffry melangkah mengikuti Amima, sedangkan Janna sudah langsung masuk ke dalam rumah tanpa disuruh dan tak memperdulikan suaminya. Ia segera menyapa kucing-kucing peliharaannya dengan menciumnya satu persatu.
“Kamu pasti lelah, sudah makan siang? Ibu baru saja mau masak, sebentar ibu masakan ya!” Amima segera bergerak menuju dapur diikuti oleh Janna yang memeluk ibunya senang. Jeffry hanya tersenyum senang melihat pemandangan di depannya.
Ia memutuskan untuk berkeliling rumah kecil yang asri dengan mengintip setiap kamar satu persatu. Ternyata dirumah yang tak bertingkat itu hanya memiliki 3 kamar. Satu kamar Amima, satu lagi kamar yang dijadikan mushola dan satu lagi adalah kamar Janna.
Tanpa ijin Jeffry segera masuk ke dalam kamar Janna yang sebenarnya cukup luas tapi menjadi sangat sempit karena ranjang tidur Janna yang berukuran queen seolah mengisi seluruh ruangan. Ranjang itu tampaknya masih baru. Sedangkan sisanya adalah barang-barang lama Janna yang tersimpan baik.
Disamping ranjang Janna terlihat sebuah frame berisi tiga orang, Janna sang Ayah Saiful dan ibunya Amima.
Wajah Saiful membuat Jeffry teringat tentang cerita sang ayah, Naresh tentang Saiful.
“Kalau bukan Saiful yang mengalah dan memberikan pekerjaannya pada Papa, sudah pasti cerita hidup kita berbeda,” ucap Naresh mengenang masa lalunya saat ia meminta Jeffry menikahi Janna.
Saiful bersedia mengalah untuk mendapatkan sebuah pekerjaan dan memberikannya pada Naresh karena saat itu istri pertama Naresh, yang bernama Yanti tengah mengandung Jeffry dan sakit-sakitan sehingga Naresh membutuhkan banyak uang.
Sejak saat itu karir Naresh menanjak tinggi berbanding terbalik dengan Saiful. Jika Naresh semakin maju bahkan bisa membuat usahanya sendiri, Saiful malah sakit-sakitan dan tak bekerja, hanya mengandalkan penghasilan dari Amima sang istri untuk biaya hidup mereka bertiga.
“Mas! Ngapain berada di kamarku?! Loh, ranjangku kemana?! Ibuuu … kasur Janna kemana?” Janna yang muncul tiba-tiba mengejutkan Jeffry tapi sedetik kemudian ia kembali keluar mencari sang ibu menanyakan soal ranjang lamanya.
“Sudah ibu jual dan ibu ganti yang baru dan lebih besar. Masa sudah menikah masih menggunakan ranjang yang sama? Mana cukup untuk kalian tidur berdua … apalagi kalau nanti ada anak,” jawab Amima sambil membawa satu lauk kemeja makan.
Mendengar ucapan ibu mertuanya, Jeffry terbatuk-batuk mendengar ucapan sang ibu mertuanya. Untung saja ia masih berada di dalam kamar sehingga tak ada yang memergoki kekikukannya. Tak lama ia pun keluar dari kamar dan bergabung dengan Janna dan Amima untuk makan siang bersama.
“Kamu sehat Jeff? Gimana kabar papamu?” tanya Amima saat Jeffry ikut duduk bersama mereka. Tiba-tiba Amima termenung melihat Jeffry yang menuangkan nasi ke dalam piring Janna.
“Loh, kok malah Jeffry yang menuangkan nasi, harusnya kamu Janna,” tegur sang ibu.
“Gak apa-apa bu, Janna makannya lagi sedikit sehingga saya harus memastikan porsi makannya cukup,” jawab Jeffry sambil melanjutkan kegiatannya tapi mendapat pukulan lembut di tangannya dari Amima.
“Gak gitu ,... Janna! Kamu yang harus melayani Jeffry! Tuangkan nasi dan lauk ke piringnya! Masa kamu gak ingat kalau ibu yang selalu melayani bapak kalau kita makan bersama,” tegur Amima dengan suara lembut tapi tegas.
Janna merengut dan segera mengambil tempat nasi lalu menuangkan nasi dan bertanya pada Jeffry lauk apa saja yang ia inginkan. Mendengar ucapan Amima, membuat Jeffry terbesit mengingat Sarita, karena setiap mereka makan bersama selalu Sarita yang berinisiatif untuk melayani Jeffry terlebih dahulu. Ada rasa bangga terbesit di hati Jeffry terhadap kekasihnya atas etikanya yang baik.
“Berapa lama kalian akan menginap?” tanya Amima. Pertanyaan itu membuat Janna menoleh ke arah Jeffry. Sejak mereka berangkat ke Jakarta tak ada pembahasan apapun tentang berapa lama mereka akan menginap di Bandung dan dimana mereka akan menghabiskan waktu.
