NGAMBEK

1108 Words
            “Siapa?” Tanya Mas Bima, yang mata nya masih menatap ke arah jalanan, berusaha melihat Arkhan yang sudah sejak tadi menghilang dari pandangan kami berdua.  Aku berjalan mendahului nya, kemudian Mas Bima mengikuti ku dari belakang. Hari sudah semakin petang, langit sudah tidak lagi berwarna biru, perasaanku semakin kacau, entahlah kacau karena kaget melihat dua pria tadi, kacau melihat Mas Bima atau kacau karena merasakan Sunday scariest? Entahlah. Hari minggu sore memang adalah waktu di mana orang-orang akan merasakan hal aneh, entah karena sugesti diri, atau memang karena minggu sore adalah hal yang menyebalkan.             “Temenku.” Jawab ku singkat. Aku berjalan menuju titik saklar lampu di rumahku, menyalakan lampu di masing-masing ruangan.             “Kok tumben kamu ke sini mas? Gak sibuk ta?” Tanya ku, aku duduk di sebelahnya, mengambil remote kemudian menyalakan televisi. Canggung rasanya setelah di kecewakan kemarin. Maksudku… Cuma aku saja yang canggung, mungkin dia tidak karena mungkin dia tidak tahu menahu soal perasaanku kepadanya.             “Emang gak boleh ya?” Tanya nya, ia menyandarkan tubuh nya di sofa, melipat tangan di depan d**a kemudian memejamkan mata. Mungkin ia datang ke tempatku hanya sekedar untuk beristirahat. Cukup lama aku menatap wajah nya dari samping, mengagumi setiap jengkal bagian tubuh dari mahluk tuhan itu. bagaimana mungkin aku tidak jatuh cinta kepada pria ini? Dia bahkan terlihat sempurna di mata ku walau saat ini aku seakan tidak di anggap oleh nya.             Mas Bima membuka mata, kemudian menatapku sembari tersenyum. “Saya pengen deh makan masakan kamu. Boleh gak?” Ucap nya, mata nya bahkan terlihat sayu karena terlalu mengantuk. Dengan senang hati aku segera mengangguk. Ini adalah kali pertama, aku bisa memasak sesuatu untuk Mas Bima. Setelahnya, aku buru-buru berjalan menuju dapur, mengeluarkan beberapa bahan masakan dari dalam kulkas. Aku mulai memasak, memasak dengan sepenuh hati dengan harapan mas Bima akan suka dengan makanan yang akan aku buat. Di saat aku sedang memasak, sesekaki aku menatap nya, membayangkan bagaimana kehidupan bahagia kami setelah menikah nanti. Baru saja beberapa detik, mata ku terlepas dari dirinya. Tiba-tiba suara ponsel Mas Bima mengejutkan kami berdua. Ponsel yang ia letakan di atas meja tiba-tiba berdering dengan keras, entah siapa yang meneleponnya hingga ia tiba-tiba berdiri dengan cemas, mengambil jas nya yang ia letakan di samping televisi. “Mas?! Mau kemana? makan dulu atuh, ini udah hampir ja-” ucapanku terpotong karena Mas Bima buru-buru berlari keluar. Aku segera mematikan komporku, kemudian ikut mengejarnya. “Mas?! Mau kemana… tadi minta di bikinin makanan, sekarang makanannya udah hampir jadi, makan dulu atuh mas baru pergi…” Ucap ku, aku bahkan sudah hampir menangis ketika melihat Mas Bima sudah duduk manis di atas mobilnya. Hancurlah sudah harapanku untuk duduk bersama Mas Bima, menikmati masakanku sembari membicarakan rencana pernikahan kami. “Maaf ya Al, saya harus pergi. Barusan Kirana nelfon ka-” aku tidak perlu mendengarkan penjelasannya lagi, aku segera berlari masuk ke dalam rumah ku, mengunci pintu nya rapat-rapat kemudian mengurung diriku sendiri di dalam kamar. Rasanya menyedihkan ketika melihat diri ku sendiri. Aku yang terlalu berharap kepada Mas Bima justru malah seakan di campakan seperti saat ini. Aku memang tidak ada apa-apanya di banding Kirana yang datang dari masa lalu nya, tapi… haruskah dia se berterus terang seperti itu di hadapanku bahwa ia sangat peduli dengan Kirana tanpa peduli dengan calon istrinya sendiri. Aku