Bianca mengelus dadanya dengan kasar, dan menarik napas dalam sebelum memberikan jawabannya.
“Anda jangan bercanda, Dokter! Mintalah yang lain, kalau untuk itu saya tidak bisa mengabulkannya,” ucap Bianca dengan tegas dan mundur beberapa langkah kebelakang untuk menjarak dari Arsen.
“Apa saya terlihat seperti sedang bercanda? Jangan coba coba untuk mengingkari perjanjian yang telah kita buat,” ucap Arsen dengan wajah datarnya.
“Tetapi, mengapa harus menikah imbalan nya?” gumam Bianca dengan wajah yang masih terlihat memucat.
“Mengapa? Apa anda sudah mempunyai suami?” tanya Arsen dengan tatapan menyelidik.
Bianca menggelengkan kepalanya cepat. “Anda sebaiknya mencari perempuan yang lebih baik dari saya. Maaf, saya tidak bisa menikah dengan anda, Dokter,” lirih Bianca pelan.
“Saya tidak membutuhkan perempuan yang lain, saya hanya ingin anda. Apa alasan kamu menolak saya?” tanya Arsen dengan kedua tangan yang disimpan di dalam saku celananya. Tatapan matanya menatap Bianca dengan sangat tajam.
“Saya tidak ingin menikah. Saya sudah bahagia dengan kehidupan yang sekarang,” ucap Bianca pasti.
“Benarkah? Sudah cukup kamu menanggung semuanya sendirian selama ini. Saya akan mengakhiri penderitaan kamu untuk selamanya,” ucap Arsen dengan suara yang lebih lembut dari yang tadi.
“Berikan saya alasan mengapa saya harus menikah dengan anda? Maaf, Dok. Saya tetap tidak bisa.” Bianca melangkah pergi dengan cepat untuk menghindari tatapan Arsen yang menatapnya seakan mengintimidasi.
“Jangan harap kamu bisa keluar dari ruangan ini sebelum semuanya selesai.” Arsen memegang tangan Bianca dengan cepat.
“Apa alasan saya harus menerima permintaan anda yang terdengar sangat aneh ini? Sedangkan kita baru saja bertemu dan sekarang malah mengajak menikah,” ujar Bianca dengan memutar matanya malas meladeni Dokter yang memiliki permintaan yang tidak masuk akal tersebut. Padahal di dalam hatinya, jantung Bianca berdetak dengan sangat kencang seakan hendak meledak.
Arsen mengerutkan kening nya seraya memijit pelipis nya. Dia terdiam beberapa saat mendengar ucapan Bianca. Bagaimana tidak, ada banyak perempuan diluar sana yang memohon untuk menjadi kekasihnya. Tetapi Bianca bukan dijadikan kekasih, melainkan akan dijadikan istri malah menolaknya secara mentah mentah dan tanpa berpikir panjang. Penolakan ini adalah hal pertama bagi Arsen.
“Apa kamu tahu berapa banyak perempuan diluar sana yang menginginkan saya menjadi suaminya?” tanya Arsen dengan sombong nya.
“Terserah. Saya tidak peduli dengan semua itu, karena itu bukan urusan saya. Sekali tidak, maka selamanya tetap tidak,” ucap Bianca pasti seraya menggelengkan kepalanya.
“Aku tidak ingin imbalan yang lain. Persiapkan dirimu, lusa kita akan menikah secara resmi,” ucap Arsen dengan kedua tangan bersilang di depan dadanya, matanya yang tajam menatap kepada Bianca dengan tajam dan menyelisik.
“Jangan bercanda, Dokter Arsen!” ucap Bianca dengan suara keras dan berteriak kencang.
Pletak! Arsen menjentikkan jari telunjuk nya di kening Bianca. Bianca meringis menahan sakit seraya mengusap usap kening nya yang terasa perih dan sudah memerah.
“Itu sebagai balasan karena telah berani membentak calon suami kamu,” ucap Arsen dengan tatapan tajamnya.
“Calon suami?” dengus Bianca dengan kesal dan mengeluarkan lidahnya karena kesal. Bianca memutar bola matanya dengan malas karena mendengar pernyataan Dokter aneh yang sedang berada di depannya itu.
Arsen merapatkan tubuhnya kepada Bianca “Jangan keseringan mengeluarkan lidah seperti itu, jika tidak ingin berakhir seperti ini.” Arsen mengelus bibir tipis Bianca dengan sangat lembut dan mulai mengecup nya dengan pelan. Arsen menggigit bibir bawah wanita itu hingga mulutnya terbuka lebar. Tidak ingin menyia nyiakan kesempatan, arsen langsung menjelajah lidah Bianca dengan lembut dan mulai mengabsen deretan gigi yang tumbuh dengan rapi di dalam sana.
“Humppss!” Bianca mendorong d**a bidang Arsen yang terus mendesaknya.
“Jangan bilang kalau anda ingin membunuh saya,” ucap Bianca dengan napas yang sesak karena paru parunya membutuhkan pasokan udara yang lebih banyak lagi.
“Maaf. Bibir kamu terlalu manis untuk di abaikan.” Arsen tersenyum menyeringai menatap Bianca yang melebarkan mata kepadanya.
“Dasar enggak jelas,” dengus Bianca dengan kesal dan tidak berhenti mengomel. Dia pun kembali ke ruang perawatan Abi. Bianca merasa sangat lelah dengan rentetan kejadian yang menimpanya beberapa hari ini. Tanpa sadar dia sudah tertidur di samping tubuh Abian yang sedang teridur pulas setelah meminum obat.
Drt! Tiba tiba ponsel Bianca yang terletak di dalam tas bergetar. Dia berjalan menuju tas yang terletak di atas kursi. Perlahan Bianca mengambil benda pipih tersebut. Dia menatap ponsel nya dengan heran saat melihat sebuah panggilan dari nomor yang tidak dikenal. Bianca meletakkan ponsel nya kembali tanpa ada niat untuk menjawab panggilan tersebut.
Dia berjalan menuju jendela kamar dan melihat ke bawah. Pemandangan lalu lintas yang terlihat ramai tampak jelas dari ketinggian gedung. Entah berapa lama dia tertidur, tetapi saat terbangun jam sudah menunjukkan pukul enam sore.
Drt! Ponselnya berdering kembali. Lagi lagi dari nomor yang tidak dikenalnya tersebut.
“Siapa sih?” tanya Bianca sendirian seraya menggeser tombol yang berwarna hijau.
“Halo, selamat sore,” sapa Bianca dengan lembut setelah menekan tombol yang berwarna hijau.
“Kamu mau makan apa malam ini?” tiba tiba terdengar suara dari seberang sana yang merupakan suara seorang laki laki. Bianca mengerutkan kening nya saat mendengar suara Arsen. ‘Dari mana dia mendapatkan nomor aku?’ Bianca membatin sendirian.
“Halo, Bi. Apa kau tertidur kembali?” Pertanyaan Arsen membuat Bianca ter sadar.
“Tidak usah repot repot, Dokter. Saya sudah makan,” jawab Bianca dengan berbohong. Dia tidak ingin terikat dengan Dokter yang telah menyelamatkan nyawa anaknya itu.
“Jangan berbohong Bianca Florensia. Aku tahu kalau kau belum makan dari siang tadi dan baru saja bangun tidur karena panggilan dari aku.”
Deg! Jantung Bianca berdetak dengan kencang saat mendengar tebakan Arsen yang sangat tepat. Dia langsung memutuskan sambungan telepon karena kesal. Di dalam hatinya, Bianca tidak henti hentinya memohon agar Abian cepat sembuh dan mereka bisa cepat pulang serta tidak bertemu lagi dengan Dokter Arsen yang sangat aneh tersebut.
Bianca menatap ke luar dinding kaca yang menjadi pembatas ruangan tersebut. Pikirannya menerawang jauh memikirkan semuanya.
“Bagaimana cara menghindarinya nanti jika memang dia adalah pimpinan perusahaan?” ucap Bianca sendirian.
“Apa aku harus resign dari perusahaan dan mencari pekerjaan lain? Tetapi ke mana lagi harus mencari pekerjaan dengan gaji yang cukup seperti sekarang? Ya Tuhan, mengapa hidup aku selalu malang seperti ini?” Bianca terus berbicara sendirian tanpa memperhatikan sekitarnya. Dia mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan. Pikirannya benar benar kacau sekarang. Dia terus memikirkan bagaimana cara agar bisa terlepas dari cengkeraman Arsen.
“Kamu mau berhenti pun tidak akan mengubah keadaan Bianca. Ingat dengan perjanjian yang sudah kau tanda tangani. Surat perjanjian itu tidak sembarangan bisa kau langgar karena tertulis di atas materai yang mempunyai kekuatan hukum yang kuat. Aku bisa saja menuntut jika kau menghilang. Apa sudah bosan tinggal di rumah dan ingin tinggal di penjara?” Tanpa disadari oleh Bianca ternyata Arsen sudah berdiri di belakangnya dengan tangan yang membawa dua buah kantung plastik.
Bianca langsung terdiam dengan wajah yang memucat saat mendengar ucapan Arsen tersebut.
“Apa tidak ada cara yang lain?” tanya Bianca dengan pelan. Dia tetap berusaha untuk membujuk Arsen agar mau mengubah permintaannya.
“Tidak ada yang lain. Aku hanya ingin kita menikah. Atau kau mempunyai cara lain yang lebih bagus lagi?” jawab Arsen sambil meletakkan kantung plastik tersebut di atas meja.
“Aku akan bekerja tanpa gaji selama tiga bulan sebagai imbalan nya.”
“Untuk apa semua itu? Apa kau sudah tidak butuh uang lagi? Bukankah kau selalu kekurangan uang selama ini sampai sampai kau mengambil lembur setiap hari hanya demi uang?”
Bianca menundukkan kepalanya dengan lesu. Ternyata Arsen sudah mencari semua informasi tentang kehidupannya dan Abian. ‘Apa memang seperti ini kehidupan orang kaya? Semua hal bisa diketahuinya dengan mudah?’ batin Bianca sendirian.
“Bukan tidak butuh uang, tetapi anggaplah gaji tersebut sebagai imbalan dari pertolongan yang telah kau berikan,” lirih Bianca dengan wajah memelas.
“Aku tidak butuh uang Bianca Florensia. Aku hanya butuh kamu untuk menjadi istriku,” tegas Arsen dengan mata yang berkilat menahan amarah.
“Tetapi aku tidak bisa, Pak.”
“Jangan panggil aku Bapak karena aku bukan Bapak kamu dan jangan memanggil aku Tuan, karena aku bukan majikan kamu. Panggil aku Arsen. Cukup Arsen!” tegas Arsen dengan merapatkan giginya karena kesal.
Bianca langsung terdiam mendengar ucapan Arsen. Bagaimana mungkin dia akan memanggil pimpinan tempatnya bekerja hanya dengan panggilan nama tanpa embel embel kehormatan lainnya?
“Ayo! Kita makan dahulu. Kau pasti sangat lapar,” sahut Arsen seraya berjalan menuju meja.
“Terima kasih. Aku sedang tidak lapar,” tolak Bianca. Dia benar benar takut jika Arsen akan menuntutnya nanti.
“Kau ini kenapa Bia? Apa ada yang salah dengan permintaanku? Mengapa kau menjadi keras seperti ini? Apa perlu aku suapkan?” tanya Arsen saat melihat Bianca yang hanya diam mematung. Wanita itu menatap Arsen dengan mata yang berkaca kaca. Di dalam hatinya dia bertanya tanya ‘Mengapa dia harus terlibat masalah dengan Arsen?’
“Tidak usah, Pak. Maaf,” lirih Biaca.
“Boleh aku bertanya sesuatu?” tanya Arsen sesaat sebelum mereka mulai makan.
“Ya?” Bianca mengangkat kepala dengan cepat dan menoleh ke arah Arsen yang sedang menatapnya dengan tajam.
“Apa kau bisa menerima aku sebagai Ayah dari Abi?”
“Jika memang tidak ada pilihan lain apa boleh buat, Pak. Bukankah aku tidak bisa menghindar?”
“Jangan melakukannya jika kau merasa terpaksa. Tetapi kau harus ingat dengan konsekuensi yang harus kau tanggung jika kau melanggar perjanjian yang telah disepakati.” Lagi lagi Arsen mengeluarkan ancaman kepada Bianca. Seketika wanita tersebut langsung diam dan tidak membantah lagi.
Selanjutnya mereka menikmati makan malam bersama. Sedangkan Abian sudah bangun dan memperhatikan sang Mommy dari tempat tidurnya. Sebuah senyuman terlihat dari wajahnya saat melihat seorang dokter yang sangat mirip dengannya. Entah mengapa Abian merasakan sesuatu di hatinya saat melihat dokter tampan tersebut.
“Mommy,” panggil Abian saat melihat Bianca yang telah selesai makan.
“Iya sayang,” jawab Bianca seraya berjalan mendekati ranjang. Dia mengecup kening anaknya dengan pelan.
“Ada apa sayang?” tanya Bianca dengan lembut sambil mengusap usap kepala sang anak.
“Abi minta maaf sama Mommy. Abi sudah melanggar ucapan Mommy,” bisiknya dengan air mata yang mengalir di kedua pipinya.
“Tidak apa apa sayang. Mommy yang seharusnya minta maaf karena tidak bisa menjaga Abi dengan baik,” ucap Bianca dengan air mata yang juga mengalir di wajahnya. Bianca memeluk anaknya dengan sayang. Dia benar benar takut kehilangan anaknya. Bianca bersyukur atas bantuan yang diberikan oleh Arsen. Mungkin jika tidak ada Arsen, maka nyawa anaknya tidak akan tertolong.
“Selamat malam, Abian Rasbiano,” sapa Arsen dengan tersenyum ramah kepada Abi yang sedang duduk di atas kasur. Kepala dan punggungnya bersandar pada tempat tidur.
“Selamat malam dokter tampan. Terima kasih sudah menjenguk Abi,” celoteh Abi dengan gaya kanak kanaknya. Bianca sampai tertawa mendengar ucapan anaknya. Alhasil Bianca harus mendapatkan pelototan dari mata indah Abi.
“Besok kamu sudah boleh pulang. Tetapi dengan syarat kamu tidak boleh melanggar ucapan Mommy lagi,” ucap Arsen dengan menatap Abi.
“Baik, Dokter,” jawab Abi dengan patuh.
“Dokter, wajah kita kok mirip sih?” Tiba tiba saja Abian bertanya akan hal yang membuat Bianca terkejut. Persendiannya terasa melemah saat mendengar pertanyaan anaknya. Satu masalah baru muncul di hidupnya.