“Mas Jeffry ada urusan kerja di Bandung, sehingga malam ini dia menginap di hotel dimana acara diselenggarakan. Aku ikut karena kangen sama ibu jadi aku akan menginap disini,” ucap Janna tiba-tiba dan kebohongan itu membuat Jeffry kembali tersedak sampai terbatuk-batuk.
Janna tak peduli dengan pandangan aneh Jeffry seolah bertanya tentang alasannya mengapa ia berbohong sambil memberikan air putih pada suaminya.
“Kenapa gak menginap disini saja Jeff? Boros loh menginap di hotel, walau sederhana dan gak ada ac tapi rumah ini adem walau tidak besar dan tak sebagus hotel.”
“Semua sudah dibayarin kantor kok bu, sayang malahan kalau gak diisi,” jawab Janna cepat sebelum Jeffry mengatakan apa-apa.
Melihat sikap Janna yang seolah ingin mengusirnya membuat Jeffry merasa dongkol. Ia yang bersusah payah mengantar Janna ke Bandung agar ia bisa melepas rindu pada sang ibu, kini malah ia yang diusir.
“Iya, tapi sore ini Janna juga harus ikut sebentar untuk menghadiri acara tersebut, karena dia di kantor sebagai asisten saya bu … benarkan Jan?” ucap Jeffry cepat membalas ucapan sang istri.
Kali ini Janna yang terlihat kelabakan, ia menyadari bahwa Jeffry tengah mencari cara untuk berbicara dengannya berdua saja.
“Ya sudah, ayo selesaikan makannya … kalau masih ada pekerjaan yang harus kalian selesaikan seharusnya kalian cepat-cepat pergi, gak baik jika datang terlambat,” ucap Amima menyuruh anak dan menantunya untuk makan lebih cepat.
Janna menekuk wajahnya kesal karena ia terpaksa mengikuti Jeffry untuk keluar dari rumah. Tak hanya Janna yang terlihat kesal tapi juga Jeffry. Wajahnya terlihat tak sabar untuk bisa keluar dari rumah mertuanya dan mengkonfrontasi Janna.
“Apa-apaan sih kamu?! Kenapa berbohong seperti itu?!” tanya Jeffry kesal saat mobil telah berjalan menuju jalanan meninggalkan rumah.
“Maafkan aku terpaksa berbohong, tapi itu harus aku lakukan! Memangnya mas Jeff berharap apa? Menginap bersama dirumah ibu dan tidur sekamar denganku?! Atau tidur disofa lalu menjadi pertanyaan buat ibu?! Atau mas Jeff ingin ibu mendengarkan percakapan mesra mas Jeff dengan Sarita karena rumah kami kecil sehingga percakapan apapun bisa terdengar satu sama lain?!”
“Seharusnya kamu bisa diskusikan ini denganku terlebih dahulu! Kamu pikir aku tak bisa mengalah untuk tidak berkomunikasi dengan Sarita selama didepan ibu?!”
“Gak usah mas! Gak usah berkorban apapun demi aku atau ibu! Untukku bisa bertemu ibu saja rasanya sudah luar biasa, aku tak ingin menambah beban ibu dengan curiga atas sikap kita berdua yang tak harmonis. Aku pun tak ingin berpura-pura harmonis dihadapan ibu, aku tak sanggup membohongi ia terus menerus!”
“Siapa yang hendak membohongi ibu?! Aku mengajakmu untuk datang ke Bandung karena aku tahu kamu terlalu rindu pada ibu, tapi kamu tak pernah menghargai usahaku Janna! Kenapa kamu gak pernah menghargai usahaku agar hubungan kita menjadi baik?!”
“Untuk apa hubungan kita menjadi baik?! Hubungan kita sudah hancur sejak hari pertama pernikahan kita! Hubungan kita sudah menjadi debu sejak kamu pergi meninggalkan aku setahun yang lalu! Untuk apa hubungan kita menjadi baik jika akhirnya kita akan berpisah?!”
“Lalu kita harus apa?! Aku tak akan menceraikan mu Janna dan kamu tahu apa alasannya! Aku hanya ingin kita berhubungan baik satu sama lain dan tak perlu selalu bertengkar seperti ini!”
“Egois! Kamu hanya memikirkan dirimu sendiri! Kamu hanya memikirkan apa yang membuatmu nyaman dan bahagia! Mas Jeff masih bisa berbahagia karena memiliki Sarita walau masih berstatus suamiku, tapi aku punya siapa mas?! Tak bisakah mas Jeff memiliki hati memikirkan tentang kebahagiaanku?! Aku juga manusia! Aku punya hati!” jerit Janna tak sanggup lagi menahan isi hatinya.
Bersambung