tahu bahwa rencana pernikahan kami tidak berdasar dari perasaan kami berdua, namun setidaknya, dia bisa menghargaiku walaupun masa lalu nya kembali. Mas Bima pernah bilang bahwa ia akan melupakan Kirana pelan-pelan, tapi… jika keadaannya begini, bagaimana mungkin ia bisa melepas Kirana kalau dia saja lebih mementingkan Kirana di banding dengan calon istrinya sendiri. Semalaman penuh aku menangis, bahkan entah jam berapa aku memejamkan mata kemudian tidur begitu saja dengan keadaan yang kacau balau dan lantas terbangun dengan keadaan yang sama kacau nya dengan keadaan ku semalam. Aku melirik ponsel yang tergeletak tepat di sampingku, kemudian setelahnya aku mendapati banyak notifikasi dari Mas Bima entah itu chat ataupun telepon. Namun tentu saja aku mengabaikannya. Aku akan mengistirahatkan diri ku dulu, pelan-pelan menenangkan diri dari sikap-sikap Mas Bima yang aku sendiri tidak bisa menebaknya. Aku segera bersiap-siap menuju kantor, dan tidak lupa mampir dulu ke adik ku sebentar. Mengecek keadaannya , setelahnya baru lah aku berangkat ke kantor. Sesampainya aku di kantor aku sudah di hadapkan dengan banyak sekali pekerjaan, sama seperti hari-hari kemarin, aku di hadapkan dengan rapat dadakan, kunjungan lokasi kantor baru, atau yang paling menyebalkan adalah aku yang harus menggantikan ibu Elena untuk makan dengan client kami. Aku selalu tidak suka hal seperti itu, karena beberapa dari mereka seringkali terlalu sombong di hadapanku, dan itu membuatku muak. Mengingat anak ibu Elena yang tempo hari kami bicarakan, ternyata kata ibu Elena anaknya tidak memilik kantor kami sebagai objek belajarnya. Ia memilih untuk mendaftar di perusahaan lain sebelum masuk ke kantor kami untuk menggantikan ibu nya sebagai boss  di kantor kami. Syukurlah, setidaknya ia tidak menambah beban pekerjaanku dengan keputusannya yang seperti itu. “Al, tapi nanti, maksud saya kapan-kapan saya mau ngajak kamu makan bareng anak saya ya. Aneh aja nanti kenalannya pas di kantor. Nanti luangin waktu kamu, pas libur. Oke?” Ucap Ibu Elena tanpa memandang ke arah ku, matanya selalu tertuju pada komputer di hadapannya. Kemudian aku membalas ucapan ibu Elena hanya dengan sebuah anggukan, padahal hari libur, aku harus bekerja saja. Sepulang bekerja, aku kembali di telfon oleh Mas Bima, namun lagi-lagi aku memilih untuk tidak menjawab teleponnya. Setidaknya biar dia bisa tahu bahwa aku juga bisa mengabaikannua kalau aku mau. Aku pulang ke rumah menggunakan Bus Kota, kemudian turun di dekat minimarket tempat aku bertemu dengan Arkhan kala itu. Sebelum benar-benar pulang, aku memilih untuk mampir dulu di sana, membeli beberapa cemilan dan juga minuman untuk ku nikmati sebelum pulang dan mengistirahatkan tubuh serta pikiranku. Namun ketika baru saja hendak membayar belanjaanku, seseorang menyodorkan makanan dan juga minumannya untuk di gabungkan dengan belanjaanku. “Nitip.” Ucap nya dengan santai. Dia Arkhan. Pria yang selalu muncul di mana saja dan kapan saja. Dia memasukan kedua tangannya di dalam saku jaket, kemudian menungguku hingga selesai. Setelah itu, aku dan Arkhan berjalan bersama untuk duduk di luar minimarket itu, aku masih cukup heran melihatnya, kenapa dia bisa ada di sana secara tiba-tiba? “Thanks.” Ucap nya sembari membuka tutup botol minumannya. Aku mengangguk kemudian menatapnya dengan tatapan bingung, “Lo kok ada di mana-mana sih? Lo jin ya?” Tanya ku, asal. Aku memang betul-betul penasaran dengan Arkhan. “Anjir! Gak lah! Gue ganteng gini masa di bilang jin” “Yaudah terus jawab aja.” “Gue Arkhan ganteng.” “Bodo ah!” “Heheheh.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD